Stockholm, 19 Agustus 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

KADIN ACHEH TIDAK DIBENARKAN MENYUSUN RANCANGAN QANUN PEREKONOMIAN, PERDAGANGAN & INVESTASI SEBELUM UU PA DIREVISI.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

KARENA UU NO.11/2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACHEH BELUM DIREVISI DPR RI, MAKA KADIN ACHEH TIDAK DIBENARKAN MENYUSUN QANUN PEREKONOMIAN, PERDAGANGAN & INVESTASI.

 

Membaca berita tentang pihak Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Acheh Firmandez, SE siap terlibat dalam merancang Qanun tentang perekonomian, perdagangan dan investasi dalam usaha penerapan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh timbul pertanyaan, apakah pihak Ketua Kadin Aceh Firmandez, SE tidak mendengar dan tidak melihat bahwa UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh ditolak oleh sebagian besar rakyat Acheh, kecuali setelah direvisi pasal-pasal yang bertentangan dengan MoU Helsinki?. Dimana dalam hal ini GAM telah menyerahkan dokumentasi pasal-pasal yang bertentangan ke pihak Acheh Monitoring Mission (AMM), yang selanjutnya dibicarakan dalam AMM, dimana setelah itu diserahkan kepada pihak pemerintah RI untuk seterusnya diserahkan ke DPR RI untuk direvisi.

 

Nah, karena dalam masalah perekonomian, perdagangan dan investasi ada pasal-pasal yang ditolak oleh GAM, maka selama pasal-pasal yang ditolak tersebut belum direvisi oleh DPR RI, maka pihak Kadin Acheh tidak dibenarkan untuk penyusunan rancangan Qanun untuk itu.

 

Dimana misalnya, Pasal 7 (2) “Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.” Jelas pasal ini bertentangan dengan MoU Helsinki. Mengapa ?

 

Karena, dengan dimasukkannya  ”Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional” adalah benar-benar telah melanggar MoU Helsinki. Dalam MoU Helsinki tidak dicantumkan kewenangan pemerintah RI yang bersifat nasional, melainkan hanya meliputi enam kewenangan saja, yaitu kewenangan ”dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama” (MoU 1.1.2. a))

 

Jadi, sebelum direvisi Pasal 7 (2) yang bertentangan dengan MoU Helsinki ini, maka tidak dibenarkan pihak Kadin Acheh untuk membuat rancangan Qanun tentang perekonomian, perdagangan dan investasi. Mengapa ?

 

Karena pasal 7 (2) sangat mempengaruhi dan dijadikan dasar munculnya Pasal 11 (1) ”Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.”

 

Jadi, Pasal 11 (1) muncul adalah akibat konsekuensi logis dengan dimasukkannya Pasal 7 (2) yang menyangkut kewenangan urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang tidak disepakati oleh pihak GAM dan pemerintah RI dalam MoU Helsinki.

 

Nah selanjutnya, akibat dimunculkannya Pasal 11 (1), maka lahirlah Pasal 154 (1) ”Perekonomian di Aceh merupakan perekonomian yang terbuka dan tanpa hambatan dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.”

 

Kemudian disusul dengan lahirnya  Pasal 154 (6) ”Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah.”

 

Seterusnya disusul oleh lahirnya Pasal 165 (2) ”Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional.”

 

Nah inilah akibat logis dengan dimasukkannya Pasal 7 (2) kedalam UU No.11 tentang Pemerintahan Acheh yang menyangkut kewenangan urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang tidak ada disepakati dalam MoU Helsinki, sehingga lahirlah Pasal  Pasal 11 (1), Pasal 154 (1), (6), Pasal 165 (2) yang betul-betul mengkebiri kewenangan Pemerintahan Acheh dan yang sangat bertentangan dengan MoU Helsinki.

 

Jadi, Pasal-Pasal itulah yang harus direvisi atau dibuang oleh pihak DPR RI karena sangat bertentangan dengan MoU Helsinki. Selama Pasal-Pasal tersebut belum direvisi, maka bisa mengakibatkan fondasi tempat berdirinya Pemerintahan Acheh akan goyah yang akhirnya bisa runtuh.

 

Juga yang menyangkut Pasal 160 (1) ”Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh”.

 

Dimana yang sebenarnya masalah pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi adalah menjadi wewenang penuh Pemerintah Acheh. Tetapi, disini kelihatan pihak pemerintah RI memasukkannya menjadi kewenangan pemerintah RI yang bersifat nasional.

 

Terakhir, dengan berdasarkan pertimbangan diatas, maka pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Acheh tidak dibenarkan dulu untuk membuat rancangan Qanun tentang perekonomian, perdagangan dan investasi sebelum Pasal 7, Pasal 11, Pasal 154, Pasal 160 dan Pasal 165 direvisi atau dibuang oleh pihak DPR RI karena bertentangan dengan MoU Helsinki.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1171

 

Berita

Jumat, 18 Agustus 2006, 21:55 WIB

Penyusunan Qanun Ekonomi, Kadin Siap Terlibat

Reporter : M Isma

 

Banda Aceh, acehkita.com. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh siap terlibat dalam merancang Qanun (peraturan daerah) tentang perekonomian dan investasi, untuk mendukung implementasi Undang Undang No 11 tentang Pemerintahan Aceh.

 

Untuk keperluan penyusunan Qanun ini, Kadin telah membentuk sebuah tim yang diketuai Syamsunan Mahmud. “Kita sudah meminta ide dari asosiasi dan minta saran ke IAIN dan Unsyiah,” kata Ketua Kadin Aceh Firmandez, SE, di Banda Aceh, Jumat (18/8).

 

Semua kalangan berharap UU Pemerintahan Aceh yang disahkan pada 11 Juli 2006 dan ditandatangani Presiden Yudhoyono pada 1 Agustus lalu, bisa segera diimplementasikan. Bahkan, mediator dan fasilitator perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Martti Ahtisaari berharap UU baru itu bisa segera diimplementasikan.

 

Untuk mempercepat penerapan UU ini, dibutuhkan 69 Qanun dan hanya dua Peraturan Perundang-undangan (PP) serta tiga Keputusan Presiden (Keppres). Sejauh ini, baru satu Qanun yang telah disiapkan, yaitu Qanun No 3 tentang Pemilihan Kepala Daerah Langsung.

 

Firmandez menyebutkan, Qanun Ekonomi dan Investasi ini akan sangat mendukung kiprah pengusaha lokal dalam meningkatkan dunia usaha di Aceh pascatsunami dan konflik. Apalagi, ada 48 pasal yang mengatur masalah perekonomian.

 

Qanun yang dicoba persiapkan ini nantinya diharapkan bisa memberikan kemudahan kepada para pengusaha, terutama memangkas jalur birokrasi yang selama ini menyebabkan investasi di Aceh terhambat. Qanun itu juga akan mengatur soal pengurusan izin satu atap, dan tidak perlu lagi izin dari Pusat.

 

Berbelitnya proses perizinan usaha menyebabkan pemodal enggan menanamkan investasinya di Aceh/ “Karena birokrasi yang sangat panjang mulai dari tingkat Pusat sampai daerah, sehingga membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi,” kata pengusaha perhotelan ini.

 

Dalam Pasal 165 UU Pemerintahan Aceh disebutkan, “Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku secara nasional”.

 

Namun, klausul ini diprotes Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena ada embel-embel memperhatikan norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku secara nasional. GAM menyebutkan, kendati Pemerintahan Aceh berwenang mengeluarkan perizinan, tapi tidak terlepas dari persetujuan Pusat. [dzie]

----------