Stockholm, 8 Maret 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

MENGAPA DENNY JA MEMANIPULASI GAM, DI/TII KEDALAM FORUM SILATURAHMI ANAK BANGSA ?
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

ATAS DASAR APA SAUDARA DENNY JA MEMANIPULASI GAM, DI/TII SM KARTOSOEWIRJO KEDALAM FORUM SILATURAHMI ANAK BANGSA ?

"INI suatu peristiwa yang sangat langka dan sekaligus sangat monumental. Keluarga dari para pelaku sejarah yang terlibat konflik politik mendalam di masa silam berkumpul. Ada wakil tentara (Mayjen Salamun), serta putri pahlawan revolusi Ahmad Yani (Amelia A Yani). Hadir pula putra Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit (Ilham Aidit), serta putra Marsekal Omar Dani (Perry Omar Dani). Bersama mereka juga hadir putra Tokoh Utama DII/TII Kartosuwiryo (Sarkono Kartosuwiryo). Tak Ketinggalan cucu sesepuh yang dihormati oleh Gerakan Aceh Merdeka Teungku Daud Beureuh (Ahmad Zahedi) juga hadir. Melengkapi pertemuan itu hadir pula simbol dari komunitas Tionghoa Indonesia yang acapkali menjadi korban politik, Yap Hong Gie (putra Yap Thiam Hien). Mereka bergabung dalam sebuah forum yang diberi nama FSAB (Forum Silahturahmi Anak Bangsa). Ikrar pun dinyatakan, bahwa mereka tak ingin generasi mendatang mewarisi pertikaian dan dendam politik masa lalu. "Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami sesama warga Indonesia." Tak diduga, permusuhan politik yang sangat besar di masa silam, secara simbolis ingin diakhiri oleh keluarga pelaku dengan ikrar merah-putih."
(Denny JA , koransp@suarapembaruan.com ,8 Maret 2004)

Hari ini saya mendapat kiriman artikel yang ditulis oleh saudara Denny Ja, Direktur Lembaga Survei Indonesia/LSI, yang ditulis di Suara Pembaharuan terbitan hari ini, Senin, 8 Maret 2004 dalam Editorial Opini.

Dimana setelah saya membaca keseluruhan artikel yang berjul "PKI, Militer, GAM, dan Nonpri", pikiran saya dibuat bingung dan tidak mengerti, mengapa ?

Karena dalam artikel tersebut saudara Denny Ja menulis: "Seberapa besar efek politik dari ikrar "rekonsiliasi" keluarga militer, PKI, DI/TII,. GAM, dan Nonpri itu? Akankah dalam waktu cepat rekonsiliasi di Indonesia terjadi?"

Eh, apa ini yang ditulis oleh saudara Denny JA ? Darimana saudara Denny mendapatkan informasi bahwa DI/TII dan GAM mengucapkan ikrar "rekonsiliasi" dalam Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang berbunyi : "Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami sesama warga Indonesia."

Apakah saudara Denny JA ini sedang bermimpi ketika menulis artikel yang berjudul "PKI, Militer, GAM, dan Nonpri" itu ?

Coba pikirkan, oleh para peserta diskusi di mimbar bebas ini dan seluruh rakyat di NKRI dan di Negeri Aceh.

Saudara Denny JA telah membawa-bawa nama GAM dalam Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB), kemudian tidak sampai disitu saja, saudara Denny memasukkan GAM mengucapkan ikrar "rekonsiliasi".

Eh, saudara Denny JA, apakah saudara mengetahui dan sudah mendapatkan informasi dari pihak ASNLF atau GAM dan TNA bahwa cucu sesepuh yang dihormati oleh Gerakan Aceh Merdeka Teungku Daud Beureuh, Ahmad Zahedi yang hadir dalam Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) adalah utusan resmi dari pihak ASNLF atau GAM dan TNA ?

Saudara Denny JA, saudara jangan mengada-ada, itu semua suatu kebohongan ?
Coba perhatikan oleh seluruh rakyat di NKRI dan di Negeri Aceh.

Bagaimana saudara Denny JA dengan seenaknya memasukkan dan menyimpulkan bahwa GAM telah mengucapkan ikrar "rekonsiliasi" gara-gara ada dalam Forum Silahturahmi Anak Bangsa cucu Teungku Daud Beureuh, Ahmad Zahedi.

Saudara Denny JA, ASNLF atau GAM dan TNA adalah rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI yang telah menelan, mencaplok, menduduki dan menjajah Negeri Aceh oleh Presiden RIS Soekarno pada tanggal 14 Agustus 1950 melalui mulut Propinsi Sumatera Utara dengan menetapkan dasar hukum Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi dan PERPU No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, tanpa mendapat persetujuan, kerelaan dan keikhlasan dari seluruh rakyat Aceh dan pemimpin rakyat Aceh.

Apakah memang masuk diakal GAM atau ASNLF dan TNA mengutus cucu Teungku Daud Beureuh, Ahmad Zahedi untuk menghadiri Forum Silahturahmi Anak Bangsa kemudian mengucapkan ikrar "rekonsiliasi" dengan pihak Pemerintah NKRI yang sedang menduduki dan menjajah Negeri Aceh ?

Ah, yang benar saja saudara Denny JA, kalau menulis artikel itu. Kalau saudara ingin membawa-bawa ASNLF atau GAM dan TNA coba bertanya dahulu atau membaca dahulu siapa dan apa itu ASNLF atau GAM dan TNA itu, atau bertanya dahulu kepada saya lewat ahmad@dataphone.se atau lihat di http://www.dataphone.se/~ahmad/opini.htm dan di ahmad.swaramuslim.net

Sekarang , kan jadi salah kaprah itu. Untung saja saya membaca tulisan saudara Denny JA yang dikirimkan kepada saya, kalau tidak, bisa diangap benar itu yang ditulis oleh saudara Denny JA ini.

Karena saya tidak tahu alamat email saudara Denny JA ini, maka tanggapan ini saya kirimkan kepada pihak Suara Pembaharuan di koransp@suarapembaruan.com . Saya mengharap dari pihak Redaksi Suara Pembaharuan diteruskan kepada saudara Denny JA. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada pihak redaksi Surat Kabar Suara Pembaharuan.

Selanjutnya, saya membaca juga apa yang ditulis oleh saudara Denny JA adalah putra Tokoh Utama DII/TII Kartosuwiryo, Sarkono Kartosuwiryo.

Eh, apapula, putra Tokoh Utama DII/TII Kartosuwiryo, Sarkono Kartosuwiryo dibawa-bawa. Apakah memang beliau ini diutus secara resmi oleh pihak NII Imam SM KartoSoewirjo ?
Atau memang atas nama pribadi ?

Coba saudara Denny JA, saya minta penjelasan yang lebih detil mengenai apakah memang benar putra Tokoh Utama DII/TII Kartosoewirjo adalah mendapat mandat dari pihak NII untuk menghadiri Forum Silahturahmi Anak Bangsa dan membaca ikrar "rekonsiliasi" dibawah lambang garuda pancasilanya.

Bagaimana saudara Denny JA ini ?.

Saudara Denny JA, kalau saudara berbicara dan membawa-bawa nama NII, DI/TII saudara itu harus membaca dahulu dan mempelajari secara mendalam, sebelum menuliskan kesimpulan hasil Forum Silahturahmi Anak Bangsa dan membaca ikrar "rekonsiliasi" bersama NKRI yang menduduki dan menjajah Negeri Aceh dan juga menjajah NII SM Kartosoewirjo ?

Nah, saudara Denny JA, ini tanggapan saya untuk saudara Denny. Dan saya menunggu balasan dan pertanggungjawaban saudara Denny Ja atas isi tulisan yang berjudul "PKI, Militer, GAM, dan Nonpri" yang isinya ngawur dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------
 

koransp@suarapembaruan.com
Edisi Hari Ini
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/03/08/index.html

Editorial Opini
SUARA PEMBARUAN DAILY

PKI, Militer, GAM, dan Nonpri
Denny JA

INI suatu peristiwa yang sangat langka dan sekaligus sangat monumental. Keluarga dari para pelaku sejarah yang terlibat konflik politik mendalam di masa silam berkumpul. Ada wakil tentara (Mayjen Salamun), serta putri pahlawan revolusi Ahmad Yani (Amelia A Yani). Hadir pula putra Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit (Ilham Aidit), serta putra Marsekal Omar Dani (Perry Omar Dani).

Bersama mereka juga hadir putra Tokoh Utama DII/TII Kartosuwiryo (Sarkono Kartosuwiryo). Tak Ketinggalan cucu sesepuh yang dihormati oleh Gerakan Aceh Merdeka Teungku Daud Beureuh (Ahmad Zahedi) juga hadir. Melengkapi pertemuan itu hadir pula simbol dari komunitas Tionghoa Indonesia yang acapkali menjadi korban politik, Yap Hong Gie (putra Yap Thiam Hien).

Mereka bergabung dalam sebuah forum yang diberi nama FSAB (Forum Silahturahmi Anak Bangsa). Ikrar pun dinyatakan, bahwa mereka tak ingin generasi mendatang mewarisi pertikaian dan dendam politik masa lalu. "Kami berikrar menghargai kesetaraan di antara kami sesama warga Indonesia." Tak diduga, permusuhan politik yang sangat besar di masa silam, secara simbolis ingin diakhiri oleh keluarga pelaku dengan ikrar merah-putih.

Peristiwa di atas menjadi salah satu fundamen bagi rumah besar demokrasi Indonesia. Sebagaimana membangun rumah, demokrasi perlu dirakit secara bertahap melewati berbagai fondasi. Setelah fondasi kebebasan diletakkan melalui reformasi di tahun 1998, kini fondasi utama menuju rekonsiliasi anak bangsa secara simbolis sudah pula ditancapkan.

Sebelumnya, fondasi yang tak kalah penting sudah pula ditanamkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk pertama kali dalam sejarah, pasal dalam undang-undang dibatalkan secara legal dan demokratis oleh sebuah lembaga negara. Keputusan politik para wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dalam pemilu 1999, yang sudah disetujui pula oleh presiden, dibatalkan oleh para hakim konstitusi.

Hilang pula dasar hukum yang mendiskriminasikan mantan PKI. Selama hampir empat puluh tahun, PKI menjadi momok dalam politik Indonesia. Mereka disingkirkan dari politik praktis. Bahkan keluarga mereka juga terkena doktrin bebas lingkungan. Setelah reformasi bergulir dan kebebasan menjadi nada dasar politik Indonesia, para aktivis dan mantan PKI tetap menjadi warga kelas dua. Mahkamah Konstitusi menutup momok itu secara legal, formal dan demokratis.
Sisi Terang

Dua peristiwa di atas adalah sisi yang sangat terang dari politik reformasi. Lima tahun pemilu reformasi yang pertama di tahun 1999 telah ditutup dengan adegan yang sangat fenomenal. Sebuah kebetulan yang sangat manis, sebelum pemilu kedua reformasi dimulai tanggal 11 Maret nanti, hanya beberapa hari lagi, dua peristiwa penting di atas terjadi. Reformasi menjadi potret yang bewarna-warni.

Sebelumnya, lima tahun setelah reformasi publik memang sangat kecewa. Pengangguran cukup tinggi, Korupsi terus terjadi. Partai politik hanya digunakan sebagai mesin pengumpul suara dalam pemilu, tapi tidak untuk pendidikan politik masyarakat.

Survei yang dilaksanakan LSI dan PPIM menunjukan grafik kemarahan atas reformasi. Sejak tahun 1999 sampai November 2003, responden nasional dielaborasi dengan pertanyaan "apakah mereka merasa lebih baik hidup di era Orde Baru atau era Orde Reformasi."

Di tahun 1999, yang menjawab lebih baik di era reformasi cukup tinggi di atas 60%. Kini angka itu merosot di bawah 25%. Sebaliknya, yang merasa lebih baik di era Orde Baru di tahun 1999 hanya di bawah 20%. Kini angka ini menaik di atas 55%.

Potret buram atas reformasi juga disuarakan oleh lembaga internasional. TI (Transparency International) melakukan penilaian atas korupsi di dunia. Sejak reformasi, skor korupsi Indonesia tidak membaik. Indonesia masih di ranking bawah. Freedom House tak pula ketinggalan menilai skor kebebasan di Indonesia. Sejak reformasi, skor kebebasan kita juga masih Partly Free. Skor itu kalah jauh dibandingkan tetangga kita Filipinan, Thailand dan Korea Selatan yang sudah dikategorikan Free.

Dua peristiwa menjelang Pemilu 2004 menambah warna lain reformasi. Tak hanya ada warna buram, reformasi juga memberikan warna yang sangat cerah. Mustahil membayangkan akan ada penghapusan diskriminasi politik atas mantan PKI tanpa didahului oleh reformasi. Mustahil pula membayangkan terjadinya rekonsiliasi keluarga pelaku konflik bersejarah, tanpa didahului oleh reformasi.

Yang menarik, dua peristiwa itu dilakukan oleh komunitas di luar partai politik. Hal itu menegaskan pula bahwa kontributor bagi bangunan demokrasi di Indonesia tak hanya datang dari partai politik. Civil society dan aparat hukum sudah pula membuat fondamen bagi demokrasi yang kokoh.

Lima Segmen

Untuk kepentingan analisis, politik Indonesia dapat dibagi dalam lima segmen.
Pertama adalah political society yang bertarung dalam pemerintahan. Mereka umumnya komunitas partai politik.
Kedua adalah civil society yang berada di luar pemerintahan. Mereka menjadi gerakan masyarakat yang tidak bertarung untuk mengambil pos pemerintahan.
Ketiga adalah aparat hukum yang sama sekali dilarang untuk menjadi partisan dalam politik. Mereka adalah berbagai lembaga yang bertugas menjalankan hukum agar menjadi pedoman masyarakat.
Keempat adalah economic society yang menjadi pelaku utama transaksi bisnis dan ekonomi masyarakat. Maju dan mundurnya perekonoian suatu negara sangat bergantung pada peran mereka. Kelima adalah birokrasi yang menjadi mesin utama pemerintahan. Kualitas dan kompetensi birokrasi sangat menentukan bagaimana kualitas dari eksekusi keputusan politik pemerintahan.

Political society sudah memberikan sumbangan sangat besar bagi reformasi, Karya utama mereka adalah amendemen UUD '45. Spirit baru konstitusi itu menjadi fondasi utama kehidupan politik Indonesia. Aparat hukum melalui Mahkamah Konstitusi sudah pula meletakan sumbangan yang sangat beharga berupa penghapusan diskriminasi politik bagi mantan PKI. Kini civil society juga sudah meletakkan fondasi lain yang bermakna. Para keluarga pelaku konflik di masa silam ingin rekonsiliasi dan menutup dendam dan beban masa lalu.

Kini kita menunggu fondasi berbeda dari segmen yang lain, birokrasi. Segmen itu dapat meletakkan fondasi itu jika mereka membuat inovasi bagi eksekusi kebijakan pemerintah yang kompeten dan bersih. Praktek birokrasi dapat meminimalkan korupsi yang sudah menjadi ''kanker'' di negeri ini. Sementara itu, dari segmen economic society, kita harapkan terobosan untuk mengurangi pengangguran dan praktek bisnis yang inovatif.

Ke Depan

Seberapa besar efek politik dari ikrar "rekonsiliasi" keluarga militer, PKI, DI/TII,. GAM, dan Nonpri itu? Akankah dalam waktu cepat rekonsiliasi di Indonesia terjadi? Amerika Serikat butuh waktu seratus tahun untuk mengobati luka masyarakat akibat perang sipil antara bagian utara dan selatan. Afrika Selatan butuh lebih dari satu generasi untuk melupakan sama sekali praktek rasisme atas kulit hitam.

Dari dua negara itu ada tiga tahapan penting untuk mengobati trauma dan permusuhan politik masa silam.

Pertama, diciptakan sistem hukum dan hak warga negara yang sederajat bagi semua pihak. Warga Amerika Serikat di selatan maupun utara memiliki hak yang sama menjadi pejabat publik. Hal yang sama terjadi di Afrika Selatan untuk kulit hitam dan putih.

Kedua, adanya komitmen yang besar dari pimpinan politik pihak yang bertikai untuk melupakan masa lalu. Pemimpin dari Amerika Serikat bagian selatan dan utara acapkali berkumpul di masa awalnya dan ingin memulai kehidupan yang baru. Di Afsel, Nelson Mandela dan De Klerk sendiri secara bersama, mewakili kulit hitam dan putih, membuat komitmen itu.

Ketiga, adanya partisipasi dalam pemerintahan. Setelah luka relatif terobati, pemerintahan juga terbuka bagi semua. Baik warga selatan maupun utara di Amerika Serikat kemudian menjadi menteri atau presiden. Hal yang sama berlaku di Afrika Selatan. Kulit putih maupun hitam duduk sebagai wakil presiden, menteri atau anggota kongres.

Rekonsiliasi di Indonesia jika ingin sukses juga harus melampaui tiga tahapan itu. Diskriminasi harus dihapuskan tidak hanya dalam politik legislatif, tapi juga dalam UU Pilpres (pemilu presiden). Konsekuensinya, semua pihak secara hukum diberikan hak dan perlakuan yang sama. UU Pilpres, misalnya, harus pula di-judicial review pada waktunya. Juga aturan lain yang masih mendiskriminasi, perlu direvisi.

Komitmen untuk rekonsiliasi memang sudah dimulai oleh keluarga pelaku. Namun komitmen itu harus terus digaungkan dan diulang-ulang oleh segmen masyarakat lain. Hasilnya, komitmen dari segelintir keluarga itu meluas mencakup populasi besar publik Indonesia.

Yang terpenting, pemerintahan harus pula mulai terbuka kepada semua warga negara. Jika sudah waktunya, keluarga mantan PKI dapat pula menjadi menteri. Komunitas nonpri ada yang menjadi wakil presiden, misalnya. Partisipasi dalam pemerintahan itu tak perlu dipercepat atau diperlambat. Biarkan semua tahapan itu berjalan secara alami. Indonesia memang terlalu besar dan terlalu beharga untuk terus dihantui oleh pertikaian politik masa silam.

Penulis adalah Direktur Lembaga Survei Indonesia/LSI.
Last modified: 8/3/04
----------