Sydney, 10 Maret 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

PENGUASA NKRI ALERGI TERHADAP ORANG YANG COBA MEMBUKA KOTAK PANDORA NKRI
Nurdin Abdul Rahman
Sydney - AUSTRALIA.

 

PENGUASA NKRI SELALU ALERGI TERHADAP ORANG YANG COBA MEMBUKA KOTAK PANDORA NKRI

Saya sudah mengikuti seluruh perbincangan yang sangat menarik dalam milist bebas ini. Ada satu hal yang pihak aparat dan politisi nasionlis NKRI tidak akan pernah bisa mengerti dan memahami, yaitu konflik yang terjadi sekarang ini di Acheh adalah hasil ciptaan penguasa NKRI itu sendiri.

Saya melihat pihak penguasa NKRI selalu alergi kalau ada orang yang coba membuka kotak pandora NKRI itu. Umumnya aparat NKRI sangat takut kalau kotak pandora NKRI itu dibuka paksa oleh seseorang sehingga dari dalam itu kelihatan apa dan bagaimana sebenarnya NKRI itu, termasuk legal statusnya ke atas bangsa-bangsa di luar RI Yogya dan sekitarnya itu. Akibatnya aparat penguasa NKRI sudah terkena penyakit jiwa yang disebut "paranoa", yaitu curiga kepada setiap orang, lebih-lebih orang asing, takut-takut kalau kotak pandoranya dibuka dan isinya diketahui orang.

Aparat NKRI tidak sedar bahwa konflik bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan kita; antara seorang individu dan individu lain, antara seorang individu dan kelompok individu, atau antara satu kelompok individu dan kelompok individu lain. "Conflict is intrinsic to human nature and is often the agent of development, reform and progress," kata dua pakar pemahaman dan penyelesaian konflik, Ray Taras dari Tulana University, dan Rajat Ganguly dari University of East Anglia, dalam buku mereka yang terkenal "Understanding Ethnic Conflict, the International Dimension", halaman 92. Konflik yang terjadi antara Acheh, Papua, Maluku, Timor Timur, dan penguasa NKRI berpunca pada "penipuan politik" yang tidak pernah diselesaikan secara demokratis yang melibatkan rakyat dari wilayah yang bersangkutan.

Christine Drake seorang pakar politik tentang Indonesia dari University of Hawai, dalam bukunya ""National Integration in Indonesia, Pattern and Policies" (1989:2) mengatakan: "National integration incorporates a number of different deimensions. Four stand out as particularly important. First, common, integrative, historical experiences obviously act as a cohesive force. Second, shared socio-cultural attributes can help give the nation state its identity, distinguish it from surrounding states, and enable its citixens to feel a sense of unity. Third, interaction among the diverse peoples within a nation-state promotes integration, especially among those who share various sociocultural attributes. Fourth, regional economic interdependence and some measures of regional balance in economic development are fundamental to national integration. (Integrasi nasional menghimpun sejumlah dimensi yang berbeda. Empat dari padanya tampil sebagai sangat penting secara khas. Petama, pengalaman-pengalaman bersama, yang bersifat integratif, bernilai sejarah secara jelas bertindak sebagai kekuatan pengikat. Kedua, Sifat-sifat kultur-sosial yang dimiliki bersama dapat membantu memberikan identitasnya sendiri pada "nation state". Ketiga, interaksi antara bangsa-bangsa yang beraneka-ragam dalam suatu nation-state akan menghidupkan integrasi, khususnya antara orang-orang yang ikut memiliki bersama sifat-sifat sosio-kultural yang bervariasi. Keempat, saling ketergantungan kehidupan ekonomi antar daerah dan sejumlah ketentuan tentang keseimbangan daerah dalam pembangunan ekonomi merupakan hal yang fundamental bagi terwujudnya integrasi nasional.)

Sekarang kita lihat dalam konteks Acheh. Belanda, setelah menjajah Jawa dan menjadikannya bagian dari Hindia Belanda selama 300 tahun, mengadakan invasi ke Acheh pada tahun 1873, dengan orang-orang Jawa sebagai sedadu upahan mereka untuk membunuh rakyat Acheh. Bahkan dalam catatan Belanda sendiri, serdadu upahan dari Jawa ini lebih kejam dan biadab dibandingkan dengan tuan mereka orang Belanda. Disini jelas dimensi pertama, 'pengalaman historis, integratif yang sama yang bersifat mengikat (cohesive)' antara Acheh dan Jawa sama sekali tidak ada.

Acheh dan Jawa tidak memiliki unsur sosio-budaya yang, jangankan sama, mirip saja tidak.Acheh punya bahasa sendiri, Jawa bahasa sendiri; Acheh makan asam sunti, Jawa makan oncom; Acheh pakai baju tulokbeulanga dan kupiah meukutop, Jawa pakai tak pakai baju tapi pakai blankon (lihat upacara perkawinan ala Jawa); Acheh ada tari seudati dan ranub lampuan, Jawa ada wayang wong, wayang golek dan ketoprak; Acheh pakai rencong disemat di depan, Jawa pakai keris sembunyi di belakang; Acheh punya konstitusi dan sistem pemerintahan sendiri, Jawa punya Semar, Joyoboyo dan Lara Kidul; Acheh menyembah Allah, Jawa menyembah tuannya; Acheh menolak invasi Belanda sampai berperang hampir 70 tahun, Jawa menerima Belanda dengan tangan terbuka dan menjadi bagian Hindia Belanda lebih 350 tahun. Jadi dimensi kedua "Sifat-sifat kultur-sosial yang dimiliki bersama dapat membantu memberikan identitasnya sendiri pada "nation state" antara Acheh dan Jawa samasekali juga tidak ada.

Bagaimana dengan dimensi ketiga, 'yaitu interaksi antara bangsa-bangsa yang beraneka-ragam dalam suatu nation-state akan menghidupkan integrasi, khususnya antara orang-orang yang ikut memiliki bersama sifat-sifat sosio-kultural yang bervariasi'? Acheh tidak pernah pergi ke Jawa untuk membunuh orang Jawa, karena dalam kehidupan bangsa Acheh ada nilai yang dipegang kuat yaitu hidup bersama secara bersahabat sesuai sunnah Allah dan RasulNya, Jawa dengan sadis dan biadabnya membunuh bangsa Acheh, pertama pada tahun 1393 ketika tentera Mojopahit menyerang Keurajaan Acheh Peureulak dan Tamiang, sehingga sampai sekarang rakyat setempat menamakan kampung tersebut dengan 'Manyak Payet" (Mojopahit dalam lahjah lidah orang Acheh); bangsa Acheh menepati janji, yaitu janji membantu Sukarno ikut berperang melawan invasi Belanda dan bantuan pesawat terbang, kami tepati dengan ikut bersimbah darah, bertaruhkan nyawa di medan perang Medan Area dan rakyat kami membeli pesawat terbang, karena menepati janji sudah menjadi nilai kultur bangsa Acheh; Jawa berjanji yang muluk, tapi Acheh dicaplok, dileburkan menjadi bagian Sumatra Utara tanpa meminta persetujuan rakyat Acheh, dan ketika rakyat Acheh marah, Sukarno Jawa mengirim pasukan tentera dan membunuh beribu-ribu rakyat Acheh - suatu cara Jawa berterimakasih kepada yang berjasa kepadanya; rakyat Acheh berbagi rasa dengan Jawa (INKRI), tapi Jawa menyedot hasil sumber alam dan kayu Acheh selama berpuluh tahun, rakyat Acheh dibiarkan papa tanpa suatu apa dari sumer yang dimiliki dari tanah tumpah darah pahlawan mereka; ketika rakyat Acheh meminta hak mereka menentukan masa depan mereka secara damai dengan referendum, NKRI Jawa mengirim pasukan tentera dan membunuh beribu-ribu rakyat bangsa Acheh. Memang bagi yang bukan bangsa Acheh, tidak bisa merasakan kedhaliman penguasa NKRI Jawa itu.

Integrasi pada dimensi keempat, yaitu 'saling ketergantungan kehidupan ekonomi antar daerah dan sejumlah ketentuan tentang keseimbangan daerah dalam pembangunan ekonomi merupakan hal yang fundamental bagi terwujudnya integrasi nasional' juga samasekali tidak bisa wujud karena ulah dari penguasa NKRI sendiri. Orang Acheh untuk buka usaha harus menempuh perjalanan dua jam setengah kalau dengan peswat terbang, tiga hari tiga malam kalau dengan kapal laut, atau empat hari empat malam dengan jalan darat, pergi ke Jakarta untuk mengurus perizinan, kalau tidak, diurus oleh cukong dengan tambahan biaya yang tidak sedikit, orang Jawa, tinggal naik kereta api ekpres dari setiap jurusan, tiba di Jakarta dengan enak, langsung urusan selesai; orang Acheh ketika di Jakarta tanpa koneksi, orang Jawa koneksinya cukup dengan menyebutkan namanya "----o', urusan lancar, apalagi kalau bisa bicara bahasa Jawa; orang Acheh untuk mendapat beasiswa ke luar negeri harus lewat saringan orang Jawa di Jakarta, orang Jawa disaring oleh orangnya sendiri, ya lansung selesai; orang Acheh tamatan universitas, S2 dan S3nya di Jawa, orang Jawa S2 dan S3nya di sebelah rumah; orang Acheh kuliah dan sekolah dengan fasilitas hasil nyembah ke Jawa, orang Jawa kuliahnya dengan fasilitas langsung dari istana negara, begitu mudahnya; Acheh dikunjungi oleh investor dan diplomat atau tamu asing boleh dikatakan langka, Jawa hampir setiap hari; Acheh dan daerah luar Jawa, tempat sarang transmigran, yang merupakan alat penaklukan wilayah tanpa senjata, Jawa tempat bangun berbagai industri, yang produknya di ekspor ke daerah penaklukan; Acheh minoritas di parlemen NKRI, takkan ada peraturan yang menguntungkannya bisa gol dengan 12 orang wakilnya disana, Jawa ya memang hampir semuanya orang-orangnya tambah lagi orang luar Jawa yang sudah dikacung hidungnya, tambah lagi militer tukang intimidasi. Itulah semua perbedaannya, dan itulah semua perimbangannya; adakah disini integrasi?

Sekarang aparat NKRI mengatakan pemerintah akan memperhatikan Acheh, dengan otonomi Acheh akan jaya. Bagi orang yang belum pernah merasakan pedihnya tipuan dan pengkhianatan, hal itu mungkin bisa menjadi penawar. Bagi rakyat Acheh, janji pengkhianat, dan pengkhiatan itu bukan sekali dua kali tapi sudah puluhan kali, tak bisa lagi mendapat tempat dihatinya. Pengkhianatan paling akhir NKRI adalah mensabotase CoHA dalam pertemuan Tokyo. Apapun alasan yang diberikan penguasa NKRI, pembatalan CoHA itu adalah pengkhianatan yang kejam dan biadab. Padahal pihak NKRI sendiri telah tahu dari awal yang CoHA itu belum final dan lewat CoHA tersebut sungguh banyak yang bisa dikembangkan untuk membangun kepercayaan di hati rakyat Acheh. Tapi aparat NKRI mensabotasenya dan mengumumkan perang terhadap Acheh. Padahal semua orang tahu, NAD itu belum mewakili aspirasi rakyat Acheh. Draf awal dari NAD itu sendiri telah dirubah sedemikian rupa oleh penguasa NKRI sehingga tidak menggambarkan sedikitpun aspirasi asli rakyat Acheh.

Kepada penguasa dan aparat NKRI, saya sampaikan peringatan Rasulullah SAW: "Takutilah do'a orang teraniaya. Do'anya langsung dikabulkan Allah tanpa hijab." Juga peringatan Rasullullah SAW: "Mencaci maki orang Islam pelakunya menjadi fasik, dan membunuhnya pelakunya menjadi kafir (jatuh kepada golongan kafir sekalipun dia Islam secara lahir)". Lagi peringatan Rasullullah SAW: "Sesiapa yang mengacungkan senjata kearah umat kami (orang mukmin muslimin), maka ia bukan lagi bagian dari kami (Islam). Semua hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Aparat NKRI akan melihat sendiri isi kotak pandora yang selama ini mereka simpan dan tutup dengan rapi. Kotak pandora Soviet sudahpun dibuka paksa oleh zaman, yang semua orang tak pernah bisa membayangkan sebelumnya; Syah Iran, tak pernah dibayangkan bisa tumbang, juga Marcos, juga apartheit di Aftika Selatan; juga Yugoslavia tak pernah dibayangkan bisa berantakan. Hitler, betapa hebatnya. Do'a orang teraniaya langsung Allah mengabulkannya. Dalam hal kedhaliman, Allah dengan Sifat RahmanNya memandang manusia sama. Siapa yang berlaku dhalim sekalipun muslim, akan hancur karena doa'a orang yang dhaliminya; kalau dia adil sekalipun dia kafir, Allah akan membantunya di dunia, sedangkan balasan akhirat sesuai dengan kekafirannya. Demikian tegasnya ajaran Islam tentang hal yang satu ini sehingga Ibnu Khaldun, ahli sejarah Islam yang terkenal itu sampai berfatwa: "Kekal sesebuah kekuasaan walaupun pemegangnya kafir tapi adil, tidak kekal sesuatu kekuasaan walaupun pemegangnya muslim tapi dhalim.

Wassalam,

Nurdin Abdul Rahman

ndin_armadaputra2002@yahoo.com
Sydney, Australia
----------