Stockholm, 22 September 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

WAHABIYIN ROKHMAWAN TAKLID & HANYA MENGKOPI UCAPAN PIMPINAN KAUM WAHABI SAJA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

JELAS ITU KELIHATAN WAHABIYIN ROKHMAWAN TAKLID & HANYA MENGKOPI UCAPAN PIMPINAN KAUM WAHABI SAJA

"Anda Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman yakin bahwasanya hadist hadist mengenai sikap seorang mukimin terhadap penguasa yg dzalim adalah ditujukan kepada orang-orang munkmin di bawah pemerintahan atau daulah Islam. Kalau tidak salah alasan anda pada waktu yg lalu adalah jelas itu hadist-hadist di sabdakan pada saat terbentuk Daulah Islam di Madinnah. Nah mengapa anda Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman selalu mengulang-ulang soal takfir (Al-maidah 44, 45, 47) yang di turunkan pada 11 H dan sudah terbentuknya itu pemerintahan islam ?. Wahai Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman seandainya anda tidak menyebutkan atau menunjuk hidung orang islam si A, si B (Amin Rais, SBY dll beserta pengikutnya) memang itu sesuai dengan keyakinan kami tetapi disini anda cs dengan jahilnya menunjuk hidung orang islam tersebut." (Rokhmawan , rokh_mawan@yahoo.com , Tue, 21 Sep 2004 23:43:38 -0700 (PDT))

Baiklah Rokhmawan Agus Santosa dan Salafi di Solo, Jawa Tengah, Indonesia.

Memang kelihatan itu Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi masih tidak memahami dan tidak mengerti apa yang telah diturunkan Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad saw yang tertuang dalam dasar hukum Al-Maidah: 44. Dan tidak menghayati serta tidak mencontoh apa yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw ketika Rasulullah saw pada 1 Hijrah membangun dan membentuk Daulah Islamiyah atau Negara Islam pertama di Yatsrib, Madinah sekarang.

Persoalan yang tidak dipahami karena kedangkalan pengetahuan tentang syariat Islam yang harus ditegakkan dan dijalankan menurut apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw dihubungkan dengan apa yang terkandung dalam dasar hukum Al-Maidah: 44. "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS, Al-Maidah, 5: 44)

Mengapa Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi masih dangkal dalam memahami dalam rangka menegakkan syariat Islam yang dihubungkan dengan QS, Al-Maidah, 5: 44 diatas ?

Karena Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi masih buta tentang kata-kata dan kalimat-kalimat yang dipergunakan dalam dunia hukum. Dengan dipakainya kata "man lam yahkum bimaa anzala Allahu fa ulaaika humul kafiruun". Dimana dipakainya kata "man" menunjukkan kepada subjek atau sipelaku atau orang yang berbuat. Didalam kata dan kalimat hukum perkataan "man" ini sering dinyatakan, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan kata-kata: "Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.(KUHP, Pasal 48). "Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum."(KUHP, Pasal 49, (1)) "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. (KUHP, Pasal 50) "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (KUHP, Pasal 51 (1))

Sekarang dengan memakai dasar hukum inilah jaksa penuntut umum dan hakim dalam satu pengadilan menjatuhkan hukuman atau vonis kepada siterdakwa. Untuk menyatakan si terdakwa itu harus dimasukkan kedalam subjek hukum yang terdapat dalam isi dasar hukum tersebut.

Misalnya kita ambil contoh dasar hukum KUHP Pasal 51 ayat 1: "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (KUHP, Pasal 51 (1))

Nah sekarang, untuk memberikan pokok sipelaku atau subjek yang dimaksud oleh isi dari dasar hukum KUHP Pasal 51 ayat 1 itu, maka jaksa penuntut umum dan hakim meberikan nama-nama subjek atau pelaku pelanggaran tindak pidana hukum itu, misalnya Amien Rais, Akbar Tandjung.

Kemudian disaring, apakah benar Amien Rais dan Akbar Tandjung melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang ? Kalau jawabannya, "ya", maka hukumannya atau vonisnya adalah Amien Rais dan Akbar Tandjung tidak dipidana.

Begitu juga dengan dasar hukum Al-Maidah: 44 "man lam yahkum bimaa anzala Allahu fa ulaaika humul kafiruun (Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir)." (QS, Al-Maidah, 5: 44)

Jadi untuk memberikan siapa itu subjek atau sipelaku atau orang yang berbuat pelanggaran hukum tersebut, maka diberikan nama-nama, misalnya Tony Blair, George W. Bush, Castro, Megawati, Abdurrahman Wahid, Soeharto, Soekarno, Amien Rais, Akbar Tandjung, Susilo Bambang Yudhoyono.

Kemudian kita saring dan teliti orang perorang. Misalnya apakah benar Tony Blair tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah. Begitu juga apakah benar George W. Bush tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah. Juga apakah benar Abdurrahman Wahid tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah. Termasuk juga apakah Susilo Bambang Yudhoyono tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah.

Inilah yang telah disampaikan Allah SWT melalui Rasul-Nya Muhammad saw yang berupada dasar
hukum Al-Maidah: 44.

Kalau dengan penjelasan ini masih juga Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi masih bingung dan tidak paham, maka tidak perlu lagi saudara Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi berdebat melawan Ahmad Sudirman dalam hal syariah Islam yang didalamnya termasuk fiqh ini. Karena memang Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi jahil fiqh.

Dan kalau Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi masih juga tidak mengerti dan tidak memahami bagaimana menegakkan syariat Islam ini, maka itu membuktikan bahwa Wahabiyin Rokhmawan dan Salafi-Solo-Wahabi-Saudi hanyalah taklid buta dan mengkopi apa yang diucapkan oleh pimpinan kaum wahabi dari Saudi saja.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Tue, 21 Sep 2004 23:43:38 -0700 (PDT)
From: rohma wawan rokh_mawan@yahoo.com
Subject: Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman Itu Tauhid Mulkiyah atau Tauhid Hakimiyah Adalah Pernyataan Bid 'ah
To: ahmad@dataphone.se
Cc: serambi_indonesia@yahoo.com, redaksi@acehkita.com, newsletter@waspada.co.id, redaksi@pikiran-rakyat.com, editor@pontianak.wasantara.net.id, jktpost2@cbn.net.id, redaksi@detik.com, redaksi@kompas.com, redaksi@satunet.com, redaksi@waspada.co.id, waspada@waspada.co.id, webmaster@detik.com, kompas@kompas.com, solopos@bumi.net.id, editor@jawapos.co.id, achehmerdeka@yahoo.com, redaksi@sinarharapan.co.id, redaksi@forum.co.id, gatra@gatra.com, koran@tempo.co.id

Bismillaahirrohmaanirroohiim
Assalaamu 'alaikum Wr.Wb

Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman Itu Tauhid Mulkiyah atau Tauhid Hakimiyah Adalah Pernyataan Bid 'ah

Wahai Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman sebelum kutipan artikel di atas saya tuliskan maka jawablah dan dengarkan baik-baik (jangan terbawa emosi, sakithati, balas dendam) pertanyaan dan komentar untuk sekian kalinya.

Anda Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman yakin bahwasanya hadist hadist mengenai sikap seorang mukimin terhadap penguasa yg dzalim adalah ditujukan kepada orang-orang munkmin di bawah pemerintahan atau daulah Islam.

Kalau tidak salah alasan anda pada waktu yg lalu adalah jelas itu hadist-hadist di sabdakan pada saat terbentuk Daulah Islam di Madinnah. Nah mengapa anda Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman selalu mengulang-ulang soal takfir (Al-maidah 44, 45, 47) yang di turunkan pada 11 H dan sudah terbentuknya itu pemerintahan islam ?.

Wahai Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman seandainya anda tidak menyebutkan atau menunjuk hidung orang islam si A, si B (Amin Rais, SBY dll beserta pengikutnya) memang itu sesuai dengan keyakinan kami tetapi disini anda cs dengan jahilnya menunjuk hidung orang islam tersebut.

Mengapa saya katakan jahil ? orang-orang yg pro dengan Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman atau orang-orang yg lugu maka akan menjawab "lhoo buktinya dia (Ahmad Sudirman) pengetahuannya luas" ?.

Maksud dari "jahil" tersebut atau di dalam perkataan, karena mereka jahil terhadap syariat, fikih dan fitrah adalah dikarenakan mereka berguru ( ilmu agama ) kepada orang-orang yang bukan termasuk dalam kategori ulama rabbani atau ulama rusydi.

Atau di dalam firkoh mereka (NII, GAM/TNA, LDII dll) tidak ada satupun yg menjadi ulama rabbani. Makanya setelah saya tanyakan kepada Si Ahlul Ahwa, Ahlul Bid 'ah dan Bahlul Ahmad Sudirman tentang adakah ulama di kalangan NII, GAM/TNA pada saat sekarang ini ?, diapun tidak menjawabnya dengan tegas. Saya katakan secara tegas TIDAK ADA ulama di dalam tubuh NII, GAM/TNA pada saat sekarang. Bagaimana kalau kita hidup tanpa ulama rabbani yg membimbing kita ? hancur dan sesatlah kita. Dengan demikan NII, GAM/TNA adalah orang-orang yang mengutamakan kesesatannya dengan kedok agama islam yg syammil ini. Sudah sesat ditambah menyesatkan lagi karena mereka menyebarkan virus sesatnya kepada orang-orang di Indonesia, aceh dan anak-anak islam di negara-negara asing.

Simak uraian panjang di bawah ini mengenai Al-hakimiyah atau Mulkiyah. Syaikh Suhaib Hasan Abdul Ghafar, ketua Jum'iyatul Qur'an Karim di London, mengajukan pertanyaan kepada Hai'ah Kibaril Ulama' di kerajaan Saudi Arabia.
Walloohu a' lam bi showab.

Wassalaam

Rokhmawan Agus Santosa

rokh_mawan@yahoo.com
rokh-mawan@plasa.com
solo, jateng, Indonesia
----------

Majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997

Syaikh Suhaib Hasan Abdul Ghafar, ketua Jum'iyatul Qur'an Karim di London, mengajukan pertanyaan kepada Hai'ah Kibaril Ulama' di kerajaan Saudi Arabia.

Diantara pertanyaannya yaitu : "Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan 'Tauhid Hakimiyah' sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah Tauhid Ini termasuk dalam pembagian Tauhid yang tiga tersebut (Rububiyah, Uluhiyyah, Asma wa Sifat ALLAH) ? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya ? Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengutamakan Tauhid Uluhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini.Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakanTauhid Asma wa Sifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hakimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini. Benarkah ucapan seperti ini ?

Hai'ah Kibaril Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut : Tauhid itu ada tiga macam yaitu ; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat.
Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.

Adapun berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Uluhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hakimiyah/mulkiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid'ah) yang tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari para imam (Ahlusunnah) sepengetahuan kami.

Bahkan (-dari tiga macam pembagian tauhid di atas, red-) ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macam, yaitu Tauhid Al-Ilmi Al-I'Tiqadi (Tauhid dalam Pengenalan dan Penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat dan yang kedua Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi (Tauhid dalam Meminta dan Menunjukkan) yaitu Tauhid Uluhiyah. Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat.

Kita seluruhnya wajib mengutamakan Tauhid Uluhiyah dan memulai dengan melarang perbuatan syirik. Karena hal itu adalah dosa yang paling besar dan menggugurkan seluruh amal serta pelakunya kekal di dalam neraka. Seluruh para Nabi memulai dakwah mereka dengan memerintahkan agar ibadah kepada Allah semata dan melarang perbuatan syirik.

Sedangkan Allah memerintahkan kita mengikuti dan berjalan di atas manhaj mereka dalam berdakwah kepada Allah dalam semua perkara agama.

Mementingkan ketiga tauhid tersebut wajib di setiap masa. Karena kesyirikan dan penolakan terhadap Asma wa Sifat tetap terjadi, bahkan bertambah banyak dan dahsyat bahaya keduanya di akhir zaman ini. Akan tetapi perkara ini samar bagi mayoritas kaum Muslimin, sedangkan para da'i yang menyeru pada kedua penyelewangan tersebut banyak dan sangat giat.

Kesyirikan tidak hanya terjadi pada zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Penyelewengan Asma wa Sifat pun tidak hanya terjadi pada masa Imam Ahmad. Bahkan pada masyarakat muslim hari ini bertambah besar bahayanya dan bertambah banyak terjadi. Sehingga mereka lebih sangat membutuhkan adanya orang-orang yang melarang kedua penyelewengan tersebut dan menjelaskan bahaya keduanya dengan pengetahun bahwa 'istiqamah' dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya dan mempraktekkan hukum-hukum syariat-Nya adalah termasuk dalam perwujudan tauhid dan keselamatan dari syirik. (Fatwa Hai'ah Kibaril Ulama' Saudi Arabia, [Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 17-18])

Penggunaan kata Hakimiyyah termasuk pembangun dakwah politik (Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Wahai Syaikh kami -semoga Allah memberkahimu- para ulama salaf -semoga rahmat Allah atas mereka- menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu ; Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Sifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana terdapat tauhid yang keempat yaitu 'Tauhid Hakimiyah' atau 'Tauhidul Hukum?' atau tauhid mulkiyah ?

Beliau menjawab : "Al-Hakimiyah, mulkiyah adalah bagian dari 'Tauhid Uluhiyah". Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang 'muhdats' atau bid'ah tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau kau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita bahas. Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata 'hakimiyah' adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa 'hizb-hizb' yang ada pada hari ini.

Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang 'khatib' di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum'at dia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang 'hakimiyah' bagi Allah Azza wa Jalla. Kemudian dia keliru dalam salah satu masalah fiqh.

Ketika selesai shalat Jum'at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya : "Wahai saudaraku engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah". Dia menjawab : "Aku adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpedapat dengan apa yang aku kerjakan itu". Aku berkata : "Subhanallah', engkau berkhutbah bahwa 'hakimiyah' milik Allah Azza wa Jalla dan kalian menggunakan kata itu hanya sekedar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari'at Islam.

Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa 'hakimiyah' itupun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang kau dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan : "Inilah dagangan kami kembali kepada kami".[1]

Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat 'hakimiyah' dan selain 'hakimiyah' yaitu 'tauhid uluhiyah' sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan 'tauhid hakimiyah', maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan kepada para sahabatnya ayat-ayat mulia.

"Artinya : Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah" [At-Taubah : 31] Adi bin Hatim Ath-Tha'i mengatakan : "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak pernah menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah". Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya ; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya ?" Dia berkata : "Kalau demikian memang terjadi". Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Itulah berarti kalian menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah".

Kami juga yang menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkan dari 'tauhid Uluhiyah' atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid'ah dengan tujuan politik seperti mulkiyah, hakimiyah. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa dia sudah termasuk dalam tauhid ibadah, tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata : "Ini Madzhabku". 'Alhakimiyah bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan dari Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sunnahnya. Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan sepertiini.
----------
[1] Ini adalah potongan terjemah ayat yang mengisahkan Nabi Yusuf yang maksud beliau adalah bahwa ucapan orang tadi tentang 'hakimiyah' kalau saja benar yang dimaksudkan adalah mengajak berhukum dengan hukum Allah tentu kata itu adalah dalil buat Syaikh Al-Albani dalam membantah 'muta'ashib' (orang yang ta'ashub) dengan madzhab Hanafi tadi. Yakni berhukumlah dengan hukum kitab wa sunnah jangan berhukum dengan hukum madzhab tertentu. Barangsiapa Menganggap Bahwa Tauhid Hakimiyyah, Mulkiyah merupakan Tauhid Keempat, maka ia Mubtadi' (Ahli Bid'ah) [Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
------------------------------------------------------

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Anggota Haiah Kibaril Ulama dan dosen di Fakultas Syari'ah dan Ushuluddien di kota Qashim, Saudi Arabia, ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hakimiyah), beliau menjawab : "Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut 'tauhid hakimiyah' atau mulkiyah, maka orang tersebut dianggap 'mubtadi'. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang 'jahil' yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun. Yang demikian itu karena 'al-hakimiyah' termasuk dalam tauhid 'rububiyah' dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid 'uluhiyah' (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian 'hakimiyah' tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid 'rububiyyah' tauhid 'uluhiyah' dan tauhid 'asma wa sifat'.

Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : "Saya membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna 'al-hakimiyah ?' Tidak lain mereka akan mengatakan : 'inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Padahal ini adalah tauhid 'rububiyah' Allah. Dia adalah 'Ar-Rabb' (Yang Memelihara), 'Al-Khaliq' (Yang Menciptakan), 'Al-Malik' (Yang Memiliki), 'Al-Mudabbir' (Yang Mengatur segala urusan).

Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka ita tidak bisa memastikannya. Tidak diperbolehkan Meletakkan Tauhid Hakimiyyah atau mulkiyah sebagai bagian Khusus dalam Pembagian Tauhid
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, anggota Haiah Kibarul Ulama di Saudi Arabia dan wakil Mufti' Am urusan fatwa, berkata tentang permasalahan ini. Ketika seorang muslim memperhatikan kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa tauhid ada tiga macam.

1.Tauhid rububiyah yang juga diyakini oleh kaum musyrikin seluruhnya dan tidak ada seorangpun yang menentangnya, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Rabb dan Khaliq (Pencipta) segala sesuatu. Semua jiwa diciptakan di atas tauhid ini. Bahkan Fir'aun yang berkata : 'Ana Rabbukumul A'la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)' (sesungguhnya juga meyakini akan hal ini-pen). Allah berfirman tentang Fir'aun. "Artinya : Mereka (Fir'aun dan kaummnya) mendustakan (risalah yang dibawa oleh Nabi Musa) karena kedhaliman (syirik) dan kesombongannya. Sedangkan jiwa-jiwa mereka meyakininya" [An-Naml : 14]

2.Apa yang ada dalam kitab Allah berupa penjelasan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dalam firman-Nya Ta'ala. "Artinya : Allah memiliki nama-nama yang paling baik, maka berdo'alah kalian kepada Allah dengannya" [Al-A'raaf : 180] Begitu pula sifat-sifat Allah di dalam kitab-Nya. Allah mensifati diri-Nya dengan beberapa sifat dan menamai diri-Nya dengan beberapa nama. Dan termasuk konsekwensi iman adalah 'engkau mengimani nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya'.

3.Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul kepada umat-umat mereka adalah mengikhlaskan agama hanya untuk Allah dan mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah. "Artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya : Tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Aku. Maka hendaklah kalian beribadah kepada-Ku" [Al-Anbiya : 25]

Apabila engkau perhatikan Al-Qur'an, maka engkau akan mendapatkan tauhid dalam pengertian ini.

Allah berfirman. "Artinya : Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit-langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah' "[Luqman : 25] Dan firman-Nya."Artinya : Katakanlah ; siapakah
yang memberi rezki kepadamu dan langit dan bumi atau siapakah yang mampu (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup serta siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka akan mengatakan : 'Allah ?' [Yunus : 31] Lalu Allah berfirman. "Artinya : Kenapa kalian tidak bertaqwa" [Yunus : 31]. Yakni kenapa kalian tidak beribadah kepadaNya dan mengikhlaskan agama hanya bagi-Nya.

Adapaun tentang 'al-hakimiyah', apabila yang dimaksud adalah berhukum dengan syariat Allah, maka termasuk konsekwensi tauhid seorang hamba kepada Allah dan pemurnian ibadah hanya kepada Allah adalah berhukum dengan syari'at-Nya.

Barang siapa meyakini bahwa Allah itu Satu, Esa, Tunggal, Tempat bergantung, tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain-Nya, maka wajib atasnya berhukum dengan syariat-Nya dan menerima agama-Nya serta tidak menolak sedikitpun dari perkara itu.

Dengan demikian, termasuk beriman kepada Allah adalah berhukum dengan syari'at-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, meninggalkan dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta berhukum dengan syari'at Allah dalam setiap keadaan.

Jika demikian halnya maksud 'al-hakimiyah' berarti termasuk dalam tauhid uluhiyah dan tidak boleh menjadikan 'al-hakimiyah' sebagai bagian khusus yang dipisahkan karena ia termasuk bagian dalam tauhid ibadah.

Masalah Al Hakimiyah, Mulkiyah Merupakan Perkara yang Baru (Diada-adakan, sebelumnya tidak dikenal). ( Sumber Rujukan Majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 )
----------