Stockholm,
21 Agustus 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
MEREKA YANG MENGANALISA POLITIK GAM DARI RANTING-NYA DENGAN
MEMAKAI ILMU NEGAHOLIC.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MENGUPAS ORANG YANG MENCOBA
MENGANALISA POLITIK GAM DENGAN MEMAKAI ILMU TERBANG DIUDARA NEGAHOLIC.
“Yang menarik ialah: Malik
Mahmud dan Zaini Abdullah takut mencalonkan diri sebagai Gubernur-Wakil
Gubernur Aceh dari faksi GAM? Kedua tokoh GAM ini pengecut. Malik Mahmud tidak
berani berspekulasi dengan melepaskan kewarganegaraan Singapura setelah ditolak
pemerintah Swedia menjadi pelarian politik. Ini bocor, sewaktu pimpinan GAM
masuk Indonesia melalui airport Polonia Medan. Nama asli Malik Mahmud ialah
Khila Malik Haythar bin Mahmud, nomor pasport S1083819C, warganegara Singapura.
Zaini
Abdullah, pasport No. 23710193 warganegara Swedia.” (Ria Ananda, bayna9@yahoo.com
, 21
augusti 2006 12:06:53)
Setelah membaca tulisan saudara Ria Ananda di Silkeborg, Arhus, Denmark
yang berjudul ”GAM Political Negaholic” yang diartikannya dengan “sindrom
ketidak mampuan pemimpim secara otomitis membentuk sindrom ketidak mampuan
organisasinya memajukan, menentukan sikap dan jati diri. Kualitas suatu
organisasi akan ditentukan oleh kemampuan individu-individu, terutama
pemimipinnya.”. Ternyata ada beberapa pandangan saudara Ria yang masih
dipertanyakan dan masih didasarkan kepada pendangan subjetifitasnya sendiri,
sehingga tidak melahirkan hasil pemikiran yang objektif.
Nah, dengan saudara Ria mengambil istilah negaholic yang dikaitkan
kepada GAM adalah sudah menunjukkan adanya sikap prijudis yang jauh dari fakta
dan bukti. Mengapa ?
Karena kalau mau mengambil istilah negaholic, yang kata dasarnya berasal
dari kata “nega” atau “negasi” yang berarti negatif atau penyangkalan atau
peniadaan kemudian ditambah kata “holic” yang berarti seseorang yang sudah
ketagihan atau kecanduan atau yang sudah menjadi budak sesuatu.
Nah, kalau diartikan negaholic yang sebenarnya adalah seseorang yang
sudah kecanduan atau ketagihan atau menjadi budak penyangkalan. Atau dengan kata lain seseorang menolak untuk menerima
fakta bahwa ia bisa, mampu. Atau bisa juga dikatakan seseorang yang menjadi
korban ”self-negation” yang dicerminkan dalam sikap, pikiran, kata-kata dan
perilaku. Misalnya, seorang negaholic bicara: ”kamu tidak akan menjadi seperti
orang itu; kamu jangan berbuat itu; kamu tidak bisa memilikinya oleh karena itu
lupakan itu.”
Nah sekarang, kalau istilah
negaholic dihubungkan dengan politik dan diterapkan kepada GAM, maka jelas
hasilnya menjadi salah fatal. Mengapa ?
Karena, politik GAM jelas bukan
politik negaholic. Para pemimpin GAM telah berhasil membawa dan meneruskan
perjuangan GAM ketingkat puncak yang setaraf pemerintah RI. Artinya, dilihat
dari sudut kacamata pemerintah RI tidak ada kekuatan yang berjuang baik di
Acheh ataupun diluar Acheh yang memiliki visi dan misi politik yang jelas
dengan ditunjang oleh kekuatan militer yang kuat selain GAM. Karena itulah
mengapa pihak pemerintah RI tidak melakukan perundingan politik dengan
organisasi yang ada di Acheh atau yang ada di luar Acheh untuk penyelesaian
konflik Acheh yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak, kecuali
dengan pihak GAM.
Nah, berdasarkan fakta, bukti
dan hukum ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa GAM dibawah pimpinan Teungku
Hasan Muhammad di Tiro beserta stafnya bukan merupakan kelompok yang menjadi
budak penyangkalan atau negaholic.
Justru sebaliknya, GAM
dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad
di Tiro beserta stafnya, yaitu Teungku Malik Mahmud dan Dr. Zaini Abdullah cs
adalah mampu membuat pihak pemerintah RI dan TNI-nya mengakui secara de-jure
dan de-facto bahwa GAM adalah satu-satunya kekuatan politik dan militer yang
sebanding dan setaraf dengan pihak pemerintah RI dalam usaha untuk
menyelesaikan konflik Acheh secara menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat
bagi semua pihak.
Jadi, apa yang disampaikan oleh
saudara Ria Ananda bahwa:
”Malik Mahmud dan Zaini Abdullah gagal meneruskan perjuangan Hasan di Tiro sejak tahun 1976. Mereka telah menggadaikan Aceh kepada Indonesia lewat MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dengan mengaku: "Aceh tetap bingkai NKRI dan mengakui Konstitusi Indonesia berlaku di Aceh." Lebih gawat lagi, dalam pidato penerimaan penghargaan perdamaian, 16 Agustus 2006 di Banda Aceh, dia bilang:"... pemerintah harus bisa menjaga dan melanjutkan pembangunan di Aceh." Tentu! Sebab yang berkuasa penuh menjaga ketertiban dan keamanan di Aceh adalah TNI dan Polri, sesuai dengan isi MoU Helsinki. Yang membangun Aceh pemerintah Indonesia, sekarang dibangun oleh BRR.”
Jelas merupakan hasil pandangan
yang sempit dan sangat subjektif. Mengapa ?
Karena, apa yang disepakati
dalam MoU Helsinki itu adalah bukan kegagalan dari Teungku Malik Mahmud dan Dr.
Zaini Abdullah meneruskan perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Melainkan,
justru memperkuat kedudukan GAM secara de-facto dan de-jure di Acheh,
dibandingkan sebelumnya. Dimana sebelumnya kekuatan GAM secara de-jure dan
de-facto hanyalah di Swedia. Hubungan antara pemerintahan Acheh dalam
pengasingan di Swedia dalam hal ini GAM dengan TNA di Acheh tidak terbuka atau
secara sembunyi-sembunyi. Hubungan GAM dengan seluruh rakyat Acheh di Acheh
terputus karena diblokir oleh pemerintah RI dan TNI yang ada di Acheh.
Selanjutnya, kalau dalam MoU
Helsinki itu dinyatakan bahwa ”Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi
sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang
demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”
bukan berarti bahwa GAM menggadaikan Acheh kepada RI, melainkan sebaliknya,
justru GAM yang secara de-facto dan de-jure menguasai Acheh. Mengapa ?
Karena, yang sebelumnya, GAM yang
secara de-jure dan de-facto hanya berkuasa disekitar Alby yaitu yang terletak
di kota Botkyrka, Swedia, kalau dibandingkan dengan di Acheh luasnya sama
dengan luas wilayah kabupaten Pidie. Begitu juga TNA hanya menguasai sebagian
hutan-hutan di Acheh. Tetapi sekarang GAM secara de-facto dan de-jure mempunyai
kekuasaan dan kekuatan di seluruh Acheh begitu juga TNA walaupun namanya sudah
diganti dengan Komite Peralihan Acheh (KPA) tidak hanya tinggal di hutan-hutan,
melainkan sudah menguasai kota-kota dan kabupaten-kabupaten secara terbuka di
Acheh.
Seterusnya, persoalan ”dalam
negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia” adalah pernyataan
politis ditambah dengan enam kewenangan yang masih dimiliki oleh pihak RI.
Dimana pihak RI menganggap bahwa dengan masih dimilikinya enam kewenangan
sebagaimana tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yaitu
kewenangan dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan
beragama yang dilihat dari kacamata RI dengan konstitusinya.
Adapun dari pihak GAM, tetap
dalam sikapnya bahwa kedaulatan Acheh tidak diserahkan secara penuh kepada
pihak RI. Atau dengan kata lain pihak RI tidak memiliki kedaulatan penuh atas
Acheh, selain dengan kekuasaan dalam bentuk enam kewenangan saja.
Karena itu apa yang disampaikan
oleh saudara Ria Ananda bahwa ”dihubungkan dengan GAM, nampak wajah
organisasi ini bopéng dan kumuh, sebab ketidak mampuan pemimpinnya memanage GAM
sebagai front pembebasan Aceh” adalah suatu pernyataan yang sungguh dangkal
dan keliru. Mengapa ?
Karena, MoU adalah merupakan
strategi politik GAM dalam rangka penentuan nasib sendiri, disamping dengan
melalui jalur kekuatan militer yang sudah dijalankan hampir 30 tahun di
hutan-hutan Acheh.
Disinilah keberhasilan langkah
perjuangan politik GAM dalam perundingan di Helsinki yang dituangkan dalam MoU
Helsinki.
Sedangkan apa yang dinyatakan
oleh saudara Ria Ananda bahwa Teungku Malik Mahmud menyatakan bahwa ”... pemerintah
harus bisa menjaga dan melanjutkan pembangunan di Aceh" adalah memang
tepat secara politik. Mengapa ?
Karena, pihak RI secara politik
dan hukum masih terikat dengan enam kewenangannya di Acheh, sebagaimana yang
telah disepakati dalam MoU Helsinki. Adapun soal BRR, itu adalah bersifat
sementara, karena setelah terbentuk pemerintahan Acheh akan disesuaikan dengan
UU tentang pemerintahan Acheh yang mengacu kepada MoU Helsinki. Dengan kata
lain, BRR bisa ditinjau kembali fungsi dan tugasnya. Kemudian, pemerintah Acheh
yang akan melanjutkan rehabilitasi dan rekonstruksi Acheh.
Kemudian, perlu juga dimengerti
dan dipahami bahwa hasil kesepakatan perjanjian damai yang menyeluruh,
berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak yang dituangkan dalam MoU Helsinki
adalah bukan merupakan hasil ketidakmampuan dari orang-orang yang sudah
kecanduan sikap negatif, melainkan hasil dari pemikiran orang-orang yang
mengerti perjuangan GAM untuk mencapai penentuan sendiri bagi semua bangsa dan
rakyat Acheh di Acheh.
Adapun dalam MoU masih
disepakati oleh pihak GAM bahwa pihak RI memegang enam kewenangan yaitu dalam
bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal
moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama bukan berarti
bahwa Acheh digadaikan kepada RI. Melainkan, itu merupakan suatu strategi
politik, pertahanan dan keamanan GAM di Acheh. Mengapa ?
Karena, dengan adanya perdamaian
di Acheh, GAM dengan leluasa dapat membangun kekuatan dan pertahanan bersama
rakyat Acheh; membina kader-kader baru GAM dengan aman; membangun ekonomi dan
perdagangan yang bebas; mendorong dan membina pendidikan generasi rakyat Acheh
salah satunya untuk menyadari akan sejarah Acheh hubungannya dengan RI.
Nah, itu baru sebagian kecil
dari keuntungan dengan ditandatanganinya MoU Helsinki.
Selanjutnya, GAM sebagai pihak
yang mempunyai kedudukan dan status pemangku perdamaian di Acheh, maka
sebenarnya bagi GAM tidak perlu terlibat dalam kehidupan pemerintahan di Acheh.
Mengapa ?
Karena dengan keterlibatan GAM
dalam kehidupan pemerintahan akan menghilangkan status dan kedudukan GAM
sebagai pemangku perdamaian yang menyeluruh, bekelanjutan dan bermartabat bagi
semua pihak.
Dengan GAM ada diluar
pemerintahan menunjukkan bahwa GAM merupakan lembaga pemangku perdamaian di
Acheh yang sekaligus lembaga pengawas dan pengontrol yang memiliki kekuatan
hukum untuk memutuskan apakah perdamaian yang mengacu pada MoU Helsinki ini
terus berjalan atau sudah dilanggarnya. Begitu juga dengan adanya GAM diluar
pemerintahan, maka GAM bisa membangun kekuatan didalam Acheh dengan aman.
Kekuasaan GAM tidak hanya terbatas oleh adanya batas periode lima tahun.
Melainkan kekuasaan GAM akan terus berjalan selama GAM tetap wujud di bumi
Acheh. GAM bersama masyarakat sipil Acheh bersatu untuk menjaga, mengawasi dan
mengontrol jalannya perdamaian di Acheh. Setiap saat apabila perdamaian Acheh
terancam, maka GAM bersama seluruh masyarakat sipil Acheh bangkit untuk
meluruskananya. Misalnya, seperti penolakan isi UU No.11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Acheh yang bertentangan dengan isi MoU Helsinki, seharusnya GAM
bersama seluruh kekuatan masyarakat sipil tampil secara bersama-sama melakukan
penolakan secara terbuka. Kendatipun GAM mempunyai jalur sendiri dalam usaha
pelurusan UU No.11 tersebut, yaitu melalui jalur Acheh Monitoring Mission
(AMM), tetapi tidak berarti bahwa GAM tidak dibenarkan secara terbuka bersama
seluruh masyarakat sipil Acheh melakukan sikap penolakan terhadap UU No.11
tentang Pemerintahan Acheh yang sebagian pasal-pasalnya bertentangan dengan MoU
Helsinki.
Jadi, antara GAM dan seluruh
kekuatan masyarakat sipil di Acheh harus berjalan bersama dalam usaha menjaga
perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak.
Selanjutnya saudara Ria Ananda
menyatakan bahwa ”Malik Mahmud Cs, tidak sanggup melakukan hal seperti ini
di Helsinki, sebab tak ada nyali berbuat demikian. Tidak memiliki kemampuan
menghadapi lawan (Indonesia). Akibatnya membentuk sindrom ketidak mampuan
organisasinya, alias GAM anjlok. GAM tidak mempunyai kuasa apapun selama masa
transisi di Aceh. Hanya propaganda falsu kepada anggota GAM di dalam di luar
negeri bahwa: "tahun 2006 Aceh di tangan GAM dan tahun 2009 Aceh
Merdeka".”
Nah, dari apa yang dinyatakan
oleh saudara Ria tersebut diatas membuktikan bahwa bagaimana sebenarnya ia
tidak mengerti dan tidak memahami MoU itu sendiri. MoU Helsinki adalah pakta
perjanjian damai, bukan surat gadai dari GAM kepada RI, atau sebaliknya bukan
surat penyerahan kekuasaan dari RI kepada GAM. Melainkan, MoU adalah merupakan
hasil kesepakatan damai yang didasarkan kepada tidak ada pihak yang dirugikan.
Atau dengan kata lain yang bermartabat bagi semua pihak.
Nah, artinya bermartabat bagi
semua pihak adalah GAM secara de-facto dan de-jure menguasai di Acheh, bukan
lagi di sekitar Alby, Norsborg, Swedia saja. Pemerintahan Acheh yang akan
terbentuk memiliki kewenangan keluar dan kedalam, kecuali enam kewenangan yang
masih dipegang oleh pihak RI. Pasukan non-organik TNI dan Polri ditarik dari
Acheh, kecuali TNI organik yang berjumlah 14.700 orang dan Polisi organik yang
berjumlah 9.100 orang. Tahanan-tahanan politik yang ada kaitannya dengan GAM
dibebaskan. Adapun pihak RI dengan ditandatanganinya MoU Helsinki untuk
sementara masih memegang enam kewenangan di Acheh. TNI tidak menghadapi musuh
yang berat lagi dalam perang gerilya di Acheh. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara RI (APBN RI) untuk TNI dan Polri tidak banyak lagi dipakai untuk membeli
senjata dan biaya perang di Acheh.
Adapun masalah ”tahun 2009
Aceh Merdeka” adalah sangat ditentukan oleh sikap dan tindakan RI dalam
komitmennya dengan MoU Helsinki. Kalau selama dalam pelaksanaan MoU Helsinki
ini pihak pemerintah RI dan DPR RI terus-terusan melanggar apa yang telah
disepakati oleh GAM dan RI, maka seluruh masyarakat sipil Acheh akan bangkit
menyuarakan penentuan nasib sendiri. Disini GAM bersama seluruh masyarakat
sipil di Acheh bergandengan tangan untuk menyuarakan penentuan nasib sendiri.
Seterusnya saudara Ria Ananda
menyinggung perjuangan bangsa Melanesia
di pulau Bougainville yang terletak di utara Australia, atau di sebelah Barat
Kepulauan Salomon
Papua Nugini, dibawah payung
perjuangan The Bougainville Freedom Movement (Gerakan Kemerdekaan Bougainville)
pimpinan Moses dan Rikha Havini. Pada Januari 1998, Pemerintah Papua Niugini
dan pihak The Bougainville Freedom Movement (Gerakan Kemerdekaan Bougainville)
menandatangani pernyataan perdamaian. Dan pada bulan Juni 2005 pihak Pemerintah
Papua Nugini telah sepakat memberikan hak mengatur daerah sendiri bagi Gerakan
Kemerdekaan Bougainville di Bougainville tetapi masih dalam wilayah kekuasaan
Pemerintah Papua Nugini.
Jadi, sebenarnya perjuangan
bangsa Melanesia di pulau Bougainville melalui wadah The Bougainville Freedom
Movement (Gerakan Kemerdekaan Bougainville) tidak bisa dibandingkan dengan
perjuangan penentuan nasib sendiri yang dijalankan oleh GAM dibawah pimpinan
Teungku Hasan Muhammad di Tiro beserta staf-nya.
Seterusnya saudara Ria Ananda
menuliskan bahwa ”Malik Mahmud dan Zaini Abdullah adalah streotipe pemimpin
yang mementingkan taktid buta daripada mendidik generasi muda yang cerdas
menggantikan mereka. Biar keduanya tidak becus, asal anggota GAM tetap taat.”
Nah, sebenarnya pernyataan
saudara Ria adalah tidak ditunjang dengan fakta, bukti dan hukum yang kuat.
Mengapa ?
Karena kalau Teungku Malik
Mahmud dan Dr. Zaini Abdullah hanya mementingkan taktik buta, jelas pandangan
itu adalah pandangan yang sempit dan penuh sikap prijudis serta subjektif.
Adapun soal pengkaderan generasi
muda GAM selama dalam masa pemerintahan dalam pengasingan di Swedia itu hanya
dilakukan di Swedia, bukan di hutan-hutan di Acheh. Karena itu hanya yang ada
di luar negeri saja yang mendapat pengkaderan dan bimbingan langsung dari
Teungku Hasan Muhammad di Tiro dan melalui staf-nya. Jadi, kalau membicarakan
pengkaderan generasi muda GAM di Acheh, jelas bukan pengkaderan namanya,
melainkan langsung angkat senjata di hutan-hutan.
Seterusnya, banyak orang-orang
yang datang dari Acheh yang meminta perlindungan politik di negara-negara Eropa
dengan memakai nama kendaraan GAM. Padahal mereka tidak ada hubungannya sama
sekali dengan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro, misalnya
saudara Ria Ananda yang sekarang di Denmark, mana ada hubungannya dengan GAM
dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Jadi, masuk akal kalau
kerjanya hanya menyerang GAM saja. Mau berjuang mencapai kemerdekaan Acheh,
tetapi memaki ilmu melayang diudara, disekitar wilayah Silkeborg, Arhus,
Denmark. Mana bisa Acheh merdeka dengan ilmu terbang diudara dengan jampi
simsalabin dari Denmark.
Selanjutnya, soal GAM
mencalonkan atau tidak mencalonkan orang-orangnya untuk terjun kedalam
pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh itu tidak mempengaruhi kepada status GAM
sebagai pengemban perdamaian di Acheh. GAM lebih bebas apabila berada diluar
pemerintahan. Mengapa ? Karena diantaranya, pertama, GAM secara politis dan
hukum adalah lembaga pengemban dan penjaga serta pemelihara perdamaian di
Acheh. Kedua, dengan MoU Helsinki GAM dengan bebas membangun kekuatan intern
dan membangun kekuatan sumber daya manusia-nya langsung di Acheh. Para
politikus berebut kekuasaan di Acheh, sedangkan GAM dengan aman membangun
kekuatannya dengan bebas.
Nah, kalau ada perorang dari GAM
yang tampil untuk bertanding dalam pemilihan Kepela Pemerintahan Acheh dan
Kepala Kabupaten dan Walikota itu diserahkan kepada individu masing-masing.
Inilah taktik dan strategi yang jitu yang dijalankan oleh Teungku Malik Mahmud
dan Dr.Zaini Abdullah cs dari GAM di Acheh.
Terakhir saudara Ria Ananda
menyatakan bahwa ”Malik Mahmud dan Zaini Abdullah takut mencalonkan diri
sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Aceh dari faksi GAM? Kedua tokoh GAM ini
pengecut. Malik Mahmud tidak berani berspekulasi dengan melepaskan kewarganegaraan
Singapura setelah ditolak pemerintah Swedia menjadi pelarian politik. Ini
bocor, sewaktu pimpinan GAM masuk Indonesia melalui airport Polonia Medan. Nama
asli Malik Mahmud ialah Khila Malik Haythar bin Mahmud, nomor pasport
S1083819C, warganegara Singapura. Zaini Abdullah, pasport No.
23710193 warganegara Swedia.”
Nah, pernyataan saudara Ria
Ananda adalah benar-benar menunjukkan kedangkalan dalam melihat GAM dengan MoU
Helsinki-nya. Mengapa ?
Karena, sebagai pengemban dan
pemangku perdamaian di Acheh, maka tidak perlu Teungku Malik Mahmud dan
Dr.Zaini Abdullah ikut-ikutan memperebutkan kursi Kepala Pemerintahan Acheh
yang usianya paling lama lima tahun. Justru yang paling penting dan utama bagi
Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah adalah membangun GAM yang kuat di
Acheh bersama seluruh masyarakat sipil di Acheh. Soal kursi Kepala Pemerintah
Acheh biarkan diperebutkan oleh orang-orang politikus karbitan dari partai
nasional dan partai lokal Acheh. Tetapi GAM tetap hidup dengan aman dan bebas di
Acheh untuk melanjutkan perjuangan penentuan nasib sendiri bagi seluruh bangsa
dan rakyat Acheh di Acheh.
Nah, dengan dasar pertimbangan
diatas, tidak perlu Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah membawa-bawa
pasport bercap burung garuda pancasila. Mengapa ? Karena dengan paspor dan
kewarganegaraan yang dimiliki oleh beliau berdua sekarang adalah salah satu
senjata untuk menghadapi pihak pemerintah RI dan DPRI apabila disuatu saat
mendatang mereka menjalankan taktik dan strategi penghancuran GAM di Acheh
melalui TNI-nya. Karena itu GAM tetap berjaga-jaga. GAM dan pimpinannya tidak
bodoh seperti yang dianggap oleh saudara Ria Ananda.
Bagi yang ada minat untuk
menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya
sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya
yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang
Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita
memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
Från: Ria Ananda bayna9@yahoo.com
Date: 21 augusti 2006 12:06:53
To: PPDI@yahoogroups.com, Lantak@yahoogroups.com, Acsa@yahoogroups.com
Subject: «PPDi» "GAM Political Negaholic"
"GAM Political Negaholic"
"Political Negaholic" artinya sindrom ketidak mampuan pemimpim
secara otomitis membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya memajukan,
menentukan sikap dan jati diri. Kualitas suatu organisasi akan ditentukan oleh
kemampuan individu-individu, terutama pemimipinnya.
Kalau istilah ini dihubungkan dengan GAM, nampak wajah organisasi ini
bopéng dan kumuh, sebab ketidak mampuan pemimpinnya memanage GAM sebagai front
pembebasan Aceh. Sesudah hampir 30 tahuan berjuang, telah mengorbankan puluhan
ribu jiwa rakyat Aceh mati, kerugian dan kerusakan harta-benda tak ternilai,
ratusan wanita Aceh diperkosa, gila, stress, frustrasi akibat konflik, pemimpin
GAM gagal mengundang simpathi dunia akibat konflik dan bencana Tsunami agar
Aceh diberi hak menentukan masa depannya. Peluang ini seharusnya diperjuangkan
di Helsinki. Yang terjadi, pemimpin GAM memutar haluan dari perjuangan
bersenjata ke kancah politik lewat demokrasi Indonesia untuk membangun
cita-cita.
Jika itu politik GAM ke arena
politik, Bpk. Malik Mahmud dan Bpk. Zaini Abdulalh tidak sipa dan tak
menyiapkan kader-kader untuk mengisi jabatan strategis di Aceh selama masa
transisi, terutama sesudah MoU Helsinki ditandatangani 15 Agustus 2005, siap
ikut pilkada tahun ini? Wajar, kalau banyak orang di Aceh mencibir pemimpin
GAM: "berjuang selama hampir 30 tahun, sesudah segalanya porak-poranda dan
musnah: bumi, peradaban dan manusianya, targetnya hanya menjadi wakil Gubernur
Aceh!"
Kualitas juru runding GAM anjlok
dibanding Juru runding Bougainville waktu berunding dengan PNG tahun 2001. Juru
runding Bougainville tegas menentukan sikap dan berani mendesak pemerintah PNG
agar dalam masa transisi, semua jabatan di lini eksekutif, legislatif dan
yudicatif dan tugas Polisi sudah mesti diserahkan langsung kepada pihak pejuang
kemerdekaan Bougainville. Tentara PNG dan Bougainville bersikap netral menjaga
keamanan di bawah pengawasan langsung
pasukan PBB yang diberi tugas khusus di Bougainville.
Karena status Bougainville
tengah dalam sengketa politik, juru runding Bougainville tak pernah mengaku di
meja rundingan bahwa Bougainville salah satu bagian wilayah PNG dan menolak
memberlakukan konstutusi PNG di Bougainville. Juru runding Bougainville memaksa
agar konstiuante PNG melakukan amandemen terhadap Konstutusi PNG mengenai:
status Otonomi dan pelaksanaan referendum yang dilaksanakan selambat-lambatnya
15 tahun dan secepat-cepatnya 10 tahun setelah ditandatangani MoU tahun 2001.
Parlemen Bougainville diperintah oleh juru runding ("GAM"-nya
Bougainville) untuk menyusun draft Konstitusi baru untuk disahkan, menggantikan
Konstitusi PNG dalam rentang masa dua tahun. Ketentuan mengenai moniter, fiscal
dan bagi hasil dalam bidang ekonomi antara PNG-Bougainville sebelum referendum
sah-sah saja. Yang penting Bougainville tetap dalam status sengketa yang mesti
diselesaikan berdasarakan Hukum Internasional.
Malik Mahmud Cs, tidak sanggup
melakukan hal seperti ini di Helsinki, sebab tak ada nyali berbuat demikian.
Tidak memiliki kemampuan menghadapi lawan (Indonesia). Akibatnya membentuk
sindrom ketidak mampuan organisasinya, alias GAM anjlok. GAM tidak mempunyai
kuasa apapun selama masa transisi di Aceh. Hanya propaganda falsu kepada
anggota GAM di dalam di luar negeri bahwa: "tahun 2006 Aceh di tangan GAM
dan tahun 2009 Aceh Merdeka". Tukang propaganda: Bakhtiar Abdullah, Ampun
Man, Nurdin AR, Munawar Liza, Nur Juli, Nazar SIRA, Mohd. Usman Lhampohawe,
dll. Kenyataannya? Gubernur, camat, mukim dan anggota DPRD NAD Tkt I dan II di
Acheh, 100% kaki tangan Jakarta yang didukung oleh Polisi dan TNI. Berbeda
dengan "GAM" di Bougainville, yang otomatis memegang kendali
pemerintahan, ketertiban dan keamanan.Benar, kualitas sindrom ketidak mampuan
pemimpin akan membentuk sindrom ketidak mampuan organisasinya (GAM).
Malik Mahmud dan Zaini Abdullah
adalah streotipe pemimpin yang mementingkan taktid buta daripada mendidik
generasi muda yang cerdas menggantikan mereka. Biar keduanya tidak becus, asal
anggota GAM tetap taat. Tidak adanya kader GAM yang tangguh, nampak dari hasil
convensi GAM di Banda Acheh, yang menokohkan Mr. Nasruddin Ahmad dan Mr. Muhd. Nazar,
masing-masing sebagai calon Gubernur-Wakil dari faksi GAM.
Mr.Nasruddin bukan tokoh handal
GAM, apalagi dikader untuk menjadi calon Gubernur Aceh dari faksi GAM. Nazar
secara organisatoris bukan anggota GAM, dia Ketua SIRA. Untuk calan Gubernur-
Wakil saja GAM tak punya, bagaimana dikatakan GAM sebagai organisasi yang
solid? Terpilihnya Mr. Nasruddin-Nazar dalam Convensi GAM di Banda Aceh, hanya
konspirasi politik intern untuk menumbangkan pasangan Mr. Hasbi Abdullah (adik
Zaini Abdullah) dan Mr. Humam
Hamid. Pasangan Mr. Hasbi
Abdullah-Humam Hamid, sejak rapat GAM tertutup di Stockholm dan rapat tertutup
antara pemimpin GAM-Yusuf Kalla di Jakarta, sudah disepakati sbg calon Gubernur
dari faksi GAM. Tapi ada gèng muda pimpinan Bakhtiar Abdullah yang
kurang serek dengan pasangan ini dan berusaha menjatuhkan melalui proses
demokrasi. Mr. Nasruddin tidak tahu permainan konspirasi politik ini. Dia anak
catur politik intern GAM yang tengah mabuk dan gila kuasa di Acheh.
Setelah pengunduran diri Mr.Nasruddin,
diadakan rapat GAM tertetup. Dalam rapat inilah terjadi cekcok (quarrel) antara
wakil yang hadir dari 17 perwakilan Daerah dan nyaris mencetuskan huru-hara.
Malik Mahmud yang tak bermutu mati kutu. Tidak mampu memanage GAM menghindar:
"Tidak ada cek-cok diantara kami, dan GAM memutuskan untuk mundur dalam
Pilkada mendatang. GAM akan berkonsentrasi dalam Pilkada tahun 2009."
Malik Mahmud memberi peluang kepada bekas anggota GAM untuk ikut bertanding
lewat calon bebas di luar tanggung jawab GAM.
Apa yang mau direbut GAM tahun 2009? Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Aceh? Bodoh bener Malik Mahmud serta
pengikut GAM di dalam di luar negeri. Kenapa? karena jika dalam Pilkada
Desember 2006 nanti terpilih Gubernur+Wakil, berarti masa tugasnya baru berakhir
desember tahun 2011. Kenapa bilang: "Aceh merdeka dan GAM berkuasa tahun
2009?" Yang terjadi tahun 2009 adalah PEMILU nasional Indonesia, dan
karena Aceh bagian Indonesia, (diakui dalam Mou Helsinki oleh Mahmud Cs)
otomatis Aceh ikut dalam Pemilu nasional itu. Tapi Pemilu ini memilih anggota
DPRD NAD yang sudah habis masa tugasnya. Tidak ada Pilkada yang memilih
Gubernur+Wakil Gubernur NAD tahun 2009. Kalau GAM mimpi jabatan Gubernur NAD,
tunggu tahun 2011. Itupun kalau memang, jika kalah, tunggu tahun 2016, kalau kalah
lagi...........? Katakan saja menang GAM dalam pilkada tahun 2011, tokh tetap
saja Aceh bagian dari Indonesia, kan?
Untuk
"test case", Said Mustafa, bekas anggota GAM lulusan SMA Jeram
Meulaboh, mencalonkan diri sebagai Bupati Acheh Barat, bersanding Golkar.
Hasilnya, terdepak ke luar, sebab suara yang menyokong Said Mustafa kurang dari
30%. Sekarang, bertepiaran anggota GAM yang memahat mimpi jadi pejabat Daerah
di Acheh.
Yang
menarik ialah: Malik Mahmud dan Zaini Abdullah takut mencalonkan diri sebagai
Gubernur-Wakil Gubernur Aceh dari faksi GAM? Kedua
tokoh GAM ini pengecut. Malik Mahmud tidak berani berspekulasi dengan
melepaskan kewarganegaraan Singapura setelah ditolak pemerintah Swedia menjadi
pelarian politik. Ini bocor, sewaktu pimpinan GAM masuk Indonesia melalui
airport Polonia Medan. Nama asli Malik Mahmud ialah Khila Malik Haythar bin
Mahmud, nomor pasport S1083819C, warganegara Singapura. Zaini Abdullah,
pasport No. 23710193 warganegara Swedia.
Malik Mahmud dan Zaini Abdullah gagal meneruskan perjuangan Hasan di
Tiro sejak tahun 1976. Mereka telah menggadaikan Aceh kepada Indonesia lewat
MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dengan mengaku: "Aceh tetap bingkai NKRI dan
mengakui Konstitusi Indonesia berlaku di Aceh." Lebih gawat lagi, dalam pidato penerimaan penghargaan perdamaian,
16 Agustus 2006 di Banda Aceh, dia bilang:"... pemerintah harus bisa
menjaga dan melanjutkan pembangunan di Aceh." Tentu! Sebab yang berkuasa penuh menjaga ketertiban dan keamanan
di Aceh adalah TNI dan Polri, sesuai dengan isi MoU Helsinki. Yang membangun
Aceh pemerintah Indonesia, sekarang dibangun oleh BRR.
Ria Ananda
*Pemerhati
tentang konflik.
bayna9@yahoo.com
Silkeborg, Arhus, Denmark
----------