Stockholm,
2 Maret 2007
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
MENYOROT ACHEH YANG DIKLAIM OLEH RI
DISERAHKAN OLEH BELANDA PADA TANGGAL 27 DESEMBER 1949
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
APAKAH
BENAR PENGKLAIMAN RI BAHWA ACHEH DISERAHKAN OLEH BELANDA PADA 27 DESEMBER 1949?
Nah,
untuk penulisan sejarah Acheh kali ini akan disorot tentang pengklaiman RI atas
Acheh. Dimana sampai detik sekarang ini masih ada sebagian orang baik di Acheh
ataupun di RI yang berpendapat bahwa pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda
menyerahkan kedaulatan Acheh kepada pihak Republik Indonesia.
Sekarang
yang dipertanyakan adalah apakah benar pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda
menyerahkan kedaulatan Acheh kepada RI?
Untuk
menjawabnya, mari kita kupas secara lebih mendalam agar supaya dapat membongkar
apa yang ada dibalik semua pernyataan dan propaganda yang diluncurkan oleh
pihak RI tentang Acheh ini.
Nah,
lahirnya pengklaiman tersebut adalah didasarkan karena adanya pihak wakil PBB
yang dikenal dengan sebutan Fact Finding Military Commission atau Komisi
militer pencari fakta yang datang ke Kuta Radja di Acheh pada bulan Januari
1949 dalam usaha mencari fakta dan bukti apakah benar pihak Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di Sumatera dalam hal ini di Acheh
yang dibentuk karena mandat yang dikirimkan oleh pihak Kabinet RI di Yogyakarta
sebelum Negara RI secara de-facto dan de-jure lenyap dan hilang dari permukaan
bumi benar-benar wujud.
Nah,
apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 27 Desember 1949 tersebut, sehingga
dijadikan sebagai dasar pendapat oleh sebagian orang di Acheh atau di RI bahwa
Belanda menyerahkan kedaulatan Acheh kepada pihak Republik Indonesia (RI)?
Tanggal
27 Desember 1949 adalah merupakan tanggal dimana Ratu Juliana, Perdana Menteri
Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi
Republik Indonesia Serikat (RIS) Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada
naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dalam
upacara pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian pada
tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada
Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu
upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan
kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI,
1986, hal. 251)
Nah
disini, kelihatan dengan jelas bahwa berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan
dasar hukum menyatakan bahwa pada tanggal 27 Desember 1949 adalah merupakan
tanggal dimana Belanda menyerahkan kedaulatan dan mengakui secara penuh
kedaulatan kepada pihak Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sekarang,
mengapa Belanda menyerahkan dan mengakui kedaulatan kepada pihak Republik
Indonesia Serikat (RIS) bukan kepada pihak Republik Indonesia (RI) sebagaimana
yang dianggap oleh sebagian orang di Acheh dan RI?
Karena,
penyerahan dan pengakuan kedaulatan kepada pihak Republik Indonesia Serikat
(RIS) didasarkan kepada dasar hukum Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang ditandatangani pada tanggal 2 November 1949 di Ridderzaal, Den Haag,
Belanda. Dimana dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tersebut dihadiri oleh empat
utusan juru runding yaitu:
Pertama,
utusan dari Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan
Federal dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. Dimana BFO ini
anggotanya adalah 15 Negara/Daerah Bagian, yaitu Daerah Istimewa Kalimantan
Barat, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Daerah Banjar, Daerah Bangka,
Daerah Belitung, Daerah Dayak Besar, Daerah Jawa Tengah, Negara Jawa Timur,
Daerah Kalimantan Tenggara, Daerah Kalimantan Timur, Negara Pasundan, Daerah
Riau, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Sumatra Timur. (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.244).
Kedua,
utusan dari Republik Indonesia menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang
anggota juru rundingnya adalah Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr.
Soepomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Dr. Soekiman, Mr.
Soeyono Hadinoto, Dr. Soemitro djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo,
Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Soemardi.
Ketiga,
utusan dari Kerajaan Belanda yang delegasinya diketuai oleh Mr. Van Maarseveen.
Keempat,
utusan dari United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dipimpin oleh
Chritchley.
Dimana
dalam perundingan KMB ini yang hasilnya ditandatangani pada tanggal 2 November
1949 telah disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949. Mengenai Irian barat
penyelesaiannya ditunda selama satu tahun. Pembubaran KNIL dan pemasukan bekas
anggota KNIL ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS),
adanya satu misi militer Belanda di Indonesia, untuk membantu melatih APRIS dan
pemulangan anggota KL dan KM ke Negeri Belanda. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949,
Sekretariat Negara RI, 1986, hal.236- 237).
Nah,
sudah jelas kelihatan bahwa berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum
sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian KMB 2 November 1949 adalah pihak
Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS)
pada akhir bulan Desember 1949, bukan kepada pihak Republik Indonesia (RI).
Mengapa?
Karena
Republik Indonesia (RI) adalah hanya merupakan salah satu dari 16 Negara Bagian
yang tergabung dalam Negara Federasi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
konstitusi RIS-nya ditandatangani oleh wakil-wakil dari 16 Negara Bagian RIS
pada tanggal 14 Desember 1949 di Jakarta. Dimana 16 wakil-wakil dari negara
Bagian RIS itu adalah Mr. Susanto Tirtoprodjo (Negara Republik Indonesia menurut
perjanjian Renville), Sultan Hamid II (Daerah Istimewa Kalimantan Barat), Ide
Anak Agoeng Gde Agoeng (Negara Indonesia Timur), R.A.A. Tjakraningrat (Negara
Madura), Mohammad Hanafiah (Daerah Banjar), Mohammad Jusuf Rasidi (Bangka),
K.A. Mohammad Jusuf (Belitung), Muhran bin Haji Ali (Dayak Besar), Dr. R.V.
Sudjito (Jawa Tengah), Raden Soedarmo (Negara Jawa Timur), M. Jamani
(Kalimantan Tenggara), A.P. Sosronegoro (Kalimantan Timur), Mr. Djumhana
Wiriatmadja (Negara Pasundan), Radja Mohammad (Riau), Abdul Malik (Negara
Sumatra Selatan), dan Radja Kaliamsyah Sinaga (Negara Sumatra Timur). (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.243-244).
Nah
sekarang, dengan jelas berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan dasar diatas, yang
dinamakan Negara RI yang diproklamirkan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus
1945 yang daerah kekuasaannya sekitar Yogyakarta yang pada tanggal 14 Desember
1949 secara resmi telah menjadi Negara bagian RIS. Dimana kedaulatan RIS inilah yang diakui oleh Belanda,
bukan Negara RI. Negara RI hanya salah satu dari 16 Negara bagian yang
tergabung dalam Negara Federasi RIS. Dan dalam RIS kelihatan dengan jelas bahwa
Acheh tidak termasuk salah satu Negara Bagian RIS. Jadi Acheh memang berada di
luar RIS dan juga berada diluar Negara RI Negara Bagian RIS.
Jadi, dengan berdasarkan pada
fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum diatas sekarang sudah bisa memberikan
jawaban atas pertanyaan diatas yaitu pendapat yang menyatakan bahwa pada
tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Acheh kepada pihak
Republik Indonesia adalah suatu pendapat yang salah, karena tidak ada fakta,
bukti, sejarah dan dasar hukum yang menunjangnya.
Kemudian, adanya Komisi militer
pencari fakta PBB (U.N. Fact Finding Military Commission) yang datang ke Kuta
Radja di Acheh pada bulan Januari 1949 dalam usaha mencari fakta dan bukti
apakah benar pihak Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam
pengasingan di Acheh yang dibentuk berdasarkan mandat yang dikirimkan oleh
pihak Kabinet RI di Yogyakarta sebelum Negara RI secara de-facto dan de-jure
lenyap dan hilang dari permukaan bumi benar-benar wujud adalah menjadi suatu
fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum yang menyatakan bahwa memang Acheh
merupakan satu negeri yang berdiri sendiri dibawah pimpinan Teungku Muhammad
Daud Beureueh yang telah memberikan tempat dan perlindungan politik kepada
pihak Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibawah Sjafruddin
Prawiranegara untuk menjalankan pemerintahannya dalam pengasingan di Acheh.
Mengapa pemerintahan pengasingan
di Acheh ?
Karena wilayah Acheh adalah
merupakan wilayah yang bebas dari Belanda dan yang berdiri sendiri. Sehingga
Sjafruddin Prawiranegara bisa membentuk satu Pemerintah Darurat Republik
Indonesia sebagai Pemerintah dalam Pengasingan di Acheh yang bebas dari
pengaruh dan kekuasaan Belanda.
Kemudian, seandainya Sjafruddin
Prawiranegara tidak bisa membentuk satu Pemerintah Darurat Republik Indonesia
sebagai Pemerintah dalam Pengasingan di Acheh, maka tugas untuk membentuk satu
Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai Pemerintah dalam Pengasingan di
India yang diserahkan kepada A.A. Maramis sebagai Menteri Keuangan RI, L.N.
Palar dan Sudarsono, karena mereka bertiga pada saat itu sedang berada di
India. Tetapi, karena Sjafruddin Prawiranegara bisa membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia sebagai Pemerintah dalam Pengasingan di Acheh yang
bebas dari pengaruh dan kekuasaan Belanda, maka Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) berdiri di Acheh sebagai satu Pemerintah Darurat Republik
Indonesia dalam pengasingan di Acheh. Dimana Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di Acheh berjalan dari tanggal 19 Desember
1948 sampai 13 Juli 1949.
Nah,
dengan adanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di
Acheh, maka lahirlah Resolusi PBB No.67(1949) pada tanggal 28 January 1949 yang
sebagian isinya merekomendasikan bahwa ”in the interest of carrying out the
expressed objectives and desires of both parties to establish a federal,
independent and sovereign United States of Indonesia at the earliest possible
date, negotiations be undertaken as soon as possible by representatives of the
Goverenment of the Netherlands and refresentatives of the Republic of
Indonesia, with the assistance of the Commission referred to in paragraph 4
below, on the basis of the principles set forth in the Linggadjati and Renville
Agreements. (PBB resolution No.67(1949), 28 January 1949, adopted at the 406th
meeting).” Atau dengan kata lain bahwa dengan
melalui dasar hukum Resolusi PBB No.67(1949), pengakuan kedaulatan dari
Belanda kepada United States of Indonesia atau Negara Indonesia Serikat perlu
segera diadakan perundingan baru untuk membentuk satu negara yang berbentuk
federasi dimana negara RI adalah salah satu Negara Bagian United States of Indonesia.
Jadi
sekarang, dengan berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum diatas sudah
bisa dijadikan sebagai dasar argumentasi dan jawaban bahwa Belanda memang tidak
menyerahkan Acheh kepada pihak Republik Indonesia (RI) pada tanggal 27 Desember
1949 sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang di Acheh dan di RI. Karena
itu, anggapan tersebut adalah anggapan yang salah yang tidak memiliki dasar
fakta, bukti, sejarah dan hukum yang kuat.
Kesimpulannya
adalah bahwa anggapan sebagian orang baik di Acheh ataupun di RI yang
menyatakan bahwa Acheh diserahkan oleh Belanda kepada RI pada tanggal 27
Desember 1949 adalah suatu pernyataan yang salah yang tanpa ditunjang oleh
fakta, bukti, sejarah dan hukum yang kuat.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------