Stockholm, 27 Agustus 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

ALASAN TAKTIK BUTTOM-UP DENGAN KEDOK DEMOKRASI SEMU AKAN MENGHANCURKAN PERJUANGAN GAM YANG MASIH JAUH.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

MENGUPAS ALASAN TAKTIK BUTTOM-UP DENGAN MEMAKAI KEDOK DEMOKRASI SEMU AKAN MENGHANCURKAN PERJUANGAN GAM YANG MASIH JAUH.

 

Ada beberapa anggapan yang dijadikan alasan oleh sebagian orang di Acheh yaitu bahwa pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005 adalah sistem telah berobah yaitu dari model sistem top-down menjadi sistem buttom-up.

 

Nah, setelah Ahmad Sudirman membaca berulang kali dan memikirkan serta menganalisa yang lebih dalam dari apa yang dianggap oleh sebagian orang di Acheh pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005 tersebut, ternyata anggapan tersebut hanyalah sekedar alat untuk mencapai tujuan kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh. Mengapa ?

 

Karena dalam realita dan pelaksanaannya yang dinamakan dengan buttom-up itu adalah mengelola aspirasi yang timbul dari individu dengan tujuan untuk meraih kursi kekuasaan Pemerintah Acheh dengan memakai kedok demokrasi semu dan jalur hukum MoU Helsinki serta memakai tali jalur calon independent yang diembeli dengan sokongan Komite Peralihan Acheh (KPA) tanpa mempedulikan dan mendengarkan lagi pimpinan tertinggi GAM yang masih tetap komitmen dalam memimpin dan menjalankan arah dan gerak perjuangannya.

 

Nah, kalau yang dimaksud orang tersebut bahwa sebelum MoU Helsinki yang dipakai dalam GAM adalah sistem top-down, tetapi setelah pasca MoU Helsinki harus dirobah menjadi buttom-up, maka pendapat orang tersebut sangat keliru. Mengapa ?

 

Karena perjuangan GAM bukan berakhir setelah MoU Helsinki ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, melainkan MoU Helsinki hanyalah merupakan pakta perjanjian damai yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak yang disepakti oleh pihak GAM dan pemerintah RI. Adapun perjuangan GAM tetap berkelanjutan dan tidak terpengaruh dengan adanya MoU Helsinki.

 

Nah selanjutnya, kalau timbul kondisi politik dan hukum di Acheh yang bebas karena didasarkan pada iklim kebebasan yang lahir dari adanya kesepakatan MoU Helsinki, maka itu bukan berarti suatu kesempatan bagi individu untuk mencapai tujuan meraih kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh melalui penafsiran bahwa pasca MoU Helsinki itu sistem telah berobah dari sistem top-down menjadi sistem buttom-up yang dianggap mengelola aspirasi dari rakyat.

 

Jadi, kalau Ahmad Sudirman menggali kembali apa yang dinyatakan dan ditafsirkan orang dengan istilah sistem top-down menjadi sistem buttom-up yang diterapkan kepada perjuangan GAM, maka ditemukan adanya suatu pemikiran dari orang tersebut yang tanpa didasari oleh pengertian dan pemahaman tentang perjuangan GAM dibawah pimpinan tertinggi Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

 

Sebagai contoh misalnya, apakah yang dimaksud dengan model sistem  buttom-up itu adalah ketika saudara Muzakkir Manaf  selaku Ketua Komite Peralihan Acheh (KPA) Pusat dan seluruh KPA wilayah memberikan sokongan kepada Humam Hamid dan Hasbi Abdullah, kemudian muncul juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) saudara Sofyan Dawood yang menyatakan bahwa dengan didukung 80 persen KPA wilayah menyokong saudara Irwandi Yusuf perorangan personal GAM dan Muhammad Nazar perorangan personal SIRA akan maju dalam Pilkada ?

 

Nah, kalau itu yang dimaksudkan dengan sistem  buttom-up yang mengelola aspirasi rakyat Acheh, maka itu namanya adalah salah fatal dan bisa menghancurkan perjuangan GAM itu sendiri. Mengapa ?

 

Karena penerapan buttom-up tersebut bukan mengelola aspirasi rakyat, melainkan menghancurkan tubuh Komite Peralihan Acheh (KPA) dengan munculnya dua aliran dalam tubuh KPA yang tujuannya sama yaitu untuk meraih kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh.

 

Nah, kalau juga memakai alasan demokrasi, yang bisa diartikan kekuasaan ada ditangan rakyat, tetapi dalam penerapannya adalah bertolak belakang dengan demokrasi itu sendiri. Mengapa ?

 

Karena, bukan rakyat yang menentukan dan memegang kekuasaan, melainkan segelintir individu yang berkeinginan dan bermaksud meraih kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh dengan memakai orang-orang yang ada dalam Komite Peralihan Acheh (KPA) yang bisa diajak dan dimintakan untuk melambungkan keinginan dan tujuannya meraih kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh dan juga mengatasnamakan adanya restu dari petinggi GAM.

 

Dalam langkah perjuangan GAM yang masih jauh ini harus tetap berada dalam satu barisan dan tetap berada dalam satu garis komando. Nah adanya kekuatan yang diatur dalam satu barisan dan berada dalam satu garis komando, bukan berarti bahwa langkah perjuangan itu adalah langkah yang memakai sistem top-down, melainkan itu sistem dinamakan sistem bersama dengan tali ikatan garis satu komando.

 

Nah, sistem bersama dengan tali ikatan garis satu komando adalah tidak boleh diputuskan hanya sekedar dengan adanya santapan didepan mata yang berisikan makanan kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh dengan bumbu demokrasi semu yang bisa menghancurkan kekuatan kebersamaan dalam tubuh Komite Peralihan Acheh (KPA).

 

Jadi, sebenarnya orang yang memakai alasan bahwa pasca MoU Helsinki yang harus diterapkan sistem buttom-up sebagai alat untuk meraih kursi kekuasaan Kepala Pemerintahan Acheh dengan memakai jalur Komite Peralihan Acheh (KPA) disertai dengan berbagai alasan adalah orang yang tidak mengerti dan tidak memahami apa yang dinamakan dengan  sistem buttom-up dihubungkan dengan perjuangan GAM dibawah pimpinan tertinggi Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

 

Selanjutnya kalau dari pihak GAM menyatakan bahwa secara institusi GAM tidak ikut dalam Pilkada, tetapi secara personal GAM dibolehkan untuk mencalonkan diri dan dicalonkan, maka itu bukan berarti bahwa dari satu tubuh Komite Peralihan Acheh (KPA) harus muncul bermacam keinginan dengan alasan sistem buttom-up dan dengan berbagai alasan, sehingga  akibatnya bisa merobohkan bangunan Komite Peralihan Acheh (KPA) itu sendiri.

 

Disini Ahmad Sudirman masih melihat orang itu masih memiliki kelemahan dalam pengertian dan pemahaman tentang demokrasi itu sendiri dan tentang MoU Helsinki itu sendiri, juga tentang perjuangan GAM yang dipimpin oleh pimpinan tertinggi Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Akhirnya ketika melihat kondisi hukum dan politik yang muncul akibat MoU Helsinki, maka lahirlah istilah top-down berubah menjadi istilah buttom-up dengan alasan mengelola aspirasi rakyat. Pelajaran berharga bagi bangsa dan rakyat Acheh agar supaya tidak terjerumus kedalam jurang perpecahan akibat silau melihat hidangan makanan kursi kekuasaan Kepala Pemerintah Acheh dengan memakai baju demokrasi semu lewat jalur bangunan Komite Peralihan Acheh (KPA).

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------