Stockholm, 9 Maret 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

MUBA, ITU MOSI INTEGRAL NATSIR UNTUK DIJADIKAN ALAT MENCAPLOK ACHEH ADALAH SALAH KAPRAH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

MUBA, ITU MOSI INTEGRAL MOHAMMAD NATSIR UNTUK DIJADIKAN ALAT MENCAPLOK ACHEH ADALAH SALAH KAPRAH

"Mosi integral Natsir yang mengembalikan RIS kepada NKRI, suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan. Dus, penegasan NKRI adalah harga mati dalam penyelesaian masalah Aceh, dapat dipahami sebagai pengulangan mosi integral Natsir, yang mengingatkan umat Islam Aceh akan tanggung jawab sejarah mereka sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia." (Mursalin Dahlan, Bandung, 23 Mei 2003)

Baiklah Muba di Paris, Perancis.

Tulisan saudara Mursalin Dahlan, Ketua Departemen Siarah Sar'iyah MM/Ketua Umum DPD PUI Jawa Barat, yang dimuat Pikiran Rakyat pada tanggal 23 Mei 2003, dan dilampirkan di mimbar bebas ini oleh Muba dari Paris, Perancis. Dimana yang paling duluan ditampilkan adalah pernyataan yang berbunyi: "Mosi integral Natsir yang mengembalikan RIS kepada NKRI, suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan. Dus, penegasan NKRI adalah harga mati dalam penyelesaian masalah Aceh, dapat dipahami sebagai pengulangan mosi integral Natsir, yang mengingatkan umat Islam Aceh akan tanggung jawab sejarah mereka sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia"

Setelah Ahmad Sudirman membaca tulisan saudara Mursalin Dahlan tersebut, ternyata isinya hanyalah merupakan alat penipuan kepada rakyat di RI dan sekaligus kepada rakyat muslim di Acheh. Mengapa ?

Karena, itu yang dinamakan mosi integral atau penyampaian pendapat Mohammad Natsir pada tangal 3 April 1950 dalam Parlemen RIS, bukan dimaksudkan untuk dijadikan alat menelan, dan mencaplok Negeri Acheh oleh Soekarno dengan RIS-nya. Dimana sebenarnya sebelum Itu Mohammad Natsir melambungkan pidatonya yang merupakan suatu pernyataan Natsir mengenai masalah peleburan atau penyatuan atau penelanan Negara/Daera Bagian RIS kedalam tubuh Negara Bagian RI, setelah itu Soekarno cs membuat dasar hukum Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS yang dikeluarkan pada tanggal 8 Maret 1950.

Jadi, sebenarnya itu pidato Mohammad Natsir yang sering digembar-gemborkan oleh para penerus Soekarno dengan sebutan mosi integral adalah merupakan lidah penyambung Soekarno untuk menelan dan melebur Negara/Daerah Bagian RIS kedalam Negara Bagian RI, yang sebulan sebelumnya, yaitu pada tanggal 8 Maret 1950 telah menetapkan dasar hukum Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS.

Karena itu, adalah suatu kebohongan kalau saudara Mursalin Dahlan menyatakan dalam tulisannya itu bahwa "penegasan NKRI adalah harga mati dalam penyelesaian masalah Aceh, dapat dipahami sebagai pengulangan mosi integral Natsir, yang mengingatkan umat Islam Aceh akan tanggung jawab sejarah mereka sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia"

Nah, disinilah kelihatan itu akal bulus saudara Mursalin Dahlan dengan mengatakan bahwa "mengingatkan umat Islam Aceh akan tanggung jawab sejarah mereka sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia".

Bagaimana bisa itu mosi integral yang dinyatakan Mohammad Natsir, sebulan setelah UU Darurat No.11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS dikeluarkan, dianggap sebagai alasan untuk menyatakan Acheh merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia.

Inilah tipu daya Soekarno dan para penerusnya untuk menelan, mencaplok, dan menjajah Negeri Acheh.

Itu mosi integral Natsir bukan merupakan dasar hukum untuk dijadikan alat penjerat dan penelan Negeri Acheh agar masuk kedalam wilayah RIS dan diteruskan kedalam Negara Bagian RI. Alasan tidak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia, adalah alasan yang tidak jelas, dan tidak benar.

Tidak ada itu dinyatakan bahwa karena dengan alasan umat Islam di Acheh merupakan bagian integral umat Islam di Negara-Negara Dan Daerah-Daerah Bagian RIS, maka wilayah Acheh dimasukkan kedalam wilayah de-facto RIS yang selanjutnya dilebur kedalam Negara Bagian RI pada tanggal 14 Agustus 1950.

Jadi, kalau Ahmad Sudirman membaca apa yang dilambungkan saudara Mursalin Dahlan itu, tidak lebih dan tidak kurang adalah merupakan pernyataan yang penuh kebohongan dan penipuan untuk menipu rakyat muslim Acheh dan rakyat di RI yang sudah keracunan sejarah sesat mengenai jalur proses dan pertumbuhan negara RI dihubungkan dengan Negeri Acheh, yang disebarkan oleh para penerus Soekarno.

Karena itulah Mengapa Teungku Muhammad Daud Beureueh memaklumatkan NII di Acheh pada tanggal 20 September 1953, dan bergabung bersama-sama dengan NII Imam SM Kartosoewirjo dari Jawa Barat yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949. Walaupun penggabunagn NII Acheh dengan NII Jawa barat tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 8 Februari 1960, NII Teungku Muhammad Daud Beureueh melepaskan diri dari NII SM Kartosoewirjo untuk masuk menjadi Negara Bagian Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federasi, yang Negara Bagian RPI lainnya diantaranya Permesta, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir Cs. Sebagai Presiden RPI diangkat Sjafruddin Prawiranegara.

Tetapi itu Republik Persatuan Indonesia tidak tahan lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1961 bubar, hanya sebelum RPI bubar, NII Teungku Muhammad Daud Beureueh keluar dari RPI dan membentuk Republik Islam Aceh pada tanggal 15 Agustus 1961.

Jadi, kalau melihat lebih dekat pada maklumat NII di Acheh ini adalah sebenarnya suatu sikap tegas dari pihak rakyat muslim Acheh dan dari Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk menentukan nasib sendiri bebas dari penguasa pancasila atau NKRI Soekarno. Sebagaimana yang ditegaskan dalam maklumat NII Teungku Muhammad Daud Beureueh: "Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam"

Nah, dengan jelas dan gamblang itu Teungku Muhammad Daud Beureueh telah memaklumatkan NII sebagai suatu Negara yang bebas dan berdiri sendiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pancasila atau NKRI dan lenyap pengaruh pancasila di dalam wilayah NII.

Hanya sayang itu Teungku Muhammad Daud Beureueh terjerat tawaran abolisi Soekarno. Karena itu ketika Teungku Muhammad Daud Beureueh mengikuti Musyawarah Kerukunan Rakyat Acheh yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun 1962 yang diselenggrakan Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin, maka secara de-facto dan de-jure itu Teungku Muhammad Daud Beureueh dinyatakan menyerah kepada Soekarno

Tetapi tentu saja, perjuangan untuk pembebasan Negeri Acheh dari kekuasaan pihak Negara pancasila diteruskan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Dimana pada tanggal 4 Desember 1976 Teungku Hasan Muhammad di Tiro mendeklarkan ulang Negara Aceh Sumatera : "We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self- determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976". ("Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17).

Dimana deklarasi ulangan Negara Acheh yang berdaulat dibacakan di satu tempat yang dinamakan Tjokkan Hill atau bukit Tjokkan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro sebagai ketua ASNLF dan sekaligus sebagai pemimpin perang dan wali negara, sedangkan wakil wali negara dipegang Dr. Muchtar Hasbi. Dan pada saat itu diumumkan kabinet pertama.

Dimana anggota kabinet menteri yaitu Dr. Muchtar Hasbi Menteri Dalam negeri dan wakil Menetri Luar negeri, Dr. Zaini Abdullah Menteri Kesehatan, Dr. Zubir Mahmud Menteri Sosial dan menjabat Gubernur Peureulak, Dr. Asnawi Ali Menteri Tenaga Kerja dan Industri, Mr. Amir Ishak Menteri Perhubungan, Muhammad Daud Husin Komandan Angkatan perang, Teungku Ilyas Leube Menteri Kehakiman, Teungku Muhammad Usman Lampoih Awe Menteri Keuangan, Dr. Husaini Hasan Menteri Pendidikan dan Penerangan, Malik Mahmud Menteri Negara (berada diluar negeri) dan Mr. Amir Rashid Mahmud Menteri Perdagangan. Tetapi acara pelaksanaan sumpah atau baiat para menteri kabinet baru dapat dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 1977. (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, page 85, 109).

Tentang tanggal deklarasi Negara Aceh 4 Desember, merupakan simbol jatuhnya Negara Acheh dibawah pimpinan pemimpin perang Teungku Tjhik Maat yang satu hari sebelumnya, 3 Desember 1911 ditembak oleh pasukan Belanda dalam perang di Alue Bhot, Tangse. Jadi pada tanggal 4 Desember 1911 merupakan hilangnya kemerdekaan Negara Acheh.

Berdasarkan tanggal inilah Teungku Hasan Muhammad di Tiro secara simbolis menghidupkan dan meneruskan kembali kedaulatan Negara Acheh yang telah lenyap karena diduduki dan dijajah Belanda, Jepang dan diteruskan dengan pencaplokan oleh RI.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

Date: Wed, 9 Mar 2005 10:10:52 -0800 (PST)
From: muba zir mbzr00@yahoo.com
Subject: Waspadai, Jangan Sampai Aceh Diirakkan AS
To: AcehA_yoosran <a_yoosran@yahoo.com>, Acehabu_dipeureulak <abu_dipeureulak@yahoo.com>, AcehAhmad_mattulesy <ahmad_mattulesy@yahoo.com>, AcehAhmadGPK <ahmad@dataphone.se>, Acehalasytar_acheh <alasytar_acheh@yahoo.com>, acehalchaidar <alchaidar@yahoo.com>, Acehapalambak2000 <apalambak2000@yahoo.ca>, AcehArdi muhammad.ardiansyah@hm.com

"Waspadai, Jangan Sampai Aceh Diirakkan AS" (Mursalin Dahlan, Bandung, 23 Mei 2003)

Muba ZR

mbzr00@yahoo.com
Paris, Perancis
----------

Waspadai, Jangan Sampai Aceh Diirakkan AS
Oleh Dr. H.C. MURSALIN DAHLAN

DALAM penyelesaian masalah Aceh, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati, tegas Presiden Megawati. Kita atau umat Islam sangat setuju. Tanggung jawab, sejarah umat Islam dipertaruhkan. Mosi integral Natsir yang mengembalikan RIS kepada NKRI, suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan. Dus, penegasan NKRI adalah harga mati dalam penyelesaian masalah Aceh, dapat dipahami sebagai pengulangan mosi integral Natsir, yang mengingatkan umat Islam Aceh akan tanggung jawab sejarah mereka sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari umat Islam bangsa Indonesia.

Dalam memenuhi tuntutan tanggung jawab sejarah mereka, rakyat atau umat Islam Aceh secara sukarela bersatu dalam NKRI dengan memberikan pengorbanan harta dan nyawa para syuhada mereka dalam mengenyahkan penjajah kafir. Dengan peranan sejarah mereka yang khas itu, rakyat Aceh dengan gigih menuntut status Provinsi Istimewa, dengan otonomi di bidang agama, hukum adat, pendidikan dan pengelolaan sumber daya alam. Karena pemerintah pusat mengabaikan tuntutan mereka tersebut, Daud Beureueh seorang pemimpin Islam Aceh yang paling berpengaruh, menyatakan Aceh dan daerah-daerah yang berbatasan dengannya menjdi bagian Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwirjo. Pemberontakan Daud Beureueh ini meletus pada bulan September 1953.

Cornelis van Dijk, seorang pakar sejarah Belanda, dalam bukunya Darul Islam; Sebuah Pemberontakan, menulis: "Berbeda dengan pemberontakan-pemberontakan lain yang diilhami Darul Islam, pemberontakan yang khusus ini berakhir secara damai melalui permusyawarahan ketimbang kekalahan militer. Hal ini terjadi sesudah pemerintah pusat pada tahun 1959 akhirnya memenuhi tuntutan rakyat Aceh". Van Dijk menambahkan bahwa Daud Beureueh, pemimpin pemberontakan yang benar-benar terpenting ini, yang merupakan salah seorang pemberontak terakhir yang kembali dari hutan pada tahun 1962, tidak tewas dalam pertempuran atau dihukum mati, tetapi diberi ampun.

Merujuk fakta sejarah yang dikemukakan van Dijk, suatu pemberontakan tidak mustahil dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, sekalipun pemberontakan itu terjadi di Aceh. Oleh karena itu, wajar, bila berbagai kalangan meminta masalah Aceh atau pemberontakan GAM diselesaikan secara musyawarah. Bahkan, pemerintah pun menginginkan masalah GAM dapat diselesaikan secara musyawarah atau dialog (damai).

Kembali ke Daud Beureueh Pemberontakan Daud Beureueh sangat jelas tuntutannya, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Bergabung dengan Negara Islam Indonesia adalah sebagai akibat dari tuntutannya itu, bukan tujuan. Oleh karena itu, begitu tuntutannya dikabulkan pemerintah pusat, dengan serta merta beliau bisa diajak ke meja musyawarah, yang berakhir dengan penyelesaian pemberontakan. Dus, Daud Beureueh tidak menuntut kemerdekaan lepas dari NKRI. Tuntutan utama Daud Beureueh adalah terlaksanakannya Syariat Islam di Aceh atau otonomi Agama dalam Daerah Istimewa Aceh.

Pada umumnya umat Islam Aceh berpegang kepada tuntutan Daud Beureueh. Karenanya, ketika pemerintah pusat memberikan otonomi khusus bagi Aceh (NAD) dan diberlakukannya Syariat Islam, rakyat Aceh menyambut dengan sangat antusias. Kalaulah Daud Beureueh masih hidup, bisa dipastikan, beliau juga menyambut dengan penuh rasa syukur ke khadirat Allah Subhanahuwa Ta'ala.

Ketika kami, delegasi Majelis Mujahidin (MM) di bawah pimpinan ustaz Abu Bakar Ba'asyir diterima Wakil Presiden Hamzah Haz di Istana Wakil Presiden, kami mengemukakan bahwa untuk mensukseskan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, bukan hanya tanggung jawab rakyat Aceh tapi juga pemerintah. Demikian pula dengan daerah lain, seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, wakil presiden sangat memperhatikan dan memahami tentang hal itu serta berjanji untuk selalu membantu mensukseskan pelaksanaan Syariat Islam.

Tuntutan GAM bisa tutup pintu musyawarah Lain Daud Beureueh, lain pula GAM. Tuntutan pemberontakan Daud Beureueh dapat membuka ruang musyawarah seluas-luasnya karena masih dalam ruang lingkup NKRI dan tidak pernah melibatkan negara asing. Tuntutan GAM, sesuai dengan nama gerakan mereka,yaitu: Gerakan Aceh Merdeka alias GAM, maka jelas tujuan akhir mereka adalah merdeka, lepas dari NKRI.

Tuntutan GAM ini tentu saja sangat irasional untuk dapat dibawa ke meja perundingan atau musyawarah. Lain halnya, tuntutan merdeka GAM itu, hanya sebagai taktis politik untuk mendapatkan konsisi yang besar dari pemerintah RI. Bila demikian, membuka meja perundingan dengan GAM akan menjadi rasional, walaupun bagaimana alotnya.

Namun, pemerintah dengan iktikad baiknya, telah berkali-kali membuka perundingan dengan GAM. Pemerintah tentu saja mengharapkan GAM mengubah tuntutan pemberontakannya. Belakangan ini, pemerintah tampaknya lebih bersikap sangat toleran sehingga mengikuti kemauan GAM untuk melakukan perundingan di luar negeri dengan ditengahi oleh HDC, sebuah SLM asing. Namun, hasilnya nihil.

Kegagalan perundingan-perundingan dengan GAM, dapat dipahami, sebagaimana telah kita kemukakan di atas tadi karena GAM belum bersedia mengubah tujuan pemberontakannya. Kunci permasalahannya di sini. Jika GAM, menaruh harga mati pada tuntutan merdeka dan pemerintah menaruh harga mati pada keutuhan NKRI, dapat dipastikan upaya perundingan akan sia-sia belaka.

Kesia-siaan perundingan, senang atau tidak senang akan mengundang perang, apa pun bahasa yang digunakan untuk menghaluskannya, seperti operasi pemulihan keamanan terpadu dan atau semacamnya. Dengan kata lain, perang antara GAM dan TNI merupakan konsekuensi logis dalam upaya menyelesasikan masalah Aceh yang berlarut-larut dan telah gagal di meja perundingan. Sementara itu, GAM telah berhasil mengangkat pemberontakannya ke forum internasional, baik dalam perundingan Jenewa maupun forum-forum lainnya. Berhasilnya GAM membentuk opini internasional dapat mengundang campur tangan negara-negara asing yang berwatak kapitalis ataupun komunis. Politik adu domba yang memang telah menjadi strategi politik imperialis sejak dahulu kala, tentu akan dimainkan mereka terhadap GAM Aceh dengan pemerintah pusat. Apalagi GAM Aceh Islam dan mayoritas rakyat Indonesia Islam, jelas merupakan musuh kapitalis dan komunis yang mau dihancurkan mereka sejak dahulu kala, dengan berbagai cara. Tambahan lagi, bagi negara-negara kapitalis, Indonesia itu adalah negara yang kaya sumber daya alamnya, baik di atas bumi maupun di dalam perut bumi, yang sangat penting untuk mereka kuasai. Jelaslah, Indonesia memenuhi dua syarat penting untuk dikuasai oleh imperialisme dan kapitalisme Barat, yaitu mayoritas Islam untuk dihancurkan dan kekayaan sumber daya alam untuk dieksploitasi.

Gedung Putih Amerika Serikat (AS) telah menugaskan kalangan intel mereka untuk melakukan penyelidikan dengan seksama sekitar gerakan Islam di seluruh dunia (Washington Post, Maret 1979), di masa pemerintahan Jimmy Carter, dengan penasihat keamanannya Brizinsky. Jauh sebelum invasi mereka ke Afganistan dan Irak serta jauh sebelum ustaz Abu Bakar Ba'asyir ditangkap dengan tuduhan teroris.

Tentulah apa yang terjadi di Aceh tidak luput dari pengamatan dan campur tangan operasi intel AS. Melihat alasan-alasan AS untuk melakukan invasi ke Afganistan dan Irak, pemberontakan GAM melawan pemerintah pusat, cukup menjadi dalih bagi AS, untuk ikut campur tangan, baik alasan politik HAM maupun ekonomi, serta alasan tersembunyi untuk menghancurkan Islam. Campur tangan operasi intelijen asing, utamanya AS, harus benar-benar diwaspadai. Harus dicermati, Singapura merupakan pangkalan militer AS (pindahan dari Subik dan Clark Filipina), di depan hidung kita, yang siap untuk bertindak sesuai dengan asumsi mereka tentang situasi Asia Tenggara, bukan asumsi kita. Asumsi kita bagi AS dianggap angin lalu. Tidak hanya asumsi kita, asumsi Prancis, Jerman, Rusia, dan PBB,
juga dianggap angin lalu oleh AS. Oleh karena itu, jangan percaya kepada pandangan AS tentang masalah Aceh.

Percayalah, bila kita keseleo persepsi tentang pandangan AS terhadap Indonesia dalam hal penyelesaian masalah pemberontakan GAM Aceh, harus bersiaplah kita untuk diirakkan oleh AS dan sekutunya. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Walan tardha 'ankal yahuudu walan nashaaraa hatta tattabi'amil latahum." (Q.S. 2/120).

(Penulis adalah Ketua Dept. Siarah Sar'iyah MM/Ketua Umum DPD PUI Jawa Barat. Tulisan ini dimuat "Pikiran Rakyat" Bandung, 23 Mei 2003) ***
----------