Stockholm, 18 Nopember 1998

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

MENGGALI LEBIH DALAM NILAI-NILAI AGAMA DAN MENERAPKANNYA DI DALAM KHILAFAH ISLAM.
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Jawaban untuk Saudara Wahid Noegroho (Indonesia), Saudara Eko Siswanto (Indonesia) dan Saudari Shanti (Australia).

Dalam tulisan kali ini saya berusaha menjawab kepada Saudara Wahid Noegroho, Saudara Eko Siswanto dan Saudari Shanti yang mempunyai latar belakang agama yang berbeda-beda dan yang telah menyampaikan tanggapan dan pertanyaannya kepada saya beberapa hari yang lalu.

Dimana dalam menjawab pertanyaan dan tanggapan-tanggapan Saudara-Saudara tersebut saya rangkumkan kedalam satu tulisan dengan judul "Menggali lebih dalam nilai-nilai Agama dan menerapkannya di dalam Khilafah Islam".

Baiklah, pada tanggal 13 Nopember 1998 Saudara Wahid Noegroho telah menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya dan tanggapan-tanggapannya kepada saya, dimana Saudara Wahid Noegroho mempertanyakan yaitu:

"1. Mengapa muslimin/mat di Indonesia yang mayoritas ini tidak mampu menjadikan Kitaabullah dan Sunnatur Rasul sebagai landasan dan Undang-Undang Negara?. 2. Kalau jawaban pertanyaan no 1 itu alasannya "toleransi" kepada non muslim, maka muncul pertanyaan lagi: "Apakah Negara dengan Undang-Undang Islam (Qur-aan dan Sunnah Rasul) berarti 'tidak toleran'?". Dan, di sinilah rupanya persoalannya".

Jawaban dan tanggapan saya adalah karena sebagian besar kaum Muslimin yang tinggal dan hidup di Indonesia sekarang ini masih merasa asing terhadap apa yang dinamakan dasar negara yang berlandaskan dan bersumberkan dari akidah Islam. Jadi dengan rasa keasingan inilah yang menyebabkan mereka tidak mengenal dan mengetahui secara dalam apa itu dasar dan sumber Al Qur'an dan Sunnah. Sehingga nilai "toleransi" yang ada dalam Islam tidak dikenalnya sama sekali. Hanya yang mereka kenal nama "toleransi" adalah yang datang dari tafsir dasar negara Indonesia yang disebut pancasila, selain dari tafsir pancasila mereka tidak mengenal apa itu yang disebut dengan istilah "toleransi".

Karena adanya rasa asing dari sebagian besar kaum Muslimin yang tinggal dan hidup di Indonesia sekarang ini saya berusaha bersama-sama kaum Muslimin lainnya untuk memasyarakatkan khilafah Islam, hukum Islam, aturan Islam, pemerintahan Islam dan undang undang Madinah. Tentu saja usaha ini memerlukan jangka waktu yang panjang dan kesungguhan serta tetap meminta dan mengharap pertolongan dan petunjuk serta ridha dari Allah.

Adapun alasan-alasan lainnya adalah seperti yang dijawab dan disimpulkannya sendiri oleh Saudara Wahid Noegroho dalam tanggapannya yaitu:

"1. Keengganan sementara pihak (yang mengaku muslim) untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Negara adalah akibat dari kurang pahamnya orang tersebut kepada Islam (esensi dan substansi ajarannya).

2. Kekurang pahaman itu sangat mungkin disebabkan oleh pendidikan Islam yang mereka terima/alami adalah pendidikan yang kurang intens, kurang komprehensif, atau metode penanaman nilai-nilai Islam yang dilakukan oleh pendidiknya tidak tepat.

3. Porsi pendidikan Islam (yang seharusnya diterima secara terus menerus melalui pengajaran verbal maupun keteladanan para pendidik) tampaknya sangat tidak memadai, padahal Islamlah yang akan memberikan jaminan keselamatan dunia-akhirat. Akan tetapi tragisnya, rata-rata muslim di Indonesia lebih mati-matian mebelajarkan anak didiknya dalam bidang matematika dan Bhs. Inggris bila dibandingkan dengan upayanya untuk mebelajarkan anak didiknya kepada pemahaman Islam. Fenomena ini mengesankan bahwa keyakinan para pendidik bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran Islamlah yang membawa jaminan "selamat dunia akhirat" itu sangat kurang pada diri mereka, sehingga mereka tidak merasa perlu menggenjot pembelajaran keislaman kepada anak didiknya..

4. Elit politik sama sekali tidak menampakkan adanya kepemihakan kepada "terdidiknya" umat, bahkan sebaliknya, yang tampak adalah "upaya yang intens dan sistematik" untuk membuat umat Islam semakin "JAHILIYAH", dengan membiarkan umat Islam bodoh dan tak terdidik (sistem pendidikan amburadul, morat-marit dan tak jelas arah serta korup), membiarkan umat Islam semakin miskin (kapitalisme yang sangat tidak Islami dipaksakan untuk diberlakukan atas umat Islam dan eksploitasi sumberdaya di negeri ini sama sekali tidak menampakkan kepemihakannya kepada kaum lemah, yang nota bene kebanyakan adalah umat Islam), dan besarnya iming-iming dari CIA/Zionist kepada elit politik kita membuat orang-orang itu (elit politik negeri ini) semakin keras berusaha memurtadkan umat Islam di Indonesia, minimal membuat situasi menjadi sangat kondusif untuk terjadinya kemunduran umat Islam (kesimpulan 1 s.d. 3).

5. Atas dasar itu, maka menurut hemat saya, yang harus dilakukan sekarang adalah mengistensifkan pendidikan secara luas (kurikulum yang baik dan proporsional) sehingga orang menjadi paham ajaran Islam, terdidik untuk cepat membaca situasi dan kondisi, logika menjadi sehat dan berkembang, kritis terhadap segala yang dihadapi, dan sebagainya. Dengan begitu maka umat akan semakin "dewasa", tak mudah diekploitasi, pandai memilih emas di antara banyak dulang, dan lebih beradab sebagai manusia, sebagai hamba Allah, sebagai putra negeri, sebagai tetangga, sebagai ayah, sebagai anak, sebagai muslim, dan seterusnya".
 
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah yang disampaikan oleh Saudara Eko Siswanto kepada saya pada tanggal 16 Nopember 1998, dimana pertanyaannya yaitu:

"Kenapa ummat islam mudah sekali dijadikan sebagai obyek dalam mencapai suatu tujuan dari kelompok tertentu?. Mudah dipecah-pecah dikalangan ummat sendiri?. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa selama ini cenderung dibodohi baik oleh ummat lain?. Dan kenapa di Indonesia yang sebagaian besar warganya adalah  islam tetapi mereka seperti tidak berdaya?. Juga saya lihat di negara-negara islam lain mereka justru patuh pada perintah PBB (AS) yang jelas-jelas merugikan negara mereka. Kenapa kita ummat islam tidak bersatu melawan ketidakadilan yang ditimpakan kepada kita?. Negara-negara islam sering dicap sebagai negara teroris. Dan dalam film-film produksi negara barat kita ummat islam adalah teroris. Dan itu sepertinya terjadi sampai saat ini bahwa menurut pandangan mereka islam perlu diberantas".

Jawaban dan tanggapan saya adalah kalau yang Saudara Eko Siswanto maksudkan ummat Islam yang hidup dan tinggal di Indonesia sekarang ini, maka memang keadaan tersebut adalah sudah terjadi sejak lama, yaitu dari sejak Indonesia mulai didirikan. Kaum Muslimin yang ada di Indonesia sudah terpecah-pecah kedalam beberapa kelompok, organisasi, partai dan golongan. Sehingga tidak heran kalau diantara kelompok, organisasi, partai dan golongan mudah diadu dombakan dan dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik dan kekuasaan oleh setiap pemimpinnya yang mempunyai ambisi untuk mencapai kekuasaan. Apalagi karena umumnya mentalitas kaum Indonesia adalah mudah dan cukup patuh kepada pihak atasan atau pimpinan, sehingga keadaan inilah yang dijadikan sebagai dorongan untuk menggerakkan usaha ke arah  kemauan sang pimpinan, atasan atau penguasa.

Begitu juga keadaan ummat Islam di negara-negara lainnya yang mempunyai mayoritas penduduknya kaum Muslimin, karena penguasanya yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya, maka dijadikanlah Islam sebagai alat untuk membangkitkan emosi kaum Muslimin agar tetap membela pimpinan negaranya (apalagi kalau pimpinan negara tersebut seorang Muslim walaupun tidak menerapkan hukum Islam, pemerintahan Islam, khilafah Islam dan undang undang Madinah).

Jadi seperti apa yang Saudara Eko Siswanto katakan bahwa "saya lihat di negara-negara islam lain mereka justru patuh pada perintah PBB (AS) yang jelas-jelas merugikan negara mereka".

Tanggapan saya adalah Saudara jangan menganggap bahwa negara-negara tersebut adalah negara Islam yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh, menerapkan pemerintahan Islam, khilafah Islam dan undang-undang Madinah. Sebenarnya justru negara-negara yang dikatakannya negara Islam adalah bukan negara Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dengan Daulah Islamiyahnya dan Undang Undang Madinahnya, melainkan negara-negara sebagaimana negara Republik Indonesia yang melandaskan negaranya kepada yang bukan aqidah Islam. Karena hampir semua negara-negara yang ada di dunia ini adalah anggota PBB, maka jelas mereka harus mematuhi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan dari PBB".

Karena pandangan pihak non Muslim terhadap perilaku Muslim adalah jarang membedakan antara Islam sebagai Agama dengan Muslim sebagai penganutnya, maka apabila sebagian kecil kaum Muslimin melakukan tindakan yang kurang baik menurut anggapan kaum non Muslim apalagi menggunakan kekerasan senjata dalam tindakannya, dikatakanlah tindakan tersebut sebagai tindakan teroris. Sehingga diambillah kesimpulan yang salah bahwa Islam mengajarkan kekerasan akibatnya seperti yang Saudara Eko Siswanto katakan "bahwa menurut pandangan mereka (non muslim) islam perlu diberantas".

Terakhir pernyataan dan tanggapan dari Saudari Shanti yang disampaikan kepada saya pada tanggal 17 Nopember 1998, dimana Saudari Shanti mengatakan bahwa:

"Membaca beberapa posting interaktif beberapa rekan membahas tentang tema yang anda lontarkan membuat saya menarik nafas dan kembali merenung. Hasil perenungan saya mungkin terlalu subyektif untuk diketengahkan dalam mimbar ini, namun dengan memberanikan diri saya ungkapkan agar mendapat tanggapan angin segar yang akan menambah wawasan pribadi. Yang pertama-tama adalah mengenai tulisan anda bahwa Islam tidak memisahkan urusan agama dengan multi aspek kehidupan yang lain. Bagi saya sendiri agama adalah bahasa Allah, bahasa bagaimana ummat berbicara dengan Allah ... sehingga hasilnya sungguh bersifat sangat individu. Bahasa Allah adalah bahasa kasih ... , sehingga terus terang saya sedikit menyayangkan jika kasih universal yang ditawarkan Allah ternyata dikotori oleh semangat 'keduniawian' seperti halnya 'dunia politik'. Contohnya banyak ... bagaimana pemimpin ummat yang selalu berjuang dengan simbol keagamaan ... jika sampai waktu nya dianiaya maka bendera agama dikibarkan (ingat tokoh Priok), jika sampai waktu berkuasa .. masihkah ingat akan kasih universal yang seharusnya menjadi panutan?. Bagi saya perjuangan yang sebenarnya adalah perjuangan mengalahkan 'keinginan' itu sendiri. Bila manusia mengenal makna 'cukup' ... maka disitulah letak keberhasilan nya ... mengalahkan musuh sebenarnya .. bukan mengalahkan negara lain, bukan mempermasalahkan konstitusi ... bukan pula menembak dan menombak saudara seiman hanya karena keyakinan sesaat dan 'keinginan' untuk berkuasa. Visi pandang saya dalam melihat agama sekarang adalah bagaimana mengimplemetasikan nilai yang ada dalam diri pribadi kita sendiri, mungkin berbeda dengan visi pandang anda yang melihat agama dari sudut kenegaraan. Banyak pandangan sementara rekan saya yang sangat pesimis tentang eksistensi agama, sebab menurut mereka agama sekarang hanya dijadikan alat atau bahkan dijadikan tujuan, hasilnya adalah peperangan yang tidak ada hentinya, pelecehan yang silih berganti. Yang tertinggal hanya pertanyaan : untuk apakah agama itu sebenarnya ada?".

Tanggapan saya adalah sebagaimana yang selalu saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya yang telah lalu yaitu Islam tidak memisahkan antara agama dengan negara, antara dunia dan akherat. Sehingga ketika berbicara Islam maka tersinggung juga masalah negara, pemerintahan, politik, sosial, ekonomi, masyarakat, ilmu pengetahuan.

Hal ini sangat berbeda sekali dengan pandangan Saudari Shanti yang mengatakan bahwa "Bagi saya sendiri agama adalah bahasa Allah, bahasa bagaimana ummat berbicara dengan Allah ... sehingga hasilnya sungguh bersifat sangat individu. Bahasa Allah adalah bahasa kasih ... , sehingga terus terang saya sedikit menyayangkan jika kasih universal yang ditawarkan Allah ternyata dikotori oleh semangat 'keduniawian' seperti halnya 'dunia politik' ".

Saya juga menyayangkan, keuniversalan atau "rahmatan lil'alamin" yang ditawarkan Tuhan ternyata "dikotori oleh semangat keduniawian" sebagaimana yang dikatakan Saudari Shanti.

Nah sekarang bagaimana caranya agar dapat mewarnai semangat keduniawian tersebut dengan nilai-nilai agama, sehingga menghasilkan hasil yang "agamis", dimana politik yang disebut "kotor" dapat dibersihkan dengan menggunakan alat pembersih yaitu dengan nilai-nilai dan aturan-aturan serta hukum-hukum agama.

Kalau masih juga ada (tentu saja ada, selama dunia ini belum kiamat) sebagian orang orang muslim yang menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan politik dan kekuasaannya, maka jelas hasilnya akan terlihat dengan segera yaitu kegagalan dan kehancuran, sebagaimana yang Saudari Shanti sebutkan yaitu "hasilnya adalah peperangan yang tidak ada hentinya, pelecehan yang silih berganti".

Jadi sebenarnya agama adalah merupakan sebagai ajaran yang telah diajarkan kepada setiap Nabi dan Rasul untuk membawa ummatnya kepada Tuhan. Membimbing ummatnya dengan bimbingan Tuhan. Menunjuki ummatnya dengan petunjuk Tuhan. Sebab Inilah agama diturunkan kepada ummat manusia di bumi ini oleh Tuhan. Hanya kadang-kadang ummat manusia yang hidup di dunia ini yang tidak mengikuti dan membangkang terhadap aturan, petunjuk dan bimbingan yang datang dari Tuhan. Menyalah gunakan ajaran Tuhan untuk kepentingan dan tujuan kekuasaannya.
Sampai dunia kiamat, agama diperlukan oleh ummat manusia disadari atau tidak, diterima atau tidak.

Terakhir sekali Saudari Shanti mengatakan bahwa:

"Penyakit manusia dimanapun di dunia ini adalah 'ketidak-puasan', yang saya maksud dengan pernyataan saya tentang 'negara lain berlari maju', sementara 'negara kita berlari mundur' tidak berkaitan dengan 'manusia yang tidak puas dengan hasil yang dicapai', namun bertitik tolak dalam tingkat kemapanan dan tahapan dalam memperolehnya. Di saat negara lain sibuk menata perekonomian agar terhindar dari efek yang paling jelek dari resesi dunia ... bagaimana bergandeng tangan dan mengencangkan ikat pinggang ...(seperti yang saya amati sehari-hari), bagaimana mereka menyadari benar akan hal-hal yang hakiki dalam hidup bermasyarakat & bernegara ...Saya merasa iri ... mengapa bangsa kita yang demikian religius ... tak mampu menghentikan gerak mundur (bukan hanya tak mampu berhenti) ...hasilnya adalah saling cakar ... saling tuding ... merasa benar sendiri ...merasa Islam sendiri ... tak perduli lagi perasaan ummat lain (lihat kasus Saefudin) ... merasa besar sendiri ...Hal yang demikian tak saya dapati disini ...Sampailah saya pada kesimpulan ... marilah kita masuk ke dalam, mengunci pintu keduniawian ... melepas semua topeng kemunafikan, memasrahkan diri sepenuhnya dan membuka selebar-lebarnya pintu rohani kita ... masuk secara khusuk dalam doa ...sehingga kita dapat menjaga pikiran kita, menjaga mulut (sekarang termasuk tangan kita - jika kita berbicara lewat perangkat ini) dan menjaga tindakan kita".

Tanggapan saya adalah untuk keluar dari kemelut keduniawian dengan segala problematiknya ini maka kita perlu menggali lebih dalam lagi nilai-nilai agama yang nantinya dapat dijadikan sebagai pegangan hidup dan beribadah kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya. Karena kalau kita biarkan dunia ini hancur maka tidaklah mungkin kita dapat beribadah dengan baik dan sempurna. Disinilah Tuhan menjadikan ummat sebagai ummat yang ditengah, yaitu jangan hanya memikirkan dan berbuat untuk hidup kelak di akherat tetapi juga harus memikirkan dan mencari kehidupan di dunia asekarang ini. "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu di kampung akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari dunia...."(Al Qashash, 77).

Inilah jawaban-jawaban dan tanggapan-tanggapan dari saya untuk Saudara Wahid Noegroho (Indonesia), Saudara Eko Siswanto (Indonesia) dan Saudari Shanti (Australia). Semoga Saudara semua menjadi puas hendaknya.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se