Stockholm, 23 Januari 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

APAPUN YANG TERJADI DI ACHEH HARUS TETAP MENGACU KEPADA MOU HELSINKI, JANGAN TERPERANGKAP OLEH OTONOMI.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

SEBELUM RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH DITETAPKAN JADI UU, MAKA SELURUH BANGSA DAN RAKYAT ACHEH HARUS BERSATU DIBAWAH NAUNGAN MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.

 

Sebenarnya dengan lahirnya MoU Helsinki lah sekarang telah terjadi perubahan besar-besaran di Acheh, baik dalam segi keamanan, politik, sosial, ekonomi, hukum ataupun undang-undang. Tanpa MoU Helsinki 15 Agustus 2005, maka tidak akan pernah terjadi sebagaimana yang tampak dan wujud sekarang di Acheh.

 

Karena itulah, bangsa dan rakyat Acheh perlu menyadari, memahami dan mengerti isi dari MoU Helsinki ini. Karena tanpa memahami dan mengerti isi dari MoU Helsinki ini, maka pihak pemerintah RI dan DPR RI yang terdiri dari berbagai kelompok, partai, golongan dan kepentingan politik itu akan terus menggerogoti dan menipiskan isi MoU Helsinki ini.

 

Bagi bangsa dan rakyat Acheh, terutama dari kelompok terpelajar dan para akhli yang mengerti hukum, jangan sampai mudah dibelokkan dari apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki ini.

 

Disini Ahmad Sudirman masih melihat hampir kebanyakan rakyat di Acheh termasuk mereka yang disebut akhli dalam bidang hukum masih ragu dan setengah-setengah dengan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.

 

Padahal kalau mereka mengerti dan memahami apa yang tertuang dalam MoU Helsinki ini, maka tidak ada lagi disebut otonomi di Acheh, melainkan yang ada dan telah disepakati adalah self-government artinya pemerintahan sendiri di Acheh, dimana antara pemerintahan sendiri di Acheh dan pemerintah RI diatur berdasarkan kewenangan-kewenangan yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.

 

Jadi, tidak perlu merasa takut dan ragu-ragu dari tim para akhli hukum di Acheh, seperti misalnya tim ahli panitia khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Acheh Dewan Perwakilan Daerah Bachtiar Ali yang kelihatan masih ragu dan ketakutan untuk secara terang-terangan menyatakan bahwa di Acheh akan berdiri self-government, bukan otonomi, sehingga tidak ada itu istilah dan nama otonomi tercantum dalam RUU Pemerintahan Acheh.

 

Atau itu wakil ketua panitia khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Acheh A Malik Raden yang masih setengah-setengah untuk menyatakan bahwa di Acheh akan berdiri dan diselenggarakan self-government atau pemerintahan sendiri yang mengacu kepada MoU Helsinki.

 

Kemudian, kalau ada yang datang ke Acheh dari pihak ketua panitia khusus DPD RI Sri Kadarwati untuk mengumpulkan fakta dan mendengarkan pendapat dari pihak bangsa dan rakyat Acheh dalam hal RUU Pemerintahan Acheh ini, maka bangsa dan rakyat Acheh wajib menjelaskan secara jelas dan gamblang bahwa RUU Pemerintahan sendiri di Acheh ini seratus persen mengacu kepada MoU Helsinki, bukan mengacu kepada yang lainnya.

 

Kalau pihak bangsa dan rakyat Acheh masih bisa dibodohi dan ditipu dalam hal Acheh melalui taktik dan gaya model lama yang dijalankan sejak Soekarno sampai Megawati, maka sampai kapanpun bangsa dan rakyat Acheh akan tetap saja dibodohi.

 

Nah sekarang, sudah saatnya seluruh bangsa dan rakyat Acheh dengan mengacu kepada MoU Helsinki untuk bangkit dan menyatakan hak dan kewajiban mereka atas tanah, dan negeri sendiri. Dimana bangsa dan rakyat Acheh yang akan mengatur dan membangun tanah dan negeri Acheh.

 

Disinilah dan sekaranglah, sebelum itu RUU tentang penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Acheh ditetapkan menjadi UU oleh DPR RI, untuk tampil dan menyuarakan isi sebenarnya dari apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.

 

Kesempatan inilah kesempatan yang paling baik bagi seluruh bangsa dan rakyat Acheh di Acheh dan dimanapun berada. Sebagian dari pihak Pemerintah RI, termasuk DPR RI dan orang-orang Acheh yang ada di Acheh yang sudah terbius dengan gaya dan model kuno otonomi made in Soekarno tidak akan senang dengan ditandatanganinya MoU Helsinki yang menekankan kepada self-government atau pemerintahan sendiri di Acheh ini.

 

Jadi bagi seluruh bangsa dan rakyat Acheh, hanya ada satu jalan untuk mencapai perjuangan di Acheh yaitu melalui pengacuan hukum kepada MoU Helsinki, semuanya harus diacukan kepada MoU Helsinki, bukan kepada yang lainnya. Apapun yang direferensikan oleh pihak Pemerintah RI dan DPR RI, tetapi dalam isi dan keseluruhan UU Pemerintahan sendiri di Acheh harus mengacu kepada MoU Helsinki.

 

Dengan MoU Helsinki inilah di Acheh akan berdiri dan dijalankan serta dilaksanakan pemerintahan sendiri yang berdiri diatas daerah atau bagian bumi Acheh yang mengacu kepada perbatasan 1 Juli 1956. Di Acheh tidak akan diselenggarakan pemerintahan otonomi, sebagaimana digembar-gemborkan oleh pihak RI dan DPR RI, melainkan self-government atau pemerintahan sendiri di Acheh yang mengacu kepada MoU Helsinki.

 

Terakhir, sekali lagi bahwa seluruh bangsa dan rakyat Acheh tetap mengacu kepada MoU Helsinki, apapun yang terjadi, karena kalau tidak, maka usaha-usaha dari luar Acheh juga dari dalam Acheh akan merobohkan isi dari MoU Helsinki yang sudah disepakati oleh pihak GAM dan pemerintah RI. Jadi satu-satunya jalan politik di Acheh sekarang adalah melalui jalur dan acuan hukum MoU Helsinki, bukan yang lainnya.

 

Selamat bagi seluruh bangsa dan rakyat Acheh di Acheh dan dimana saja, jangan sampai terperangkap oleh orang dan kelompok yang ingin menggagalkan perdamaian dan MoU Helsinki di Acheh.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

Senin, 23 Januari 2006 11:03 WIB

 

Prof Bachtiar Ali: Semua Pihak Harus Pahami Keinginan Aceh dalam RUU PA

 

BANDA ACEH - Tim ahli Pansus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof Dr Bachtiar Ali mengharapkan semua pihak bisa memahami kenapa RUU-PA yang diajukan DPRD Aceh ke pemerintah pusat dan kemudian diteruskan Mendagri ke DPR-RI untuk disahkan menjadi undang-undang, terlalu  detail dan panjang.

 

“Ini tidak terlepas dari sejumlah undang-undang yang sudah pernah dihasilkan sebelumnya yang ternyata menurut masyarakat Aceh tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Tanah Rencong,” katanya.

 

Hal itu dikemukakan pakar komunikasi dan mantan Dubes RI untuk Mesir itu ketika memberikan catatan pinggir terhadap sejumlah pandangan yang disampaikan anggota Pansus DPD-RI yang dilaksanakan di Gedung SerbaGuna Kantor Gubernur NAD, Ahad (21/1) kemarin.

 

Menurut Bachtiar Ali, dari sejumlah undang-undang sebelumnya, termasuk UU Otonomi Khusus, yang tanpa dilengkapi dengan PP, telah membuat sejumlah qanun yang dihasilkan DPRD NAD tak bergigi. “Jadi, kita berharap dengan UU-PA akan bisa membuat pemerintahan Aceh yang mampu mensejahterakan rakyatnya di masa mendatang,” katanya.

 

Dikatakan, kalau kita melihat pasal-pasal yang tercantum dalam RUU-PA itu memang terlalu panjang. Tapi, dari pasal-pasal itu saya melihat tidak hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan NKRI seperti yang banyak dirisaukan oleh banyak orang. “Kita bisa memahami tentang masih banyak orang luar Aceh yang belum paham terhadap isi RUU-PA itu secara detail. Kalau itu yang dikhawatirkan, jangankan orang luar Aceh, orang Aceh sendiri pun

tidak semuanya paham dengan RUU-PA tersebut,” katanya.

 

“Jadi, saya berharap sesuai dengan kesepakatan yang sudah dihasilkan lewat MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu, marilah bersama-sama kita kawal RUU tersebut hingga bisa disahkan menjadi UUPA tepat waktu pada 31 Maret 2006 mendatang,” ujar Bachtiar.

 

Dalam pertemuan yang dihadiri Pj Gubernur Aceh, Dr Mustafa Abubakar, Ketua Pansus DPD RI, Sri Kadarwati menjanjikan pihaknya siap mengawal proses pengesahan RUU-PA di DPR-RI. “Karena itu, kami datang ke sini untuk mencari masukan hingga kalau ada keragu-raguan di kalangan anggota dewan terhadap pasal-pasal tertentu kami akan bisa menjelaskan sesuai pemahaman masyarakat Aceh,” katanya.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Pansus RUU PA, Drs A Malik Raden kepada Serambi mengatakan hingga saat ini memang masih ada yang mempersoalkan tentang judul RUU Pemerintah Aceh tersebut. Karena, menurut mereka, sebagai bagian dengan NKRI seharusnya judul tersebut berbunyi RUU Pemerintah (Provinsi/Daerah) Aceh. Tapi kenapa pada judulnya tidak dicantumkan provinsi atau daerah?

 

“Ini saya pikir menyangkut pemahaman sementara orang saja. Karena, mereka hanya membaca judulnya saja. Sebab, kalau mereka sudah membaca seluruh isinya, pasti mereka tidak akan mempermasalahkannya lagi,” kata mantan Kakanwil Depdiknas Aceh.

 

Karena, tambahnya, dalam pasal-pasal RUU-PA tersebut sudah sangat jelas disebutkan bahwa Aceh tetap bagian tak terpisahkan dari NKRI. Dan ini sesuai dengan isi dari MoU yang ditandatangani Wakil Pemerintah Indonesia, Menhuk HAM, Dr Hamid Awaluddin dan elite GAM Malik Mahmud pada 15 Agustus 2005 lalu yang disaksikan mantan presiden Finlandia, Martti Athisaari. (sir)

 

http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=15276&rubrik=2&kategori=2&topik=11

----------