Stockholm, 22 Mei 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

DHIEN ITU MEGAWATI & TNI/POLRI TIDAK INGIN MENGETAHUI AKAR MASALAH ACEH SEBENARNYA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

DHIEN PAYABUJOK HARUS TAHU ITU MEGAWATI & TNI/POLRI TIDAK INGIN MENGETAHUI AKAR MASALAH ACEH SEBENARNYA

"Hallo Mr. Ahmad Sudirman ! Salam kenal !, saya pendatang baru pada milis ini, setelah saya membaca banyak dari milis ini, seperti dari Tengku Lamkaruna Putra, Teuku Mirza dll, kenapa kok selalu bertengkar mengenai siapa dia Teungku Hasan Leube Tanjong Bungong ?, sebaiknya kita biarkan saja dia yang sudah UZUR menghadapi masa tuanya dipengasingan Norsborg. Ada beberapa hal yang saya ingin tanyakan sbb : 1.Kenapa selalu dipertanyakan untuk menyelesaikan konflik di Aceh pihak TNI/POLRI beserta Pemerintah Indonesia untuk segera mengakhiri konflik tersebut, sedangkan pihak GAM tidak dihimbau, padahal yang memulai konflik tersebut adalah pihak GAM beserta Wali Nangroe Hasan Tiro dkk ?. 2.Siapa yang telah mengangkat Hasan Tiro menjadi Wali Neugara Acheh ?, apakah Parlemen Aceh (kalau ada dan apakah ada ?) beserta seluruh rakyat Aceh telah membaiat beliau menjadi Wali Neugara ? dan Kapan ?. 3.Apakah Bapak Ahmad Sudirman berada di Propinsi Aceh pada sekitar tahun 1998 sampai sekarang ?, bagaimana keadaan Aceh setelah GAM mendapat angin setelah Regim Suharto/Orde Baru jatuh ?. 4.Bagaimana keadaan Aceh sebelum dan sesudah Darurat Militer dilaksanakan ? Ini adalah pertanyaan saya kali ini, karena saya yang berada di Aceh dan bekas TNA sudah seharusnya pentolan Gam di Luar negeri melihat kenyataan apa yang telah dilakukan oleh GAM kepada masyarakat Aceh" (Dhien Ubit Payabujok, dhienpayabujok@yahoo.com , Fri, 21 May 2004 22:51:58 -0700 (PDT))

Terimakasih saudara Dhien Ubit Payabujok, mantan TNA yang kalau saya tidak khilaf saudara sekarang sedang berdomisili di Tokyo, Jepang. Kalau salah mohon dibetulkan.

Baiklah saudara Dhien.

Sebenarnya, dalam rangka penghancuran total Negara Aceh, ASNLF atau GAM, pihak NKRI dengan TNI-nya berusaha untuk menjalankan taktik dan strategi apa saja asalkan Negara Aceh, ASNLF atau GAM bisa dihancurkan.

Serangan besar-besaran dalam bentuk serangan terhadap pribadi, keluarga dan perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro oleh pihak Penguasa RI atau NKRI dengan TNI-nya yang dibantu oleh para pendukungnya, seperti misalnya yang dilancarkan oleh Kolonel Laut Ditya Soedarsono, Teuku Mirza, Hidajat Sjarif, Rusmanto Ismail, dan termasuk juga pembongkaran yang menyangkut pribadi Teungku Hasan Muhammad di Tiro oleh Teungku Lamkaruna Putra yang diamini oleh Abu Peureulak adalah salah satu langkah dari taktik dan strategi penghancuran besar-besaran Negara Aceh, ASNLF atau GAM.

Dari sudut itulah saya melihat. Karena itu setiap serangan terhadap pribadi Teungku Hasan Muhammad di Tiro merupakan salah satu langkah dari taktik dan strategi pihak NKRI dengan TNI-nya untuk melumpuhkan dan menghancurkan Negara Aceh, ASNLF atau GAM.

Jadi, saudara Dhien Ubit Payabujok, pembicaraan yang menyangkut siapa itu Teungku Hasan Muhammad di Tiro, keturunannya, sepak terjangnya waktu muda, istrinya, dan yang lainnya itu merupakan salah satu langkah dari taktik dan strategi penghancuran Negara Aceh, ASNLF atau GAM yang dilancarkan pihak NKRI dengan TNI bersama kaki tangannya.

Karena itulah, saya berusaha untuk menanggapi dan menempatkan kembali setiap adanya usaha pembelokan jalur pribadi, keluarga dan perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro kepada tempat dan jalur yang seharusnya sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan oleh rakyat Aceh dari sejak Negara Aceh diserang, diduduki, dijajah oleh Belanda, Jepang dan RI.

Selanjutnya sekarang, saya akan mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh saudara Dhien Ubit Payabujok.

Menyangkut dalam usaha menyelesaikan konflik berdarah Aceh yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini, jelas kunci utamanya ada ditangan pihak Pemerintah RI beserta TNI/POLRI. Mengapa? Karena, sebenarnya akar masalah dari timbulnya konflik berdarah Aceh ini adalah akibat kebijaksanaan Soekarno menjalankan taktik dan strategi politiknya dalam bentuk penelanan, pencaplokan, dan pendudukan Negara-Negara dan Negeri-Negeri yang berada diluar wilayah kekuasaan de-facto RIS dan RI.

Nah, inilah kunci utama yang menjadi akar masalah sebenarnya yang sampai detik ini tidak mau diakui secara jujur oleh pihak Pemerintah RI beserta TNI/POLRI-nya.

Telah dikupas panjang lebar mengenai masuknya Negeri Aceh kedalam tubuh RI yang menjelma menjadi NKRI, ternyata tidak ada fakta, bukti, dasar hukum, dan sejarah yang kuat yang bisa dijadikan sebagai alasan kuat Negeri Aceh bergabung kedalam tubuh NKRI, kecuali ketetapan dasar hukum PP RIS No.21 tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi dan dasar hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara.

Justru ketetapan yang dibuat Presiden RIS Soekarno dalam bentuk PP RIS No.21/1950 dan PERPPU No.5/1950 itulah yang menjadi akar utama timbulnya konflik di Negeri Aceh sampai detik sekarang ini.

Karena itu, apabila ingin konflik ini diselesaikan secara adil, jujur, dan bijaksana, maka dasarnya harus dikembalikan kepada akar utama tersebut.

Nah, jalan utama yang terbaik dalam menyelesaikan konflik Aceh yang diakibatkan oleh akar masalah utama diatas, yaitu serahkan kepada seluruh rakyat Aceh yang akan menentukan nasibnya di masa depan.

Jalan keluar melalui penetapan penentuan pendapat untuk masa depan oleh seluruh rakyat Aceh inilah satu-satunya jalan yang terbaik, adil, jujur dan bijaksana.

Jadi, dalam menyelesaikan konflik Aceh secara damai ini tidak diperlukan tampilnya kekuatan TNI/POLRI, melainkan hanya diserahkan kepada kekuatan dan semangat seluruh rakyat Aceh untuk menentukan masa depannya apakah YA bersama dengan NKRI atau TIDAK bersama NKRI.

Apabila memang benar Negeri Aceh itu masuknya kedalam tubuh NKRI adalah menurut kehendak dan keinginan seluruh rakyat Aceh, maka akan jelas hasil dari penentuan pendapat akan mengarah kepada tetapnya Negeri Aceh dalam kerangka NKRI.

Tetapi, apabila masuknya Negeri Aceh kedalam tubuh NKRI melalui cara dan jalan sepihak tanpa ada kerelaan, tanpa keikhlasan, dan tanpa persetujuan dari pihak seluruh rakyat dan pimpinan rakyat Aceh, maka akan jelas dari penentuan pendapat akan mengarah kepada Negeri Aceh kembali berdaulat sebagaimana sebelum Belanda mendeklarasikan perang kepada Pemerintah Negara Aceh, sebelum Jepang menduduki Negeri Aceh, dan sebelum RIS yang menjadi RI dan menjelma menjadi NKRI menelan, mencaplok,menduduki, dan menjajah Negeri Aceh.

Nah, inilah jalan pemecahan konflik berdarah Aceh yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun itu. Tidak perlu TNI/POLRI dilibatkan, tidak perlu pihak ASNLF atau GAM dihimbau, tetapi serahkan seluruhnya kepada pihak rakyat Aceh untuk menentukan nasibnya di masa depan.

Selanjutnya, pertanyaan saudara Dhien Ubit Payabujok yang menyangkut: "Siapa yang telah mengangkat Hasan Tiro menjadi Wali Neugara Acheh ?, apakah Parlemen Aceh (kalau ada dan apakah ada ?) beserta seluruh rakyat Aceh telah membaiat beliau menjadi Wali Neugara ? dan Kapan ?"

Nah untuk menjawab pertanyaan ini adalah perlu menengok kembali ke jalur cerita diawal, ketika Teungku Hasan Muhammad di Tiro pertama kali setelah 25 tahun berada dipengasingan di Amerika menginjakkan kakinya di bumi Aceh pada hari Sabtu pagi, tanggal 30 Oktober 1976 sekitar jam 8:30 yang disambut oleh utusan wakil dari Muhammad Daud Husin atau dikenal dengan nama Daud Paneuk, di pantai Utara Aceh. Dimana baru petangnya sekitar pukul 18:00 disambut oleh Muhammad Daud Husin dengan grupnya di desa Pasi Lhok Dari 31 Oktober sampai 29 November 1976 berlangsung pertemuan dengan rakyat Aceh, termasuk Dr, Muchtar Hasbi yang pertama kali berjumpa dengan Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Bertemu dengan Teungku Tjhik Umar di Tiro Paman Teungku Hasan Muhammad di tiro, Geutjhik (kepala desa) Uma dan geutjhik Amin dari daerah Tiro. Setelah bertemu dengan para utusan dari seluruh Aceh di Panton Weng dan setelah membicarakan matang-matang tentang langkah langkah perjuangan pelanjutan Negara Aceh yang berdaulat, maka pada tanggal 29 November 1976 secara resmi dibentuk dan berdiri ASNLF (Acheh Sumatra National Liberation Front dan Teungku Hasan Muhammad di Tiro diangkat sebagai ketua dan Dr. Muchtar Hasbi sebagai wakil ketua.

Pada tanggal 29 November 1976 diputuskan untuk pindah tempat kedudukan ASNLF dari Panton Weng ke daerah Tiro dan pada tanggal 30 November 1976 pergi menuju daerah Tiro. Pada hari Jumat sekitar pukul 16:00, tanggal 3 Desember 1976 sampai di daerah Tiro.

Pada tanggal 4 Desember 1976, deklarasi ulangan Negara Aceh yang berdaulat dibacakan di satu tempat yang dinamakan Tjokkan Hill atau bukit Tjokkan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro sebagai ketua ASNLF dan sekaligus sebagai pemimpin perang dan wali negara, sedangkan wakil wali negara dipegang Dr. Muchtar Hasbi. Dan pada saat itu diumumkan kabinet pertama. Tetapi acara pelaksanaan sumpah atau baiat para menteri kabinet baru dapat dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 1977.

Dimana anggota kabinet menteri yaitu Dr. Muchtar Hasbi Menteri Dalam negeri dan wakil Menetri Luar negeri, Dr. Husaini Hasan Menteri Pendidikan dan Penerangan, Dr. Zaini Abdullah Menteri Kesehatan, Dr. Zubir Mahmud Menteri Sosial dan menjabat Gubernur Peureulak, Dr. Asnawi Ali Menteri Tenaga Kerja dan Industri, Mr. Amir Ishak Menteri Perhubungan, Muhammad Daud Husin Komandan Angkatan perang, Teungku Ilyas Leube Menteri Kehakiman, Teungku Muhammad Usman Lampoih Awe Menteri Keuangan, Mr. Amir Rashid Mahmud Menteri Perdagangan, dan Malik Mahmud Menteri Negara (berada diluar negeri).

Seterusnya pertanyaan saudara Dhien Ubit Payabujok menyinggung: "Apakah Bapak Ahmad Sudirman berada di Propinsi Aceh pada sekitar tahun 1998 sampai sekarang ?, bagaimana keadaan Aceh setelah GAM mendapat angin setelah Regim Suharto/Orde Baru jatuh ?."

Tentang keberadaan saya dari tahun 1998 sampai sekarang adalah di Stockholm, Swedia Walaupun tidak berada di Negeri Aceh, tetapi informasi-informasi yang keluar dari Negeri Aceh sampai juga ke meja saja. Karena itu apapun yang terjadi di Negeri Aceh setelah jatuhnya Jenderal Soeharto pada tanggal 22 Mei 1998 sebagian besar bisa diikuti dari Stockholm, Swedia.

Sebenarnya dengan jatuhnya Soeharto yang telah menekan, menindas, membunuh rakyat Aceh dengan menggunakan ABRI-nya dan menerapkan operasi militernya yang dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer) dari tahun 1989 sampai tahun1998, jelas merupakan titik dan kesempatan baru bagi rakyat Aceh untuk mementukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan negara Pancasila atau NKRI. Memang dalam keadaan transisi dari keadaan situasi yang penuh tekanan, ketakutan dan kekejaman, masuk kedalam situasi yang cukup memberikan nafas lega dan keadaan yang aman bagi rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari penagruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI. Hanya saja, periode yang cukup bebas ini tidak lama, setelah Abdurrahman terpilih menjadi Presiden ditetapkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2001 tentang langkah-langkah komprehensif dalam rangka penyelesaian masalah Aceh yang dikeluarkan pada tanggal 11 April 2001.

Nah, ternyata keinginan rakyat Aceh yang termasuk didalamnya para mahasiswa, kaum cendekiawan, intelektual, Ulama menghendaki penentuan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila, rupanya pihak Presiden Abdurrahman Wahid bersama TNI-nya tidak menghendakinya, sehingga keluarlah Inpres Nomor 4 Tahun 2001 tentang langkah-langkah komprehensif dalam rangka penyelesaian masalah Aceh.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan MPR pada tanggal 23 Juli 2001 dgantikan Wakilnya, Megawati, kebijaksanaan politik dan keamanan di Aceh tetap tidak berobah, malahan Inpres Nomor 4 Tahun 2001 diteruskan dengan Inpres No7. Tahun 2001. Dan tidak sampai disitu Megawati mengeluarkan lagi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Peningkatan langkah Komprehensif Dalam Rangka Percepatan Penyelesaian Masalah Aceh yang dikeluarkan pada tanggal 10 Pebruari 2002.

Dengan keluarnya Inpres No.1 tahun 2002, rakyat Aceh makin ditekan dan tidak ada lagi ruang gerak bagi rakyat Aceh untuk menyuarakan penentuan pendapat guna menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI.

Rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI makin ditekan oleh pihak NKRI dan TNI, apalagi setelah perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003 digagalkan oleh pihak RI. Dan pada tanggal 19 Mei 2003 diberlakukan Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 2003 tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikeluarkan pada tanggal 18 Mei 2003 dan diberlakukan pada tanggal 19 Mei 2003 selama 6 bulan dan Keputusan Presiden Republik Indonesia selaku Penguasa Darurat Militer Pusat Nomor 43 Tahun 2003 Tentang Pengaturan kegiatan Warga Negara Asing, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Jurnalis di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2003.

Dengan diberlakukannya Keppres No.28/2003 inilah sebanyak 50 000 pasukan TNI dikirimkan ke Negeri Aceh untuk menekan, menumpas, dan membunuh rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara pancasila atau NKRI.

Dimana Keppres No.28/2003 ini diberlakukan selama satu tahun, setelah diperpanjang satu kali, pada tanggal 19 November 2003.

Walaupun darurat militer yang terkandung dalam Keppres No.28/2003 telah diganti dengan keadaan darurat sipil seperti yang terkandung dalam Keppres No.43/2004 tentang perubahan status keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer menjadi bahaya darurat sipil di Propinsi pada tanggal 19 Mei 2004. Tetapi dalam kenyataannya TNI yang telah ditempatkan di Negeri Aceh tetap tidak ditarik dari Negeri Aceh.

Ini menandakan bahwa pihak TNI memang tidak menghendaki keadaan di Negeri kembali ketangan rakyat sipil, dengan alasan pihak GAM masih belum semuanya bisa ditumpas.
Padahal sebenarnya, bukan GAM yang dijadikan alasan utama, melainkan bahwa Rakyat Aceh jangan sampai bisa mengungkapkan keinginannya untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI, dan Negeri Aceh jangan sampai lepas ke tangan rakyat Aceh.

Jadi, kalau ditelusuri makin kedalam bahwa keadaan Aceh sebelum darurat militer yang didasarkan pada dasar hukum Keppres No.28/2003 adalah tidak jauh berbeda, bahkan ketika masa Abdurahman Wahid dengan Inpres No.4 Tahun 2001 sudah sedemikian menekan dan menjadikan rakyat Aceh makin trauma terhadap TNI. Begitu juga setelah Keppres No.28/2003 diganti dengan Keppres No.43/2004 yang menurunkan darurat militer kepada darurat sipil, ternyata keadaan di Aceh sama saja, apalagi pasukan TNI yang banyaknya hampir 50 000 masih tetap bercokol di Negeri Aceh.

Jadi, kesengsaraan rakyat Aceh yang terjadi setelah Soeharto jatuh pada tanggal 22 Mei 1998, sampai saat ketika Abdurrahman Wahid mengeluarkan Inpres No.4/2001 pada tanggal 11 April 2001, ternyata tidak banyak perubahan dibanding sejak masa Soeharto. Apalagi setelah Presiden Megawati yang menggantikan Abdurrahman Wahid memegang tampuk pimpinan dengan kekuatan TNI/POLRI-nya didasarkan pada Inpres No.7/2001, Inpres No.1/2002, Keppres No.28/2003 dan Keppres No.43/2003, rakyat Aceh makin tertindas oleh kekejaman TNI/POLRI, dengan alasan menumpas GAM.

Padahal GAM adalah wadah perjuangan rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara pancasila atau NKRI yang Negeri-nya telah ditelan, dicaplok, diduduki, dan dijajah oleh pihak NKRI.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk,
amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Fri, 21 May 2004 22:51:58 -0700 (PDT)
From: dhien payabujok dhienpayabujok@yahoo.com
Subject: salam kenal
To: ahmad@dataphone.se

Hallo Mr. Ahmad Sudirman !

Salam kenal !, saya pendatang baru pada milis ini, setelah saya membaca banyak dari milis ini, seperti dari Tengku Lamkaruna Putra, Teuku Mirza dll, kenapa kok selalu bertengkar mengenai siapa dia Teungku Hasan Leube Tanjong Bungong ??, sebaiknya kita biarkan saja dia yang sudah UZUR menghadapi masa tuanya dipengasingan Norsborg.

Ada beberapa hal yang saya ingin tanyakan sbb :

1.Kenapa selalu dipertanyakan untuk menyelesaikan konflik di Aceh pihak TNI/POLRI beserta Pemerintah Indonesia untuk segera mengakhiri konflik tersebut, sedangkan pihak GAM tidak dihimbau, padahal yang memulai konflik tersebut adalah pihak GAM beserta Wali Nangroe Hasan Tiro dkk ???.

2.Siapa yang telah mengangkat Hasan Tiro menjadi Wali Neugara Acheh ??, apakah Parlemen Aceh (kalau ada dan apakah ada ??) beserta seluruh rakyat Aceh telah membaiat beliau menjadi Wali Neugara ?? dan Kapan ?

3.Apakah Bapak Ahmad Sudirman berada di Propinsi Aceh pada sekitar tahun 1998 sampai sekarang ?, bagaimana keadaan Aceh setelah GAM mendapat angin setelah Regim Suharto/Orde Baru jatuh ?.

4.Bagaimana keadaan Aceh sebelum dan sesudah Darurat Militer dilaksanakan ?

Apakah Bapak A. Sudirman bagaimana perasaan kami yang tinggal di Aceh selama kurun 1998 s/d 2002 ?, bagaimana sengsaranya kami disini, bepergian, bekerja, bertani juga sangat sulit pada waktu tersebut, belum lagi pajak nangroe yang tidak tentu arahnya yang diminta oleh panglima-panglima perang GAM yang tidak menentu jalur Komandonya dari atas.

Ini adalah pertanyaan saya kali ini, karena saya yang berada di Aceh dan bekas TNA sudah seharusnya pentolan Gam di Luar negeri melihat kenyataan apa yang telah dilakukan oleh GAM kepada masyarakat Aceh.

Wassalam,

Dhien Ubit Payabujok

dhienpayabujok@yahoo.com
Darussalam, Banda Aceh NAD
Indonesia.
----------