Stockholm, 24 Januari 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

DI ACHEH AKAN BERDIRI SELF-GOVERNMENT ATAU PEMERINTAHAN SENDIRI MENURUT MOU HELSINKI BUKAN OTONOMI.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

USAHA PENYIMPANGAN DARI JALUR HUKUM MOU HELSINKI TERUS DIPROPAGANDAKAN OLEH KELOMPOK YANG ANTI DAN TIDAK MENGERTI MOU HELSINKI.

 

"Itu kan menurut sudut pandang Pak Ahmad Sudirman, tapi menurut sudut pandang pemerintah lain lagi. Masuk akal kalau MOU Helsinki itu dijadikan dasar acuan untuk menjadi pemerintahan sendiri (self government) di Aceh jika daerah Aceh itu sebelumnya ditangani oleh PBB dan PBB sebagai institusi dunia yang bisa memberikan atau memutuskan untuk mendeklarasikan self governmen bagi Aceh, tentunya dengan acuan dasar referndum yang ada. Namun apa yang terjadi di Aceh tidaklah demikian. Masalah MOU di Helsinki yang dipasilitasi oleh manta Presiden Finlandia merupaka atau  hanyalah sarana untuk mengakhiri konflik di Aceh. Karena yang terjadi di Aceh adalah konflik antara separatis dengan pemerintah. Tentunya acuan bagi pemerintah dalam membenahi daerah Aceh adalah konstitusi negara, bukan MOU Helsinki itu." (SP Saprudin, im_surya_1998@yahoo.co.id , Tue, 24 Jan 2006 13:46:34 +0700 (ICT))

 

Saudara Saprudin,

 

Sebenarnya kalau saudara terlebih dahulu mempelajari lebih mendalam tentang Memorandum of Understanding Helsinki 15 Agustus 2005, maka saudara Saprudin tidak akan menulis sebagaimana diatas dalam usaha memberikan tanggapan atas tulisan Ahmad Sudirman, mengapa ?

 

Karena, apa yang dituliskan oleh Ahmad Sudirman, itu bukan merupakan hasil sudut pandang Ahmad Sudirman sendiri, melainkan itu merupakan fakta, bukti dan dasar hukum yang jelas dan terang hasil kesepakatan antara pihak GAM dengan pihak pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan kedalam bentuk Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

 

Nah, karena MoU Helsinki adalah merupakan hasil kesepakatan antara pihak GAM dan pihak pemerintah RI, maka dalam implementasi atau penerapannya harus mengacu kepada MoU Helsinki tersebut. Tidak ada lagi istilah menufrut pandangan Ahmad Sudirman atau menurut pandangan siapapun, melainkan yang ada adalah semuanya harus mengacu kepada MoU sebagai fakta, bukti dan dasar hukum untuk terselenggaranya pemerintahan sendiri atau self-government di Acheh.

 

Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin lahir perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak di Acheh. Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin lahir Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan sendiri di Acheh. Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin berjalan demobilisasi semua pasukan TNA dan decommissioning semua senjata TNA. Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin berjalan penarikan pasukan non-organik TNI dan Polisi dari bumi Acheh. Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin para tahanan politik GAM dibebaskan. Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin pihak Negara-Negara Anggota Uni Eropa dan Asean ikut terlibat dalam penyelesaian dan pemantauan pelaksanaan isi MoU Helsinki. Tanpa MoU Helsinki tidak akan mungkin pihak Sekjen PBB, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lainnya menyokong penuh perdamaian di Acheh.

 

Saudara Saprudin,

 

Itu MoU Helsinki adalah merupakan suatu acuan hukum di Acheh. Bukan hanya menyangkut masalah sarana untuk mengakhiri konflik di Acheh saja sebagaimana yang dituliskan oleh saudara Saprudin, melainkan juga masalah-masalah yang menjadi tonggak berdiri tegaknya perdamaian di Acheh.

 

Adapun yang menjadi tonggak berdiri tegaknya perdamaian di Acheh itu adalah sebagaimana yang tertuang dalam MoU Helsinki, yaitu di Acheh akan berdiri permerintahan sendiri atau self-government bukan otonomi, karena self-government inilah yang telah disepakati oleh pihak GAM dan pemerintah RI.

 

Dimana pemerintahan sendiri atau self-government di Acheh ini memiliki bentuk dan susunan pemerintahannya yang terdiri dari badan Legislatif Acheh dan Pemerintah Acheh. Adapun kewenangan pemerintahan sendiri Acheh meliputi kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan. Sedangkan kewenangan pihak pemerintah Republik Indonesia mencakup kewenangan dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Mengenai persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Acheh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Acheh. Sedangkan kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Acheh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Acheh. Juga keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Acheh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Acheh. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui. Legislatif Acheh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Acheh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Acheh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.

 

Saudara Saprudin,

 

Itu baru mengenai masalah tonggaknya perdamaian di Acheh dalam hal peraturan perundang-undangan. Sedangkan tonggaknya perdamaian MoU yang lainnya, misalnya masalah perbatasan wilayah Acheh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Acheh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. Kanun Acheh akan disusun kembali untuk Acheh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Acheh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Acheh. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Partai-partai politik yang berbasis di Acheh yang memenuhi persyaratan nasional dan partai-partai politik lokal yang hanya untuk di Acheh.

 

Saudara Sapudrin,

 

Masih banyak lagi tonggaknya perdamaian di Acheh yang lahir karena MoU Helsinki ini, misalnya pemilihan umum yang bersifat pemilihan lokal untuk memilih Kepala Pemerintah Acheh dan pejabat terpilih lainnya juga memilih anggota legislatif Acheh. Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Acheh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Acheh. Semua penduduk Acheh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan Umum Lokal 2006. Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Acheh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar. Juga pemilihan nasional, dimana semua orang Acheh berpartisipasi penuh dalam pemilihan lokal dan nasional.

 

Saudara Saprudin,

 

Juga masih banyak tonggaknya perdamaian Acheh yang dilandasi oleh acuan hukum MoU Helsinki ini, diantaranya masalah ekonomi, dimana pemerintahan sendiri Acheh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Acheh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Pemerintahan Acheh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Pemerintahan Acheh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Acheh. Pemerintahan Acheh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Acheh. Pemerintahan Acheh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Acheh. Pemerintahan Acheh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Acheh. Pemerintahan Acheh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya. Pemerintahan Acheh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.

 

Saudara Sapudrin,

 

Juga tonggaknya perdamaian Acheh yang lahir karena MoU Helsinki meliputi masalah kepolisian Acheh dan Kejaksaan Tinggi di Acheh. Dimana pengangkatan Kepala Kepolisian Acheh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Acheh. Penerimaan dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Acheh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Acheh akan diadili pada pengadilan sipil di Acheh.

 

Saudara Saprudin,

 

Dan tidak kurang pentingnya yang menjadi tonggaknya pedamaian Acheh adalah yang menyangkut hak asasi manusia. Dimana pihak pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Juga Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Acheh. Disamping itu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Acheh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. selanjutnya masalah amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat.

 

Jadi saudara Saprudin,

 

Kalau saudara Saprudin hanya berpikir bahwa MoU Helsinki itu berisikan sarana untuk mengakhiri konflik di Acheh, dengan alasan karena yang terjadi di Acheh adalah konflik antara separatis dengan pemerintah, maka dasar pemikiran saudara Saprudin itu sangat dangkal sekali dan jauh dari apa yang dimaksud dan disepakati dalam MoU Helsinki.

 

Coba sekali lagi baca, pelajari dan analisa apa yang terkandung dalam isi MoU Helsinki tersebut, sebelum saudara Saprudin memberikan tanggapan atas tulisan Ahmad Sudirman.

 

Kemudian, Ahmad Sudirman masih melihat bahwa saudara Saprudin masih lemah dan buta ketika melihat dan mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan NKRI tempat dimana saudara Saprudin hidup dan tinggal, mengapa ?

 

Karena dengan saudara Saprudin mengatakan bahwa yang terjadi di Acheh adalah konflik antara separatis dengan pemerintah, maka itu anggapan saudara Saprudin salah besar dan tidak ada dasar hukumnya, mengapa ?

 

Karena sudah jelas dan terang itu NKRI lahir pada tanggal 15 Agustus 1950 melalui peleburan RIS, dan Acheh berada diluar wilayah de facto dan de jure RIS. Adapun Acheh dimasukkan atau dianeksasi kedalam wilayan Sumatera Utara oleh pihak  Soekarno dengan RIS-nya pada tanggal 14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara.

 

Jadi, saudara Saprudin, kalau saudara mengatakan bahwa GAM adalah separatis, maka itu adalah tidak ada dasar hukumnya, mengapa ? Karena Acheh bukan merupakan bagian wilayah NKRI dari sejak awal, melainkan bagian wilayah yang dianeksasi kedalam wilayah Sumatera Utara oleh pihak Soekarno dengan RIS-nya satu hari sebelum RIS dilebur menjadi NKRI pada 15 Agustus 1950.

 

Nah, karena Acheh bukan merupakan wilayah NKRI, melainkan wilayah yang dianeksasi, maka kalau saudara Saprudin mengatakan GAM adalah separatis, jelas itu salah besar. GAM bukan berusaha memisahkan Acheh, melainkan GAM menuntut Acheh yang dianeksasi oleh pihak NKRI melalui RIS-nya. Kasarnya, adalah Gam menuntut Acheh yang telah digembol mbah Soekarno dengan memakai karung goni Sumatera Utara dalam RIS yang menjelma menjadi NKRI.

 

Dan tentu saja, GAM tidak disebut sebagai gerakan separatis, melainkan sesuai dengan namanya adalah Gerakan Acheh Merdeka. Semua negara mengetahui bahwa GAM itu bukan gerakan separatis. Termasuk pihak pemerintah RI tidak menganggap GAM itu gerakan separatis. Orang-orang yang mengatakan bahwa GAM gerakan separatis adalah orang-orang yang tidak mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan NKRI, seperti contohnya saudara Saprudin ini.

 

Terakhir, saudara Saprudin,

 

Itu contoh ibu dengan anaknya yang diadopsi oleh orang lain, adalah contoh yang tidak sesuai dengan fakta, bukti dan dasar hukum tentang NKRI yang menganeksasi Acheh kedalam wilayah Sumatera Utara. Karena yang namanya menganeksasi atau memasukkan tanpa persetujuan seluruh banngsa dan rakyat Acheh serta pimpinan Acheh, maka itu namanya pencaplokan secara ilegal.

 

Jadi saran Ahmad Sudirman kepada saudara Saprudin, coba sekali lagi gali isi MoU Helsinki dan pelajari kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan NKRI dihubungkan dengan Acheh, jangan hanya sekedar bercuap dan menulis yang tidak memiliki fakta, bukti dan dasar hukum yang kuat.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

Date: Tue, 24 Jan 2006 13:46:34 +0700 (ICT)

From: SP Saprudin <im_surya_1998@yahoo.co.id>

Subject: Balasan: APAPUN YANG TERJADI DI ACEH HARUS MENGACU KEPADA MOU HELSINKI

To: SP Saprudin <im_surya_1998@yahoo.co.id>, Ahmad Sudirman <ahmad@dataphone.se>, antara@rad.net.id, albiruny@gmail.com, alasytar_acheh@yahoo.com, ahmad_mattulesy@yahoo.com, asudirman@yahoo.co.uk, Agoosh Yoosran a_yoosran@yahoo.com

 

Itu kan menurut sudut pandang Pak Ahmad Sudirman, tapi menurut sudut pandang pemerintah lain lagi. Masuk akal kalau MOU Helsinki itu dijadikan dasar acuan untuk menjadi pemerintahan sendiri (self government) di Aceh jika daerah Aceh itu sebelumnya ditangani oleh PBB dan PBB sebagai institusi dunia yang bisa memberikan atau memutuskan untuk mendeklarasikan self governmen bagi Aceh, tentunya dengan acuan dasar referndum yang ada. Namun apa yang terjadi di Aceh tidaklah demikian. Masalah MOU di Helsinki yang dipasilitasi oleh manta Presiden Finlandia merupaka atau  hanyalah sarana untuk mengakhiri konflik di Aceh. Karena yang terjadi di Aceh adalah konflik antara separatis dengan pemerintah. Tentunya acuan bagi pemerintah dalam membenahi daerah Aceh adalah konstitusi negara, bukan MOU Helsinki itu.

 

Pak Ahmad sangat mensakralkan MOU Helsinki, padahal isinya hanya sebatas pengakhiran konflik secara manusiawi dan bermartabat.

 

Gini Pak Ahmad kasus contoh ada seorang Ibu yang sudah lama tidak jumpa dengan anaknya yang diadobsi oleh orang lain. Si Ibu mempunyai bukti akta kelahiran si anak. Namun si anak, karena tidak diasuh oleh ibu kandungnya merasa asing dan tidak mengakui ibunya. Tentu untuk melegitimasi pengakuan sang ibu kepada anaknya, diperlukan bukti-bukti yang otentik yaitu surat akta kelahiran. Untuk membuktikan keaslian surat tsb tentu harus menghubungi instansi terkait yang mengeluarkan surat akta kelahiran. Berbeda kalau kasus seorang ibu yang mengadopsi seorang anak dan menjadikan anak angkatnya itu sebagai anak kandung tapi tidak mempunyai bukti-bukti yang mendukung atas anak tsb. Terkecuali bukti-bukti yang bisa direkayasa atau fiktif.

 

Nah apakah dalam menyelesaikan kasus Aceh itu akan tetap berpegang kepada bukti-bukti yang tidak mendukung ?

 

Saya katakan MOU Helsinki adalah bukti-bukti tidak mendukung terhadap self government Aceh.

 

Karena apa ? MOU (Memorandum of Understandi) adalah nota kesepahaman untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Aceh. Nota kesepahaman ini ditandatangani antara Pemerintah dan Separatis. Jadi kalau Pak Ahmad tetap ngotot berpandangan bahwa MOU Helsinki adalah acuan dasar untuk Self Government Aceh adalah salah alamat.

 

Namanya aja Nota Kesepahaman, bukan Self Government Agreement in Aceh. Bagaimana kuat mau dijadikan dasar acuan Self Government. Coba tanya Kofi Annan.

 

SP Saprudin

 

im_surya_1998@yahoo.co.id

Jakarta, Indonesia

----------