Banda Aceh, 26 September 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

PEMERINTAH RI HARUS SEGERA MENGAMBIL SIKAP KONSISTEN DALAM MEMPERBAIKI PASAL-PASAL UU NO.11 TAHUN 2006 YANG TIDAK SESUAI MOU.

*Suadi Sulaiman Laweuëng

Banda Aceh  - Aceh.

 

 

KEWENANGAN DAN HAK MERUPAKAN SUATU RUH YANG TIDAK BISA DIPISAHKAN DALAM MOU HELSINKI.

 

Mengawali pembicaraan tentang konflik memang sangat mengerikan dan bosan, jika tidak beranjak ke suatu perdamaian. Memang perdamaian itu bukan suatu hal yang mudah dan langsung terjadi. Ada banyak rincian yang harus dikerjakan serta penuh liku. Karena konflik tidak pernah memberikan makna, kecuali sedih dan derita. Ketika konflik dibiarkan, berarti kita sedang melegalisasikan algojo untuk merelakan sejarah ummat terus merana.

 

Sulit dipungkiri, hidup ini penuh dengan kebutuhan yang sangat dipentingkan baik secara halal maupun haram. Setiap individu selalu mempunyai hasrat, setiap kolektif tetap mempunyai keinginan dan setiap komonitas mempunyai kehendak. Antara hasrat, keinginan dan kehendak bisa saja memicu konflik, namun ini bisa tersinergisasi jika antara individu dan kelompok mempunyai pandangan dan keinginan yang sama.

 

Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani suatu perjanjian perdamaian yang memberikan sebuah tawaran terbaik, guna mengakhiri konflik yang telah merenggut nyawa puluhan ribu jiwa di Aceh sejak tahun 1976. Namun, jangan diremehkan berbagai kesulitan dalam mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun lalu itu.

 

Meski demikian, konteks politiknya sangat berbeda kali ini. Kedua pihak tampaknya tulus bertekad melaksanakan perjanjian ini, terbukti dengan keseriusan para pihak dalam menjalankan amanat MoU Helsinki. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla sangat terlibat, khususnya Kalla, yang secara pribadi terlibat aktif dalam merajut sebuah perdamaian hakiki untuk wilayah yang digerus tsunami 26 Desember 2004. Perdamaian kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Barangkali juga dipicu oleh bencana gempa dan tsunami tersebut. Secara spontanitas perjalanan proses perdamaian ini berlangsung dengan itikat yang baik yaitu, dengan adanya decommisioning dan demiliterisasi yang dilakukan para pihak sebagai tindak lanjut kesepakatan. Kesepakatan di maksud adalah, Memorandum of Undestanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dengan fasilitator mantan presiden Finlandia, Marti Atthtisari. Perjanjian tersebut sangat mengikat para pihak, terutama dengan harus dirumuskan suatu Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Berbagai amanah MoU Helsinki telah dilakukan, kendatipun masih ditemuinya ketimpangan-ketimpangan. Ini semoga bisa diselesaikan.

 

Penyelesaian konflik Aceh, selalu diamanatkan Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibingkai dalam TAP MPR Nomor X Tahun 2001 dan TAP MPR Nomor VI Tahun 2002. Kedua ketetapan parlemen ini mengamanatkan, bahwa konflik Aceh harus diselesaikan secara damai, bermartabat dan melibatkan elemen sipil di Aceh.

 

Tindak lanjut dari kesepakatan MoU Helsinki sudah terbukti, apalagi dengan telah disahkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) untuk Aceh, kendati ada beberapa pasal di dalamnya yang masih belum sesuai dengan semangat MoU. Terutama menyangkut dengan kewenangan dan beberapa hal lain yang masih dianggap krusial.

 

Maka, pihak pemerintah Indonesia harus segera mengambil sikap konsisten dalam memperbaiki pasal-pasal yang krusial di dalam undang-undang yang diberikan nomor 11 Tahun 2006 itu. Pernyataan sikap politik yang jelas akan terlihat jika frame undang-undang tersebut bisa memroduksikan suatu hukum baru di Aceh secara demokratis dan tidak bersebrangan dari MoU Helsinki.

 

Berbicara soal kewenangan dan hak merupakan suatu ruh yang tidak bisa dipisahkan dari hal lain, karena ruh ini lah yang akan memberikan denyut kepada organ lain. Karena, pemerintah Indonesia hanya mempunyai kewenangan di Aceh dalam urusan fiskal-moneter, hubungan luar negeri, pertahanan luar (external defense), kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama. Sedangkan kebijakan publik lain sepenuhnya kewenangan pemerintahan Aceh sendiri. Ini memang tertera di awal pembukaan MoU Helsinki.

 

Secara ekplisit dalam pasal 8 point 1.1.2 (b, c & d) telah terjadi perubahan, karena pasal inilah yang mengatur soal kewenangan Aceh di legislatif. Perubahannya, dalam MoU tertulis “persetujuan”, di undang-undang yang baru disahkan itu tertulis “pertimbangan dan konsultasi”. Pergantian kalimat ini bahwa secara sengaja pemerintah Indonesia telah mendistorsikan MoU Helsinki, yang pada dasarnya menjadi landasan utama dalam menggodok undang-undang yang di maksud. Belum lagi berbicara soal pasal demi pasal yang masih mengandung aral untuk kelangsungan proses damai di Serambi Mekkah Ini.

 

Maka, sejak perumusan sampai pe ngesahan undang-undang pemerintahan Aceh, rakyat Aceh berharap bisa mengakhiri peperangan yang telah menelan puluhan ribu jiwa manusia. Kalau zaman dulu, suara terompet hanya dijadikan sebagai tanda akan adanya suatu peperangan, katakan saja perang di Aceh (TNI-Polri dan GAM-TNA). Tapi sekarang era teknologi super canggih, perang hanya diisyaratkan dengan suatu keputusan presiden saja dan berlangsunglah perang di Aceh. Dulu berperang dengan alat yang sangat sederhana yaitu, pedang, keris dan lain sebagainya yang sifatnya pelaku perang saling berhadapan sehingga ada kemungkinan mereka bisa mati bersama, namun sekarang dalam zaman millenium, perang sudah harus menenteng bedil yang tidak tertutup kemungkinan bisa berimbas ke masyarakat sipil.

 

Rehab dan rekon Alhamdulillah, dengan adanya penandatangan MoU Helsinki satu tahun yang lalu, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pun berjalan lancar. Walaupun, ada hal-hal yang belum diselesaikan oleh badan yang menangani rehab dan rekonts itu secar tuntas. Namun, perasaan nyaman dan aman di Aceh sudah dirasakan oleh banyak orang walau masih ada bintik-bintik teror dan kriminalitas terhadap orang-orang yang ada di Aceh. Seperti teror dan penembakan kantor World Relief di jalan Wedana Lorong Tgk Chiek No 1B Lhong Cut Banda Aceh. Semua ini merupakan pekerjaan pihak yang tidak menginginkan Aceh damai, dan itu bukanlah satu penghalang. Di sisi lain, situasi di Aceh memang sudah aman, hal ini terbukti dengan lancarnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dalam menanggulangi masyarakat korban tsunami.

 

Memang berbagi kritikan dan saran masih melilit lingkaran badan yang dipimpin Kuntoro Mangkubroto ini. Namun, semakin hari BRR semakin memberikan layanan yang puas ke masyarakat Aceh dan Nias yang merupakan korban keganasan tsunami.

 

Satu kalimat kuncinya adalah; tidak ada suatu rekontruksi tanpa perdamaian dan juga tidak ada suatu perdamaian jika tidak ada rekonstruksi. Nampaknya, kalimat ini memaknai bahwa, rehab dan rekon Aceh bisa dirasakan oleh semua orang yang terimbas tsunami jika perdamaian yang sedang dijalankan berjalan mulus. Terutama sekali soal undang-undang Pemerintahan Aceh.

 

Karena, bila antara “perdamaian dan rekon” berjalan seperti angsa terbang, langkah indahnya. Di mana, angsa-angsa tersebut terbang dalam satu formasi “V”. Mungkin kita bisa memaknainya, efisiensinya bisa menarik. Berjalan berbarengan satu arah, membawa kita tercapai tujuan yang lebih cepat dan lebih ringan dalam membangun Aceh ini, dalam frame Aceh harus makmur, sejahtera dan berkeadilan serta berwibawa baik pascakonflik maupun gempa dan tsunami.

 

Logikanya, jika satu angsa tertinggal dari formasi yang ada, maka dia akan kewalahan dalam terbang dan mengalami daya tahan udara yang lebih besar. Rehab, rekon dan perdamaian bergerak ke satu tujuan. Memang akan membutuhkan lebih sedikit energi, akan lebih mudah dan menyenangkan untuk mencapai tujuan hakiki, setiap mereka merasa berkewajiban untuk menolong sesamanya. Artinya, jika proses rehab dan rekon ini sukses sesuai impian BRR maka hal ini harus didukung oleh proses pelaksanaan Pemerintahan Aceh yang sesuai undang-undangnya dengan semangat MoU Helsinki.

 

Bila ada semangat dan “penyemangat” maka, kecepatan penyelesaian rehab, rekon dan konflik Aceh lebih besar. Semangat akan selalu memotivasi, menolong dan menguatkan akan menghasilkan keinginan yang baik. Jika salah satu di antaranya, kelelahan dan tidak berjiwa pada landasan sandar, apa yang akan terjadi?

 

Kalau tamsilannya masih pada komunitas angsa yang sedang terbang bahwa beberapa di antaranya akan membentuk suatu formasi baru untuk menolong dan mengawali sampai angsa itu sehat dan bergabung dengan kelompoknya. Bisakah proses perbaikan undang-undang Pemerintahan Aceh dilakukan pemerintah Jakarta untuk lebih memacu proses rehab dan rekon di Aceh?

 

Jika undang-undang Pemerintahan Aceh ini akan disesuiakan dengan ruh MoU Helsinki dan kekompakannya dengan rehab serta rekon di Aceh, saling mendukung dan menjiwai sikapnya masing-masing maka kita selalu akan dapat mengatasi tantangan, jika kita selami arti dari damai dan rekon Aceh ini selalu akan berbagi kebahagian sesama manusia di sejagad raya. Hidup Aceh akan lebih berarti dengan semangat dan jiwa yang damai penuh dengan lapang dada. Semoga damai dan rehab rekon tetap tetap bergulir bersama di Serambi Mekah ini.

 

*) Penulis adalah Deputy Humas & Penerangan Majelis GAM wilayah Pidie dan Ass Manager Komunikasi & Pengaduan BRR NAD-Nias.

----------