Stockholm, 22 Januari 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

GENCATAN SENJATA GAM-RI MEMBERIKAN KEBEBASAN RELAWAN MILITER & SIPIL ASING & NASIONAL DI SELURUH ACHEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

PERLU ADANYA GENCATAN SENJATA GAM-RI YANG DISEPAKATI SECARA JUJUR UNTUK MEMBERIKAN KEBEBASAN RELAWAN MILITER & SIPIL ASING & NASIONAL DI SELURUH WILAYAH YANG TERTIMPA GEMPA & TSUNAMI DI ACHEH

"Kita akan terbuka mempertimbangkan jika GAM bersedia duduk bersama untuk mencapai rekonsiliasi untuk penyelesaian konflik Aceh. Harapan kita akhir bulan ini dapat diselenggarakan suatu pertemuan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia. Dimana dan kapan, saya belum bisa mengatakan karena ini masih proses. Kita menangkap pesan dan respons positif dari pemimpin-pemimpin GAM. Karena itu kita ingin beranjak dari kontak-kontak di lapangan menjadi kontak dengan pemimpin GAM yang bermukim di Swedia. Konflik Aceh dan bencana tsunami ini makin menderitakan rakyat Aceh. Apalagi recovery yang dibutuhkan memerlukan waktu 5 tahun ke depan. Karena itu tidak ada pengecualian yang lain, yaitu keamanan dan kestabilan politik harus dapat dicapai." (Menteri Luar Negeri Noer Hassan Wirajuda, Kantor Deplu jalan Pejambon Jakarta Pusat, Rabu, 19 Januari 2005)

Mempelajari apa yang dilontarkan oleh Menteri Luar Negeri RI Noer Hassan Wirajuda tersebut menggambarkan adanya keinginan dan usaha pihak Eksekutif RI untuk menyelesaikan konflik Acheh melalui jalur politik, yaitu melalui jalur perundingan kembali. Walaupun dari pihak TNI terutama dari pihak KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu melambungkan sikap negatif terhadap penyelesaian konflik Acheh melalui jalur politik ini. Dimana pihak KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menyatakan: "kuncinya adalah GAM turun gunung, meletakkan senjata, dan bersama- sama membangun Aceh. Dalam ajaran agama Islam ada islah sampai tiga kali. Kalau tidak mau islah, ya diperangi. Tidak ada negara di dalam negara, itu namanya bughot" (Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Banda Acheh, Kamis, 20 Januari 2005).

Pernyataan KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu adalah pernyataan yang gombal. Mengapa ? Karena kalau mau digali lebih dalam, itu yang menyebabkan perundingan-perundingan sebelumnya gagal adalah karena memang pihak RI sendiri yang menggagalkan. Contohnya, seperti pada perundingan terakhir Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama, antara pihak Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dengan pihak Gerakan Acheh Merdeka (GAM) di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003. Pada waktu itu pihak Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Cs, Menlu Noer Hassan Wirajuda, Presiden Megawati, Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong telah menutupkan tirai hitam pekat diatas meja perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama. Dimana penutupan tirai hitam pekat diatas meja prundingan JCM itu dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam poin 3 bagian a yang disodorkan oleh pihak PRI yang berbunyi: "GAM fully accepts the Special Autonomy status provided by the Nanggroe Aceh Darussalam Law within the framework of the unitary state of the Republic of Indonesia and consequently agrees not to seek the independence of Aceh"

Padahal apa yang telah disepakati dan ditandatangani dalam perjanjian Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka (GAM), 9 Desember 2002 di Geneva tercantum dalam mukaddimah dengan jelas bahwa: "Pemerintah Republik Indonesia (PRI) dan Gerakan Acheh Merdeka (GAM) telah terlibat dalam suatu proses dialog sejak bulan Januari 2000 dan setuju bahwa yang menjadi prioritas di Acheh adalah keamanan dan kesejahteraan rakyat dan dengan demikian sependapat akan perlunya menemukan segera suatu penyelesaian damai bagi konflik di Acheh. Dan pada tanggal 10 Mei 2002, PRI dan GAM telah mengeluarkan sebuah Pernyataan Bersama (Joint Statement) yang berbunyi: Berdasarkan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai langkah awal (starting point), sebagaimana yang dibicarakan pada tanggal 2-3 Februari 2002, menuju suatu musyawarah yang menyeluruh (all-inclusive dialogue) yang demokratis dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Acheh yang akan difasilitasikan oleh HDC di Acheh. Proses ini bertujuan untuk menelaah kembali (review) elemen-elemen Undang-Undang NAD melalui ungkapan pendapat rakyat Acheh secara bebas dan aman. Ini akan menuju kepada suatu pemilihan pemerintahan yang demokratis di Acheh, Indonesia. (Penghentian Permusuhan Rangka Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Acheh Merdeka, 9 Desember 2002 di Geneva).

Dari apa yang tertuang diatas menggambarkan bahwa sebenarnya masalah penerimaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah bisa dilaksanakan setelah rakyat Acheh menelaah kembali elemen-elemen Undang-Undang NAD ini melalui ungkapan pendapat rakyat Acheh melalui jalur musyawarah yang menyeluruh dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Acheh dengan difasilitasikan oleh HDC di Acheh secara bebas dan aman dalam rangka membangun pemerintahan yang yang demokratis di Acheh.

Sekarang persoalannya adalah kalau memang ada keinginan yang tulus dan jujur dari pihak RI untuk melakukan rekonsiliasi atau perdamaian atau permupakatan melalui cara gencatan senjata sebenarnya masalah UU No.18/2001, masalah kerangka NKRI, dan masalah penentuan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan RI, itu semuanya diserahkan kepada seluruh rakyat Acheh melalui cara plebisit bukan melalui cara memaksakan kepada pihak GAM untuk menerima UU No.18/2001, menerima kerangka NKRI dan membuang tuntutan kemerdekaan Acheh dalam perundingan, sebagaimana yang pernah dimajukan oleh pihak RI dalam perundingan Joint Council Meeting (JCM) atau Pertemuan Dewan Bersama di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003 yang lalu, yang menyebabkan Pertemuan Dewan Bersama di Tokyo gagal, dan disusul oleh pihak RI mendeklarkan perang melawan ASNLF dengan melambungkan dasar dan sumber hukum Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 2003 tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di Acheh pada tanggal 18 Mei 2003.

Jadi dalam perundingan yang akan direncakan pada waktu dekat ini, itu pihak RI dan pihak GAM harus memfokuskan kepada pembicaraan masalah gencatan senjata yang dinyatakan, diakui dan ditandatangani secara resmi oleh kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga dalam usaha memberikan kebebasan dan melindungi para relawan militer dan sipil asing dan nasional untuk melakukan penyelamatan, pemulihan, rehabilitasi korban gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Tentang waktu yang diberikan kepada para relawan militer dan sipil asing ditentukan berdasarkan telah pulihnya kembali korban tsunami dan telah baiknya kembali infrastruktur yang dibutuhkan. Untuk membantu kelancaran para relawan militer dan sipil asing dalam usaha pemulihan dan rehabilitasi korban tsunami, perlu dicabut Keppres No.43/2003 dan PP No.2/2004. Kemudian pihak TNI dan TNA menahan diri dari saling menyerang satu sama lain selama proses pemulihan dan rehabilitasi korban gempa dan tsunami dan pemulihan infrastruktur masih berjalan.

Jadi tujuan utama dari perundingan antara RI dengan pihak GAM adalah melakukan gencatan senjata berdasarkan kemanusiaan untuk pemulihan dan rehabilitasi korban tsunami melalui cara melindungi dan memberikan jalan seluas-luasnya bagi relawan militer dan sipil asing dan nasional untuk secara bebas masuk ke wilayah-wilayah yang memerlukan bantuan dan pemulihan tanpa merasa takut terancam bahaya baik dari pihak TNI ataupun dari pihak TNA dengan waktu yang disesuaikan dengan telah pulihnya kembali korban gempa dan tsunami dan telah baiknya kembali infrastruktur yang diperlukan. Kemudian dari pihak TNI dan TNA untuk menahan diri dari saling menyerang satu sama lain selama proses pemulihan dan rehabilitasi korban gempa dan tsunami dan pemulihan infrastruktur masih berjalan.

Terakhir mengenai adanya pemikiran dari Menteri Luar Negeri Noer Hassan Wirajuda bahwa Pemerintah Indonesia terbuka untuk mempertimbangkan penghentian proses hukum terhadap 3 tokoh GAM di Swedia dan pengampunan terhadap 2.500 pasukan GAM.

Jelas, itu mengenai penghentian proses hukum terhadap 3 tokoh GAM di Swedia (Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Teungku Malik Mahmud dan Dr Zaini Abdullah) sebenarnya hanyalah alasan yang kosong saja. Karena memang pihak RI, khususnya pihak Kejaksaan RI dan Mabes Polri sudah tidak lagi mempunyai fakta dan bukti kuat yang bisa dijadikan senjata hukum untuk menjerat Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Teungku Malik Mahmud dan Dr Zaini Abdullah. Sampai detik ini itu pihak Jaksa Penuntut Umum di Stockholm, Swedia Tomas Lindstrand tidak lagi mendapatkan fakta dan bukti baru dari pihak RI. Dan ini membuktikan bahwa memang pihak RI sudah menyerah kalah. Sedangkan fakta dan bukti yang diambil dari komputer-komputernya milik Teungku Malik Mahmud dan Dr Zaini Abdullah yang sudah ada ditangan pihak Jaksa Penuntut Umum Tomas Lindstrand, jelas itu isinya akan memberatkan pihak RI. Dimana pihak Jaksa Penuntut Umum Tomas Lindstrand mengetahuinya. Jadi fakta dan bukti yang sekarang ada di tangan Tomas Lindstrand, jelas itu sangat melemahkan posisi pihak RI.

Nah bagi pihak RI untuk tidak malu menyatakan menyerah kalah, maka itu Menteri Luar Negeri Noer Hassan Wirajuda melambungkan pikirannya bahwa Pemerintah Indonesia terbuka untuk mempertimbangkan penghentian proses hukum terhadap 3 tokoh GAM di Swedia. Padahal itu sama saja dengan pemikiran Menteri Luar Negeri Noer Hassan Wirajuda yang gombal, yang tidak punya kekuatan hukum apapun.

Sedangkan adanya tawaran amnesti atau pengampunan dari pihak Susilo Bambang Yudhoyono untuk anggota ASNLF yang menyerah, jelas itu hanyalah umpan gombal yang berisikan racun UU No.18/2001 yang menyesatkan umat Islam Acheh dan umpan yang berisikan racun sistem thaghut pancasila yang membuat rakyat muslim Acheh jadi tersesat dan celaka sehingga Allah SWT menjadi murka.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
----------

RI Pertimbangkan Stop Proses Hukum 3 Tokoh GAM di Swedia
Reporter: Muhammad Atqa

detikcom - Jakarta, Pemerintah Indonesia terbuka untuk mempertimbangkan penghentian proses hukum terhadap 3 tokoh GAM di Swedia dan pengampunan terhadap 2.500 pasukan GAM. Diharapkan Pemerintah Indonesia dan GAM bertemu pada akhir Januari 2005.

"Itu hal yang terlalu dini untuk dispekulasikan. Tapi kita akan terbuka mempertimbangkan jika GAM bersedia duduk bersama untuk mencapai rekonsiliasi untuk penyelesaian konflik Aceh," kata Menlu Hassan Wirajuda.

Hal itu disampaikan dia dalam pernyataan pers tahunan Menlu di Kantor Deplu jalan Pejambon Jakarta Pusat, Rabu (19/1/2005).

Pernyataan itu disampaikan Hassan terkait adanya informasi kalau pada akhir bulan ini ada permanent deal antara GAM dengan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan proses hukum terhadap 3 tokoh GAM di Swedia Teuku Hasan Tiro, Malik Mahmud, dan Zaini Abdullah, serta pengampunan terhadap 2.500 anggota GAM.

"Harapan kita akhir bulan ini dapat diselenggarakan suatu pertemuan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia. Dimana dan kapan, saya belum bisa mengatakan karena ini masih proses," ujarnya.

Menurut dia, ada banyak cara untuk proses rekonsiliasi, termasuk fasilitasi dan intermediasi pihak ketiga akan digunakan. Namun pada titik itu, pihaknya belum bisa membicarakan siapa pihak ketiga tersebut.

"Kita menangkap pesan dan respons positif dari pemimpin-pemimpin GAM. Karena itu kita ingin beranjak dari kontak-kontak di lapangan menjadi kontak dengan pemimpin GAM yang bermukim di Swedia," kata Hassan.

Sejak terjadinya bencana tsunami, tutur dia, ada kontak-kontak antara GAM dengan Pemerintah Indonesia ke arah memperteguh gentleman agreement untuk menuntaskan penyelesaian konflik masalah Aceh. Sekarang ini sedang bergulir di belakang layar ke arah rekonsiliasi yang mungkin bisa dicapai.

"Konflik Aceh dan bencana tsunami ini makin menderitakan rakyat Aceh. Apalagi recovery yang dibutuhkan memerlukan waktu 5 tahun ke depan. Karena itu tidak ada pengecualian yang lain, yaitu keamanan dan kestabilan politik harus dapat dicapai," tukas Hassan. (sss)
http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/01/tgl/19/time/152355/idnews/275953/idkanal/10
----------

STATE OF ACHEH
ACHEH NATIONAL ARMED FORCES (TNA)
CENTRAL MILITARY COMMAND

PRESS RELEASE
January 11, 2005

The Acheh National Armed Forces (TNA) guarantees the safety and free access to all part of Acheh for the international aid workers. We understand that Indonesian Colonial government has issued a warning to international aid workers that it cannot guarantee their safety. It is only a move by the Indonesian colonial who is at tremendous anxiety with the presence of international aid workers and military to scare them away. Attempts have been made for this purpose such as random fire of weapon in the city, dispatching false news about our forces has engaged in harassments of aid delivery. This falsification of news and other hassles by the colonial authority to aid workers and aid distribution have only one goal: to scare away international workers from Acheh. They do not like international involvement in Acheh.

TNA Commander in-Chief

Muzakkir Manaf
----------

State of Acheh
Office of the Prime Minister
C/o Box 130, 145 01 Norsborg, Sweden
Tel. +468 531 83833 Fax: +46 8 531 91275

Press Statement for Immediate Release
12 January 2005

In light of the unfolding drama in Acheh and in an effort to ensure the safe and effective delivery of essential humanitarian assistance throughout Acheh, the Government of Acheh in exile, the PNA/ASNLF, would like to reconfirm its committment of the 26 December 2004, to an unconditional ceasefire throughout Acheh for an indefinite period.

PNA/ASNLF will continue to refrain from initiating all offensive military actions and calls on the RI to publicly make the same committments, thereby ensuring the people of Acheh receive unfettered humanitarian assistance.

We know from experience that making such security arrangements work is difficult. Therefore, we are prepared to meet with the RI to agree the optimum modalities to ensure the succes of the ceasefire and thereby minimize the suffering of the Achehnese people.

Malik Mahmud

Prime Minister in exile
State of Acheh
----------