Stockholm, 10 Maret 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

MUBA, ITU TAUFIK ABDULLAH DARI LIPI SEMBUNYIKAN SOEKARNO DENGAN RIS-NYA YANG MENELAN & MENCAPLOK ACHEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

MUBA, ITU KELIHATAN DENGAN TERANG TAUFIQ ABDULLAH DARI LIPI SEMBUNYIKAN SOEKARNO DENGAN RIS-NYA YANG MENELAN & MENCAPLOK ACHEH

"Bagaimanakah kepemimpinan Soekarno sebagai presiden harus dinilai? Hanya saja dalam konteks kemasyarakatan dan kesejarahan, pertanyaan yang sederhana ini bisa mendatangkan masalah.Waktu Agresi II dilancarkan (Desember, 1948). Yogyakarta diduduki. Presiden, wakil presiden, serta beberapa menteri ditangkap dan diasingkan. "Republik sudah tak ada lagi". Namun, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di bawah pimpinan Mr Sjafruddin Prawiranegara, berdiri di Sumatera Tengah. Situasi ini memancing PBB untuk mengadakan intervensi. Siapakah pemimpin pemerintahan RI ? Sjafruddin mendapat mandat sebagai pelaksana kekuasaan, tetapi dunia internasional hanya mengenal Soekarno-Hatta. Dengan wibawa pribadi inilah perundingan di bawah pengawasan PBB diadakan. Umur RIS hanya delapan bulan. Pada Agustus 1950 NKRI kembali terwujud. Soekarno dan Hatta menduduki kembali jabatan mereka semula." (Taufik Abdullah, 28 Desember 2004)

Baiklah Muba di Paris, Perancis.

Hari ini Muba mencoba melampirkan tulisan Taufik Abdullah Peneliti Utama LIPI yang telah dimuat di Kompas, pada tanggal 28 Desember 2004 yang lalu, dengan judul "Soekarno, Presiden Pertama (1945-1967)"

Ketika Ahmad Sudirman ada waktu luang, dibacalah itu cerita Taufik Abdullah tentang Soekarno ini. Dari awal Taufik telah mempertanyakan: "Bagaimanakah kepemimpinan Soekarno sebagai presiden harus dinilai?" Lalu dijawabnya sendiri : "Hanya saja dalam konteks kemasyarakatan dan kesejarahan, pertanyaan yang sederhana ini bisa mendatangkan masalah."

Memang benar jawaban tersebut. Karena kalau dilihat dari sudut sejarah, fakta, bukti, dan dasar hukum tentang sepak terjang Soekarno dengan RI, RIS, NKRI dan RI-nya lagi, dan dihubungkan dengan Acheh, Maluku Selatan dan Papua Barat, maka bisa mendatangkan masalah.

Tetapi, ketika Ahmad Sudirman membaca perjalanan sejarah hidup yang digambarkan oleh Taufik Abdullah ini, ternyata banyak jalur sejarah pertumbuhan dan perkembangan RI, yang dihilangkan dan dilewati begitu saja, seolah-olah tidak pernah terjadi dalam proses pertumbuhan dengara RI ini.

Mari kita teliti jalur proses sejarah pertumbuhan dan perkembangan RI yang tidak terungkap atau memang disengaja tidak dilahirkan kepermukaan oleh Taufik Abdullah dan hanya sekedar melihat sejarah Soekarno dari permukaan saja. Misalnya yang sangat menyolok, yang seharusnya seluruh rakyat di Nusantara mengetahuinya, Taufik menulis: "Agresi II dilancarkan (Desember, 1948). Yogyakarta diduduki. Presiden, wakil presiden, serta beberapa menteri ditangkap dan diasingkan. "Republik sudah tak ada lagi". Namun, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di bawah pimpinan Mr Sjafruddin Prawiranegara, berdiri di Sumatera Tengah".

Nah dari apa yang ditulis Taufik yang perlu diluruskan disini adalah ketika RI sudah lenyap secara de-facto dan de-jure, 19 Desember 1948, dan yang muncul Pemerintah Darurat Republik Indonesia, di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara di Acheh, bukan di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Karena wilayah Sumatera telah diduduki oleh Belanda dengan NICA-nya, kecuali wilayah Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, dan Negeri Acheh yang bebas dari pendudukan dan penjajahan Belanda.

Kemudian Taufik menulis lagi: "Konflik bersenjata harus diselesaikan secara damai. Namun, siapakah pemimpin pemerintahan RI ? Sjafruddin mendapat mandat sebagai pelaksana kekuasaan, tetapi dunia internasional hanya mengenal Soekarno-Hatta. Dengan wibawa pribadi inilah perundingan di bawah pengawasan PBB diadakan."

Disinipun itu Taufik telah memberikan gambaran yang salah, dan hanya memberikan kultus pribadi Soekarno yang dihubungkan dengan lahirnya Resolusi PBB No.67(1949) tanggal 28 Januari 1949. Padahal pihak Dewan Keamanan PBB bukan melihat Soekarno yang secara de-facto dan de-jure sudah ditangkap dan ditahan di Pulau Bangka, melainkan yang dilihat oleh DK PBB adalah karena masih adanya lembaga Negara yang mewakili Indonesia, dalam hal ini PDRI di bawah Sjafruddin Prawiranegara. Dan juga didasarkan kepada dasar hukum Perjanjian Linggajati 25 Maret 1947 dan Perjanjian Renville 17 Januari 1948.

Sehingga dengan masih adanya lembaga Negara yang dianggap mewakili Indoneisa inilah yang melahirkan lahirnya Resolusi PBB No.67(1949) tanggal 28 Januari 1949. Dimana dapat dilangsungkan perundingan berikutnya antara pihak PDRI yang diwakili oleh Mohammad Roem dan pihak Belanda yang diwakili oleh Van Royen. Perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen, yang hasilnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Jakarta.

Dimana sebagian isi perjanjian itu adalah turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Dimana Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.

Nah, karena Taufik Abdullah, hanya terpaku kepada pribadi Soekarno saja, maka ketika timbul jalur arus proses sejarah yang melahirkan Perjanjian Roem Royen, dan dibebaskannya Soekarno dan Mohammad Hatta serta dipulangkan kembali ke Yogyakarta. Itu semuanya tidak kelihatan oleh Taufik, atau memang disengaja tidak ditampilkan. Dimana Taufik hanya menulis: "Yogya kembali" (Juni, 1949) dan para pemimpin yang diasingkan dipulangkan. Maka, Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin dan Sudirman. Dengan hati berat, mereka kembali. Persatuan bangsa lebih penting daripada perasaan benar dan legitimasi kekuasaan. Ketika itulah jelas arti sebenarnya dari persatuan bangsa."

Nah, mengenai waktu dibebaskannya Soekarno dan Mohammad Hatta juga ada perbedaan, dimana Soekarno dan Mohammad Hatta dibebaskan pada tanggal 6 Juli 1949 dan bisa kembali lagi ke Yogya.

Dan tentu saja, dengan telah dibebaskannya Soekarno dan Hatta, itu Sjafruddin Prawiranegara memang seharusnya mengembalikan kembali mandatnya kepada pihak Soekarno-Hatta, 13 Juli 1949 di Jakarta, karena sesuai dengan hasil Perjanjian Roem-Royen, dimana Belanda telah mengakui pihak RI sebagai salah satu wakil dalam perundingan KMB. Dan Belanda menyetujui RI sebagai Negara bagian RIS. Dalam usaha penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS Jadi dengan diserahkannya kembali mandat oleh Sjafruddin kepada Hatta, maka PDRI bubar, dan RI hidup kembali dengan berdasarkan payung hukum Perjanjian Roem-Royen, Perjanjian Renville, Resolusi PBB No.67(1949).

Selanjutnya, yang kelihatan sekali tidak disinggung oleh Taufik Abdullah ini adalah yang menyangkut jalur proses pertumbuhan dan perkembangan RI setelah Perjanjian KMB. Dimana salah satu hasil perjanjian KMB ini adalah Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949.

Nah, sesuai dengan hasil Perjanjian Roem Royen 7 Mei 1949, Belanda menyetujui RI menjadi Negara Bagian RIS. Karena itu RI masuk menjadi Negara Bagian RIS dan menandatangani Konstitusi RIS pada tanggal 14 Desember 1949.

Kemudian pada tanggal 15-16 Desember 1949 diadakan sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS dimana para anggota Dewan Pemilihan Presiden RIS memilih Soekarno untuk dijadikan sebagai pemimpin RIS. Pada tanggal 17 Desember 1949 Soekarno dilantik jadi Presiden RIS. Sedangkan untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta yang dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Nah disini, Soekarno sampai dengan tanggal 26 Desember 1949 merangkap dua jabatan Presiden, yaitu Sebagai Presiden RIS dan sebagai Presiden RI Negara bagian RIS. Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949 ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS, maka pada waktu yang sama jabatan Presiden RI diserahkan dari Soekarno kepada Mr. Asaat sebagai Pemangku Sementara dan pada tanaggal yang sama RI menyerahkan kedaulatan kepada RIS.

Sekarang, ternyata fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum, yang tidak diungkapkan dalam cerita Taufik Abdullah tentang RI ini adalah ketika periode RIS setelah diserahi dan diakui kedaulatannya oleh Belanda 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950.

Justru dalam periode inilah telah terjadi perobahan Negara besar-besaran dalam tubuh RIS yang ternyata oleh Taufik Abdullah dianggap sepi atau dianggap tidak berarti perobahan Negara RIS ini. Mengapa ?

Karena Taufik Abdullah hanya menulis: "Umur RIS hanya delapan bulan. Pada Agustus 1950 NKRI kembali terwujud. Soekarno dan Hatta menduduki kembali jabatan mereka semula. Maka, periode dengan sistem kepemimpinan yang kikuk dimasuki. Pemimpin yang paling berpengaruh secara konstitusional hanya berperan sebagai simbol."

Coba perhatikan, itu Taufik hanya menuliskan dengan beberapa baris kata saja, itu periode jalur proses pertumbuhan dan perkembangan RI yang penuh akar utama penyebab konflik yang timbul berkepanjangan sampai detik ini.

Justru pada masa periode 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950 ketika RIS berdiri dan berdaulat, telah mengalami perobahan Negara. Dari RIS, yang secara perlahan Negara-Negara dan Daerah-Daerah Bagian RIS ditelan dan dilebur masuk kedalam tubuh Negara Bagian RI melalui jalur hukum Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS yang dikeluarkan pada tanggal 8 Maret 1950.

Jadi, selama periode 8 Maret 1950 sampai 14 Agustus 1950 terus berlangsung proses penelanan dan peleburan 15 Negara-Negara dan Daerah-Daerah Bagian RIS ditelan dan dilebur masuk kedalam tubuh Negara Bagian RI.

Hany celakanya, yang menimbulkan konflik sampai detik sekarang ini adalah mengenai langkah Soekarno dengan RIS-nya yang menelan wilayah yang berada diluar wilayah de-facto dan de-jure RIS, yaitu wilayah Acheh, dengan memakai PP RIS No.21/1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi yang membagi Negara RI hasil leburan Negara/Daerah Bagian RIS dan Negeri Acheh menjadi 10 daerah propinsi yaitu, 1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur, 4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera - Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan, 8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda - Kecil apabila semua Negara/Daerah Bagian RIS telah dilebur menjadi Negara RI Negara Bagian RIS.

Kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang termasuk didalamnya wilayah daerah Acheh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3. Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara.

Setelah Parlemen dan Senat RIS mensahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia 14 Agustus 1950, maka besoknya, pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dinyatakan bubar dan Negara bagian RI yang telah gemuk karena menelan 15 Negara/Daerah bagian RIS dinyatakan menjelma dan berganti nama dengan nama NKRI.

Nah proses jalur pertumbuhan dan perkembangan RIS, RI, NKRI inilah yang tidak diungkapkan oleh Taufik Abdullah dalam tulisannya tentang Soekarno itu. Dan justru pada masa periode RIS inilah telah terjadi perobahan RIS dan perobahan Negara bagian RI, dan wilayah Acheh.

Jadi, memang karena Taufik Abdullah tidak membongkar sejarah jalur proses pertumbuhan dan perkembangan RIS, RI, dan NKRI pada periode 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950, maka jelas itu rakyat di RI dan di Acheh tidak mengetahui bahwa justru pada masa periode itulah telah terjadi tindakan penelanan dan pencaplokan yang dilakukan Soekarno dengan RIS-nya terhadap Negeri Acheh, yang akibatnya terasa sampai detik sekarang ini.

Dan memang pada masa periode RIS inilah yang selalu ditutup-tutupi oleh para penerus Soekarno ini termasuk oleh Taufik Abdullah Peneliti Utama LIPI ini.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

Date: Thu, 10 Mar 2005 05:30:17 -0800 (PST)
From: muba zir mbzr00@yahoo.com
Subject: Soekarno, Presiden Pertama (1945-1967)
To: AcehA_yoosran <a_yoosran@yahoo.com>, Acehabu_dipeureulak <abu_dipeureulak@yahoo.com>, AcehAhmad_mattulesy <ahmad_mattulesy@yahoo.com>, AcehAhmadGPK <ahmad@dataphone.se>, Acehalasytar_acheh <alasytar_acheh@yahoo.com>, acehalchaidar <alchaidar@yahoo.com>, Acehapalambak2000 <apalambak2000@yahoo.ca>, AcehArdi muhammad.ardiansyah@hm.com

Soekarno, Presiden Pertama (1945-1967) (Taufik Abdullah, ", 28 Desember 2004)

Muba ZR

mbzr00@yahoo.com
Paris, Perancis
----------

Soekarno, Presiden Pertama (1945-1967)
Prof. Dr. Taufik Abdullah

BAGAIMANAKAH kepemimpinan Soekarno sebagai presiden harus dinilai? Dari sudut pengerjaan keilmuan, pertanyaan ini biasa saja. Tinjauan dan penilaian corak dinamika negara tak bisa dilepaskan dari gaya dan efektivitas kepemimpinan presiden sebagai penanggung jawab kenegaraan tertinggi. Hanya saja dalam konteks kemasyarakatan dan kesejarahan, pertanyaan yang sederhana ini bisa mendatangkan masalah.

SOALNYA, sudah sejak dari pembentukan bangsa (nation formation), pencapaian kemerdekaan, sampai dengan dijalankannya proses tanpa henti dari pembinaan negara dan bangsa (state and nation building), Soekarno memainkan peran utama. Jika berandai-andai dibolehkan dalam tinjauan sejarah, meski Soekarno tak ditakdirkan menjadi kepala negara dan pemerintahan (menurut UUD 1945) dan kepala negara saja (kata UUD RIS dan UUD Sementara 1950), namanya akan tetap abadi dalam ingatan sejarah bangsa.

Bagaimana akan terlupakan fakta keras sejarah bahwa pada masa penjajahan, Soekarno adalah pemimpin pergerakan kebangsaan serta pemikir masalah kebangsaan dan kenegaraan yang paling berpengaruh? Hidup yang harus dilaluinya di penjara dan pembuangan adalah konfirmasi atas keabsahan fakta sejarah ini.

Ketika Bung Karno (bersama Bung Hatta) memproklamasikan kemerdekaan, sebuah "batas sejarah" yang tegas antara "sebelum" dan "sesudah" dalam kesadaran sejarah bangsa telah ditegakkan. Ketika keabsahan "batas sejarah" itu hendak diingkari, revolusi yang keras dan berdarah tak terhindarkan.

Benar, Soekarno tidak dipilih secara resmi sebagai presiden, tidak oleh MPR dan tidak pula oleh rakyat secara langsung. Namun, seketika namanya disebut sebagai presiden, di saat itu pula dukungan rakyat dari segala golongan sosial bermunculan. Ia menjadi presiden tanpa kampanye yang melelahkan.

Dari historical hindsight bisa dikatakan, ia menjadi presiden karena keharusan sejarah yang tak terelakkan. Adalah benar bahwa ada perbedaan mendasar antara Pancasila yang diutarakan Bung Karno (seperti termuat dalam Lahirnya Pancasila), dan yang termaktub dalam Pembukaan UUD, tetapi dari sudut sejarah intelektual fakta, ia adalah pencetus Pancasila yang tak tergoyahkan.

Maka, begitulah kehadiran Soekarno dalam sejarah empiris bangsa telah jauh tertanam dalam kesadaran sejarah bangsa. Jika saja sejarah pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan adalah sebuah untaian sastra, kehadiran Soekarno adalah sekian kuplet puisi yang romantik.

Bagaimanakah harus menilainya sebagai presiden? Bagaimanakah tokoh sejarah yang telah menjadi bagian dari mitos bangsa harus dinilai? Tak seorang pemimpin bangsa pun yang mungkin bisa mengulang peran sentral yang pernah dimainkan Bung Karno di atas pentas
sejarah.

Revolusi dan simbol persatuan bangsa

Salah satu perdebatan konstitusional dalam sejarah kita ialah "keanehan" yang terjadi sejak November 1945 sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) bulan Desember 1949. Bagaimanakah harus diterangkan fakta bahwa dalam sistem presidensial yang menjalankan pemerintahan adalah kabinet yang bertanggung jawab pada parlemen (Komite Nasional Indonesia Pusat/KNIP)?

Bung Hatta menjelaskan, sistem presidensial tak dilanggar, tetapi pemerintahan sehari-hari
"dipercayakan" presiden kepada kabinet dan KNIP. Karena itu, presiden bisa saja mengangkat tokoh yang sama untuk memimpin kabinet meski sebelumnya telah dijatuhkan KNIP. Hal ini mungkin bisa dipahami juga karena hampir tak ada kebijakan fundamental yang dijalankan kabinet tanpa pengetahuan presiden-wakil presiden.

Ketika saat-saat kritis sedang dihadapi, hampir selalu dwitunggal yang tampil menyelesaikan. Dalam dinamika politik internal yang berkisar pada hubungan segitiga, presiden-wakil presiden, kabinet, dan KNIP, Soekarno-Hatta tak membiarkan begitu saja kabinet yang dipercayai menjadi sasaran serangan KNIP. Barulah ketika situasi negara kian kritis Presiden Soekarno menunjuk Bung Hatta sebagai Perdana Menteri (1948).

Grand strategy atau bukan, yang jelas adalah kebebasan relatif Bung Karno dari urusan rutin pemerintahan memberinya kesempatan untuk mengunjungi wilayah republik yang kian menyempit. Ia menempuh perjalanan penuh risiko-akibat blokade Belanda-untuk memperkuat
persatuan bangsa dan memperteguh semangat perjuangan. Meskipun ia hanya bisa mengunjungi wilayah Jawa dan Sumatera (diakui de facto wilayah republik), kehadirannya bergema keras di daerah yang secara formal telah ada di luar kekuasaan RI. Hasrat untuk
selamanya menjadi bagian RI inilah yang menyebabkan sekian ratus gerilyawan dari Sulawesi Selatan menyeberang ke Jawa. Kalau begini halnya, mungkinkah sebuah pertanyaan spekulatif terelakkan? "Bagaimanakah jadinya dengan revolusi nasional tanpa Soekarno?" Ketika Presiden Soekarno menantang rakyat untuk memilih "Soekarno-Hatta atau Muso- Amir", hari-hari terakhir dari pemberontakan "golongan kiri" dari yang berpusat Madiun telah bisa diperkirakan.

Pemberontakan komunis di Madiun (1948) terjadi di saat republik sedang dalam situasi paling kritis. Beberapa "negara" yang langsung atau tidak disponsori Belanda telah berdiri, bahkan di Pulau Jawa dan Sumatera. NIT (yang berpusat di Makasar), NST ( Medan) dan Pasundan ( Bandung) seakan telah mengepung RI. Konsesi yang telanjur diberikan dalam Perjanjian Renville pun mengharuskan TNI mengosongkan daerah yang disebut "di belakang garis Van Mook".

Ketika "Peristiwa Madiun" diselesaikan, kekuatan militer Republik telah diperlemah. Waktu inilah Agresi II dilancarkan (Desember, 1948). Yogyakarta diduduki. Presiden, wakil presiden, serta beberapa menteri ditangkap dan diasingkan. "Republik sudah tak ada lagi," kata Jenderal Spoor, konon. Namun, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di bawah pimpinan Mr Sjafruddin Prawiranegara, berdiri di Sumatera Tengah, dan TNI di bawah pimpinan Panglima Besar Sudirman melanjutkan perang gerilya. Situasi ini memancing PBB untuk mengadakan intervensi.

Konflik bersenjata harus diselesaikan secara damai. Namun, siapakah pemimpin pemerintahan RI? Sjafruddin mendapat mandat sebagai pelaksana kekuasaan, tetapi dunia internasional hanya mengenal Soekarno-Hatta. Dengan wibawa pribadi inilah perundingan di bawah pengawasan PBB diadakan.

"Yogya kembali" (Juni, 1949) dan para pemimpin yang diasingkan dipulangkan. Maka, Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin dan Sudirman. Dengan hati berat, mereka kembali. Persatuan bangsa lebih penting daripada perasaan benar dan legitimasi kekuasaan.
Ketika itulah jelas arti sebenarnya dari persatuan bangsa.

Para pemimpin "negara federal" (BFO-15 anggota) datang ke Yogyakarta untuk menghadiri Konferensi Inter Indonesia. Kesamaan sikap didapatkan. Maka, ketika Konferensi Meja Bundar diadakan, Indonesia praktis telah merupakan sebuah front dalam berhadapan dengan
Belanda.

RIS yang berdaulat pun berdiri. dan dengan demikian Soekarno dipilih sebagai Presiden RIS. Namun, ia tetap presiden dari republik yang diproklamasikannya, yang berpusat di Yogyakarta. Ia hanya "dipinjam" RIS. Sesuai dengan keharusan UUD, jika presiden dan
wakilnya berhalangan, ketua parlemen (KNIP) menjadi pemangku presiden (Mr Assaat). Soekarno pulang ke Jakarta. Kedatangannya adalah saat yang terindah. Soekarno adalah simbol hidup dari kemerdekaan dan persatuan bangsa.

Demokrasi parlementer dan paradoks kepemimpinan

Umur RIS hanya delapan bulan. Pada Agustus 1950 NKRI kembali terwujud. Soekarno dan Hatta menduduki kembali jabatan mereka semula. Maka, periode dengan sistem kepemimpinan yang kikuk dimasuki. Pemimpin yang paling berpengaruh secara konstitusional hanya berperan sebagai simbol.

UUD Sementara 1950 bertolak dari prinsip The President can do no wrong-hanya sebagai kepala negara. Di masa partai-partai dan DPR yang berkuasa inilah perbedaan sikap Soekarno, yang tak hendak keluar dari suasana revolusi, dan Hatta, yang menginginkan segeranya konsolidasi kehidupan kenegaraan, tentang negara dan kekuasaan semakin menguak.

Hatta pun meletakkan jabatan dan mitos dwitunggal pun tinggal kenangan (Desember 1956). Bung Karno memantapkan diri sebagai "perumus realitas" tunggal. Di tangannya, Irian Barat, yang masih dikuasai Belanda, tak lagi sekadar claim nasional, tetapi juga saluran nasionalisme-negara yang semakin radikal. Persatuan bangsa dan kesatuan tekad di bawah
kepemimpinan yang revolusioner semakin menjadi keharusan yang tak terelakkan.

"Peristiwa 17 Oktober, 1952"-ketika Bung Karno menolak tuntutan TNI AD untuk membubarkan parlemen (sementara) yang dirasakan telah terlalu jauh mencampuri masalah intern tentara-adalah saat ia tampil sebagai pembela demokrasi. "Aku tak mau jadi diktator," katanya. Peristiwa itu memberikan keyakinan padanya bahwa ia tak bisa menjadi kepala negara yang pasif. Ia pun sadar, pengaruh politiknya jauh melampaui dari yang ditentukan UUD S. Ia pun memakai kesempatan itu. Ketika dasar negara dan bentuk kenegaraan sedang
diperdebatkan, presiden, yang diharapkan ada di atas semua golongan, melibatkan diri. Ia telah berpihak. Meski tetap pemimpin yang paling berpengaruh, Bung Karno tak lagi dilihat sebagai simbol persatuan bangsa.

Pemilihan Umum 1955 yang relatif "bersih" ternyata gagal meratakan jalan bagi terwujudnya kestabilan politik. Empat partai (PNI, Masyumi, NU, dan PKI), yang saling bersaingan dalam politik dan ideologi, tampil sebagai partai terbesar.

Dalam ketidakpastian politik dan landasan negara, Bung Karno memperkenalkan konsepsinya. Ia menyatakan perlunya dibentuk kabinet yang didukung semua partai besar. "Semua kekuatan revolusi berada di meja makan yang sama".

Ia pun membentuk lembaga ekstrakonstitusional, Dewan Nasional. Terpaan berbagai krisis yang berat menyebabkan kabinet hasil pemilu kehilangan wibawa. Presiden pun menunjuk seorang "warga negara yang bernama Sukarno" sebagai formatur kabinet dan mengangkat Djuanda sebagai perdana menteri (1957). Di saat gejala otoritarianisme mulai tumbuh inilah tantangan atas keutuhan negara muncul, pemberontakan PRRI/Permesta, yang bertolak dari kegelisahan daerah dan kekecewaan ideologis, menambah tantangan yang telah lebih dulu diberikan Darul Islam (Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan).

Jenderal Nasution, yang telah diangkat kembali sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, mulai mengampanyekan "kembali ke UUD 1945" yang memberikan kekuasaan berlebih kepada pihak eksekutif. Bung Karno pun kian tertarik dengan bujukan ini.

Kemacetan Dewan Konstituante untuk menentukan dasar negara adalah alasan kuat bagi pemerintah untuk mengajukan UUD 1945. Namun, Dewan Konstituante gagal mendapatkan kesepakatan. Sementara itu, hukum "negara dalam bahaya" telah diumumkan. Maka, pada 5 Juli 1959 dengan sebuah dekrit, UUD 1945 dinyatakan berlaku. Dewan Konstituante pun kehilangan fungsi.

Kepribadian nasional dan revolusi

Kini Soekarno adalah Kepala Negara dan Pemerintahan meski ia meminta Djuanda sebagai Menteri Pertama. Soekarno telah terbebas dari hambatan konstitusional untuk menjalankan peranan kepemimpinannya. Demokrasi parlementer pun digantikan "Demokrasi Terpimpin" yang sesuai dengan "kepribadian nasional" karena bercirikan "musyawarah dan mufakat".

Dengan begini Indonesia memasuki periode ketika "revolusi ditemukan kembali". Parlemen hasil pemilu diganti dengan DPR-Gotong Royong yang diangkat (22 Juni 1960). Maka, masa panjang subordinasi legislatif eksekutif telah dimulai.

Sebuah sistem yang serba sentralistis diletakkan. Batas-batas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dikaburkan dengan menjadikan semua unsur pimpinannya (menteri, Ketua DPR-GR dan MPRS, Mahkamah Agung), termasuk para panglima angkatan bersenjata dan
jaksa agung, menjadi anggota kabinet. Soekarno, yang Presiden, juga Ketua DPA-lembaga yang harus memberikan nasihat kepada presiden.

Ketunggalan sistem kepemimpinan kian utuh saat MPRS menyetujui Soekarno sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" sekaligus "Penyambung Lidah Rakyat". Pidatonya pun menjadi landasan bagi perumusan ideologi instrumental yang disebut Manipol-USDEK, yang dipakai sebagai bahan utama dari program indokrinasi.

Prinsip Nasakom pun dijadikan sebagai tiang kehidupan kenegaraan. Semua lapis pemerintahan harus membayangkan kesatuan "nasionalisme, komunisme, dan agama". Maka, Soekarno, sang Presiden, pun bukan saja "wakil rakyat" yang autentik, tetapi juga menjadi sumber kebijaksanaan dan nilai bangsa. Pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup oleh MPRS adalah keharusan logika biasa saja. Maka, biarlah para ahli mempertanyakan, "Apakah Soekarno telah menjalankan sistem monarki di sebuah negara republik?"

Di bawah Demokrasi Terpimpin, semua pemberontakan dapat diakhiri. Meski dengan biaya ekonomi luar biasa, nasionalisme-negara yang radikal berhasil mengakhiri dominasi ekonomi Belanda dan merintis jalan terselesaikannya masalah Irian Barat. Setelah beberapa bulan di bawah PBB, Irian Barat diserahkan di bawah pengawasan Indonesia sampai nanti, tahun 1969, act of free choise diadakan.

Soekarno, yang telah membagi dunia atas New Emerging Forces dan Old Established Forces, tampil sebagai sebagai salah seorang pemimpin Dunia Ketiga. Namun, di saat ini pula konfrontasi terhadap pembentukan Malaysia dilancarkan. Ketika Malaysia terpilih sebagai anggota tak tetap Dewan Keamanan, Indonesia pun keluar dari PBB.

Akan tetapi, ada harga yang harus dibayar. Dalam pergaulan internasional, Indonesia kian terpencil. Di dalam negeri, keadaan ekonomi rakyat kian terpuruk. Belum sempat Undang- Undang Agraria melaksanakan niat keadilan pemilikan tanah, "aksi sepihak" telah dilancarkan pihak "kiri". Indonesia segera ada diambil konflik agraria yang serius. Proses pemandulan partai politik menyebabkan Presiden Soekarno amat tergantung pada dukungan TNI dan PKI, yang menjadikan dukungannya pada Soekarno sebagai saluran untuk memperkuat dirinya.
Namun, baik struktural maupun ideologis, keduanya ada dalam persaingan yang kian tegang. Ketika Soekarno mulai cenderung menyetujui usul PKI agar dibentuk "angkatan kelima", yang terdiri dari buruh dan tani, dan "Nasakomisasi" ketentaraan, ia harus menemui kenyataan bahwa TNI AD dengan tegas mengatakan "tidak". Ternyata mereka tak pula sendirian.

Maka, terjadilah "malam jahanam" 30 September 1965. Indonesia pun mengalami tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah kontemporernya. Soekarno, Bapak Bangsa yang "gandrung revolusi", telah "dimakan" revolusi yang diciptakan dan dipeliharanya. Ketika akhirnya ia dipanggil Sang Penciptanya (Juni 1970), seluruh bangsa berkabung dan mungkin jauh di lubuk sanubari masing-masing bertanya, "Mengapa harus begini jadinya?"

Penulis adalah Peneliti Utama LIPI Dimuat "KOMPAS", 28 Desember 2004
----------