Stockholm, 4 Agustus 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
DHARMINTA, ITU BANGSA PAPUA TIDAK BISA
TERUS-TERUSAN DITIPU DAN DIBOHONGI DENGAN PEPERA 1969 MODEL SOEHARTO
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
PEPERA PAPUA
1969 MODEL JENDERAL SOEHARTO ADALAH PEPERA PENIPUAN BAGI BANGSA PAPUA
"Salam
Hormat. Menjelang tanggal 15 Agustus 2005 warga di Tanah Papua dalam keadaan
resah atau takut karena berbagai isu yang berkembang dengan adanya intimidasi
dari aparat keamanan maupun isu pengiriman pasukan di Tanah Papua, dengan demikina
kami harapkan semua komponen dapat memantau perkembangan yang terjadi di tanah
Papua. Dan kami harapkan
suasana di Papua dalam keadaan aman dan terkendali." (Simon Giyai, giyaipouga@yahoo.com , 4 augusti 2005 05:40:48)
"Anda
(Asudirman) bebas berprinsif apapun tentang Papua, namun anda tidak bisa
memaksa/membohongi warga Papua dengan ideologi murahan dengan basis separatis
macam itu. Dunia internasional yang mana?? kalau toh ada, tak lebih dari
perorangan atau kelompok lsm radikal yang memang kerjaanya bikin isu-isu
negatif untuk dijadikan komoditi sumber penghasilan. yaa termasuk seperti anda
(Asudirman) ini." (Matius
Dharminta, mr_dharminta@yahoo.com , Wed, 3 Aug 2005 22:28:53 -0700 (PDT))
"(3)
On August 15, 1962, Indonesia and the Neth erlands signed an agreement at the
United Nations in New York (commonly referred to as the ``New York Agreement'')
which transferred administration of Papua first to a United Nations Temporary
Execu tive Authority (UNTEA), and then to Indonesia in 1963, pending an ``act
of free choice . . . to permit the inhabitants to decide whether they wish to
remain with Indonesia''. (4) In the New York Agreement, Indonesia formally
recognized ``the eligibility of all adults [in Papua] . . . to participate in
[an] act of self-determination to be carried out in accordance with
international practice'', and pledged ``to give the people of the territory the
opportunity to exercise freedom of choice . . . before the end of 1969''. (5)
In July and August 1969, Indonesia conducted an ``Act of Free Choice'', in
which 1,025 selected Papuan elders voted unanimously to join Indonesia, in
circumstances that were subject to both overt and covert forms of
manipulation." (109th Congress, H.R. 2601: Foreign Relations Authorization
Act, Fiscal Years 2006 and 2007)
Baiklah Dharminta
di Jakarta, Indonesia.
Saudara Simon
telah menggambarkan bahwa "menjelang 15 Agustus 2005 warga di Tanah Papua
dalam keadaan resah atau takut karena berbagai isu yang berkembang dengan
adanya intimidasi dari aparat keamanan maupun isu pengiriman pasukan di Tanah
Papua, dengan demikina kami harapkan semua komponen dapat memantau perkembangan
yang terjadi di tanah Papua. Dan kami harapkan suasana di Papua dalam keadaan
aman dan terkendali."
Dimana keresahan
di Papua ini diakibatkan oleh sikap RI yang terus menjalankan kebijaksanaan
politik di Papua yang tidak mengarah kepada timbulnya kedamaian yang adil dan
jujur.
Dari sejak awal,
Soekarno bersama Kabinet Ali II membatalkan secara sepihak perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 3 Mei 1956. Diteruskan dengan
membentuk provinsi Irian Barat secara sepihak dan mengklaim Tidore, Oba, Weda,
Patani, serta Wasile di Maluku Utara dengan Ibu Kotanya dipilih Soa Siu, pada
tanggal 17 Agustus 1956. Dan Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah menjadi
Gubernurnya pada tanggal 23 September 1956.
Kemudian pada tanggal 10 Februari 1958 Soekarno membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat atau Papua Barat. Karena Front Nasional Pembebasan Irian Barat atau Papua Barat tidak berjalan baik, maka digantikan dengan Front Nasional yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 tanggal 31 Dsember 1959. Tujuan Front Nasional adalah, 1. Menyelesaikan revolusi nasional Indonesia, 2. Melaksanakan pembangunan semesta nasional dan 3. Mencaplok Irian Barat atau Papua Barat.
Pada tanggal 19 Desember 1961 Soekarno bicara didepan rapat umum di Yogyakarta yang intinya berisikan 3 sasaran. 1. Mencaplok Papua Barat yang dianggap sebagai boneka Papua buatan Belanda. 2. Bendera Negara RI harus dikibarkan diwilayah Irian Barat atau Papua Barat yang dianggap sebagai daerah wilayah kekuasaan Negara RI. 3. Menyiapkan mobilisasi umum mempertahankan Negara RI yang akan mencaplok Irian Barat atau Papua Barat.
Dalam usaha pencaplokan Irian Barat atau Papua Barat ini, Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 2 Januari 1962.
Dan pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani persetujuan New York, dari pihak Belanda diwakili oleh Dr J Van Roywen dan CW Schurmann dan dari pihak Negara RI diwakili oleh Dr Subandrio yang disaksikan oleh Pd. Sek Jen PBB U.Thant.
Nah, dengan langkah dan cara model begini menunjukkan
bagaimana pihak Soekarno secara sepihak telah dengan sengaja membatalkan KMB
dan sekaligus membentuk provinsi Irian Barat atau Papua Barat, tanpa adanya
persetujuan dari seluruh bangsa Papua. Serta melakukan perundingan di New York.
Yang
menjadi masalah utama mengapa bangsa Papua menuntut penentuan pendapat rakyat
yang jujur, adil, bebas dan rahasia sebagaimana yang disepakati dalam
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 adalah karena pelaksanaan penentuan
pendapat rakyat yang dilaksanakan antara 14 Juli - 4 Agustus 1969 di delapan
Kabupaten Papua tidak mencerminkan apa yang digariskan dalam perjanjian New
York dan tidak sesuai dengan peraturan internasional mengenai penentuan
pendapat rakyat atau plebisit atau referendum.
Masalah pepera
yang dilakukan di Papua 1969 ini telah dikupas Ahmad Sudirman dalam tulisan
sebelum ini. ( http://www.dataphone.se/~ahmad/050802c.htm
)
Dan masalah
pepera inilah yang dipertanyakan oleh pihak anggota Kongres Amerika Serikat
dalam Sidang Kongres ke 109 yang membicarakan Rancangan UU atau H.R. 2601 yang
menyangkut "Foreign Relations Authorization Act, Fiscal Years 2006 and
2007"
Dimana
dinyatakan bahwa "4) In the New York Agreement, Indonesia formally
recognized ``the eligibility of all adults [in Papua] . . . to participate in
[an] act of self-determination to be carried out in accordance with
international practice'', and pledged ``to give the people of the territory the
opportunity to exercise freedom of choice . . . before the end of 1969''. (5)
In July and August 1969, Indonesia conducted an ``Act of Free Choice'', in
which 1,025 selected Papuan elders voted unanimously to join Indonesia, in
circumstances that were subject to both overt and covert forms of
manipulation."
Nah,
menurut Perjanjian New York bahwa Indonesia mengakui semua orang dewasa di
Papua punya hak pilih untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri yang
dijalankan berdasarkan aturan internasional melalui penentuan pendapat rakyat sebelum
akhir tahun 1969.
Tetapi ternyata dalam prakteknya, ketika pepera itu diselenggarakan tidak sesuai dengan aturan internasional. Dimana sebanyak 1026 anggota saja yang dipilih dari delapan Kabupaten untuk duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera. Yaitu setiap Kabupaten ada anggota Dewan Musyawarah pepera. Dan ketika dilangsungkan pepera dari mulai tanggal 14 Juli sampai 4 Agustus 1969, bukan dilakukan oleh seluruh orang dewasa di Papua, melainkan
Hanya dilakukan oleh orang-orang yang ditunjuk untuk duduk dalam Sidang Dewan Musyawarah Kabupaten. Artinya, hanya 128 orang saja yang melakukan pepera dalam Sidang Dewan Musyawarah Pepera untuk setiap Kabupaten. Nah, cara pepera atau Act of Free Choice inilah yang tidak sesuai dengan aturan internasional. Karena dengan cara begini kerahasiaan dan kebebasan untuk menentukan sikap tidak ada dan bisa dimanipulasi.
Memang hasil dari model pepera 1969 ini diterima PBB pada tanggal 19 November 1969 yang disidangkan dalam Sidang Umum PBB ke-24, tetapi cara pelaksanaan pepera model Jenderal Soeharto yang tidak mengikuti aturan internasional ini tidak dibicarakan dalam sidang umum PBB.
Dan cara pepera Jenderal Soeharto inilah yang dipertanyakan oleh anggota Kongres Amerika dalam Sidang Kongres ke 109 ketika membicarakan Rancangan Undang Undang 2601 atau H.R 2601: Foreign Relations Authorization Act, Fiscal Years 2006 and 2007.
Dan tentu untuk tegaknya keadilan, kejujuran dan hukum di Papua, maka masalah penentuan pendapat rakyat Papua harus diulang kembali dengan diserahkan kepada seluruh bangsa Papua yang punya hak pilih guna melakukan pepera dengan mengikuti aturan internasional.
Nah, kalau memang bangsa Papua senang bergabung dengan RI,
jangan khawatir itu mbah Susilo Bambang Yudhoyono akan kehilangan tanah Papua.
Hanya persoalannya, apakah berani itu mbah Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan kepercayaan kepada seluruh bangsa Papua untuk menentukan pendapat
rakyat ?
Ataukah itu mbah Susilo Bambang Yudhoyono tetap keras kepala
dengan apa yang telah dilakukan mbah Soeharto dengan model pepera 1969-nya yang
tidak sesuai dengan aturan internasional dalam hal penentuan pendapat rakyat
atau plebisit atau referendum, sehingga tetap keras kepala mengatakan Papua
sudah final ?
Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
From: simon
giyai giyaipouga@yahoo.com
Date: 4
augusti 2005 05:40:48
To: Ahmad
Sudirman ahmad_sudirman@hotmail.com
Subject:
tanggapan balik,......
Salam
Hormat....
Menjelang
tanggal 15 Agustus 2005 warga di Tanah Papua dalam keadaan resah atau takut
karena berbagai isu yang berkembang dengan adanya intimidasi dari aparat
keamanan maupun isu pengiriman pasukan di Tanah Papua, dengan demikina kami
harapkan semua komponen dapat memantau perkembangan yang terjadi di tanah
Papua. Dan kami harapkan
suasana di Papua dalam keadaan aman dan terkendali.
Sekian
Simon Giyai
giyaipouga@yahoo.com
New York,
USA
----------
Date: Wed,
3 Aug 2005 22:28:53 -0700 (PDT)
From:
matius dharminta mr_dharminta@yahoo.com
Subject:
Re: DHARMINTA & MATTULESY MEMANG KENA TIPU TERUS MENERUS To: Ahmad Sudirman
<ahmad@dataphone.se>, yahuwes@yahoo.com, yusrahabib21@hotmail.com,
yuhe1st@yahoo.com, viery_fajri@yahoo.com, warzain@yahoo.com,
wartadephan@dephan.go.id, waspada@waspada.co.id,
universityofwarwick@yahoo.co.uk, teuku_mirza@hotmail.com,
teuku_mirza2000@yahoo.com, teguhharjito@yahoo.com, trieng@netzero.net,
tang_ce@yahoo.com, tgk_maat@yahoo.co.uk, tonisudibyo2001@yahoo.com, toto_wrks@yahoo.com
"Memang
Allah SWT yang menciptakan alam raya dan semua isinya. Tetapi, planet bumi untuk
manusia. Dari sejak Nabi Adam sebagaimana manusia pertama yang diturunkan ke
bumi. Untuk hidup, berjuang, beribadah, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara. Semuanya
diserahkan kepada hamba Allah untuk mengaturnya." (Ahmad Sudirman, 3
Agustus 2005)
Apa yang
anda (Asudirman) katakan diatas betul, tapi anda juga harus ingat bahwa kita
sekarang hidup di alam/zaman modern, bukan zaman batu/purba lagi, semua harus
hidup dengan aturan dan peraturan. Memang Allah ditak membatasi manusia akan
hidup/tinggal dibelahan bumi mana, namun sekali lagi ingat kini zaman sudah
modern, setiap jengkal tanah diseluruh pelosok bumi sudah di atur oleh ideologi
manusia modern, jadi untuk datang, kunjung, tinggal, menetap, harus melalui
aturan yang berlaku, tidak seperti celeng liar...
"Nah,
menyangkut Papua. Jelas, itu konflik Papua, dimulai penganeksasian wilayah
Papua kedalam RI oleh Soekarno. Dan ini telah berulang kali dijelaskan
Ahmad Sudirman di mimbar bebas ini." (Ahmad Sudirman, 3 Agustus 2005)
Anda
(Asudirman) bebas berprinsif apapun tentang Papua, namun anda tidak bisa
memaksa/membohongi warga Papua dengan ideologi murahan dengan basis separatis
macam itu..
"Sekarang,
dunia internasional ingin melihat di Papua damai. Diselesaikan melalui jalur
politis damai. Berdasarkan fakta dan bukti serta sejarah dan hukumnya ternyata
ketika pihak Jenderal Soeharto melaksanakan isi Perjanjian New York 15 Agustus
1962 yang menyangkut penentuan pendapat rakyat Papua tidak menurut praksis atau
aturan hukum internasional tentang penentuan pendapat rakyat atau plebisit atau
referendum." (Ahmad Sudirman, 3 Agustus 2005)
Dunia internasional yang mana?? kalau toh ada, tak lebih dari perorangan atau kelompok lsm radikal yang memang kerjaanya bikin isu-isu negatif untuk dijadikan komoditi sumber penghasilan. yaa termasuk seperti anda (Asudirman) ini..
Matius Dharminta
Jakarta, Indonesia
----------
109th Congress
H.R. 2601: Foreign Relations Authorization Act, Fiscal Years 2006 and 2007
Introduced: May 23, 2005
Sponsor: Rep. Christopher Smith [R-NJ]
Status: Scheduled for Debate
Last Action: Jul 13, 2005: Placed on the Union Calendar, Calendar No. 105.
[Report No. 109168]
IN THE HOUSE OF REPRESENTATIVES
MAY 24, 2005
Mr. SMITH of New Jersey (for himself and Mr. PAYNE) introduced the following bill; which was referred to the Committee on International Relations
JULY 13, 2005
Reported with an amendment, committed to the Committee of the Whole House on the State of the Union, and ordered to be printed
..........
(b) FINDINGS RELATING TO PAPUA.
Congress finds the following:
(1) Papua, a resource-rich province whose indigenous inhabitants are predominantly Melanesian, was formerly a colony of the Netherlands.
(2) While Indonesia has claimed Papua as partof its territory since its independence in the late 1940s, Papua remained under Dutch administrative control until 1962.
(3) On August 15, 1962, Indonesia and the Neth erlands signed an agreement at the United Nations in New York (commonly referred to as the ``New York Agreement'') which transferred administration of Papua first to a United Nations Temporary Execu tive Authority (UNTEA), and then to Indonesia in 1963, pending an ``act of free choice . . . to permit the inhabitants to decide whether they wish to remain with Indonesia''.
(4) In the New York Agreement, Indonesia formally recognized ``the eligibility of all adults [in Papua] . . . to participate in [an] act of self-determination to be carried out in accordance with international practice'', and pledged ``to give the people of the territory the opportunity to exercise freedom of choice . . . before the end of 1969''.
(5) In July and August 1969, Indonesia conducted an ``Act of Free Choice'', in which 1,025 selected Papuan elders voted unanimously to join Indonesia, in circumstances that were subject to both overt and covert forms of manipulation.
(6) In the intervening years, indigenous Papuans have suffered extensive human rights abuses, natural resource exploitation, environmental degrada tion, and commercial dominance by immigrant communities, and some individuals and groups estimate that more than 100,000 Papuans have been killed during Indonesian rule, primarily during the Sukarno and Suharto administrations.
(7) While the United States supports the territorial integrity of Indonesia, Indonesia's historical reliance on force for the maintenance of control has been counterproductive, and longstanding abuses by security forces have galvanized independence sentiments among many Papuans.
(8) While the Indonesian parliament passed a Special Autonomy Law for Papua in October 2001 that was intended to allocate greater revenue and decision making authority to the Papuan provincial government, the promise of special autonomy has not been effectively realized and has been undermined in its implementation, such as by conflicting legal directives further subdividing the province in apparent contravention of the law and without the consent of appropriate provincial authorities.
(9) Rather than demilitarizing its approach, Indonesia has reportedly sent thousands of additional troops to Papua, and military operations in the central highlands since the fall of 2004 have displaced thousands of civilians into very vulnerable circumstances, contributing further to mistrust of the central government by many indigenous Papuans.
(10) According to the 2004 Annual Country Report on Human Rights Practices of the Department of State, in Indonesia ``security force members murdered, tortured, raped, beat, and arbitrarily detained civilians and members of separatist movements'' and ``police frequently and arbitrarily detained persons without warrants, charges, or court proceedings'' in Papua.
(c) REPORTING REQUIREMENTS.--
(1) REPORT ON SPECIAL AUTONOMY.-- Not later than 180 days after the date of the enactment of this Act and one year thereafter, the Secretary of State shall submit to the appropriate congressional committees a report detailing implementation of special autonomy for Papua and Aceh. Such reports shall include--
(A) an assessment of the extent to which each province has enjoyed an increase in revenue allocations and decision making authority;
(B) a description of access by international press and non-governmental organizations to each province;
(C) an assessment of the role played by local civil society in governance and decision making; (D) a description of force levels and conduct of Indonesian security forces in each province; and
(E)a description of United States efforts to promote respect for human rights in each province.
(2) REPORT ON THE 1969 ACT OF FREE CHOICE.--Not later than 180 days after the date of the enactment of this Act, the Secretary of State shall submit to the appropriate congressional committees a report analyzing the 1969 Act of Free Choice.
----------