Stockholm, 15 April 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

BIMO DI MALMO BERJINGKRAK LIHAT AWALUDDIN & DJALIL SODORKAN UMPAN KARTU UU NO.18/2001 KE MULUT ASNLF
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

ITU BIMO BERJINGKRAK-JINGKRAK MELIHAT HAMID AWALUDDIN & SOFYAN DJALIL MENYODORKAN UMPAN KARTU UU NO.18/2001 YANG ISINYA SELF-GOVERNMENT

"Aduh senangnya, jingkrak-jingkrak lagi karena bentar lagi Aceh rukun dan tidak membrontak lagi. Saudaraku Aceh akan makin baik, sementara mbah Ustadz Ahmad Sudirman akan tetap mbahurekso Swedia negara kafir. Mbah Ustad, hej do vises sayonara makin kesepian ya mbah. Habisnya Simbah ini terlalu keras memegang prinsip salah, makanya status WNI dicabut segala, mau pulang kampung ke Riau, tidak bisa. Ke UNISBA, aduh, entar dijewer lagi atuh mBah. Ayo Mang Kabayan goyang terus India Kelingnya daripada goyangnya mbah Ahmad sendirian menguprek-uprek komputer di setokeholem sampai terkantuk-kantuk karena bingung: lho yang aku bela-belain Aceh kok kembali baik ke NKRI. Hidup NKRI. Hidup Aceh. Hidup damai. Hidup Rakyat. Hidup Rukun. Buat mBah Ahmad Sudirman, kalau pulang boleh saja wong kita orang masih basodora lah, jangan lama-lama di Swedia. Mbah ini email terakhir, aku arep mulih." (Bimo Tejokusumo , bimo_tejokusumo@yahoo.co.uk ,Thu, 14 Apr 2005 22:06:58 +0100 (BST))

Baiklah Bimo Tejokusumo di Malmo, Swedia

Kelihatan itu Bimo Tejokusumo di Malmo berjingkrak-jingkrak lupa diri, ketika melihat Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil sambil sempoyongan mengayunkan kailnya yang diberi umpan UU No.18/2001 yang isinya self-government hasil campuran antara ampas perasan cacing lama lama UU No.24/1956 tentang pembentukan propinsi Atjeh dan perubahan peraturan propinsi Sumatera Utara. Dimana yang asalnya Negeri Acheh dianeksasi lalu dimasukkan kedalam propinsi Sumatera Utara dengan ampas perasan cacing UU No.44/1999 yang mengandung cairan zat mematikan status istimewa.

Hanya sayang, Bimo melihat hanya kearah Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil yang melemparkan kail dengan umpan UU No.18/2001 saja sambil sempoyongan. Tidak melihat bahwa umpan UU No.l8/2001 itu umpan busuk UU No.24/1956 made in mbah Soekarno pencaplok negeri Acheh yang menjelma menjadi umpan UU No.l8/2001.

Tentu saja, agar itu Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil kuat semangatnya, dikasih tiupan angin puyuh hindu majapahit-nya mas Widodo Adi Sutjipto dari Batavia yang membawakan debu jampi-nya mpu Tantular yang berisikan ramuan self-government yang sudah diakomodasikan kedalam UU No.18/2001, UU Pemerintahan Daerah, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU Otonomi Khusus.

Nah, itu hembusan angin puyuhnya Widodo Adi Sutjipto yang mengandung debu jampi-nya mpu Tantular yang dijabarkan kedalam bentuk self-government yang mengandung UU No.18/2001 jelmaan dari UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah, UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU No.44/1999 tentang otonomi khusus di Acheh, ternyata membawa semangat baru bagi Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil di Konigstedt, Vantaa, Finlandia.

Hanya sayang, itu umpan self-government model mbah Susilo Bambang Yudhoyono yang dihembukan oleh Widodo Adi Sutjipto ini adalah tidak lebih dan tidak kurang sama dengan model otonomi khususnya mbak Mega dan bung Akbar Tandjung. Tujuan mereka dengan terus melambungkan umpan UU No.18/2001 ini adalah untuk tetap menganeksasi, menduduki dan menjajah Acheh.

Kemudian, karena didalam umpan UU No.18/2001 mengandung juga campuran ampas-ampas pemilihan gubernur, Bupati/Wali Sagoe, Camat Kecamatan/Sagoe Cut, pendapatan asli seperti pajak Daerah, retribusi Daerah, zakat; Dana perimbangan seperti bagi hasil pajak dan sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus; Penerimaan dalam rangka otonomi khusus seperti 70% hasil tambang minyak & gas alam masuk ke Acheh selama 8 tahun; Pinjaman daerah seperti pinjaman dari sumber dalam negeri dan pinjaman dari sumber luar negeri, maka campuran ampas-ampas itu perlu diberitahukan kepada pihak juru runding ASNLF bahwa itulah isi dari payung hukum self-government model mbah Susilo Bambang Yudhoyono yang dihembuskan oleh mas Widodo Adi Sutjipto kearah Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil yang sedang berunding di Konigstedt, Vantaa, Finlandia antara ASNLF dengan RI agar supaya pihak juru runding ASNLF mengetahui itulah kandungan self-government model mbah Susilo Bambang Yudhoyono.

Tentu saja tidak lupa itu juru runding RI Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil cs menyodorkan bentuk gambar kepala yang berlabel wali nanggroe dan tuha nanggroe yang hanya merupakan lembaga yang tidak ada fungsi dan tugasnya alias simbol saja. Jadi kalau nanti di Acheh ada orang yang dipanggil wali nanggroe dan tuha nanggroe itu sama saja dengan orang yang otaknya sudah diisi dengan ampas-ampas hasil perasan jamu gendong pancasila-nya mbak Mega.

Nah, inilah rupanya yang menyebabkan Bimo berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil melagukan lagu ondel-ondel Jawa tengahnya dengan logat jawa-nya yang kental, sehingga selaput telinga Ahmad Sudirman bergetar kuat mendengarnya karena saking kental suara logat jawa ondel-ondel-nya itu.

Nah tentu saja, bagi orang-orang Acheh yang mudah tertipu dengan umpan self-government model mbah Susilo Bambang Yudhoyono yang dihembuskan oleh Widodo Adi Sutjipto dan dilambungkan oleh Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil di kolam perundingan Konigstedt, Vantaa, Finlandia, maka akan menjadilah budak-budak dalam dekapan sayap burung garuda dengan diikat tali bhineka tunggal ika-nya mpu Tantular.

Nah Bimo, jelas, kalau Ahmad Sudirman tidak bisa ditipu dengan itu umpan self-government model mbah Susilo Bambang Yudhoyono yang dibungkus dengan kertas bungkus martabak UU No.18/2001 jelmaan UU No.24/1956, UU No.22/1999, UU No.25/1999, dan UU No.44/1999.

Dimana itu Bimo Tejokusumo, karena melihat Ahmad Sudirman sudah membongkar isi umpan self-government model mbah Susilo Bambang Yudhoyono ini, maka langsung saja itu Bimo berteriak: "Habisnya Simbah ini terlalu keras memegang prinsip salah, makanya status WNI dicabut segala, mau pulang kampung ke Riau, tidak bisa."

Bimo, itu yang dipegang Ahmad Sudirman bukan prinsip salah, melainkan itulah pembongkaran besar-besaran tentang taktik licik dan akal bulus yang dilakukan oleh mbah Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Widodo Adi Sutjipto, Hamid Awaluddin, Sofyan Djalil, Endriartono Sutarto, Djoko Santoso, dan tentu saja tidak ketinggalan itu Syamsir Siregar dari sarang labah-labah BIN.

Jadi Bimo jangan dulu berjingkrak-jingkrak kegirangan, melihat itu umpan busuk ampas kelapa UU No.18/2001 disodorkan ke mulut juru runding ASNLF. Karena bisa-bisa itu umpan busuk ampas kelapa UU No.18/2001 ditepiskan ketepi.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

Date: Thu, 14 Apr 2005 22:06:58 +0100 (BST)
From: bimo tejokusumo bimo_tejokusumo@yahoo.co.uk
Subject: Ahmad Sudirman Ngotot Ingin Aceh Merdeka, Orang Aceh Ingin Damai
To: Ahmad Sudirman <ahmad@dataphone.se>, Al Chaidar <alchaidar@yahoo.com>, zul@mucglobal.com, zikry@cbn.net.id, yahuwes@yahoo.com, yusrahabib21@hotmail.com, yuhe1st@yahoo.com, viery_fajri@yahoo.com, wpamungk@centrin.net.id, warzain@yahoo.com, wartadephan@dephan.go.id, waspada@waspada.co.id, universityofwarwick@yahoo.co.uk, teuku_mirza@hotmail.com, teuku_mirza2000@yahoo.com, teguhharjito@yahoo.com, trieng@netzero.net, tang_ce@yahoo.com, tgk_maat@yahoo.co.uk, tonisudibyo2001@yahoo.com, toto_wrks@yahoo.com, s05029wmuse@yahoo.com.sg, s4043015@student.uq.edu.au, sofyanis@plasa.com, sisingamaharaja@yahoo.co.uk, siliwangi27@hotmail.com, sira_jaringan2000@yahoo.com, silver_cat@plasa.com, sobrona@hotmail.com

Aduh senangnya, jingkrak-jingkrak lagi karena bentar lagi Aceh rukun dan tidak membrontak lagi. Saudaraku Aceh akan makin baik, sementara mbah Ustadz Ahmad Sudirman akan tetap mbahurekso Swedia negara kafir.

Mbah Ustad, hej do vises sayonara makin kesepian ya mbah. Habisnya Simbah ini terlalu keras memegang prinsip salah, makanya status WNI dicabut segala, mau pulang kampung ke Riau, tidak bisa. Ke UNISBA, aduh, entar dijewer lagi atuh mBah.

Ayo Mang Kabayan goyang terus India Kelingnya daripada goyangnya mbah Ahmad sendirian menguprek-uprek komputer di setokeholem sampai terkantuk-kantuk karena bingung: lho yang aku bela-belain Aceh kok kembali baik ke NKRI. Hidup NKRI. Hidup Aceh. Hidup damai. Hidup Rakyat. Hidup Rukun.

Buat mBah Ahmad Sudirman, kalau pulang boleh saja wong kita orang masih basodora lah, jangan lama-lama di Swedia. Mbah ini email terakhir, aku arep mulih.

Hejdoooooo vises sungkem sayang buat Sampeyan nDalem SImbah Ustad Ahmad Sudirman Ingkang Merasa Benar Sendiri , sambil enggeh-enggeh yo wis ben. Sing penting Aceh Damai, Rakyat Senang, Wong Cilik Gumuyu Raharjo Wilujeng lir in sambikolo. Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti.

Bimo Tejokusumo

bimo_tejokusumo@yahoo.co.uk
Malmo, Swedia
----------

http://www.kompas.com/utama/news/0504/14/231322_.htm

Jumat, 15 April 2005
Perundingan dengan GAM Sudah Merambah Isu Ekonomi dan Amnesti

Helsinki, Kompas - Perundingan informal babak ketiga antara delegasi Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Vantaa, Helsinki, Finlandia, Rabu dan Kamis (14/4), memasuki pembicaraan-pembicaraan substantif. Kedua delegasi membahas secara mendalam masalah economic arrangements dan amnesti, bagaimana aplikasinya di lapangan dan bagaimana nasib Nanggroe Aceh Darussalam jika perundingan ini pada akhirnya mencapai kesepakatan damai secara permanen.

Ketika diminta menjelaskan makna keterbukaan di antara kedua delegasi dan hasil-hasil yang sudah dicapai, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menjadi Ketua Tim Perunding Indonesia Hamid Awaluddin kemarin menyatakan, kedua delegasi sudah mencapai titik temu. "Istilah kami, point of understanding. Titik-titik pengertian di antara kedua belah pihak. Tidak ada argumen dan perdebatan. Kedua pihak menyampaikan pendapat, pandangan, jawaban, dan selalu ada titik-titik temu yang disebut sebagai point of understanding itu. Dalam persepsi ini, saya katakan, perundingan ini bergerak maju," kata Hamid.

Kepada wartawan Kompas Abun Sanda yang meliput perundingan di Helsinki, Hamid mengemukakan, setelah pembahasan mengenai masalah- masalah pengaturan ekonomi dan amnesti, hari-hari ini tim perunding kedua belah pihak mulai membahas isu-isu yang lebih sensitif. Isu-isu tersebut adalah pemerintahan sendiri (self government) yang sangat berkaitan dengan aneka masalah otonomi khusus, security arrangements, dan monitoring/ implementasi yang dilakukan setelah diperoleh kesepakatan.

Dari sumber lain diperoleh keterangan, isu pengaturan masalah keamanan berkaitan dengan pengurangan kehadiran TNI dan polisi pascapenyelesaian komprehensif, kemudian juga isu lain mengenai peletakan senjata oleh GAM.

Tentang perundingan yang membahas masalah substantif pengaturan ekonomi dan amnesti, Hamid menyatakan, pada pembahasan itu sudah tidak menggunakan lagi fasilitator (mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari), tetapi kedua delegasi langsung berhadap- hadapan. Sejauh ini diskusi bilateral berlangsung lancar.

Pada sesi pertama pertemuan pihak GAM mengajukan setidaknya lima pertanyaan kunci. Pertama, apakah pihak GAM memiliki kewenangan mengelola sumber daya alam, misalnya, hasil bumi, minyak, gas, dan bahkan air bersih.

Kedua, apakah pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam kelak memiliki kewenangan dalam hal perdagangan, termasuk perdagangan luar negeri.

Ketiga, delegasi GAM mempertanyakan dan sekaligus mempersoalkan masalah penanganan pariwisata. Keempat, soal kewenangan mengelola pelabuhan udara dan laut. Kelima, masalah pendidikan. Pihak GAM mempertanyakan, apakah mereka memiliki kewenangan mengelola pendidikan di Aceh, termasuk berapa orang yang dikirim belajar ke luar negeri. Dalam hal ini pemerintah pusat diminta untuk tidak mencampuri dan hanya memosisikan diri sebagai pemberi supervisi.

"Jawaban saya dan teman-teman anggota delegasi Indonesia adalah pengelolaan sumber daya alam tetap harus tunduk kepada aturan-aturan yang bersifat standar, misalnya, standar lingkungan yang kita ketahui berlaku universal. Lalu turunannya adalah Undang-Undang Lingkungan Hidup yang pengaturannya bersifat nasional," ujar Hamid memaparkan, yang disertai Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil serta dr Farid Husain, Usman Basjah, dan I Gusti Agung Wesaka Puja.

Menurut Hamid, pengelolaan bandara juga demikian. Tidak bisa seenaknya sebab ada hal- hal tertentu yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. "Nah semua ini dibicarakan dengan serius dan mendalam. Dan masalah ini akan dibahas kemudian secara teknis," ujarnya

Masalah amnesti

Hamid Awaluddin menyatakan, hal menonjol lain yang dibahas adalah pembicaraan tentang masalah amnesti. "Tentang ini saya dan teman-teman anggota delegasi menyatakan, apa sih yang disebut dengan amnesti. Banyak yang selalu menganggap bahwa amnesti itu berarti pemberian maaf. Bukan. Amnesti itu secara legal artinya pengembalian status hukum sama dengan warga negara yang lain," katanya.

Ia menambahkan, kategori amnesti yang didiskusikan adalah orang-orang yang ditahan sekarang dan orang-orang yang terlibat dalam aktivitas GAM. Mereka inilah yang dikenai frame amnesti. Namun, orang yang melakukan tindak kriminal, meskipun mengatasnamakan GAM, itu kriminal. Terhadap orang yang mendapat amnesti, aksesibilitas partisipasi politiknya sama dengan warga negara lain.
----------

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang;

b. bahwa salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus;

d. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerin-tahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;

e. bahwa pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam;

f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e, pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, perlu ditetapkan dengan undang-undang;

Mengingat :

1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 B ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;

5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);

6. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);

7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

8. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

9. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggara-an Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Memutuskan :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.

2. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

4. Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

5. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lain pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai Badan Eksekutif Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Badan Legislatif
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.

7. Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh dari pihak mana pun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.

8. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus.

9. Kabupaten, yang selanjutnya disebut Sagoe atau nama lain, adalah Daerah Otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh Bupati/Wali Sagoe atau
nama lain.

10. Kota, yang selanjutnya disebut Banda atau nama lain, adalah Daerah Otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh Walikota/Wali Banda atau
nama lain.

11. Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain adalah perangkat daerah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda, yang dipimpin oleh Camat atau nama lain.

12. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu
dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain.

13. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

14. Lambang daerah termasuk alam atau panji kemegahan adalah lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB II
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 2
(1) Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibagi dalam Kabupaten/Sagoe atau nama lain dan Kota/Banda atau nama lain sebagai daerah otonom.

(2) Kabupaten/Sagoe atau nama lain dan Kota/Banda atau nama lain terdiri atas Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain.

(3) Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain terdiri atas Mukim atau nama lain dan Mukim terdiri atas Gampong atau nama lain.

(4) Penyetaraan jenjang pemerintahan di dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diperlukan untuk penentuan kebijakan nasional diajukan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Pemerintah.

(5) Susunan, kedudukan, penjenjangan, dan penyebutan pemerintahan sebagaimana disebut pada ayat (2) dan (3) ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(6) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB III
KEWENANGAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 3
(1) Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus.

(2) Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
KEUANGAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 4
(1) Sumber penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
meliputi:

a. pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. dana perimbangan;
c. penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi khusus;
d. pinjaman Daerah; dan
e. lain-lain penerimaan yang sah.

(2) Sumber pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:

a. pajak Daerah;
b. retribusi Daerah;
c. zakat;
d. hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan; dan
e. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

(3) Dana perimbangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah dana perimbangan bagian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten dan Kota atau nama lain, yang terdiri atas:

a. bagi hasil pajak dan sumber daya alam yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, yaitu bagian dari penerimaan pajak bumi dan bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen), pajak penghasilan orang pribadi sebesar 20% (dua puluh
persen), penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen), pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen), perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen), pertambangan minyak bumi sebesar 15%
(lima belas persen), dan pertambangan gas alam sebesar 30% (tiga puluh persen);

b. Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
c. Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(4) Penerimaan dalam rangka otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari
hasil sumber daya alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak
bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya undang-undang ini.

(5) Mulai tahun kesembilan setelah berlakunya undang-undang ini pemberian tambahan penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pertambangan gas alam.

(6) Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) antara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 5
(1) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menerima bantuan dari luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.

(2) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.

(3) Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

(4) Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini selanjutnya diatur dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 6
(1) Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat melakukan penyertaan modal pada badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang besarnya ditetapkan bersama dengan Pemerintah.

(2) Tata cara penyertaan modal Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari pembagian keuntungan badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya beroperasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang besarnya ditetapkan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di Daerah yang bersangkutan.

Pasal 7
(4) Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (APBDPNAD) ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.

(5) Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, ayat (4), dan ayat (5) dialokasikan untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(6) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (APBDPNAD), perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB V
LAMBANG TERMASUK ALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 8
(1) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menentukan lambang Daerah, yang di dalamnya temasuk alam atau panji kemegahan, yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Lambang Daerah, yang di dalamnya termasuk alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diperlakukan sebagai bendera kedaulatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB VI
LEMBAGA LEGISLATIF PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 9
(1) Kekuasaan legislatif di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan kebijakan Daerah.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai wewenang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sesuai dengan undang-undang ini.

(4) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai hak angket dan hak mengajukan pernyataan pendapat.

(5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai kewajiban untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.

(6) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, serta
hak imunitas.

(7) Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan undang-undang.

(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB VII
WALI NANGGROE DAN TUHA NANGGROE SEBAGAI PENYELENGGARA ADAT, BUDAYA, DAN PEMERSATU MASYARAKAT

Pasal 10
(1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan pemerintahan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB VIII
BADAN EKSEKUTIF PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 11
(1) Lembaga Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Gubernur yang dibantu oleh seorang Wakil Gubernur dan perangkat Daerah.

(2) Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan ketertiban, ketenteraman, dan keamanan di luar yang terkait dengan tugas teknis kepolisian.

(3) Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam karena jabatannya adalah juga wakil pemerintah.

(4) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(5) Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 12
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam dipilih secara langsung setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

(2) Seseorang yang dapat ditetapkan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam adalah warga negara Republik Indonesia
dengan syarat-syarat:

a. menjalankan syariat agamanya;
b. setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang sederajat;
d. berumur paling sedikit 35 (tiga puluh lima) tahun;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; dan
h. tidak pernah menjadi warga negara asing.

Pasal 13
(1) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan dan diawasi oleh Komisi Pengawas
Pemilihan, yang masing-masing dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Anggota Komisi Independen Pemilihan terdiri atas anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dan anggota masyarakat.

(3) Anggota Komisi Pengawas Pemilihan terdiri atas unsur anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, unsur pengawas pemilu nasional, dan anggota masyarakat yang independen.

Pasal 14
(1) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam dilaksanakan melalui tahap-tahap: pencalonan, pelaksanaan pemilihan, serta pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur.

(2) Tahap pencalonan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui:

a. pendaftaran dan seleksi administratif pasangan bakal calon oleh Komisi Independen Pemilihan;
b. pemaparan visi dan misi pasangan bakal calon di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
c. penetapan pasangan bakal calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. konsultasi pasangan bakal calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Pemerintah;
e. penetapan pasangan calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan
f. pendaftaran pemilih oleh Komisi Independen Pemilihan bersama dengan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Tahap pelaksanaan pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a.pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat pemilih serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

b. penghitungan suara secara transparan dan terintegrasi yang dilaksanakan oleh Komisi
Independen Pemilihan;

c. penyerahan hasil penghitungan suara oleh Komisi Independen Pemilihan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan

d. pengesahan hasil penghitungan suara yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(4) Tahap pengesahan dan pelantikan Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih meliputi:

a. penyerahan hasil pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;

b. pengesahan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih oleh Presiden; dan

c. pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan pengangkatan sumpahnya yang dilakukan di hadapan Ketua Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(5) Pengawasan proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, dilakukan oleh Komisi Pengawas Pemilihan.

(6) Hal-hal lain mengenai pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang belum diatur dalam undang-undang ini dapat diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 15

(1) Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atau nama lain dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14.

(2) Pelaksanaan ketentuan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 disesuaikan dengan kepentingan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali :

a. penyerahan hasil pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota atau nama lain kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;

b. pengesahan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atau nama lain terpilih oleh Menteri Dalam Negeri; dan

c. pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atau nama lain oleh Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri dan pengangkatan sumpahnya dilakukan di hadapan Ketua Mahkamah Syar'iyah dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota atau nama lain.

(3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 16
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilaksanakan paling cepat 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dimungkinkan pelaksanaannya, atas rekomendasi Komisi Independen Pemilihan dan Komisi Pengawas
Pemilihan, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB IX
PEMILIH DAN HAK PEMILIH

Pasal 17

Pemilih adalah warga Negara Republik Indonesia yang berdomisili di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berumur 17 (tujuh belas) tahun ke atas atau yang sudah pernah nikah dan hak pilihnya tidak sedang dicabut oleh pengadilan.

Pasal 18
Pemilih di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, mempunyai hak:

a. memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
b. mengawasi proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
c. mengajukan penarikan kembali (recall) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
d. mengajukan pemberhentian sebelum habis masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
e. mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan pemerintahan Daerah;
f. mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan g.mengawasi penggunaan anggaran.

Pasal 19
Hak-hak pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam.

Pasal 20

(1) Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota atau nama lain dapat berhenti atau diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(2) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota atau nama lain dapat berhenti atau diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

BAB X
KEPOLISIAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 21
(1) Tugas kepolisian dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melaksanakan kebijakan teknis kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang keamanan.

(3) Kebijakan mengenai keamanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah kepada Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(4) Hal-hal mengenai tugas fungsional kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(5) Pelaksanaan tugas fungsional kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian Daerah kepada Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(6) Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

(7) Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(8) Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam kerangka pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 22
(1) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan atas keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya,
dan adat istiadat di daerah penugasan.

Pasal 23
Hal-hal mengenai pendidikan dan pembinaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XI
KEJAKSAAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 24
(1) Tugas kejaksaan dilakukan oleh kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

(2) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung.

BAB XII
MAHKAMAH SYAR'IYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Pasal 25
(1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun.

(2) Kewenangan Mahkamah Syar'iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.

Pasal 26
(1) Mahkamah Syar'iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(2) Mahkamah Syar'iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(3) Hakim Mahkamah Syar'iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27
Sengketa-wewenang antara Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk
tingkat pertama dan tingkat terakhir.

Pasal 28
Susunan organisasi, perangkat Daerah, jabatan dalam pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku hingga dibentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan undang-undang ini.

Pasal 29
Semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 30
Semua Peraturan Daerah yang ada dinyatakan sebagai Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan yang dimaksud dalam undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
(1) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 32
Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini secara bertahap harus telah dibentuk paling lambat dalam masa satu tahun setelah undang-undang ini diundangkan.

Pasal 33
Perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 34
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd
MUHAMMAD M. BASYUNI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 114
----------