Stockholm, 17 Maret 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

MUHLISH & MARGIYONO: SATUKAN MASSA DEMOKRATIS UNTUK HENTIKAN PERANG & TUNTUT REFERENDUM
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

MUHLISH & MARGIYONO SERUKAN: SATUKAN MASSA DEMOKRATIS UNTUK HENTIKAN PERANG DAN TUNTUT REFERENDUM

"Solusi untuk Aceh adalah gerakan massa yang demokratis untuk mengakhiri penindasan TNI di sana. Kekuatan demokratik di Indonesia harus bersatu dengan kekuatan demokratik di Aceh untuk menghentikan perang dan menuntut referendum. Gerakan massa harus muncul di Aceh untuk menuntut referendum, dan muncul di Indonesia dan negara-negara lain untuk menghentikan operasi militer. Rakyat Aceh harus diberi kesempatan berbicara melalui bilik suara secara bebas tanpa tekanan senjata dari GAM maupun TNI. Selama rakyat bungkam, senapan yang terus ngoceh" (Muhlish dan Margiyono, Perhimpuanan Demokratik Sosialis , nasional@pds.or.id , pdsindonesia@yahoo.com )

Terimakasih saudara Bahtiar Rifai di Yogyakarta, Indonesia.

Hari ini, Selasa, 17 Maret 2004, saudara Bahtiar Rifai mengirimkan tulisan yang berjudul Aceh menuju perang permanen yang ditulis oleh saudara Muhlish dan saudara Margiyono dan dipublikasikan dalam situs Perhimpuanan Demokratik Sosialis.

Setelah saya baca tulisan saudara Muhlish dan saudara Margiyono sebenarnya ada satu kelebihan dari para penulis lainnya, dimana dalam tulisan tersebut dimajukan solusi Aceh dalam bentuk penyatuan kekuatan demokratik di NKRI dan kekuatan demokratik di Negeri Aceh untuk menghentikan perang dan menuntut referendum.

Nah saya melihat disini, sasaran dan arah dari penyatuan kekuatan demokratik di NKRI dan di Aceh adalah menghentikan perang yang dikobarkan oleh pihak TNI/POLRI/RAIDER dan mengadakan referendum.

Jelas, solusi ini memang solusi yang cukup jujur, adil dan bijaksana. Dimana, semua persoalan yang menyangkut kemelut dan konflik Aceh penyelesaiannya diserahkan kepada seluruh rakyat Aceh di negeri Aceh melalui cara referendum, yaitu memberikan hak bersuara bagi setiap rakyat Aceh untuk menentukan sikap apakah YA bebas dari NKRI atau TIDAK bebas dari NKRI.

Hanya ada satu kekurangan dalam tulisan saudara Muhlish dan Margiyono diatas, yaitu tidak disebutkan akar masalah yang utama dan sebenarnya mengapa timbul konflik di Aceh ini. Dimana saudara Muhlish dan saudara Margiyono hanya menuliskan dalam bentuk ungkapan: "Masalah nasionalitas di Aceh tidak akan pernah bisa diatasi dengan senjata. Peperangan antara GAM melawan TNI yang berlangsung begitu lama hanya menambah panjang daftar korban, tanpa ada kemajuan demokratis sedikitpun. Ini hanya akan melahirkan perang permanen seperti di Khasmir dan Palestina. Tak akan selesai sampai salah satu pihak musnah. Perang Aceh hanya akan berakhir dengan genocide. Mengerikan!"

Nah, dalam tulisan tersebut saudara Muhlish dan saudara Margiyono mendasarkan kepada masalah nasionalitas di Aceh.

Disini, perlu saya tambahkan dan luruskan bahwa akar utama konflik di Aceh bukan karena masalah nasionalitas di Aceh, melainkan karena Negeri Aceh telah ditelan, dan diduduki oleh pihak Soekarno pada tanggal 14 Agustus 1950 melalui Propinsi Sumatera Utara satu hari sebelum RIS dilebur menjadi NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950 dengan cara menetapkan dasar hukum Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi dan PERPU No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, tanpa mendapat persetujuan, kerelaan dan keikhlasan dari seluruh rakyat Aceh dan pemimpin rakyat Aceh".

Nah itulah, yang menjadi fakta dan bukti, dasar hukum dan sejarah mengenai timbulnya konflik di Negeri Aceh.

Jadi bukan hanya sekedar nasionalitas di Aceh. Melainkan suatu usaha dan agresi Soekarno menelan, merebut, mencaplok, menduduki dan menjajah Negeri Aceh.

Karena itu pihak rakyat Aceh beserta para pimpinan rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI ini telah menyatakan kesiapannya untuk menjalankan hak dan kewajibannya membela Agama, Negeri Aceh dan rakyat Aceh yang telah diduduki dan dijajah oleh pihaki NKRI.

Tentu saja, saya melihat adanya usaha yang baik dari saudara Muhlish dan saudara Margiyono tersebut yaitu melalui cara penyelesaian yang jujur, adil, bijaksana dalam bentuk penyerahan penuh kepada pihak rakyat Aceh untuk menentukan sikap dan keputusannya apakah YA bebas dari NKRI atau TIDAK bebas dari NKRI.

Dimana sebelum usaha referendum ini bisa dijalankan perlu adanya penyatuan kekuatan demokratik yang ada di NKRI dan yang ada di Negeri aceh guna mennyetop dan mengakhir perang yang berkepanjangan di Negeri Aceh, setelah itu baru dilangsungkan referendum.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Tue, 16 Mar 2004 18:46:32 -0800 (PST)
From: Bahtiar Rifai bahtiar_rifai@yahoo.com
Subject: Bapak Ahmad Sudirman, berikut saya kirimkan artikel tg Acheh dari PDS To: Ahmad Sudirman ahmad@dataphone.se

Assalaamu'alaikum wr. wb.

Bapak Ahmad Sudirman, berikut ini saya kirimkan tulisan yang berjudul : ACEH MENUJU PERANG PERMANEN dengan salah satu solusinya : gerakan massa yang demokratis untuk mengakhiri penindasan TNI di sana. Kekuatan demokratik di Indonesia harus bersatu dengan kekuatan demokratik di Aceh untuk menghentikan perang dan menuntut referendum.

Menjadi menarik bagi saya pribadi, karena ini saya dapatkan dari situs Perhimpuanan Demokratik Sosialis ( http://www.pds.or.id/aceh.htm) semoga menambah wacana bagi Bapak Ahmad dan mohon maaf bila ada yang salah.

Wassalaam.

Bahtiar Rifai

bahtiar_rifai@yahoo.com
Yogyakarta-Indonesia
--------------------------

lampiran : http://www.pds.or.id/aceh.htm

ACEH MENUJU PERANG PERMANEN
Oleh MUHLISH dan MARGIYONO

Daerah Operasi Militer (1989-1998) Aceh terulang dengan "merk" baru. Hal itu ditandai oleh instruksi Presiden tanggal 10 Februari 2002 untuk "memilih sikap ofensif" dalam menyelesaikan permasalahan Aceh melalui "penumpasan gerakan separatis dengan sasaran terpilih".

Kebrutalan itu didukung Susilo Bambang Yudoyono yang pada era Gus Dur mengusulkan penyelesaian Aceh secara damai melalui dialog. Yudoyono sesumbar akan menambah tentara ke Aceh, sembilan atau sepuluh kali lipat dari jumlah gerilyawan GAM. Tapi bukan GAM-nya yang hancur, rakyat yang pasti menjadi korbannya. Cara demokratis semisal refendum tidak terlintas sedikitpun di benak pemerintah maupun GAM sekarang.

Tuntutan dan desakan referendum untuk menentukan nasib sendiri tidak mendapat tanggapan positif. Pemerintah pusat memberi solusi Syariat Islam. Penerapan Syariat Islam di Aceh tidak menghentikan kontak senjata GAM-TNI. Penerapan Syariat Islam ibarat memberi obat merah bagi orang yang sakit paru-paru. Aceh yang menghadapi problem nasionalitas, bukan masalah agama, diberi solusi keagamaan. Pemberontakan GAM bertujuan kemerdekaan, gerakan politik yang dibumbui spirit Islam untuk mendapat dukungan mayoritas orang Aceh yang Islami. Setelah Syariat Islam tidak menjadi peredam yang manjur, cara-cara kekerasan kembali marak. Dua belah pihak melakukannya

Tidak aneh kalau Amerika Serikat tak bergeming melihat kebrutalan TNI. Bahkan secara tidak langsung merestui dengan dalih 'perang melawan terorisme'. Amerika Serikat sendiri makin kecanduan perang: menyerbu Afganistan dan mengancam Irak. Kata 'terorisme' mereka jadikan label kematian bagi siapapun yang mengganggu kepentingan bisnis dan politik Paman Sam. Termasuk juga GAM, yang selama ini membuat ketar-ketir perusahaan-perusahaan besar seperti Exxon Mobil. Kepentingan sempit Amerika Serikat ini makin memperumit keadaan: memprovokasi Islam fundamentalis di berbagai negeri.

Perang telah menjadi "bisnis" yang menguntungkan di tengah resesi global. Perdagangan senjata dan pungutan liar adalah bisnis beromset besar. Perang adalah bisnis untuk "melindungi" bisnis.

Dalam sebuah artikel di majalah Pantau edisi Agustus 2002, Exxon Mobil rela merogoh kocek Rp 60.000 setiap harinya, bagi setiap prajurit yang menjaga perusahaan itu. Tentunya Exxon Mobil tidak berani mengeluarkan uang banyak, kalau tidak mendapat keuntungan berlipat-lipat.

Atas nama keadaan darurat, TNI/Polri memeras dengan mencegat setiap kendaraan untuk pungutan sepuluh hingga seratus ribu rupiah di tiap-tiap pos pemeriksaan. Padahal dari Banda Aceh sampai perbatasan Sumatera Utara polisi dan tentara mendirikan puluhan pos pemeriksaan. Seorang sopir mengeluh akibat selama mengendarai truk dari Banda Aceh ke Sumut ia harus menyisihkan Rp 5 juta untuk pungutan ini.

Masalah nasionalitas di Aceh tidak akan pernah bisa diatasi dengan senjata. Peperangan antara GAM melawan TNI yang berlangsung begitu lama hanya menambah panjang daftar korban, tanpa ada kemajuan demokratis sedikitpun. Ini hanya akan melahirkan perang permanen seperti di Khasmir dan Palestina. Tak akan selesai sampai salah satu pihak musnah. Perang Aceh hanya akan berakhir dengan genocide. Mengerikan!

Oleh karena itu, sosialisme berpandangan bahwa masalah Aceh hanya bisa diatasi dengan jalan demokratis: referendum dan solidaritas internasional. Referendum bukan hanya bertujuan mengetahui kehendak mayoritas penduduk di sana (baik asli maupun pendatang), namun juga untuk menjamin agar proses penyelesaian masalah tetap berada di jalur yang demokratis. Proses yang tidak demokratis, semisal perjuangan senjata, hanya mendaur-ulang penindasan. Sekalipun kelompok pro-kemerdekaan Aceh yang memenangkan perang, negara Aceh merdeka akan dikontrol tentara GAM. Kemerdekaan melalui perang tidak bisa mengakhiri konflik Aceh, sebab tentara Indonesia yang masih mengklaim wilayah Aceh akan berusaha mereklaim dengan cara militeristik. Aksi klaim dan reklaim akan terus berulang, seperti di Khasmir dan Palestina. Perang ini pasti berlangsung bergenerasi-generasi, sebab tentara GAM cukup kuat dan menguasai sebagian besar teritori pedesaan. Mereka mengambil taktik gerilya: serang dan lari. Sedangkan tentara Indonesia sangat kuat dan didukung persenjataan lengkap oleh negara-negara imperialis. Dalam kondisi jauh dari perhatian masyarakat Barat, tindakan brutal tentara di Aceh yang didukung Amerika akan semakin mengerikan. Gambaran ke depan mengenai perang Aceh makin jelas: GAM tidak akan mampu mengalahkan tentara, tetapi tentara juga tidak mampu menumpas GAM. Perang permanen!

Solidaritas internasional sangat penting untuk memberikan tekanan tentara Indonesia dan imperialis yang menjadi sekutunya (terutama Amerika Serikat), agar menghentikan operasi militer. Negara-negera yang selama ini membantu TNI -baik dana, persenjataan, maupun latihan militer- hanya bisa ditekan oleh gerakan massa di negara masing-masing.

Aliansi antara kekuatan prodemokrasi di Aceh dengan gerakan di Indonesia belumlah terjalin dengan baik. Kalangan aktivis Aceh tidak mendapatkan dukungan solidaritas secara massif di Jawa. Sementara orang-orang sipil Jawa di Aceh sering mendapatkan teror. Konflik kebangsaan Aceh menjadi rumit, karena dibubui oleh sentimen keagamaan dan rasisme. Situasi ini bukan hanya merugikan orang non-Aceh di tanah rencong, namun juga merugikan orang Aceh di luar wilayahnya. Rasa solidaritas tidak tumbuh di kalangan rakyat di luar Aceh, terutama Jawa, karena nuansa rasisme dalam GAM yang membuat orang Jawa terancam. Yang lebih di sayangkan, gerakan solidaritas di luar negeri tidak muncul. Padahal, solidaritas semacam itu tumbuh di kalangan gerakan buruh dan masyarakat di Barat terhadap Irak, Afganistan dan Palestina.

Tidak munculnya solidaritas yang luas terhadap rakyat Aceh di Indonesia maupun di luar negeri disebabkan kekawatiran terhadap kandungan rasisme dan sentimen keagamaan dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di Irak, Palestina dan Afganistan, sekalipun mayoritas masyarakatnya beragama Islam, dukungan solidaritas bisa muncul dari kalangan masyarakat Barat, bahkan di Amerika sendiri. Masyarakat memprotes kebijakan brutal negaranya atau mendukung kebrutalan di negara-negara tersebut. Solidaritas semacam itu bisa tumbuh karena motifnya mendukung kekuatan demokratis di negara-negara yang ditindas imperialis. Masyarakat Barat tanpa harus membela Taliban memprotes serangan Amerika ke Afganistan.

Oleh karena itu, solusi untuk Aceh adalah gerakan massa yang demokratis untuk mengakhiri penindasan TNI di sana. Kekuatan demokratik di Indonesia harus bersatu dengan kekuatan demokratik di Aceh untuk menghentikan perang dan menuntut referendum. Gerakan massa harus muncul di Aceh untuk menuntut referendum, dan muncul di Indonesia dan negara-negara lain untuk menghentikan operasi militer. Rakyat Aceh harus diberi kesempatan berbicara melalui bilik suara secara bebas tanpa tekanan senjata dari GAM maupun TNI. Selama rakyat bungkam, senapan yang terus ngoceh.***
( http://www.pds.or.id/aceh.htm )
----------