Stockholm, 1 April 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

SADANAS, ITU ALI SADIKIN ACUNGKAN SUMBER HUKUM PANCASILA, MANA JUDI DIHARAMKAN OLEH SUMBER HUKUM PANCASILA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

SADANAS ALIAS AGUS HERMAWAN, ITU ALI SADIKIN ACUNGKAN SUMBER HUKUM PANCASILA, MANA JUDI DIHARAMKAN OLEH SUMBER HUKUM PANCASILA

"Saya tahu judi itu haram. Tapi kita harus memikirkan masyarakat kecil. Demi judi, saya rela masuk neraka. Tapi saya yakin Allah mengerti apa yang saya perbuat. Saya jengkel dengan orang-orang yang mengaku Islam itu. Mereka merasa dirinya malaikat. Mereka masih berpikir seperti abad ke-15." (Mantan Gubernur Jakarta dua periode (1966-1977) Ali Sadikin, TEMPO No. 04/XXXIV/21 - 27 Maret 2005)

"Bejat amat moral Bang Ali ini. Tolong kang bahas artikel ini" (Agus Hermawan , sadanas@equate.com ,Fri, 1 Apr 2005 01:53:28 +0300)

Baiklah saudara Agus Hermawan alias Sadanas di Kuwait, Al Kuwayt, Kuwait.

Itu Ali Sadikin orang Sunda kelahiran Sumedang, mantan Gubernur Jakarta dua periode 1966-1977, memang tidak memakai dasar dan sumber hukum yang mengacu kepada sumber hukum yang diturunkan Allah SWT dan yang dicontohkan Rasulullah saw.

Jadi, itu Ali Sadikin memang akan berbuat sesuka hati dan seenak udelnya sendiri. Apa yang ada dalam pikirannya, itulah yang menurut Ali Sadikin baik. Seperti judi, itu judi memang ketika ia menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dilegalkan, pelacuran dilegalkan, hal-hal yang berbau haram menurut Islam, itu semuanya tidak ada dalam kamus Ali sadikin ini.

Kalau ada orang yang bicara syariat Islam, terutama dari partai politik PKS yang mendominasi di DPRD Jakarta, maka Ali Sadikin menyatakan: "Itu sikap sok-sokan. Mereka harus sadar kita hidup di abad modern. Jangan merasa hebat dengan Islam-nya. Pemerintah, pengadilan, tentara, semua orang Islam. Tapi toh korupsi nomor satu. Jadi, jangan sombong dengan membawa-bawa Islam. Kalau cuma bicara sambil mengutip ayat, itu cuma untuk mencari popularitas. Mereka mau jadi penguasa."

Jadi, memang wajar saja kalau itu mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin beralasan seperti itu, karena memang otaknya hanya dipenuhi oleh sampah hasil perasan pencasila. Mana itu Ali Sadikin mengenal dan mematuhi yang ini halal, yang itu haram. Karena memang tidak ada batasan dan sangsi hukum halal dan haram dalam sumber hukum pancasila yang dijabarkan kedalam UUD 1945, Tap MPR, UU, PP, Keppres, Inspres, Perppu, KUHP, dan aturan-aturan lainnya.

Nah, itu alasan Ali Sadikin, alasan orang sekuler. Mana itu ada dalam otak orang sekuler, surga dan neraka. Maka wajar saja itu Ali Sadikin mengatakan: "Saya sudah bilang ke Sutiyoso, "Memang nanti Sutiyoso masuk surga. Kalau saya, sih, akan masuk neraka."

Itu soal surga dan neraka, bagi Ali Sadikin tidak begitu sangat dipermasalahkan. Yang sangat dipentingkan oleh Ali Sadikin yang sekuler dan otaknya sudah dipenuhi ampas pancasila adalah "agar bisnis judi di Jakarta mendapat payung hukum. Sebab, Pemda Jakarta bisa mendapat uang Rp 15 triliun per tahun. Kalau memang bisa mendapat uang Rp 15 triliun per tahun dari sumber pemasukan bukan judi, bolehlah mengharamkan judi." Atau itu Ali Sadikin berargumentasi: "Sekarang juga banyak ABG di mal-mal yang menjadi wanita tunasusila. Mengapa tidak kita lokalisasi saja? Itu lebih baik. Saya heran Pemda DKI dan DPRD menutup Kramat Tunggak."

Begitu juga soal legalisasi judi menurut Ali Sadikin orang sekuler ini beralasan, bahwa biar pelanggannya hanya orang-orang Cina yang telah menjadikan judi sebagai budayanya.

Orang Cina yang punya judi, yang main orang Cina, yang punya duit orang Cina, Pemda Jakarta dapat upeti Rp 15 triliun per tahun dari cukong Cina yang punya bisnis judi dan pelacuran, itulah cara Ali Sadikin untuk mendapatkan uang pemasukan bagi kas Pemda Jakarta.

Nah, disini kelihatan makin jelas, itu dalam otak Ali Sadikin yang sekuler ini tidak tersimpan kamus Islam yang didalamnya ada hal yang dihalalkan, dan hal yang diharamkan. Melainkan, yang ada dalam kamus Ali Sadikin, kalau itu bisa menghasilkan pemasukan uang bagi kas Pemerintah Daerah Jakarta, maka santap saja.

Jadi, sebenarnya itu Ali Sadikin orang Sunda yang sekuler ini kalau berbicara masalah legalisasi judi dan pelacuran di Jakarta, memang wajar saja, karena otaknya sudah dipenuhi ampas-ampas kelapa pancasila. Dimana tidak ada itu istilah halal dan haram dalam otak Ali Sadikin, yang ada adalah buntelan uang Cina. Jadi, itu Ali Sadikin ini sama juga dengan kacungnya orang Cina. Membangun Jakarta untuk dipakai judi bagi orang Cina dan untuk melakukan pelacuran bagi orang yang berlabelkan Islam, tetapi dalam keningnya dipasang merk pancasila, biar kelihatan jelas, bahwa orang pancasilais yang masuk ketempat pelacuran itu.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

Date: Fri, 1 Apr 2005 01:53:28 +0300
From: sadanas@equate.com
To: ahmad@dataphone.se
Subject: Demi Judi, Saya Rela Masuk Neraka

Bejat amat moral Bang Ali ini. Tolong kang bahas artikel ini

Agus Hermawan

sadanas@equate.com
Equate Petrochemical company
Kuwait, Al Kuwayt, Kuwait
----------

TEMPO No. 04/XXXIV/21 - 27 Maret 2005

Ali Sadikin: Demi Judi, Saya Rela Masuk Neraka

ALI Sadikin tak pernah lepas dari kontroversi. Bekas Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (1966-1977) ini kembali mengusung "ide liar". Di depan anggota DPRD Jakarta, bulan lalu ia mengusulkan agar bisnis judi di Jakarta mendapat payung hukum. Sebab, "Pemda DKI Jakarta bisa mendapat uang Rp 15 triliun per tahun," ujar Ali Sadikin, mantap.

Usulan legalisasi judi bukan barang baru bagi pensiunan letnan jenderal marinir yang akrab disapa "Bang Ali" itu. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, dia pula yang melegalkan judi di Ibu Kota. Hasilnya, saat itu kas DKI Jakarta mendapat gelontoran dana segar Rp 20 miliar per tahun. Uang itu digunakan untuk membangun jalan, puskesmas, dan gedung sekolah.

Namun, zaman telah berubah. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kini mendominasi DPRD Jakarta. Partai yang mengusung "semangat Islam" ini jelas-jelas menolak legalisasi judi, apalagi sebagai sumber pendapatan resmi Pemda DKI Jakarta. "Kami sadar kita butuh uang. Tapi tak harus menghalalkan yang haram," ujar Tri Wisaksana, Ketua PKS Jakarta.

Ali tak peduli. Penasihat Gubernur DKI Sutiyoso itu malah mengejek politisi partai Islam hanya mencari popularitas dan jabatan. Seperti 34 tahun lalu, ketika ia melegalkan judi di Jakarta, ia menantang. "Demi judi, saya rela masuk neraka," katanya.

Untuk mengupas polemik legalisasi judi dan pelbagai persoalan Ibu Kota, wartawan Tempo Setiyardi dan fotografer Bernard Chaniago pekan lalu mewawancarai Ali Sadikin. Meski hanya ditopang satu ginjal cangkokan, lelaki kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927, itu masih sanggup melayani dua jam wawancara. Berikut kutipannya.

Mengapa Anda mengusulkan agar judi kembali dilegalkan di Jakarta?

Saya ingin bersikap realistis dan tidak munafik. Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), saya melegalkan judi karena pemda tak punya anggaran cukup. Padahal saat itu butuh banyak uang untuk membangun sekolah, puskesmas, dan jalan. Alim ulama semua meributkan, tapi saya bilang ke mereka, kalau mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter. Soalnya, jalan-jalan saya bangun dari uang judi. Jadi, jalan di Jakarta juga haram.

Jadi, Anda tahu bahwa agama sebenarnya mengharamkan judi?

Ya! Saya tahu judi itu haram. Tapi kita harus memikirkan masyarakat kecil. Demi judi, saya rela masuk neraka. Tapi saya yakin Allah mengerti apa yang saya perbuat. Saya jengkel dengan orang-orang yang mengaku Islam itu. Mereka merasa dirinya malaikat. Mereka masih berpikir seperti abad ke-15.

Bagaimana potret judi di Jakarta sekarang? Apakah akan memberi kontribusi besar?

Dari pelbagai sumber saya, jumlahnya mencapai triliunan rupiah per tahun. (Ia menyebut nama-nama sumbernya, "Tapi jangan dimuat, off the record," katanya.) Kalau judi di Jakarta legal, Pemda DKI Jakarta bisa mendapat uang sekitar Rp 15 triliun per tahun. Itu jumlah yang besar. Bisa untuk membangun macam-macam. Untuk melanjutkan Proyek Banjir Kanal Timur, mendalamkan sungai, membuat rumah susun, membangun jalan-jalan. Proyek-proyek itu tak bisa ditunda lagi. Padahal pemerintah tak punya uang untuk menjalankannya.

Siapa penguasa bisnis judi di Jakarta sekarang?

Jangan tanya saya. Tanyakan ke aparat keamanan yang sekarang jadi beking mereka. Polisi pasti tahu siapa saja pemain yang ikut terlibat.

Bagaimana bila rakyat miskin ikut bermain judi?

Itu bisa diatur. Judi bisa ditujukan hanya untuk orang kaya etnis Cina. Bagi orang Cina, bermain judi adalah budaya. Itu untuk membuang sial. Makanya, dulu zaman Belanda kegiatan berjudi juga disahkan. Sekarang sebetulnya banyak bisnis judi di Jakarta. Banyak aparat keamanan yang jadi beking. Tapi kita ini orang munafik.

Tapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendominasi DPRD Jakarta, tak setuju usul Anda...

Alaaa, itu.... (Bang Ali mengeluarkan kata mengumpat_$B!)_(BI>Red). Waktu saya bicara soal judi di DPRD Jakarta, yang berani bicara cuma satu orang. Tapi di surat kabar persoalannya jadi ramai. Kalau berani, suruh PKS bicara dengan saya. Saya akan tanya, apakah mereka bisa memberikan pekerjaan ke para pengangguran. Apakah bisa memberi uang Rp 15 triliun per tahun untuk Jakarta. Kalau memang bisa, bolehlah PKS mengharamkan judi.

PKS juga ingin menghapuskan hiburan malam yang berbau maksiat_$B!)_(B/SPAN>

Itu sikap sok-sokan. Mereka harus sadar kita hidup di abad modern. Jangan merasa hebat dengan Islam-nya. Pemerintah, pengadilan, tentara, semua orang Islam. Tapi toh korupsi nomor satu. Jadi, jangan sombong dengan membawa-bawa Islam. Kalau cuma bicara sambil mengutip ayat, itu cuma untuk mencari popularitas. Mereka mau jadi penguasa.

Apakah Anda juga setuju dengan lokalisasi prostitusi?

Ya. Saya yang membuat lokalisasi di Kramat Tunggak. Soalnya, ketika itu banyak berkeliaran "becak komplet" yang isinya wanita tunasusila. Daripada berkeliaran di jalan, lebih baik dibuat lokalisasi khusus. Sekarang juga banyak ABG di mal-mal yang menjadi wanita tunasusila. Mengapa tidak kita lokalisasi saja? Itu lebih baik. Saya heran Pemda DKI dan DPRD menutup Kramat Tunggak. Saya sudah bilang ke Sutiyoso, "Memang nanti Sutiyoso masuk surga. Kalau saya, sih, akan masuk neraka."

Anda juga mengusulkan konsep megapolitan, kesatuan Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Apa ide dasarnya?

Kota-kota kabupaten itu_$BM#_(Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok_$BMQ_(Bembangunannya harus disatukan dengan DKI Jakarta. Konsep ini telah dirintis sejak zaman Bung Karno. Belakangan, kita mengenal sebutan Jabotabek. Kalau perencanaan pembangunannya bisa disatukan, kita akan memiliki konsep yang terpadu. Mereka dapat saling menunjang.

Apakah mungkin?

Sangat mungkin. Saya mengirim surat ke Presiden Yudhoyono untuk memberi masukan soal ini. Saya dan Sutiyoso lalu diterima Presiden membicarakan konsep ini. Pada prinsipnya, Presiden mendukung. Beliau bahkan sudah terlihat akan bergerak ke arah usulan itu. Untuk menjalankannya, Presiden bisa membuat keppres. Tapi akan lebih baik bila pemerintah mengusulkan sebuah undang-undang tentang megapolitan itu.

Mengapa perencanaan pembangunan Jakarta dan kota sekitarnya harus jadi satu?

Agar terintegrasi. Banyak contoh kasus akibat perencanaan yang tak sinkron. Misalnya persoalan pabrik pengolahan sampah di Bojong, Bogor. Mereka tak mau wilayahnya dibuat jadi pabrik sampah. Padahal Jakarta tak punya tanah untuk mengolah sampah. Mereka tak tahu bahwa pabrik sampah Bojong dibuat perusahan Jerman. Semua sampah diangkut truk khusus yang tertutup. Tak ada sampah yang ditimbun di tanah. Semua akan diolah dalam pabrik menjadi batu bata. Pabrik itu membutuhkan 1.300 pegawai yang bisa direkrut dari masyarakat sekitar. Penolakan itu karena ada yang menghasut. Mungkin juga karena melihat kasus di Bantar Gebang, Bekasi. Padahal konsepnya sangat berbeda.

Apakah konsep megapolitan akan mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten?

Konsep ini tak mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten. Sebagai orang Sunda, saya tak setuju kalau Jakarta mengambil wilayah Jawa Barat. Konsep ini untuk menyatukan perencanaan pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Semua jadi satu konsep dan satu arah. Soal administrasi, mereka masih ikut Jawa Barat dan Tangerang ikut Banten. Pajak daerah masih untuk mereka.

Mengapa tanggung? Bukankah lebih mudah bila dilebur jadi satu provinsi?

Memang ada yang ekstrem. Bupati Bekasi, misalnya, ingin jadi bagian Jakarta. Selama ini mereka merasa ketinggalan. Tapi saya tak ingin Jawa Barat kehilangan wilayah. Jawa Barat juga punya sejarah panjang yang harus dijaga. Sebagai orang Sunda, saya merasa terhina bila wilayah Jawa Barat dicaplok Jakarta. Saya tak ingin kasus Banten terulang. Karena Bandung tak memperhatikan Banten, lalu mereka jadi provinsi sendiri. Tapi sekarang Banten tak maju-maju. Gubernurnya malah jadi tersangka korupsi.

Bila konsep megapolitan dijalankan, apa keuntungan kota-kota di sekitar Jakarta?

Jakarta harus membantu keuangan Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Bisa saja Jakarta memberi tiap kota Rp 500 miliar per tahun. Jakarta juga bisa memberi bantuan tenaga ahli. Kita harus saling mengisi. Jadi, ini akan saling menguntungkan. Saya sudah membicarakan konsep ini di DPRD Jakarta. Sekarang menunggu reaksi mereka.

Konsep Anda sejalan dengan gagasan Gubernur Jakarta Sutiyoso?

Saya memang penasihatnya. Saya bilang ke Sutiyoso untuk merencanakan Jakarta dengan matang. Dulu saya membuat master plan Jakarta untuk 20 tahun. Itu membuat saya dibanggakan oleh masyarakat Jakarta, bahkan oleh rakyat Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan gubernur selanjutnya. Padahal membangun sebuah kota tidak mudah.

Mengapa Anda mau menjadi penasihat Sutiyoso?

Saya tahu dia dimusuhi banyak orang. Dia juga kontroversial. Tapi saya suka Sutiyoso karena keberaniannya. Dia juga punya ide untuk Jakarta. Memang Sutiyoso harus menerima pelbagai risiko. Selain itu, saya merasa Sutiyoso orang yang mengerti adat ketimuran. Dialah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang pada awal jabatannya tahun 1996 menemui saya. Ketika itu Soeharto masih memusuhi saya. Sutiyoso datang untuk minta masukan. Gubernur yang lain tak pernah melakukan hal itu. Mereka tak tahu adat-istiadat. Padahal, kalau mereka datang, mereka yang untung. Itulah sebabnya dulu saya juga mendatangi bekas gubernur dan wali kota di DKI Jakarta untuk minta masukan mereka.

Anda resmi diangkat sebagai penasihat Gubernur DKI?

Ya. Sebagai gubernur, dia berhak mengeluarkan SK pengangkatan penasihat gubernur. Dengan jabatan itu, setiap bulan saya mendapat gaji Rp 600 ribu. Itu saya anggap tambahan saja. Soalnya, sebagai pensiunan gubernur, menteri, dan tentara, saya mendapat sekitar Rp 5 juta. Selain itu, pemda juga memutuskan saya tak perlu membayar listrik dan air PAM. Saya dianggap sebagai tokoh masyarakat.

Apa pendapat Anda soal kondisi Jakarta sekarang?

Makin berat. Kemacetan lalu-lintas terjadi di mana-mana. Saya orang yang tidak sabar dan bersikap kepala batu. Makanya saya berharap konsep megapolitan itu bisa menolong. Kota-kota di sekitar Jakarta harus menjadi satelit yang mandiri. Jadi, mereka harus mengurus kotanya. Ada perkantoran, industri, dan lain-lain. Kota Rotterdam di Belanda, misalnya, jumlah penduduknya turun karena ada kota-kota satelit di sekitarnya.

Anda pernah membuat perencanaan pembangunan Jakarta untuk 20 tahun. Mengapa tak jalan?

Gubernur Tjokropranolo, penerus saya, melakukan gerakan de-Ali-Sadikin-isasi. Semua kebijakan saya dihapuskan. Soalnya, ketika itu saya mulai bicara keras soal pemerintahan. Bersama Bung Hatta dan Jenderal Nasution, tahun 1978 saya mendirikan Yayasan Kesadaran Berkonstitusi. Kami melihat Soeharto mulai melenceng. Setelah itu, tahun 1980 saya membuat Petisi 50 yang menjadi oposisi bagi Soeharto. Itu membuat saya dianggap menjadi musuh pemerintah. Tapi saya merasa Tuhan menjaga saya. H.R. Dharsono, Ali Moertopo, dan tokoh lain sudah meninggal. Sampai sekarang saya tidak ada apa-apa. Saya malah bisa berlebaran ke Cendana. Soeharto saya rangkul dan saya beri sun. Saya tidak menaruh dendam ke Soeharto.

Anda juga tokoh penting dalam sejarah TNI-AL. Bagaimana Anda melihat Angkatan Laut kita saat ini?

Saya sedih melihat nasib Angkatan Laut. Padahal kita ini negara maritim, tapi kita takut dengan laut. Yang dibesar-besarkan justru konsep teritorial. Itu kebijakan yang salah arah. Akibatnya, kondisi AL nyaris lumpuh. Yang ada kapal-kapal tua. Bagaimana mungkin berperang dengan Malaysia? Kita bahkan tak mampu menjaga perairan kita dari serbuan nelayan asing.

Dulu, apa yang Anda lakukan?

Untuk merebut Irian Barat, tahun 1960 saya lima kali ke Rusia. Ketika itu jabatan saya Deputi II Menteri Kepala Staf Angkatan Laut. Kita membeli 150 kapal perang dari Rusia. Empat belas di antaranya kapal selam. Total harga kapal-kapal itu US$ 800 miliar. Karena tak punya uang, kita pinjam dari Rusia. Untuk mengoperasikannya, saya mengirim para prajurit kita ke Rusia. Nah, melihat kekuatan mesin perang kita, Amerika dan PBB akhirnya memerintahkan Belanda keluar dari Irian Barat.

Omong-omong, mengapa Anda masih saja bersikap keras?

Itu sudah bawaan saya. Saya ini kepala batu. Kalau marah sering keluar kata "goblok!" Saat jadi gubernur, saya juga sering menempeleng bawahan yang salah. Saya juga ikut memukul copet yang tertangkap. Tapi, kalau sudah sampai di rumah, saya justru sedih. Saya kemudian sering memanggil orang-orang yang saya pukul. Saya tanya tentang keadaan mereka.

Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin

Tempat/tanggal lahir:Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1927
Pendidikan: Sekolah Pelayaran Tinggi, Semarang (1945). US Marine Corps School, AS
Karier: Deputi II Panglima Angkatan Laut (1959-1963). Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja (1963-1964). Menko Maritim/Menteri Perhubungan Laut (1964-1966). Gubernur DKI Jakarta, dua periode (1966-1977)
----------