Stockholm, 21 Agustus 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

MEREKA YANG MENGANALISA POLITIK GAM DARI RANTING-NYA DENGAN MEMAKAI ILMU NEGAHOLIC.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

MENGUPAS ORANG YANG MENCOBA MENGANALISA POLITIK GAM DENGAN MEMAKAI ILMU TERBANG DIUDARA NEGAHOLIC.

 

“Yang menarik ialah: Malik Mahmud dan Zaini Abdullah takut mencalonkan diri sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Aceh dari faksi GAM? Kedua tokoh GAM ini pengecut. Malik Mahmud tidak berani berspekulasi dengan melepaskan kewarganegaraan Singapura setelah ditolak pemerintah Swedia menjadi pelarian politik. Ini bocor, sewaktu pimpinan GAM masuk Indonesia melalui airport Polonia Medan. Nama asli Malik Mahmud ialah Khila Malik Haythar bin Mahmud, nomor pasport S1083819C, warganegara Singapura. Zaini Abdullah, pasport No. 23710193 warganegara Swedia.” (Ria Ananda, bayna9@yahoo.com , 21 augusti 2006 12:06:53)

 

Setelah membaca tulisan saudara Ria Ananda di Silkeborg, Arhus, Denmark yang berjudul ”GAM Political Negaholic” yang diartikannya dengan “sindrom ketidak mampuan pemimpim secara otomitis membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya memajukan, menentukan sikap dan jati diri. Kualitas suatu organisasi akan ditentukan oleh kemampuan individu-individu, terutama pemimipinnya.”. Ternyata ada beberapa pandangan saudara Ria yang masih dipertanyakan dan masih didasarkan kepada pendangan subjetifitasnya sendiri, sehingga tidak melahirkan hasil pemikiran yang objektif.

 

Nah, dengan saudara Ria mengambil istilah negaholic yang dikaitkan kepada GAM adalah sudah menunjukkan adanya sikap prijudis yang jauh dari fakta dan bukti. Mengapa ?

 

Karena kalau mau mengambil istilah negaholic, yang kata dasarnya berasal dari kata “nega” atau “negasi” yang berarti negatif atau penyangkalan atau peniadaan kemudian ditambah kata “holic” yang berarti seseorang yang sudah ketagihan atau kecanduan atau yang sudah menjadi budak sesuatu.

 

Nah, kalau diartikan negaholic yang sebenarnya adalah seseorang yang sudah kecanduan atau ketagihan atau menjadi budak penyangkalan. Atau dengan kata lain seseorang menolak untuk menerima fakta bahwa ia bisa, mampu. Atau bisa juga dikatakan seseorang yang menjadi korban ”self-negation” yang dicerminkan dalam sikap, pikiran, kata-kata dan perilaku. Misalnya, seorang negaholic bicara: ”kamu tidak akan menjadi seperti orang itu; kamu jangan berbuat itu; kamu tidak bisa memilikinya oleh karena itu lupakan itu.”

 

Nah sekarang, kalau istilah negaholic dihubungkan dengan politik dan diterapkan kepada GAM, maka jelas hasilnya menjadi salah fatal. Mengapa ?

 

Karena, politik GAM jelas bukan politik negaholic. Para pemimpin GAM telah berhasil membawa dan meneruskan perjuangan GAM ketingkat puncak yang setaraf pemerintah RI. Artinya, dilihat dari sudut kacamata pemerintah RI tidak ada kekuatan yang berjuang baik di Acheh ataupun diluar Acheh yang memiliki visi dan misi politik yang jelas dengan ditunjang oleh kekuatan militer yang kuat selain GAM. Karena itulah mengapa pihak pemerintah RI tidak melakukan perundingan politik dengan organisasi yang ada di Acheh atau yang ada di luar Acheh untuk penyelesaian konflik Acheh yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak, kecuali dengan pihak GAM.

 

Nah, berdasarkan fakta, bukti dan hukum ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro beserta stafnya bukan merupakan kelompok yang menjadi budak penyangkalan atau negaholic.

 

Justru sebaliknya, GAM dibawah  pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro beserta stafnya, yaitu Teungku Malik Mahmud dan Dr. Zaini Abdullah cs adalah mampu membuat pihak pemerintah RI dan TNI-nya mengakui secara de-jure dan de-facto bahwa GAM adalah satu-satunya kekuatan politik dan militer yang sebanding dan setaraf dengan pihak pemerintah RI dalam usaha untuk menyelesaikan konflik Acheh secara menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak.

 

Jadi, apa yang disampaikan oleh saudara Ria Ananda bahwa:

 

”Malik Mahmud dan Zaini Abdullah gagal meneruskan perjuangan Hasan di Tiro sejak tahun 1976. Mereka telah menggadaikan Aceh kepada Indonesia lewat MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dengan mengaku: "Aceh tetap bingkai NKRI dan mengakui Konstitusi Indonesia berlaku di Aceh."  Lebih gawat lagi, dalam pidato penerimaan penghargaan perdamaian, 16 Agustus 2006 di Banda Aceh, dia bilang:"... pemerintah harus bisa menjaga dan melanjutkan pembangunan di Aceh."  Tentu! Sebab yang berkuasa penuh menjaga ketertiban dan keamanan di Aceh adalah TNI dan Polri, sesuai dengan isi MoU Helsinki. Yang membangun Aceh pemerintah Indonesia, sekarang dibangun oleh BRR.”

 

Jelas merupakan hasil pandangan yang sempit dan sangat subjektif. Mengapa ?

 

Karena, apa yang disepakati dalam MoU Helsinki itu adalah bukan kegagalan dari Teungku Malik Mahmud dan Dr. Zaini Abdullah meneruskan perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Melainkan, justru memperkuat kedudukan GAM secara de-facto dan de-jure di Acheh, dibandingkan sebelumnya. Dimana sebelumnya kekuatan GAM secara de-jure dan de-facto hanyalah di Swedia. Hubungan antara pemerintahan Acheh dalam pengasingan di Swedia dalam hal ini GAM dengan TNA di Acheh tidak terbuka atau secara sembunyi-sembunyi. Hubungan GAM dengan seluruh rakyat Acheh di Acheh terputus karena diblokir oleh pemerintah RI dan TNI yang ada di Acheh.

 

Selanjutnya, kalau dalam MoU Helsinki itu dinyatakan bahwa ”Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia” bukan berarti bahwa GAM menggadaikan Acheh kepada RI, melainkan sebaliknya, justru GAM yang secara de-facto dan de-jure menguasai Acheh. Mengapa ?

 

Karena, yang sebelumnya, GAM yang secara de-jure dan de-facto hanya berkuasa disekitar Alby yaitu yang terletak di kota Botkyrka, Swedia, kalau dibandingkan dengan di Acheh luasnya sama dengan luas wilayah kabupaten Pidie. Begitu juga TNA hanya menguasai sebagian hutan-hutan di Acheh. Tetapi sekarang GAM secara de-facto dan de-jure mempunyai kekuasaan dan kekuatan di seluruh Acheh begitu juga TNA walaupun namanya sudah diganti dengan Komite Peralihan Acheh (KPA) tidak hanya tinggal di hutan-hutan, melainkan sudah menguasai kota-kota dan kabupaten-kabupaten secara terbuka di Acheh.

 

Seterusnya, persoalan ”dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia” adalah pernyataan politis ditambah dengan enam kewenangan yang masih dimiliki oleh pihak RI. Dimana pihak RI menganggap bahwa dengan masih dimilikinya enam kewenangan sebagaimana tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yaitu kewenangan dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama yang dilihat dari kacamata RI dengan konstitusinya.

 

Adapun dari pihak GAM, tetap dalam sikapnya bahwa kedaulatan Acheh tidak diserahkan secara penuh kepada pihak RI. Atau dengan kata lain pihak RI tidak memiliki kedaulatan penuh atas Acheh, selain dengan kekuasaan dalam bentuk enam kewenangan saja.

 

Karena itu apa yang disampaikan oleh saudara Ria Ananda bahwa ”dihubungkan dengan GAM, nampak wajah organisasi ini bopéng dan kumuh, sebab ketidak mampuan pemimpinnya memanage GAM sebagai front pembebasan Aceh” adalah suatu pernyataan yang sungguh dangkal dan keliru. Mengapa ?

 

Karena, MoU adalah merupakan strategi politik GAM dalam rangka penentuan nasib sendiri, disamping dengan melalui jalur kekuatan militer yang sudah dijalankan hampir 30 tahun di hutan-hutan Acheh.

 

Disinilah keberhasilan langkah perjuangan politik GAM dalam perundingan di Helsinki yang dituangkan dalam MoU Helsinki.

 

Sedangkan apa yang dinyatakan oleh saudara Ria Ananda bahwa Teungku Malik Mahmud menyatakan bahwa ”... pemerintah harus bisa menjaga dan melanjutkan pembangunan di Aceh" adalah memang tepat secara politik. Mengapa ?

 

Karena, pihak RI secara politik dan hukum masih terikat dengan enam kewenangannya di Acheh, sebagaimana yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Adapun soal BRR, itu adalah bersifat sementara, karena setelah terbentuk pemerintahan Acheh akan disesuaikan dengan UU tentang pemerintahan Acheh yang mengacu kepada MoU Helsinki. Dengan kata lain, BRR bisa ditinjau kembali fungsi dan tugasnya. Kemudian, pemerintah Acheh yang akan melanjutkan rehabilitasi dan rekonstruksi Acheh.

 

Kemudian, perlu juga dimengerti dan dipahami bahwa hasil kesepakatan perjanjian damai yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak yang dituangkan dalam MoU Helsinki adalah bukan merupakan hasil ketidakmampuan dari orang-orang yang sudah kecanduan sikap negatif, melainkan hasil dari pemikiran orang-orang yang mengerti perjuangan GAM untuk mencapai penentuan sendiri bagi semua bangsa dan rakyat Acheh di Acheh.

 

Adapun dalam MoU masih disepakati oleh pihak GAM bahwa pihak RI memegang enam kewenangan yaitu dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama bukan berarti bahwa Acheh digadaikan kepada RI. Melainkan, itu merupakan suatu strategi politik, pertahanan dan keamanan GAM di Acheh. Mengapa ?

 

Karena, dengan adanya perdamaian di Acheh, GAM dengan leluasa dapat membangun kekuatan dan pertahanan bersama rakyat Acheh; membina kader-kader baru GAM dengan aman; membangun ekonomi dan perdagangan yang bebas; mendorong dan membina pendidikan generasi rakyat Acheh salah satunya untuk menyadari akan sejarah Acheh hubungannya dengan RI.

 

Nah, itu baru sebagian kecil dari keuntungan dengan ditandatanganinya MoU Helsinki. 

 

Selanjutnya, GAM sebagai pihak yang mempunyai kedudukan dan status pemangku perdamaian di Acheh, maka sebenarnya bagi GAM tidak perlu terlibat dalam kehidupan pemerintahan di Acheh. Mengapa ?

 

Karena dengan keterlibatan GAM dalam kehidupan pemerintahan akan menghilangkan status dan kedudukan GAM sebagai pemangku perdamaian yang menyeluruh, bekelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak.

 

Dengan GAM ada diluar pemerintahan menunjukkan bahwa GAM merupakan lembaga pemangku perdamaian di Acheh yang sekaligus lembaga pengawas dan pengontrol yang memiliki kekuatan hukum untuk memutuskan apakah perdamaian yang mengacu pada MoU Helsinki ini terus berjalan atau sudah dilanggarnya. Begitu juga dengan adanya GAM diluar pemerintahan, maka GAM bisa membangun kekuatan didalam Acheh dengan aman. Kekuasaan GAM tidak hanya terbatas oleh adanya batas periode lima tahun. Melainkan kekuasaan GAM akan terus berjalan selama GAM tetap wujud di bumi Acheh. GAM bersama masyarakat sipil Acheh bersatu untuk menjaga, mengawasi dan mengontrol jalannya perdamaian di Acheh. Setiap saat apabila perdamaian Acheh terancam, maka GAM bersama seluruh masyarakat sipil Acheh bangkit untuk meluruskananya. Misalnya, seperti penolakan isi UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang bertentangan dengan isi MoU Helsinki, seharusnya GAM bersama seluruh kekuatan masyarakat sipil tampil secara bersama-sama melakukan penolakan secara terbuka. Kendatipun GAM mempunyai jalur sendiri dalam usaha pelurusan UU No.11 tersebut, yaitu melalui jalur Acheh Monitoring Mission (AMM), tetapi tidak berarti bahwa GAM tidak dibenarkan secara terbuka bersama seluruh masyarakat sipil Acheh melakukan sikap penolakan terhadap UU No.11 tentang Pemerintahan Acheh yang sebagian pasal-pasalnya bertentangan dengan MoU Helsinki.

 

Jadi, antara GAM dan seluruh kekuatan masyarakat sipil di Acheh harus berjalan bersama dalam usaha menjaga perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak.

 

Selanjutnya saudara Ria Ananda menyatakan bahwa ”Malik Mahmud Cs, tidak sanggup melakukan hal seperti ini di Helsinki, sebab tak ada nyali berbuat demikian. Tidak memiliki kemampuan menghadapi lawan (Indonesia). Akibatnya membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya, alias GAM anjlok. GAM tidak mempunyai kuasa apapun selama masa transisi di Aceh. Hanya propaganda falsu kepada anggota GAM di dalam di luar negeri bahwa: "tahun 2006 Aceh di tangan GAM dan tahun 2009 Aceh Merdeka".”

 

Nah, dari apa yang dinyatakan oleh saudara Ria tersebut diatas membuktikan bahwa bagaimana sebenarnya ia tidak mengerti dan tidak memahami MoU itu sendiri. MoU Helsinki adalah pakta perjanjian damai, bukan surat gadai dari GAM kepada RI, atau sebaliknya bukan surat penyerahan kekuasaan dari RI kepada GAM. Melainkan, MoU adalah merupakan hasil kesepakatan damai yang didasarkan kepada tidak ada pihak yang dirugikan. Atau dengan kata lain yang bermartabat bagi semua pihak.

 

Nah, artinya bermartabat bagi semua pihak adalah GAM secara de-facto dan de-jure menguasai di Acheh, bukan lagi di sekitar Alby, Norsborg, Swedia saja. Pemerintahan Acheh yang akan terbentuk memiliki kewenangan keluar dan kedalam, kecuali enam kewenangan yang masih dipegang oleh pihak RI. Pasukan non-organik TNI dan Polri ditarik dari Acheh, kecuali TNI organik yang berjumlah 14.700 orang dan Polisi organik yang berjumlah 9.100 orang. Tahanan-tahanan politik yang ada kaitannya dengan GAM dibebaskan. Adapun pihak RI dengan ditandatanganinya MoU Helsinki untuk sementara masih memegang enam kewenangan di Acheh. TNI tidak menghadapi musuh yang berat lagi dalam perang gerilya di Acheh. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara RI (APBN RI) untuk TNI dan Polri tidak banyak lagi dipakai untuk membeli senjata dan biaya perang di Acheh.

 

Adapun masalah ”tahun 2009 Aceh Merdeka” adalah sangat ditentukan oleh sikap dan tindakan RI dalam komitmennya dengan MoU Helsinki. Kalau selama dalam pelaksanaan MoU Helsinki ini pihak pemerintah RI dan DPR RI terus-terusan melanggar apa yang telah disepakati oleh GAM dan RI, maka seluruh masyarakat sipil Acheh akan bangkit menyuarakan penentuan nasib sendiri. Disini GAM bersama seluruh masyarakat sipil di Acheh bergandengan tangan untuk menyuarakan penentuan  nasib sendiri.

 

Seterusnya saudara Ria Ananda menyinggung  perjuangan bangsa Melanesia di pulau Bougainville yang terletak di utara Australia, atau di sebelah Barat Kepulauan Salomon

Papua Nugini, dibawah payung perjuangan The Bougainville Freedom Movement (Gerakan Kemerdekaan Bougainville) pimpinan Moses dan Rikha Havini. Pada Januari 1998, Pemerintah Papua Niugini dan pihak The Bougainville Freedom Movement (Gerakan Kemerdekaan Bougainville) menandatangani pernyataan perdamaian. Dan pada bulan Juni 2005 pihak Pemerintah Papua Nugini telah sepakat memberikan hak mengatur daerah sendiri bagi Gerakan Kemerdekaan Bougainville di Bougainville tetapi masih dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Papua Nugini.

 

Jadi, sebenarnya perjuangan bangsa Melanesia di pulau Bougainville melalui wadah The Bougainville Freedom Movement (Gerakan Kemerdekaan Bougainville) tidak bisa dibandingkan dengan perjuangan penentuan nasib sendiri yang dijalankan oleh GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro beserta staf-nya.

 

Seterusnya saudara Ria Ananda menuliskan bahwa ”Malik Mahmud dan Zaini Abdullah adalah streotipe pemimpin yang mementingkan taktid buta daripada mendidik generasi muda yang cerdas menggantikan mereka. Biar keduanya tidak becus, asal anggota GAM tetap taat.”

 

Nah, sebenarnya pernyataan saudara Ria adalah tidak ditunjang dengan fakta, bukti dan hukum yang kuat. Mengapa ?

 

Karena kalau Teungku Malik Mahmud dan Dr. Zaini Abdullah hanya mementingkan taktik buta, jelas pandangan itu adalah pandangan yang sempit dan penuh sikap prijudis serta subjektif.

 

Adapun soal pengkaderan generasi muda GAM selama dalam masa pemerintahan dalam pengasingan di Swedia itu hanya dilakukan di Swedia, bukan di hutan-hutan di Acheh. Karena itu hanya yang ada di luar negeri saja yang mendapat pengkaderan dan bimbingan langsung dari Teungku Hasan Muhammad di Tiro dan melalui staf-nya. Jadi, kalau membicarakan pengkaderan generasi muda GAM di Acheh, jelas bukan pengkaderan namanya, melainkan langsung angkat senjata di hutan-hutan.

 

Seterusnya, banyak orang-orang yang datang dari Acheh yang meminta perlindungan politik di negara-negara Eropa dengan memakai nama kendaraan GAM. Padahal mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro, misalnya saudara Ria Ananda yang sekarang di Denmark, mana ada hubungannya dengan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Jadi, masuk akal kalau kerjanya hanya menyerang GAM saja. Mau berjuang mencapai kemerdekaan Acheh, tetapi memaki ilmu melayang diudara, disekitar wilayah Silkeborg, Arhus, Denmark. Mana bisa Acheh merdeka dengan ilmu terbang diudara dengan jampi simsalabin dari Denmark.

 

Selanjutnya, soal GAM mencalonkan atau tidak mencalonkan orang-orangnya untuk terjun kedalam pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh itu tidak mempengaruhi kepada status GAM sebagai pengemban perdamaian di Acheh. GAM lebih bebas apabila berada diluar pemerintahan. Mengapa ? Karena diantaranya, pertama, GAM secara politis dan hukum adalah lembaga pengemban dan penjaga serta pemelihara perdamaian di Acheh. Kedua, dengan MoU Helsinki GAM dengan bebas membangun kekuatan intern dan membangun kekuatan sumber daya manusia-nya langsung di Acheh. Para politikus berebut kekuasaan di Acheh, sedangkan GAM dengan aman membangun kekuatannya dengan bebas.

 

Nah, kalau ada perorang dari GAM yang tampil untuk bertanding dalam pemilihan Kepela Pemerintahan Acheh dan Kepala Kabupaten dan Walikota itu diserahkan kepada individu masing-masing. Inilah taktik dan strategi yang jitu yang dijalankan oleh Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah cs dari GAM di Acheh.

 

Terakhir saudara Ria Ananda menyatakan bahwa ”Malik Mahmud dan Zaini Abdullah takut mencalonkan diri sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Aceh dari faksi GAM? Kedua tokoh GAM ini pengecut. Malik Mahmud tidak berani berspekulasi dengan melepaskan kewarganegaraan Singapura setelah ditolak pemerintah Swedia menjadi pelarian politik. Ini bocor, sewaktu pimpinan GAM masuk Indonesia melalui airport Polonia Medan. Nama asli Malik Mahmud ialah Khila Malik Haythar bin Mahmud, nomor pasport S1083819C, warganegara Singapura. Zaini Abdullah, pasport No. 23710193 warganegara Swedia.”

 

Nah, pernyataan saudara Ria Ananda adalah benar-benar menunjukkan kedangkalan dalam melihat GAM dengan MoU Helsinki-nya. Mengapa ?

 

Karena, sebagai pengemban dan pemangku perdamaian di Acheh, maka tidak perlu Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah ikut-ikutan memperebutkan kursi Kepala Pemerintahan Acheh yang usianya paling lama lima tahun. Justru yang paling penting dan utama bagi Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah adalah membangun GAM yang kuat di Acheh bersama seluruh masyarakat sipil di Acheh. Soal kursi Kepala Pemerintah Acheh biarkan diperebutkan oleh orang-orang politikus karbitan dari partai nasional dan partai lokal Acheh. Tetapi GAM tetap hidup dengan aman dan bebas di Acheh untuk melanjutkan perjuangan penentuan nasib sendiri bagi seluruh bangsa dan rakyat Acheh di Acheh.

 

Nah, dengan dasar pertimbangan diatas, tidak perlu Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah membawa-bawa pasport bercap burung garuda pancasila. Mengapa ? Karena dengan paspor dan kewarganegaraan yang dimiliki oleh beliau berdua sekarang adalah salah satu senjata untuk menghadapi pihak pemerintah RI dan DPRI apabila disuatu saat mendatang mereka menjalankan taktik dan strategi penghancuran GAM di Acheh melalui TNI-nya. Karena itu GAM tetap berjaga-jaga. GAM dan pimpinannya tidak bodoh seperti yang dianggap oleh saudara Ria Ananda.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

Från:  Ria Ananda bayna9@yahoo.com

Date: 21 augusti 2006 12:06:53

To: PPDI@yahoogroups.com, Lantak@yahoogroups.com, Acsa@yahoogroups.com

Subject: «PPDi» "GAM Political Negaholic"

 

"GAM Political Negaholic"

 

"Political Negaholic" artinya sindrom ketidak mampuan pemimpim secara otomitis membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya memajukan, menentukan sikap dan jati diri. Kualitas suatu organisasi akan ditentukan oleh kemampuan individu-individu, terutama pemimipinnya.

 

Kalau istilah ini dihubungkan dengan GAM, nampak wajah organisasi ini bopéng dan kumuh, sebab ketidak mampuan pemimpinnya memanage GAM sebagai front pembebasan Aceh. Sesudah hampir 30 tahuan berjuang, telah mengorbankan puluhan ribu jiwa rakyat Aceh mati, kerugian dan kerusakan harta-benda tak ternilai, ratusan wanita Aceh diperkosa, gila, stress, frustrasi akibat konflik, pemimpin GAM gagal mengundang simpathi dunia akibat konflik dan bencana Tsunami agar Aceh diberi hak menentukan masa depannya. Peluang ini seharusnya diperjuangkan di Helsinki. Yang terjadi, pemimpin GAM memutar haluan dari perjuangan bersenjata ke kancah politik lewat demokrasi Indonesia untuk membangun cita-cita.

 

Jika itu politik GAM ke arena politik, Bpk. Malik Mahmud dan Bpk. Zaini Abdulalh tidak sipa dan tak menyiapkan kader-kader untuk mengisi jabatan strategis di Aceh selama masa transisi, terutama sesudah MoU Helsinki ditandatangani 15 Agustus 2005, siap ikut pilkada tahun ini? Wajar, kalau banyak orang di Aceh mencibir pemimpin GAM: "berjuang selama hampir 30 tahun, sesudah segalanya porak-poranda dan musnah: bumi, peradaban dan manusianya, targetnya hanya menjadi wakil Gubernur Aceh!"

 

Kualitas juru runding GAM anjlok dibanding Juru runding Bougainville waktu berunding dengan PNG tahun 2001. Juru runding Bougainville tegas menentukan sikap dan berani mendesak pemerintah PNG agar dalam masa transisi, semua jabatan di lini eksekutif, legislatif dan yudicatif dan tugas Polisi sudah mesti diserahkan langsung kepada pihak pejuang kemerdekaan Bougainville. Tentara PNG dan Bougainville bersikap netral menjaga keamanan di bawah pengawasan langsung  pasukan PBB yang diberi tugas khusus di Bougainville.

 

Karena status Bougainville tengah dalam sengketa politik, juru runding Bougainville tak pernah mengaku di meja rundingan bahwa Bougainville salah satu bagian wilayah PNG dan menolak memberlakukan konstutusi PNG di Bougainville. Juru runding Bougainville memaksa agar konstiuante PNG melakukan amandemen terhadap Konstutusi PNG mengenai: status Otonomi dan pelaksanaan referendum yang dilaksanakan selambat-lambatnya 15 tahun dan secepat-cepatnya 10 tahun setelah ditandatangani MoU tahun 2001. Parlemen Bougainville diperintah oleh juru runding ("GAM"-nya Bougainville) untuk menyusun draft Konstitusi baru untuk disahkan, menggantikan Konstitusi PNG dalam rentang masa dua tahun. Ketentuan mengenai moniter, fiscal dan bagi hasil dalam bidang ekonomi antara PNG-Bougainville sebelum referendum sah-sah saja. Yang penting Bougainville tetap dalam status sengketa yang mesti diselesaikan berdasarakan Hukum Internasional.

 

Malik Mahmud Cs, tidak sanggup melakukan hal seperti ini di Helsinki, sebab tak ada nyali berbuat demikian. Tidak memiliki kemampuan menghadapi lawan (Indonesia). Akibatnya membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya, alias GAM anjlok. GAM tidak mempunyai kuasa apapun selama masa transisi di Aceh. Hanya propaganda falsu kepada anggota GAM di dalam di luar negeri bahwa: "tahun 2006 Aceh di tangan GAM dan tahun 2009 Aceh Merdeka". Tukang propaganda: Bakhtiar Abdullah, Ampun Man, Nurdin AR, Munawar Liza, Nur Juli, Nazar SIRA, Mohd. Usman Lhampohawe, dll. Kenyataannya? Gubernur, camat, mukim dan anggota DPRD NAD Tkt I dan II di Acheh, 100% kaki tangan Jakarta yang didukung oleh Polisi dan TNI. Berbeda dengan "GAM" di Bougainville, yang otomatis memegang kendali pemerintahan, ketertiban dan keamanan.Benar, kualitas sindrom ketidak mampuan pemimpin akan membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya (GAM).

 

Malik Mahmud dan Zaini Abdullah adalah streotipe pemimpin yang mementingkan taktid buta daripada mendidik generasi muda yang cerdas menggantikan mereka. Biar keduanya tidak becus, asal anggota GAM tetap taat. Tidak adanya kader GAM yang tangguh, nampak dari hasil convensi GAM di Banda Acheh, yang menokohkan Mr. Nasruddin Ahmad dan Mr. Muhd. Nazar, masing-masing sebagai calon Gubernur-Wakil dari faksi GAM.

 

Mr.Nasruddin bukan tokoh handal GAM, apalagi dikader untuk menjadi calon Gubernur Aceh dari faksi GAM. Nazar secara organisatoris bukan anggota GAM, dia Ketua SIRA. Untuk calan Gubernur- Wakil saja GAM tak punya, bagaimana dikatakan GAM sebagai organisasi yang solid? Terpilihnya Mr. Nasruddin-Nazar dalam Convensi GAM di Banda Aceh, hanya konspirasi politik intern untuk menumbangkan pasangan Mr. Hasbi Abdullah (adik Zaini Abdullah)  dan Mr. Humam Hamid.  Pasangan Mr. Hasbi Abdullah-Humam Hamid, sejak rapat GAM tertutup di Stockholm dan rapat tertutup antara pemimpin GAM-Yusuf Kalla di Jakarta, sudah disepakati sbg calon Gubernur dari faksi GAM. Tapi ada gèng muda pimpinan Bakhtiar Abdullah yang kurang serek dengan pasangan ini dan berusaha menjatuhkan melalui proses demokrasi. Mr. Nasruddin tidak tahu permainan konspirasi politik ini. Dia anak catur politik intern GAM yang tengah mabuk dan gila kuasa di Acheh.

 

Setelah pengunduran diri Mr.Nasruddin, diadakan rapat GAM tertetup. Dalam rapat inilah terjadi cekcok (quarrel) antara wakil yang hadir dari 17 perwakilan Daerah dan nyaris mencetuskan huru-hara. Malik Mahmud yang tak bermutu mati kutu. Tidak mampu memanage GAM menghindar: "Tidak ada cek-cok diantara kami, dan GAM memutuskan untuk mundur dalam Pilkada mendatang. GAM akan berkonsentrasi dalam Pilkada tahun 2009." Malik Mahmud memberi peluang kepada bekas anggota GAM untuk ikut bertanding lewat calon bebas di luar tanggung jawab GAM.

 

Apa yang mau direbut GAM tahun 2009? Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh? Bodoh bener Malik Mahmud serta pengikut GAM di dalam di luar negeri. Kenapa? karena jika dalam Pilkada Desember 2006 nanti terpilih Gubernur+Wakil, berarti masa tugasnya baru berakhir desember tahun 2011. Kenapa bilang: "Aceh merdeka dan GAM berkuasa tahun 2009?" Yang terjadi tahun 2009 adalah PEMILU nasional Indonesia, dan karena Aceh bagian Indonesia, (diakui dalam Mou Helsinki oleh Mahmud Cs) otomatis Aceh ikut dalam Pemilu nasional itu. Tapi Pemilu ini memilih anggota DPRD NAD yang sudah habis masa tugasnya. Tidak ada Pilkada yang memilih Gubernur+Wakil Gubernur NAD tahun 2009. Kalau GAM mimpi jabatan Gubernur NAD, tunggu tahun 2011. Itupun kalau memang, jika kalah, tunggu tahun 2016, kalau kalah lagi...........? Katakan saja menang GAM dalam pilkada tahun 2011, tokh tetap saja Aceh bagian dari Indonesia, kan?

 

Untuk "test case", Said Mustafa, bekas anggota GAM lulusan SMA Jeram Meulaboh, mencalonkan diri sebagai Bupati Acheh Barat, bersanding Golkar. Hasilnya, terdepak ke luar, sebab suara yang menyokong Said Mustafa kurang dari 30%. Sekarang, bertepiaran anggota GAM yang memahat mimpi jadi pejabat Daerah di Acheh.

 

Yang menarik ialah: Malik Mahmud dan Zaini Abdullah takut mencalonkan diri sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Aceh dari faksi GAM? Kedua tokoh GAM ini pengecut. Malik Mahmud tidak berani berspekulasi dengan melepaskan kewarganegaraan Singapura setelah ditolak pemerintah Swedia menjadi pelarian politik. Ini bocor, sewaktu pimpinan GAM masuk Indonesia melalui airport Polonia Medan. Nama asli Malik Mahmud ialah Khila Malik Haythar bin Mahmud, nomor pasport S1083819C, warganegara Singapura. Zaini Abdullah, pasport No. 23710193 warganegara Swedia.

 

Malik Mahmud dan Zaini Abdullah gagal meneruskan perjuangan Hasan di Tiro sejak tahun 1976. Mereka telah menggadaikan Aceh kepada Indonesia lewat MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dengan mengaku: "Aceh tetap bingkai NKRI dan mengakui Konstitusi Indonesia berlaku di Aceh."  Lebih gawat lagi, dalam pidato penerimaan penghargaan perdamaian, 16 Agustus 2006 di Banda Aceh, dia bilang:"... pemerintah harus bisa menjaga dan melanjutkan pembangunan di Aceh."  Tentu! Sebab yang berkuasa penuh menjaga ketertiban dan keamanan di Aceh adalah TNI dan Polri, sesuai dengan isi MoU Helsinki. Yang membangun Aceh pemerintah Indonesia, sekarang dibangun oleh BRR.

 

Ria Ananda

*Pemerhati tentang konflik.

 

bayna9@yahoo.com 

Silkeborg, Arhus, Denmark

----------