Stockholm, 30 Juni 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

WIRANTO HANYA OBRAL OMONG KOSONG DIDEPAN RAKYAT ACHEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

MEMANG WIRANTO PANDAINYA HANYA OBRAL OMONG KOSONG DIDEPAN RAKYAT ACHEH HARI INI

"Sayalah yang telah mencabut DOM. Saya hanya akan merealisasikan KTA (Kenyang, Tenteram, Aman), karena inilah yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Semua orang pernah jatuh, karena itulah saya menyanyikan lagu (dangdut 'Jatuh Bangun') ini." (Wiranto, asy, detikcom, Lapangan Hira, Lhok Seumawe, 30 Juni 2004). "Saya yakin, Pak Wiranto dan Pak Salahuddin Wahid akan memperhatikan nasib Aceh agar lebih baik. Karena itu, keduanya harus kita dukung" (Akbar Tandjung, asy, detikcom, Lapangan Hira, Lhok Seumawe, 30 Juni 2004)

Memang benar-benar itu Capres Golkar Wiranto telah berbual kosong, isap jempol dan gombal didepan rakyat Acheh dengan menyatakan: "Sayalah yang telah mencabut DOM".

Istilah mencabut DOM adalah istilah gombal made in Wiranto, karena yang sebenarnya itu mantan Menhankan/Pangab Jenderal TNI (Pur) Wiranto pada tanggal 7 Agustus 1998 menyatakan bahwa segera menarik pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri operasi militer. Dan ia juga minta maaf kepada seluruh rakyat Acheh atas tindakan kasar aparat ABRI.

Memang, itu mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI Jenderal TNI (Pur) Wiranto menarik pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri operasi militer, atau menurut istilah Wiranto mencabut DOM, yang diambil dari nama Operasi Jaring Merah. Tetapi itu terjadi setelah hampir dua tahun diperjuangkan oleh seluruh rakyat Acheh untuk dicabut oleh Rezim Soeharto.

Coba perhatikan kronologis singkat bagaimana proses awal ditariknya pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri operasi militer Operasi Jaring Merah atau DOM oleh mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI Jenderal TNI (Pur) Wiranto pada tanggal 7 Agustus 1998.

Dimana kronologis singkat penarikan pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri operasi militer Operasi Jaring Merah atau DOM ini ditulis oleh saudara cdi@aceh.wasantara.net.id dari sumber APC Newsgroup: act.indonesia yang dipublikasikan di www.antenna.nl/indonesie/mn08172.html pada 8 November 1998 dengan diberi judul "Kronologis Pencabutan DOM di Aceh"

Bukan tak lama, berbagai komponen masyarakat Aceh mendesak pemerintah agar daerah operasi militer (DOM) dicabut. Bahkan ada mahasiswa yang sampai mogok makan lebih tiga minggu gara-gara DOM tak diakhiri. Tuntutan itu dipenuhi Pangab Wiranto 7 Agustus lalu, setelah hampir dua tahun diperjuangkan. Berikut kronologi singkatnya. 1

14 Oktober 1996
Rektor Universitas Syiah Kuala Prof Dr Dayan Dawood pada konferensi pers di Darussalam mengatakan, dalam kondisi sekarang, Aceh lebih aman dibanding Jakarta. Karenanya, predikat Aceh sebagai "Daerah Rawan" sudah saatnya dicabut, karena merugikan secara ekonomis, politis, dan psikologis.

24 Oktober 1996
Wakil Gubernur Lembahannas, Prof Dr Juwono Sudarsono mengatakan, berdasarkan kajian mutakhir Lemhannas, Aceh lebih berpeluang dihapuskan dari predikat daerah rawan dibanding Timtim dan Irja, asal Aceh tidak lagi berniat memisahkan diri dari republik.

29 Oktober 1996
Pangab Feisal Tanjung menegaskan, Aceh sudah aman dan terkendali. Tapi, tentang pencabutan predikat daerah rawan, menurutnya, tak boleh gegabah. Semua itu harus dikaji dan dievaluasi.

29 Desember 1996
Kapolda Aceh, Kolonel Pol Drs Suwahyu menilai situasi Aceh sudah cukup aman. Karena itu sudah sepantasnya operasi militer dihentikan, diganti Operasi Kamtibmas.

30 Desember 1996
Pangdam I/BB Mayjen Sedaryanto menyatakan mendukung sepenuhnya keinginan masyarakat Aceh untuk itu. Namun, ia meminta jaminan "hitam di atas putih" sebelum status daerah rawan dicabut.

1997
Selama tahun 1997, desakan terhadap pencabutan DOM atau penarikan pasukan khusus dari Aceh terus dilakukan berbagai kalangan, namun tidak lagi secara terbuka.

Maret-April 1998
Terutama memasuki "Era Reformasi" desakan terhadap pencabutan digelar di mana-mana secara terbuka oleh kelompok-kelompok mahasiswa, para korban, LSM dan berbagai lapisan masyarakat. Para pengunjukrasa itu, baik di Aceh, Medan, maupun Jakarta mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut DOM.

29 Mei 1997
Atas desakan berbagai kelompok masyarakat, terutama mahasiswa, LSM, dan korban DOM, DPRD Aceh melayangkan surat kepada Menhankam RI, yang isinya meminta pencabutan atau peninjauan status daerah operasi militer.

8-22 Juni 1998
Karena DOM belum dicabut, 13 mahasiswa melakukan mogok makan selama tiga minggu di Kampus Unsyiah, Banda Aceh. Mereka akhirnya berhenti dan merubuhkan tendanya karena harus ikut ujian final. Di bulan ini pula, para kobran DOM, terutama janda, mulai secara terang-terangan melaporkan perlakuan sadis pasukan elite yang terlibat "Operasi Jaring" terhadap masyarakat. Laporan itu disampaikan antara lain ke DPR-RI, DPRD Aceh, DPRD Pidie, DPRD Aceh Utara, DPRD Aceh Timur, serta sejumlah LSM, bahkan organisasi pemuda. Bersamaan dengan itu, gedoran para mahasiswa juga semakin gencar.

22 Juni 1998
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh mengusulkan kepada Menhankam/Pangab untuk mencabut DOM dan mengembalikan status "Bumi Serambi Mekkah" sebagaimana dicita-citakan masyarakat.

22 Juli 1998
Karena desakan dan laporan tadi, DPRD-RI membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) "Kasus Aceh". Tim ini diketuai Hari Sabarno yang juga Wakil Ketua MPR/DPR.

26-31 Juli 1998
TPF DPR mencari keterangan dan masukan di Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur sebagai bahan evaluasi masih layak-tidaknya pemberlakuan DOM. Selama berada di Aceh, TPF acap disambut dengan unjukrasa yang menuntut DOM segera dicabut.

29 Juli 1998
Gubernur Aceh, Prof Syamsuddin Mahmud mengirim surat kepada Presiden RI yang isinya minta pencabutan status DOM dan mengakhiri tindak kekerasan di Aceh.

31 Juli 1998
Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Nursyahbani Kantjasungkana SH menyerukan perempuan Indonesia untuk memboikot Pemilu mendatang bila DOM di Aceh tak dicabut.

4 Agustus 1998
Kalangan LSM Aceh dan internasional (Yayasan Leuser Internasional) menyebut pembantaian di Aceh sebagai malapetaka peradaban.

7 Agustus 1998
Menhankan/Pangab Jenderal TNI Wiranto menyatakan segera menarik pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri operasi militer. Dengan kata lain DOM dicabut. Ia juga minta maaf kepada rakyat Aceh atas tindakan kasar aparat ABRI.

17 Agustus 1998
Presiden Habibie minta maaf kepada rakyat Indonesia atas pelanggaran HAM yang terjadi dalam menumpas gerakan separatis.

18 Agustus 1998
Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud minta kepada Presiden Habibie agar pelanggaran HAM selama berlangsungnya operasi militer di Aceh dituntaskan secara hukum.

20 Agustus 1998
250 personil militer nonorganik Aceh ditarik Pangdam I Bukit Barisan meninggalkan Ladang Pembantaian, Aceh. Pada saat yang sama Tim Komnas HAM diketuai Baharuddin Lopa tiba di Banda Aceh. Selama tiga hari melakukan investigasi dan interview dengan korban DOM, serta membongkar empat lokasi dari sekitar sembilan kuburan massal di Pidie dan Aceh Utara. Hasilnya, ditemukan 20 kerangka korban DOM.

24 Agustus 1998
Tim Lopa mengumumkan di Jakarta, akibat Peristiwa Aceh (1989- 20 Agustus 1998) setidaknya 781 orang tewas. Selain itu, 163 orang hilang, 368 orang dianiaya, janda akibat suaminya meninggal/hilang sebanyak 3.000 orang, anak yatim akibat Peristiwa Aceh 15.00-20.000 orang. Bangunan, termasuk perumahan rakyat yang dibakar 98 unit, serta 102 orang wanita diperkosa.

31 Agustus 1998
Seluruh pasukan nonorganik Aceh, yang sudah "berjasa" menorehkan tinta hitam dalam sejarah HAM di Aceh, ditarik mundur. (ika) (cdi@aceh.wasantara.net.id dari sumber APC Newsgroup: act.indonesia yang dipublikasikan di www.antenna.nl/indonesie/mn08172.html , 8 November 1998)

Jadi, apa yang dikampanyekan oleh Wiranto Capres dari Golkar hari ini, Rabu, 30 Juni 2004 di Lapangan Hira, Lhok Seumawe, Acheh itu hanyalah isap jempol dan gombal saja. Apalagi itu dengan janji-janji akan merealisasikan KTA (Kenyang, Tenteram, Aman) menurut istilah Wiranto, bisa dilaksanakan di Negeri Acheh. Wiranto memang tidak mau mengakui dan tidak mau menerima bahwa itu Negeri Acheh ditelan, dicaplok, diduduki, dan dijajah oleh RI sejak Soekarno yang secara hukum pencaplokan sepihak (Pemerintah RIS) dimulai pada tangggal 14 Agustus 1950 dengan PP RIS No.21/1950 dan PERPPU No.5/1950.

Lihat saja, bagaimana itu Wiranto dan rombongan datang ke Lhok Seumawe dikawal dengan ketat pasukan TNI. Bahkan dari sejak mendarat di bandara Malikul Saleh Lhok Seumawe menuju lapangan Hira, Wiranto dan rombongan dikawal pasukan TNI lengkap dengan senjata siap tembaknya.

Karena memang di Negeri Acheh masih terus diduduki dan dijajah RI dengan TNI-nya. Kalau tidak diduduki dan dijajah, mana harus dikawal ketat oleh pasukan TNI segala macam.

Dan juga apa yang dikatakan oleh Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung: "Saya yakin, Pak Wiranto dan Pak Salahuddin Wahid akan memperhatikan nasib Aceh agar lebih baik. Karena itu, keduanya harus kita dukung", tidak lebih dan tidak kurang hanyalah bentuk penipuan licik dari pihak Wiranto Cs terhadap seluruh rakyat Acheh.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/06/tgl/30/time/121631/idnews/170255/idkanal/10

Wiranto: Saya-lah yang Mencabut DOM di Aceh
Reporter: Indra Shalihin

detikcom - Lhok Seumawe, Calon presiden dari Partai Golkar Wiranto berkampanye di Lhok Seumawe, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di depan warga Aceh, Wiranto menyatakan, dirinyalah yang mancabut DOM (daerah operasi militer).

Wiranto menyampaikan hal itu saat kampanye terbuka di Lapangan Hira, Lhok Seumawe, Rabu (30/6/2004). Wiranto didampingi Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung dan Ketua DPP PKB Ali Masykur Musa.

Ribuan orang simpatisan Wiranto yang merupakan warga Partai Golkar dan PKB memadati lapangan itu. Atribut-atribut Partai Golkar dan PKB juga mewarnai lapangan itu.

Di awal orasinya, Wiranto berjanji akan memperbaiki kondisi di Aceh. "Sayalah yang telah mencabut DOM," kata Wiranto yang disahuti tepuk tangan massa.

Karena itu, Wiranto berharap dukungan yang kuat dari rakyat Aceh, agar dirinya bisa menjadi presiden. Wiranto tidak mau menjanjikan hal-hal yang muluk dan membuaikan masyarakat.

"Saya hanya akan merealisasikan KTA, karena inilah yang dibutuhkan masyarakat saat ini," kata Wiranto. KTA yang dimaksud adalah kenyang, tenteram, dan aman.

Setelah berorasi, Wiranto kemudianya menyanyikan lagu dangdut berjudul 'Jatuh Bangun'. "Semua orang pernah jatuh, karena itulah saya menyanyikan lagu ini," kata Wiranto sebelum berdendang. Saat Wiranto menyanyi, massa pun ikut bergoyang.

Kedatangan Wiranto dan rombongan ke Lhok Seumawe ini dikawal dengan ketat. Sejak mendarat di bandara Malikul Saleh Lhok Seumawe, Wiranto dan rombongan dikawal anggota TNI dengan ketat menuju lapangan Hira.

Sementara itu, sebelumnya Akbar Tandjung menyatakan optimis duet Wiranto-Salahuddin Wahid bisa memperbaiki nasib Aceh. "Saya yakin, Pak Wiranto dan Pak Salahuddin Wahid akan memperhatikan nasib Aceh agar lebih baik. Karena itu, keduanya harus kita dukung," ungkapnya.
(asy)
----------