Stockholm, 26 Maret 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
KELOMPOK PDI-P MENUTUPI AKAR UTAMA MASALAH ACHEH UNTUK
MEMBODOHI RAKYAT ACHEH DAN RAKYAT RI.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
TJAHJO KUMOLO BERSAMA KELOMPOK
PDI-P-NYA MENUTUPI AKAR UTAMA MASALAH ACHEH UNTUK MEMBODOHI RAKYAT ACHEH DAN
RAKYAT RI.
"Fraksi kami tidak menerima
"MoU Helsinki" sebagai produk hukum dan dasar hukum yang
"legitimate" dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Fraksi PDI Perjuangan
memang tidak akan pernah menjadikan MoU Helsinki sebagai tolok ukur, acuan
maupun arah pembahasan RUU ini. Aceh sejak penyerahan kedaulatan memang
diselingi damai dan konflik silih berganti. Kami berpandangan bahwa masalah
kesejahteraan dan keadilan adalah akar masalah Aceh. Konflik Aceh pada paruh
akhir tahun 50-an berawal dari soal identitas Aceh yang terabaikan. Konflik
Aceh yang berawal pada pertengahan tahun 70-an diawali dengan eksploitasi
agresif terhadap sumberdaya alam di Aceh oleh perusahaan-perusahaan besar di
Aceh termasuk perusahaan multinasional, tetapi jumlah rumah tangga miskin di
Aceh tetap signifikan" (Tjahjo Kumolo, Pimpinan Fraksi PDI-P DPR RI,
Jakarta 15 Maret 2006).
Setelah
Ahmad Sudirman membaca tulisan "Pendapat Fraksi PDI-P DPR RI terhadap
penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Pemerintahan Aceh" yang ditulis
oleh kelompok PDI-P melalui tangan Pimpinan Fraksi PDI-P DPR RI Tjahjo Kumolo
yang dibacakan oleh Sutjipto Anggota
nomor: A – 362 pada tanggal 15 Maret 2006, ternyata ada beberapa hal yang
mendasar yang menyangkut Acheh yang telah dibelokkan dari fakta, bukti, sejarah
dan hukum dengan maksud dan tujuan untuk menutupi akar utama masalah Acheh agar
rakyat Acheh dan rakyat RI menjadi buta dibuatnya.
Dimana
pihak PDI-P melalui Fraksi PDI-P
DPRRI-nya Tjahjo Kumolo dengan sengaja dan penuh kesadaran telah melambungkan
pernyataan: "masalah kesejahteraan dan keadilan adalah akar masalah Aceh.
Aceh pada paruh akhir tahun 50-an berawal dari soal identitas Aceh yang
terabaikan".
Nah,
disinilah kelihatan itu Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI
telah melakukan penipuan dan pembohongan besar-besaran tentang akar utama
masalah Acheh.
Dimana
Tjahjo Kumolo dengan penuh kesadaran telah melakukan penimbunan dan penutupan
akar utama masalah Acheh yaitu tentang masalah pemasukkan atau penganeksasian
Acheh kedalam wilayah Sumatera Utara oleh Soekarno pada tanggal 14 Agustus 1950
melalui Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah
Propinsi, kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara tanpa adanya
perjanjian dan kesepakatan dengan seluruh rakyat dan pimpinan Acheh.
Akibat
dari tindakan Soekarno inilah mengapa Teungku Muhammad Daud Beureueh pada
tanggal 20 September 1953 mendeklarkan dan memproklamasikan: "Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara
Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja
Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara
Islam"
Nah,
dari fakta, bukti, sejarah dan hukum ini membuktikan bahwa memang benar, itu
Acheh telah dimasukkan atau dianeksasi oleh Soekarno melalui RIS-nya kedalam
wilayah Sumatera Utara tanpa adanya kesepakatan antara seluruh rakyat dan
pimpinan Acheh dengan pihak RI melalui RIS-nya.
Karena
kalau Acheh tidak dianeksai kedalam Sumatera Utara oleh Soekarno, maka tidak akan
dinyatakan dalam deklarasi dan proklamasi yang disampaikan oleh Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang sebagian isinya menyebutkan bahwa "Dengan
Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja,
maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan
oleh pemerintah dari Negara Islam"
Jadi
dengan fakta, bukti, sejarah dan hukum ini membuktikan bahwa apa yang dikatakan
dan dituliskan oleh Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI bahwa
"masalah kesejahteraan dan keadilan adalah akar masalah Aceh. Aceh pada
paruh akhir tahun 50-an berawal dari soal identitas Aceh yang terabaikan"
adalah merupakan suatu penipuan dan pembohongan besar-besaran tentang akar
masalah Acheh yang dilakukan oleh pihak PDI-P.
Karena
memang jelas dan gamblang bahwa bukan masalah kesejahteraan dan keadilan yang
menjadi akar utama masalah Acheh, melainkan penganeksasian atau pemasukkan
Acheh kedalam Sumatera Utara oleh Soekarno dengan RI-nya dalam RIS tanpa adanya
kesepakatan dan persetujuan dari seluruh rakyat dan pimpinan Acheh.
Kemudian,
itu Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI telah melakukan
penipuan dan pembohongan yang besar juga tentang masalah "Konflik Aceh
yang berawal pada pertengahan tahun 70-an diawali dengan eksploitasi agresif
terhadap sumberdaya alam di Aceh oleh perusahaan-perusahaan besar di Aceh
termasuk perusahaan multinasional".
Nah,
dari pernyatan Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI diatas
inpun adalah suatu kesalahan yang besar dan suatu penipuan besar-besaran
terhadap seluruh rakyat dan bangsa Acheh juga terhadap rakyat RI, mengapa ?
Karena
Teungku Hasan Muhammad di Tiro ketika mendeklarasikan ulang kemerdekaan Negara
Acheh pada tanggal 4 Desember 1976 bukan karena masalah "eksploitasi
agresif terhadap sumberdaya alam di Aceh oleh perusahaan-perusahaan besar di
Aceh termasuk perusahaan multinasional", melainkan justru adanya sikap
penuntutan nasib sendiri sebagaimana yang dinyatakan dan dideklarkan oleh
Teungku Hasan Muhammad di Tiro: "To the people of the world: We, the
people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self- determination, and
protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby
declare ourselves free and independent from all political control of the
foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the
name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh,
Sumatra, December 4, 1976". ("Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami,
rakyat Acheh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi
hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas
dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan
dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Acheh, Sumatra yang berdaulat. Tengku
Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan
Presiden Acheh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of Freedom: the
unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh
Sumatra,1984, hal : 15, 17)
Nah
sekarang, itu deklarasi ulang kemerdekaan Negara Acheh memang didukung oleh
dasar hukum Internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dalam
bentuk resolusi tentang perjuangan rakyat Aceh dibawah pimpinan Teungku
Muhammad Hasan di Tiro yang menuntut keadilan melalui tuntutan Acheh yang
dianeksasi atau dimasukkan oleh Soekarno kedalam Sumatera Utara untuk
dikembalikan lagi kepada bangsa dan seluruh rakyat Acheh, karena tidak sesuai
dan melanggar Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan "Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan".
Disamping
itu diperkuat oleh dasar hukum Internasional Resolusi PBB nomor 2621 (XXV) yang
diadopsi tanggal 12 Oktober 1970 dalam sidang pleno PBB yang ke-1862 yang
sebagian isinya menyatakan:
"Reaffirming
that all peoples have the right to self-determination and independence and that
the subjection of the peoples to alien domination constitutes a serious
impediment to the maintenance of international peace and security and the
development of peaceful relation among nations,
1.Declares
the further continuation of colonialism in all its forms and manifestations a
crime which constitutes a violation of the Charter of the United Nations, the
Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples
and the principles of international law;
2.Reaffirms
the inherent right of colonial peoles to struggle by all necessary means at
their disposal against colonial Powers which suppress their aspiration for
freedom and independence;" (The UN General Assembly Resolution 2621 (XXV),
adopted on October 12, 1970).
Begitu
juga menurut Resolusi PBB nomor 2711 (XXV) yang diadopsi tanggal 14 Desember
1970 dalam sidang pleno PBB yang ke-1929 yang sebagian isinya menyatakan:
"Recalling
its resolution 1514 (XV) of 14 December 1960 containing the Declaration on the
Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples,
Reaffirming
its resolutions 2072 (XX) of 16 December 1965, 2229 (XXI) of 20 December 1966,
2354 (XXII) of 19 December 1967, 2428 (XXIII) of 18 December 1968 and 2591
(XXIV) of 16 December 1969,
8.
Reaffirms that it recognizes the legitimacy of the struggle being waged by the
colonial peoples for the exercise of their right to self-determination and to freedom
of choice, and calls upon all States to provide them with all necessary
assistance;" (The UN General Assembly Resolution 2711 (XXV), adopted on
December 14, 1970).
Nah
sekarang, jelas sudah, ditinjau dari fakta, bukti sejarah dan hukum baik hukum yang
dipakai oleh RI yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945-nya ataupun dasar hukum
internasional Resolusi PBB nomor 2621 (XXV) dan nomor 2711 (XXV), ternyata apa
yang dideklarkan oleh Teungku Hasan Muhammad di tiro pada tanggal 4 Desember
1976 tidak ada sangkut pautnya dengan masalah "Konflik Aceh yang berawal
pada pertengahan tahun 70-an diawali dengan eksploitasi agresif terhadap
sumberdaya alam di Aceh oleh perusahaan-perusahaan besar di Aceh termasuk
perusahaan multinasional", sebagaimana yang dinyatakan oleh Tjahjo Kumolo
bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI, melainkan karena masalah "hak
menentukan nasib sendiri, akibat Acheh dianeksasi kedalam Sumatera Utara oleh
Soekarno dengan RI mellaui RIS".
Selanjutnya,
kalau Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI menyatakan bahwa
"Fraksi kami tidak menerima "MoU Helsinki" sebagai produk hukum
dan dasar hukum yang "legitimate" dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Aceh. Fraksi PDI Perjuangan memang tidak akan pernah menjadikan MoU Helsinki
sebagai tolok ukur, acuan maupun arah pembahasan RUU ini", itu membuktikan
bahwa Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI telah membuang
fakta, bukti, sejarah dan hukum tentang akar utama Acheh, yaitu masalah
pemasukkan atau penganeksasian Acheh oleh Soekarno kedalam wilayah Sumatera
Utara, diganti dengan alasan lemah yang berbunyi: "masalah kesejahteraan
dan keadilan adalah akar masalah Aceh".
Jadi,
Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI, karena memang mereka
tidak memiliki kekuatan fakta, bukti, sejarah dan hukum untuk terus
mempertahankan Acheh, maka pertahanan benteng terakhir yang dipakai kelompok
PDI-P ini adalah dengan melambungkan: "masalah kesejahteraan dan keadilan
adalah akar masalah Aceh" dengan sedikit ditambah bumbu: "sekaligus
perdamaian dan kesejahteraan Indonesia Raya yang tidak utuh tanpa tanah
rencong".
Terakhir,
sebenarnya benteng pertahanan dalam hal Acheh yang dipasang oleh kelompok
Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI telah runtuh, karena
memang salah satunya telah dihancurkan oleh Pembukaan UUD 1945 yang secara
jelas dan gamblang menyebutkan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan".
Saran
Ahmad Sudirman kepada Tjahjo Kumolo bersama PDI-P dan Fraksi-nya di DPR RI,
buang itu alasan keropos yang isinya "masalah kesejahteraan dan keadilan
adalah akar masalah Aceh" kemudian ganti dengan apa yang tertuang dalam
isi Pembukaan UUD 1945 yang isinya "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan", agar supaya itu kelompok PDI-P tidak disebut kelompok
paling munafik diatas dunia ini.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
PENDAPAT
FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH
Disampaikan
oleh : Ir. H. Sutjipto
Anggota
nomor : A – 362
Assalamualaikum
Wr.WB.
Salam
sejahtera untuk kita semua.
Om Swastiastu
MERDEKA !
Yang terhormat saudara Pimpinan
Rapat dan segenap kolega anggota Pansus, Saudara Menteri Dalam Negri dan Menteri
Sekretaris Negara yang mewakili Pemerintah, serta hadirin sekalian termasuk
kalangan pers/media massa.
Akal sehat mana yang tidak akan
terusik, hati nurani mana yang tidak akan tergetar, mencermati data bahwa pada
tahun 2005 ada 440.191 dari 987.000atau 44,6 % rumah tangga miskin di Aceh
(Periksa Harian Kompas tanggal 2 Maret 2006 halaman 5, artikel "Aceh yang
kaya, Rakyat Aceh yang miskin ? "). Angka tertinggi dibanding provinsi lain di
Indonesia. Data tersebut masuk akal, mengingat suasana konflik yang berlangsung
lama, eksploitasi agresif atas sumber daya alam yang minim manfaatnya buat
masyarakat lokal dan terakhir adalah bencana Tsunami. Suasana konflik dan damai
silih berganti, dengan catatan bahwa suasana konflik berlangsung lebih lama.
Suasana konflik memang hanya terjadi di sebagian daerah Aceh, tetapi dampaknya
terasa di seluruh daerah Aceh, bahkan menjadi beban bagi Republik kita.
Sangatlah wajar, sangatlah dapat dipahami, bila ada dambaan yang sangat kuat,
aspirasi yang sangat tinggi akan datangnya suasana damai, dimana terbuka
peluang untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik, kesejahteraan yang
bermuatan keadilan. Fraksi PDI Perjuangan berpendapat bahwa ketimpangan
kesejahteraan dan keadilan merupakan awal dan akar permasalahan Aceh.
Kesejahteraan dan keadilan, baik yang bersifat ekonomis maupun yang non
ekonomis seperti penghargaan terhadap identitas masyarakat yang menjadi
kebanggaan dan harga dirinya. Persoalan kemudian melebar menjadi persoalan
politik, mulai dari yang paling lunak berupa minta perhatian yang lebih besar
dari pemerintah nasional, yang moderat berupa otonomi yang luas sampai yang
paling ekstrim berupa aspirasi dan tindakan pemisahan diri. Adalah juga
merupakan hal yang dapat dimengerti, secara universal, bilamana pemerintah
nasional mengambil tindakan terhadap hal-hal yang mengancam kedaulatan dan
keutuhan negara dan bangsa, baik berupa kebijakan keamanan (security policy)
maupun penegakan hukum (law enforcement). Akan
tetapi, pada saat yang sama, akar masalahnya harus ditangani dengan terapi dan
dosis yang sepadan, agar ketegangan dan konflik tidak terus berulang. Lalu
dimana posisi RUU Pemerintahan Aceh yang sedang dibahas ini.
Sejak awal, keseluruhan persiapan
RUU Pemerintahan Aceh ini disertai oleh banyak harapan, banyak kekhawatiran,
ragam aspirasi dan pendapat dengan spektrum yang begitu luas, mulai dari yang
paling optimistik sampai yang paling pesimistik, mulai dari yang sangat
konservatif sampai yang sangat liberal. Semuanya menyadari dan memahami bahwa
hasil pembahasan RUU Pemerintahan Aceh ini mempunyai pertautan strategis dengan
masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia kedepan, baik bentuk maupun
maknanya. Berkaitan dengan pertautan strategis antara RUU ini dengan masa depan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami berpendapat bahwa pemerintahan di Aceh
itu adalah pemerintahan daerah istimewa provinsi Aceh. Dengan demikian, RUU ini
tidak dicermati hanya oleh masyarakat Aceh tetapi juga seluruh rakyat pemilik
sah Republik Indonesia.
Menjadi
tantangan historik untuk kita semua, untuk mewujudkan sesuatu yang bisa memberi
kontribusi bagi perdamaian dan kesejahteraan di tanah rencongnya Indonesia
Raya, sekaligus perdamaian dan kesejahraan Indonesia Raya yang tidak utuh tanpa
tanah rencong.
Rapat yang terhormat .
Sudah diketahui secara umum, bahwa
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan termasuk Fraksinya di DPR-RI menolak
Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh Pemerintah RI dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005.PDI Perjuangan
tidak dapat menerima MoU Helsinki, karena proses, posisi maupun substansinya.
Terlalu menyederhanakan persoalan (simplistis) maupun salah arah (misleading)
bilamana posisi PDI Perjuangan yang menolak MoU Helsinki diidentikkan dengan
menolak perdamaian di Aceh. Sebagai Partai yang kenyang dijadikan obyek
kekerasan politik otoritarian dimasa lalu, PDI Perjuangan sangat mendambakan
perdamaian di seluruh Indonesia termasuk di Aceh. Pertanyaannya adalah perdamaian
seperti apa? Suasana di Aceh sejak dulu bukannya terus menerus konflik. Ada
juga masa�masa damai, tetapi tidak berlangsung jangka
panjang. Karena itu sangat relevan untuk mempertanyakan, perdamaian seperti
apa. Fraksi PDI Perjuangan sangat apresiatif terhadap suasana damai yang ada di
Aceh akhir-akhir ini, dan berharap hal itu berlangsung dalam jangka panjang dan
permanen. Yang diinginkan adalah perdamaian jangka panjang dan/atau permanen,
yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesejahteraan untuk
rakyat, bukan perdamaian sesaat apalagi theatrikal. Perdamaian berjangka
panjang dengan muatan kesejahteraan yang berkeadilan, kami yakini, hanya akan
terjadi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Negara yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan nilai dasar/ideologi dan
konstitusinya. Juga terlalu simplistis, pandangan yang menyatakan bahwa
perdamaian dan kesejahteraan yang berkeadilan dapat terwujud dalam wadah negara
apapun, dengan mengabaikan kondisi geografis dan demografis kita yang spesifik.
Para pendiri bangsa dan sebagian terbesar di antara kita sampai sekarang
berpendapat bahwa bentuk negara kesatuan adalah yang paling tepat untuk
mewadahi kondisi geografis kita sebagai negara kepulauan dengan kondisi
demografis berupa masyarakat pluralistik yang kompleks.
Negara
Kesatuan memang tidak dengan serta-merta membawa kesejahteraan yang berkeadilan
bagi rakyat yang hidup di dalamnya, akan tetapi bukan berarti tidak bisa.
Bentuk Negara lain juga tidak serta-merta membawa kesejahteraan yang
berkeadilan. Pilihan kita terhadap Negara Kesatuan, Negara Kebangsaan, dengan
dasar negara yakni Pancasila dan Konstitusi yakni UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945, tentu harus diisi terus menerus dengan penyelenggaraan negara yang
sebaik-baiknya, sesuai dengan kualitas tuntutan dan tantangan yang dihadapi.
Pola penyelenggaraan negara tentu perlu senantiasa mengalami adaptasi dan
penyempurnaan, tetapi "nilai dasar" dan "bangun dasar"
negara itu perlu senantiasa dipertahankan, dipelihara bahkan diperkuat
maknanya. Menurut pendapat kami, itulah yang terjadi dengan negara-negara yang
terus berkembang semakin maju, semakin kuat, semakin sejahtera dan berkeadilan
dimuka bumi ini. Amerika Serikat menjadi
negara maju dan besar, bukan karena merubah "nilai dasar" dan
"bangun dasar" negaranya. Negara-negara Eropah Barat maju dan
sejahtera bukan karena merubah "nilai dasar" dan "bangun dasar
" negaranya. Korea Selatan dan Malaysia semakin maju dan sejahtera, bukan
karena mengubah "nilai dasar" dan "bangun dasar" negaranya,
serta banyak contoh lain. Mereka semua dapat semakin maju dan sejahtera, justru
karena mampu dengan sadar memelihara "nilai dasar" dan "bangun
dasar" negaranya, seraya terus menerus mengisinya secara kreatif, inovatif
dan rasional dengan penyelenggaraan negara yang baik, yang memberdayakan
seluruh potensi terbaik rakyatnya.
Dengan posisi seperti itulah
Fraksi PDI Perjuangan bermaksud memasuki pembahasan RUU Pemerintahan Aceh.
Fraksi kami tidak menerima "MoU Helsinki" sebagai produk hukum dan
dasar hukum yang "legitimate" dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Aceh. Walau
menolak MoU Helsinki, Fraksi kami mengikuti pembahasan RUU Pemerintahan Aceh
ini karena dua hal :
Pertama:
Merupakan tugas konstitusional DPR untuk membahas RUU, baik yang berasal dari
pemerintah maupun inisiatif DPR sendiri.
Kedua:
Fraksi kami memang ingin memberi kontribusi sebesar-besarnya bagi penyelesaian
masalah Aceh.
Sudah
ada berbagai UU tentang Aceh seperti antara lain UU Nomor 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi belum menyelesaikan persoalan secara
signifikan. Apanya yang salah ? Terapinya yang belum tepat atau dosisnya yang
belum cocok, atau implementasinya yang tidak berjalan dengan baik ? Banyak UU
yang sudah dibuat di era reformasi ini, tetapi masih sedikit yang dilaksanakan
secara memuaskan. Adanya UU memang penting sebagai instrumen legal dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tetapi Undang-Undang tanpa
implementasi tidak akan menyelesaikan masalah. Undang-Undang
jangan hendaknya hanya berisi rangkaian kalimat simbolis politis, tetapi juga
harus bisa dilaksanakan secara bermakna. Hanya Undang-Undang yang dapat
dilaksanakan yang dapat menjadi instrumen perubahan kearah yang diinginkan.
Undang-Undang yang berisi formulasi simbolis politis semata, hanya akan
melambungkan harapan dan kebahagiaan sementara, tetapi akan segera diikuti
kekecewaan besar, karena tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian jelaslah
bahwa kami akan membahas RUU Pemerintahan Aceh bukan karena memenuhi perintah
"MoU Helsinki", apalagi perintah AMM atau Uni Eropa, tetapi karena
ingin sungguh-sungguh memberi kontribusi bagi penyelesaian masalah Aceh,
perdamaian berjangka panjang dan kesejahteraan masyarakat Aceh dan Indonesia
secara keseluruhan. Pemerintah sendiri sesungguhnya sadar atau tidak telah mengeliminasi MoU
tersebut. Hal itu terbukti dari naskah RUU yang disampaikan ke DPR telah banyak
keluar dari butir-butir MoU yang ditandatanganinya.
Rapat Pansus yang terhormat,
Dalam pembahasan RUU Pemerintahan
Aceh, Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menggunakan tiga tolok ukur ( parameter)
sebagai berikut :
Pertama: Konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yakni UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Semua Undang-Undang tentu harus mengacu pada UUD sebagai hukum dasar
penyelenggaraan negara. Fraksi PDI Perjuangan selalu mengingatkan diri bahwa
salah satu faktor utama pembusukan suatu negara adalah ketika peraturan
perundang-undangan di bawah UUD dibuat dan dirumuskan secara menyimpang dan
mendangkalkan makna dari isi UUD.
Kedua: Tatanan NKRI dan kedaulatan
dalam satu nafas. NKRI akan kehilangan makna dan tujuan, apabila hanya disebut sebagai
nama simbolik, tetapi tatanan pokoknya diciderai. Demikian pula dengan
kedaulatan NKRI, kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara. Fraksi PDI
Perjuangan selalu mengingatkan diri bahwa kedaulatan hanya akan tinggal nama,
kalau secara struktural dan fungsional didegradasi.
Ketiga: Mempunyai kontribusi
signifikan bagi penyelesaian masalah Aceh, untuk mewujudkan perdamaian
berjangka panjang dan permanen serta kesejahteraan yang berkeadilan, baik
ekonomis maupun non ekonomis termasuk identitas yang menjadi kebanggaan dan
harga diri masyarakat Aceh. Fraksi PDI Perjuangan memang tidak akan pernah
menjadikan MoU Helsinki sebagai tolok ukur, acuan maupun arah pembahasan RUU
ini, karena posisi kami terhadap MoU Helsinki seperti telah disebutkan tadi. Di
satu sisi, kami percaya bahwa sebagian besar masyarakat Aceh mencintai dan
tetap setia pada NKRI. Di sisi lain, kami juga percaya bahwa NKRI tetap setia
dan mencintai masyarakat Aceh. NKRI ke depan akan maju dan kuat kalau ada
kesetiaan dan kecintaan timbal balik antara negara dan pemerintah dengan
rakyat, antara pusat dengan daerah, antar daerah dan komunitas yang secara
keseluruhan kita sebut Indonesia Raya. Jangan hanya menuntut orang di Pidie atau Kutacane cinta
dan setia pada Jakarta. Jakarta juga harus menunjukkan kecintaan dan
kesetiaannya pada orang di Pidie dan Kutacane. Hal yang sama juga perlu
dilakukan dalam hubungan antara pemerintah nasional dengan daerah-daerah lain
diseluruh Indonesia. Hanya dengan demikian, Indonesia Raya dan NKRI ada dihati
rakyat di seluruh nusantara, menjadi realitas yang hidup, kuat dan saling
menguatkan. Dalam NKRI dengan sesanti "Bhinneka Tunggal Ika" kita
menyadari sedalam-dalamnya bahwa tidak semua hal bisa diseragamkan, tetapi
bukan berarti tidak ada yang boleh seragam. Ada yang bisa dan perlu
diseragamkan sebagai pertautan, pengikat atau faktor integrasi nasional /
kebangsaan. Ada pula yang secara sadar perlu dijaga dan dikawal agar tetap
beraneka-ragam, tetap majemuk sebagai refleksi kebhinnekaan, seperti misalnya
identitas masyarakat berbagai daerah / etnis dan komunitas. Hal-hal tersebut
yang perlu dituangkan dalam suatu instrumen legal yang relatif lengkap dan
terinci,
supaya tidak terjebak dalam sloganisme dan simbolisme yang mudah mengundang
salah paham dan penafsiran sepihak ke masa mendatang.Berdasartolok ukur seperti
tersebut diatas, maka ada dua kelompok besar yang secara kategoris akan
disoroti Fraksi PDI Perjuangan :
Pertama:
Kami akan berupaya sekuat-kuatnya untuk mengeliminasi hal-hal yang potensial,
eksplisit maupun implisit, dapat mengarah atau memberi peluang terhadap
upaya-upaya menciderai makna NKRI dan Konstitusi. Salah satu di antaranya
adalah dalam kaitan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945, sebagai dasar konstitusional bagi Presiden yang
memegang kekuasaan pemerintahan/ eksekutif nasional dan DPR sebagai lembaga
legislatif nasional yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Ada
Undang-Undang yang dapat dibuat sebagai perkecualian terhadap berbagai
Undang-Undang yang setara, akan tetapi bukan perkecualian terhadap UUD.
Perkecualian terhadap UUD, namanya menciderai atau bahkan melanggar UUD.
Keputusan dan kebijakan eksekutif nasional berlaku dan mengikat seluruh
Indonesia termasuk daerah Aceh dan tidak perlu minta persetujuan pada eksekutif
daerah bilamana ingin mengeluarkan keputusan administratif. Keputusan lembaga
legislatif nasional berlaku dan mengikat seluruh Indonesia termasuk daerah Aceh
dan tidak perlu meminta persetujuan lembaga legislatif daerah bila akan
mengeluarkan keputusan. Ini adalah salah satu pilar NKRI sesuai Konstitusi.
Bilamana keputusan administratif pemerintah nasional harus minta persetujuan
pemerintah daerah, atau keputusan lembaga legislatif nasional harus minta
persetujuan legislatif daerah, maka bukan lagi negara kesatuan. Negara federasi
saja tidak sejauh itu, kecuali kalau konfederasi. Dalam sistem dan suasana
demokrasi, keputusan dan kebijakan eksekutif nasional dan legislatif nasional
tentu saja perlu memperhatikan berbagai masukan dari berbagai pihak termasuk
eksekutif daerah dan legislatif daerah, tetapi tidak sampai perlu meminta
persetujuan yang mempunyai konsekwensi negatif pada tatanan negara kesatuan.
Fraksi PDI Perjuangan selalu mengingatkan diri untuk mengacu pada Pasal 1 ayat
(1), Pasal 18, Pasal 18 B dan Pasal 37 ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang berintikan bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan. Sikap ini adalah soal konsistensi prinsipil.
Memang ada kehawatiran yang bersifat traumatik bahwa pemerintah nasional akan
ingkar janji sehingga membuat keistimewaan dan
otonomi
khusus Aceh tidak bisa dilaksanakan, didegradasi atau ditarik ulur. Ini memang
masalah psikologi politik yang perlu diperhatikan dan diwadahi, tetapi tidak
sejauh mengubah pilar negara kesatuan. Pemerintah nasional memang berkewajiban
memenuhi janji yang diberikan kepada rakyatnya termasuk di Aceh.
Masyarakat
di Aceh juga perlu memenuhi janjinya untuk mengembangkan diri sebaik- aiknya
dalam wadah NKRI bersama seluruh rakyat Indonesia. Pemulihan saling percaya
(mutual trust) memang sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah Aceh.
Kedua:
Kami juga akan berupaya sekuat kuatnya untuk mendorong secara optimal hal-hal
mempunyai kaitan signifikan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
untuk masyarakat Aceh, baik yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis. Aceh
sejak penyerahan kedaulatan memang diselingi damai dan konflik silih berganti.
Konflik memang tidak terjadi di seluruh daerah Aceh, tetapi jelas menjadi beban
buat Republik dan masyarakat Aceh. Kami berpandangan bahwa masalah
kesejahteraan dan keadilan adalah akar masalah Aceh. Konflik Aceh pada paruh
akhir tahun 50-an berawal dari soal identitas Aceh yang terabaikan. Konflik
Aceh yang berawal pada pertengahan tahun 70-an diawali dengan eksploitasi
agresif terhadap sumberdaya alam di Aceh oleh perusahaan-perusahaan besar di
Aceh termasuk perusahaan multinasional, tetapi jumlah rumah tangga miskin di
Aceh tetap signifikan. Daerah Aceh kaya sumberdaya alam yang dieksploitasi
secara agresif, tetapi masyarakat Aceh tetap miskin. Fraksi PDI Perjuangan
memikirkan agar pengusahaan sumber daya alam di Aceh dikaitkan dengan alokasi
dana tersendiri dalam jumlah tertentu yang disebutkan secara jelas dan
digunakan untuk pengembangan masyarakat sekitar (community development fund).
Mengenai jumlah atau persentasenya dapat dibicarakan secara mendalam. Sebagai
akibat pemanfaatan kekayaan Aceh yang tidak berorientasi pada rakyat dan konflik
yang berkepanjangan maka pada tahun 2005 jumlah rumah tangga miskin di Aceh
adalah sekitar 44,6 persen. Tertinggi di seluruh Indonesia. Dengan demikian wajar
bila ada aspirasi agar ada pengaturan tambahan anggaran yang bersifat khusus
bagi Aceh untuk mengejar ketertinggalannya. Yang penting bukan cuma tambahan
anggaran, tapi juga alokasi atau peruntukannya. Tambahan alokasi dana untuk
Aceh tidak serta-merta akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu Fraksi
kami memikirkan agar setidak-tidaknya 51 persen anggaran untuk Aceh dapat
digunakan untuk meningkatkan pelayanan umum (kesehatan, pendidikan,
kependudukan, ekonomi mikro dan lainnya) serta hal-hal yang berkaitan langsung
dengan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Jangan
sampai anggarannya membesar, justru sebagian besar digunakan untuk birokrasi,
bukan untuk rakyat. Demokrasi dalam budget atau anggaran perlu diperhatikan
dalam rangka penyelesaian masalah Aceh.Dengan demikian maka hasil akhir yang
diharapkan Fraksi PDI Perjuangan dari pembahasan RUU Pemerintahan Aceh ini
adalah :
1.Konvergensi
dalam pembagian tugas antara pemerintah daerah Aceh dan Pemerintah Nasional
untuk memajukan dan menyejahterakan Aceh. Artinya ada pertautan strategis dan
managerial dalam pembagian -bukan pemisahan- kewenangan antara pemerintahan
nasional dengan pemerintahan daerah Aceh, dalam keutuhan makna Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pemerintahan nasional mempunyai kewenangan
mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh, serta pemerintahan
daerah Aceh harus senantiasa terbuka bagi pengembangan daerah Aceh sebagai
bagian yang tidak terpisah dari
pemerintahan secara nasional dalam
konteks NKRI.
2. Pemberdayaan semua elemen
peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan pada masyarakat Aceh secara optimal,
khususnya yang dapat dijangkau oleh kewenangan dan kemampuan negara, atau yang
dapat difasilitasi negara dan pada akhirnya dapat menciptakan ketenteraman dan
perdamaian bagi masyarakat Aceh.
Rapat Pansus yang terhormat,
Hadirin
yang kami muliakan,
Yang
kita cari adalah perdamaian bermuatan kesejahteraan yang berkeadilan di Tanah
Rencong-nya Indonesia Raya, di Indonesia Raya yang tidak utuh tanpa Tanah
Rencong. Yang kita cari bukan penghargaan Nobel, Pulitzer atau popularitas
internasional dimanapun nun jauh disana. Kita upayakan untuk menemukan
perdamaian, kesejahteraan dan keadilan di sini, di tanah air kita dan oleh
kita. Dalam konfigurasi global politik sekarang ini, memang kita tidak dapat
menafikan pengaruh faktor internasional pada masalah domestik (faktor
intermestik), tetapi keputusan akhirnya haruslah tetap oleh kita sendiri, kalau
kita masih mau menyebut diri sebagai bangsa dan negara berdaulat.
Dengan
pandangan dan posisi seperti telah disebutkan tadi, Fraksi PDI Perjuangan
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya dalam memasuki
pembahasan RUU Pemerintahan Aceh pada tahapan�tahapan
selanjutnya.Adapun pendapat dan saran secara lebih terinci akan disampaikan
dalam bentuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM ).
Sekian
dan terimakasih.
Wassalamualaikum
wr.wb.
Om Santi Santi Santi Om
MERDEKA!
Jakarta
15 Maret 2006
PIMPINAN
FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGANDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
KETUA SEKRETARIS I,
Ttd ttd
TJAHJO
KUMOLO ZAINAL ARIFIN
----------