Stavanger, 11 Juli 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
PLUS VII + MEMBACA ISI RUNDINGAN RONDE
KE 3 DAN KE 4 ACHEH SUMATRA- INDONESIA JAWA
Omar Puteh
Stavanger – NORWEGIA
MASIH
MEMBACA ISI RUNDINGAN RONDE KE 3 DAN KE 4 ACHEH SUMATRA- INDONESIA JAWA
(1).
Motto: Soë njang seurah keumerdehkaan untôk meuteume keuamanan,
keuseuneulheueh meusapeuë hana meuteumeë! (Siapapun yang coba
menyerahkan kemerdekaan untuk mendapatkan keamanan, akhirnya terperdaya dan
tidak akan mendapatkan apa-apa!) (Benjamin Franklin).
(2)
Motto: “Hana djalan puta diateuëh tudjuan kemerdehkaan!” (Tidak ada jalan berpatah balik demi tujuan kemerdekaan!) (George Bernard Shaw).
(3).
Motto: “Keumerdehkaan memakna tanggông djaweub!” (Kemerdekaan menuntut
sebuah tanggung jawab!) (Tengku Hasan Muhammad di Tiro)
Kita
tidak perlu menanggapi terlalu banyak lagi mengenai Etno-nasionlisme NKRI yang
dipastikan sebagai Etno-nasionalisme Jawa Chauvinis, sebaik saja Negara
(Federasi) Republik Indonesia Serikat (RIS) dilebur menjadi Negara Kolonialisme
Republlik Indonesia (NKRI), sama seperti yang dimaksudkan oleh Dr Mohammad
Hatta bahwa: (Etno) Jawa Nasionlisme itu,
jelas berkedokkan “Indonesia”
dan seperti juga yang dimaksudkan oleh Dr Pramoedya Ananta Toer bahwa:
Etno-Jawa Sentris (Chauvinis) itu, jelas berkedokkan “Indonesia”!
Dan
anda, saudara Indra J. Piliang tentu dapat memahami mengapakah Dr Mohammad
Hatta dan Dr Pramoedya Ananta Toer, mengatakan demikian bahwa, kesemua
pergerakan politik dari politikus-politikus Jawa Chauvinis sebelum 1945 adalah
sebagai gerakan (Etno) Jawa Nasionalisme, yang hanya memperjuangkan kepentingan
orang-orang Jawa saja!
Walaupun
begitu perlu juga kita tanggapi mengenai nasionalisme-nasakomnya Soekarno si
Penipu licik, berikutnya nanti, ketika
kami menyempatkan diri singgah berdiskusi dengan Dr Asvi Warman Adam (LIPI) dan
Dr M. Djumaini Kartaprawira Ph D (Belanda).
Nah,
sekarang kita masuk dulu kedalam masalah bahasa nasional Acheh yang
saudara Indra J. Piliang permasalahkan:
Mengapakah
Penjajah Indonesia Jawa kini menyodorkan kepada bangsa Acheh keutamaan
menggunakan bahasa Acheh sebagai bahasa kebangsaannya, sebagai imbalan
memotivasikan GAM, sedia berkompromi agar Acheh tidak menuntut
kemerddekaannya. Buat apa itu?
Kita
ketengahkan sebuah ucapan dari seorang Filosof dan juga seorang Pejuang
kemerdekaan yang maksudnya: Bahasa kebangsaan itu akan tumbuh, berkembang dan
hidup segar kembali dengan sendirinya sebaik saja bangsa itu mencapai
kemerdekaannya! Jadi bangsa
Acheh merdeka dulu, sesudah itu bahasa kebangsaan Acheh, akan
berjalan langgeng dan melengang-lenggok sendiri!
Apalagi:
(1).
Acheh diwaktu lalu, sememangnya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat
dan telah menjadi tempat persinggahan (harbouring) dan pembenturan (collision)
berbagai kebudayaan dunia, bersesuaian dengan letak geographisnya yang
strategis di daerah garis lintasan navigasi utama. Selain itu, dimasa lalu, Acheh pernah sebagai kuasa
perdagangan yang disebgani dan kuasa pertahanan militer (laut ) yang terkuat di
Asia Tenggara, ketika menjadi sekutu Turki, sebuah negara yang (ketika itu)
juga diakui sebagai kuasa militer yang terkuat didunia. Tentu saja akhirnya
Turki menggunakan bahasa Acheh-Melayu sebagai bahasa perhubungan
diplomatiknya diantara kedua negara itu.
Acheh dan Turki, ketika itu seperti Republik Arab Persatuan
(RPA). Sementara lihat dulu Alam
Acheh (bendera Acheh), sebelum kita membicarakan masalah bendera
dilembaran akan datang.
(2).
Sebagai kuasa perdagangan dengan kuasa melindungi seluruh wilayah Status Quo
Ante Bellumnya yang melikputi: Pulau Sumatra, Semenanjung Malaya, Sebahagian
Kalimantan Barat dan Jawa Barat Dan
tentu saja Negara Acheh telah menggunakan pengaruh bahasa kebangsaannya:
Acheh. Dan bahasa Acheh
dan Melayu telah digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam trasnsaksi
perdagangan Internasionalnya!
Inggeris, Belanda, Spanyola,
Portugis, Arab, India dan Jepang menjadi rakan dagang Acheh sejak lama.
China sememangnya telah menjadi rakan dagang tradisi dan exlsuisive bagi
Acheh!
(3). Bahasa Melayu ini, juga telah
pernah digunakan secara rasmi sejak Negara Acheh mengikat hubungan
diplomatik dengan Negara China, 200-150 tahun sebelum Masehi, atau kira-kira
sejak China meninggalkan jajahan ke 1050 tahun-nya keatas Vietnam, sebagaimana dapat kita baca dari majalah Negara
Riau, terbitan sekitar tahun 1980-an oleh Prof Mohammad Yamin atau Asmaraman Khoo Ping Ho, menuturkan bagaimana
hubungan sejarah klasik Negara Acheh dengan Negara China.
Terciptanya sejarah hubungan
diplomatik antara Negara Acheh dengan Negara China, telah digambarkan
oleh Prof Mohammad Yamin sebagai sejarah hubungan diplomatik yang pertama
didunia, melangkahi Mesopotamia, Mesir, Assyria, Mecodonia atau India sebagai
pusat-pusat awal tamandun budaya didunia diwaktu lalu itu, dengan menggunakan
bahasa Acheh dan bahasa Melayu, sekitar 800-900 tahun sebelum Sriwijaya
menggunkannya.
Negara China juga adalah juga
negara pusat awal tamandun budaya dunia.
Sewaktu Sultan Acheh
berkoresponden dengan Ingeris, King James II atau King James Lancaster, Negara
Acheh juga menggunakan bahasa Melayu.
Tercatat dalam sejarah bagaimana
Cornelis de Houtman, Raja Jawa yang memerintah Pulau Jawa dari 1596-1599 telah
di-ekskusi oleh Laksamana Malahayati, pada tahun 1599, karena ia coba berlagak
Tuan didepan Laksamana Malahayati, dan coba memperlakukan Acheh
sebagaimana pengalaman tiga tahun pemerintahannya telah memperlakukan
orang-orang Jawa, di Pulau Jawa sana:
Biadab dan tidak berprikemanusiaan sama-persis seperti kita lihat hari ini:
Jawa-Jawa Chauvinis yang sedang berlagak tuan di Acheh dan memperlakukan
bangsa Acheh secara bidab dan tidak beprikemanusiaan.
Tetapi adik dari pada Cornelis de
Houtman: Fredrick de Houtman, hanya dipenjarakan saja. Selama Fredrick de
Houtman didalam tahanannya, dia telah diperintahkan menyiapkan sebuah Kamus
Bahasa Melayu. Kamus itu kemudian
dianggap sebagai kamus bahasa Melayu yang pertama didunia atau tiga ratus dua
puluh sembilan tahun sebelum "soempah pemoeda, 1928".
Kemudian Fredrick de Houtman
setelah dibebaskan, dilantik sebagai Gubernur di Kepulauan Maluku dan kemudian
pula sebagai Gubernur di Amboina, mengingat karya dan jasanya menyiapkan kamus
bahasa Melayu yang pertama didunia itu ketika di Acheh dulu yang juga
sangat diperlukan untuk kepentingan melatih anak-anak Jawa, ex-Pembunuh bayaran
KNIL Belanda dalam tugas mereka?
Jadi Negara Acheh telah
menggunakan bahasa pengantarnya selain bahasa Acheh, sebagai bahasa
kebangsaannya dan juga telah menggunakan bahasa Melayu ribuan tahun sebelum
"soempah pemoeda, 1928".
Pengaruh bahasa Acheh sebagai bahasa kebangsaanya, dapat kita
lihat sampai sekarang ini, di wilayah takluk Kerajaan Negeri Kedah, Darul Aman,
Malaysia.
Sebagaimana diketahui sampai
sekarang para sarjana, masih belum punya kesepakatan yang sama dari mana
asal-usul bahasa Melayu itu. Walaupun sejumlah mereka lebih yakin bahasa Melayu
itu berasal dari Jambi. Kecuali
kesemua para sarjana di Indonesia Jawa sepakat bahwa bahasa "indonesia
soempah pemoeda 1928" itu adalah bersal dari bahasa Melayu, yang telah
pernah oleh Negara Acheh sejak ribuan tahun yang lalu!
Tetapi mengingat kepada sejarah
perdagangan maka dari kesimpulan para sarjana yang mendapatkan data-maklumat
salah, telah memilih Palembang, karena dikatakan pernah menjadi sebagai sebuah
pusat perdagangan sekitaran tahun 600-800 M, ketika ahli-ahli sejarah Indonesia
Jawa Chauvinis menyembunyikan sejarah aktuil Negara Acheh.
Walaupun kebanyakan masih menyebut
Jambi, yang terletak disekitar muara sungai Batang Hari, sungai yang terdalam
di Nusantara, karena mendapati kenyataan struktur bahasa di Jambi sana menambah
satu keyakinan lain pada mereka.
Tetapi beberapa sarjana lain,
berpendapat lain pula, karena Palembang di Sumatra Selatan itu bukan terletak
di daerah garis lintasan navigasi utama, saudagar-saudagar asing yang pernah
berniaga dengan China, maka penelitian mereka berpaling kearah Paklibang,
Kelantan, Malaysia, di laluan Laut China Selatan ataupun di Pelimbang,
Acheh Sumatra, dilaluan Selat Acheh (Melaka), karena disana,
keduanyapun terletak tidak jauh dari tepian pantai, dimana terdapat kuil China
purba, yang sampai sekarang terbiar tidak pernah dipugar dan bersemak ditutupi
belukar (kenyataan seperti terlihat di tahun1978). Pengembara China I-Tsing pada 645M bahwa Jawa bukan Melayu atau
Jawa sebenarnya tidak patut menamakan Jawa sebagai Indonesia?
Jadi saudara Indra J. Piliang
tidak perlu taksub dengan apa yang disebut bahasa Indonesia itu, yang dikatakan
dalam sejarah “Soempah Pemoeda”, 1928 , sebagaimana propagandanya pernah
dilahirkan.
Mengapakah anak-anak muda aliran
extrim kiri (komunis) Jawa, yang menggagasi “Soempah Pemoeda” 1928 itu, memilih
bahasa Melayu menjadi bahasa kebangsaan mereka? Dan mengapakah Bahasa Melayu
ditukangi, kemudian bertukar menjadi bahasa Indonesia? Sedangkan sebagaimana
oleh pengembra China bahwa, Jawa bukan Melayu sejak 1283 tahun sebelumnya?
Modus yang digunakan oleh
“nasionalis-nasionalis Jawa Chauvinis/Sentris pada tahun 1928 menyadap bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia adalah sama seperti modus yang digunakan oleh
Soekarno si Penipu licik menyadap Murbais menjadi Marhenis, setelah gerakan
pemberontakan Murbais gagal di Banten 1926 dan di Padang 1927 dan sama-persis
modus yang digunakan kembali oleh Soekarno si Penipu licik dengan wilayah
Negara (Federasi) Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi wilayah Negara
Kolonialis Republik Indonesia Jawa (NKRI) atau negara-negara bahagian dijadikan
menjadi propinsi-propinsi pada 15 Agustus, 1950!
Amerika Serikat sendiri setelah
100 tahun kemerdekaannya, ketika membuat persamaan bahasanya dengan Inggeris,
malahan tidak pernah merobah atau menyebutkan bahasa Inggeris itu sebagai
bahasa Amerika Serikat, paling-paling VOA menyebutnya sebagai “special
engglish”.
Itu sebanya, Moehtar Lubis pernah marah, ketika melihat
perkembangan kehancuran bahasa Melayu,
yang setiap hari terus dirusaki kesemua sendi-sendi struktur bahasanya oleh
politikus-politikus Jawa. Dan dengan lantang terus mengatakan (dalam Kompas
1970-an) bahwa, politikus-politikus Jawa sedang menjajah bahasa
“indonesia-Melayu” pula dan kemudian menjadikannya seperti bahasa pecal Jawa! Atau bahasa “indonesia” mereka sebagai
bahasa cenil!
Kita semua lihat dan kita semua
saksikan sekarang ini, setelah mereka menciptakan saja istilah (1) satu bangsa,
bangsa Indonesia (2) satu bahasa, bahasa Indonesia, (3) satu tanah air, tanah
air Indonesia dst-nya, maka dengan istilah itulah kemudian dijadikannya sebagai
modal untuk menguasai bangsa-bangsa diluar Pulau Jawa, tampa meneteskan setetes
darah dan tampa mengucurkan secucur keringat.
Adakah ini, telah menjadi bahan
study dari keseluruhan cakupan penelitian saudara Indra J. Piliang?
Seperti pengelola milis mimbar
bebas ini telah mengatakan berulang bahwa,
Jawa-Jawa Chauvinis itu menciptakan “Indonesia” itu lewat mitos pada
awalnya, tetapi kemudian berobah menjelmakan menjadi monster, yang mencengkam
dan mengancam!
Sebagai contoh sebuah lagi cerita:
Setelah Soekarno si penipu licik dan si Soekarno Kleptokracy , dua bangsat dan
dua algojo Jawa Chauvinis ini, bertemu empat mata pada 11 Maret, 1967 mereka
memutuskan program Jawanisasi (Revolusi yang belum selesai) musti diselesaikan
dengan tuntas.
Dan dari manusia-manusia
“Indonesia” (sekarang) ini, in the end, musti melahirkan satu jenis manusia
Jawa ( kata: Jenderal Martono, Ecologist London , 2 Maret, 1968). Saya tanyakan
kepada anda, saudara Indra J. Piliang, bahasa apakah yang akan digunakan
sebagai bahasa kebangsaan manusia Jawa, yang akan diwujudkan oleh Jawa-Jawa
Chauvinis itu???
Jelas dan tegas juga dikatakan
oleh Jenderal Martono bahwa, Pancasila akan dibuang dan tidak diperlukan lagi
karena, bersesuaian dengan tujuan pertama Soekarno si Penipu licik menyebutkan
“persatuan” dalam pidatonya adalah untuk mewujudkan satu kesatuan dalam
persatuan manusia Jawa, yang Raja Jawa-nya sememang telah tersedia di
Jokyakarta dan Surakarta sana. Lantas
apakah dasar dan falsafah negara “manusia Jawa ini” nanti pula?
(1). Soekarno si Penipu licik
dididik Prof Baars menjadi anak Komunis.
(2). Soekarno si Penipu licik sang
anak komunis ini, meciptakan Nasakom.
(3). Soekarno si Penipu licik sang
anak nasakom ini menciptakan Pancasila!
Kemudian setelah dia berada
dikemuncak dengan (a) Pancasilanya, dia coba kembali pula dengan (b)
Nasakom-nya, lewat Nawaksara-nya dengan pembelaan mati-matiannya terhadap
komunis-nya, ketapak mana ia ingin kembali semula lagi ke (c) komunisme. Adakah seperti ini telah anda dengar Prof Dr
Roeslan Abdoel Gani, sicorong antik Soekarno si Penipu licik menjelaskan
demikian? Tanyakan kepadanya selagi dia masih
belum mati.
Itulah
semua modus/tehnik yang pernah digunakan oleh Soekarno si Penipu licik!
Sekarang
saya katakan kepada anda saudara Indra J.Piliang, mengapakah tidak seorangpun
Presiden Indonesia Jawa itu bisa bercakap bahasa “indonesia”-Melayu dengan
betul dan baik. Mereka kesemuanya bercakap bahasa “indonesia-melayu” mdok Jawa!
Bahasa pecal Jawa pakai daun genjer-genjer; bahasa cenil atau bahasa gaplek!
Bahasa
kebangsaan Penjajah Indonesia Jawa adalah bahasa kebangsaan gaplek!
Dengan
bahasa kebangsaan gaplek itukahkah, saudara Indra J. Piliang meremehkan bahasa
Acheh sebagai bahasa kebangsaannya?
(Bersambung:
Plus VIII + Membaca Isi Rundingan Ke 3 dan 4 Acheh Sumatra-Indonesia
Jawa Dari Luaran).
Wassalam
Omar Puteh
om_puteh@hotmail.com
om_puteh@yahoo.com
Norway
----------