Stockholm, 20 Juli 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

SEKALI LAGI TENTANG JIHAD.
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Untuk saudara Ahmad Sajeed (Jakarta, Indonesia).

Kembali saudara Ahmad Sajeed pada tanggal 17 Juli 1999 telah menyampaikan tanggapannya terhadap tulisan "[990714] Jihad".

Setelah saya membaca tanggapan saudara Ahmad Sajeed tersebut, saya menyimpulkan tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil antara saya dengan saudara Ahmad Sajeed tentang masalah jihad kuffar, karena melakukan jihad kuffar diperintahkan Allah dan dilakukan oleh Rasulullah saw setelah Rasulullah saw hijrah dan membangun Daulah Islam di daerah Yatsrib.

Hanya ada sedikit perbedaan yaitu, sebelum hijrah dan Daulah Islam atau Khilafah Islam belum berdiri. Dimana saya mengatakan bahwa jihad kuffar tidak dilakukan Rasulullah saw sebelum hijrah dan Daulah Islam atau Khilafah Islam belum berdiri, sedangkan saudara Ahmad Sajeed menyatakan bahwa ada jihad yang disebut dengan jihad defensif (mempertahankan diri) yang didasarkan pada dalil bahwa Rasulullah saw pernah diminta oleh seorang Shahabat untuk menyerang jamaah haji yang berada di Mina (beliau belum Hijrah). Tetapi Rasulullah menolak permintaan tersebut dengan jawaban : "Lam nu'mar bi dzaalik ba'd" (kita BELUM diperintahkan untuk itu). Penggunaan "lam" (belum) disini bermakna bahwa suatu ketika beliau akan diperintahkan berperang oleh Allah. Terbukti setelah Daulah Islam berdiri di Madinah, beliau segera melakukan futuhat-futuhat ke berbagai daerah (jihad ofensif). Kemudian pada dalil tindakan Abdurrahman bin Auf yang pernah memukul dengan rahang unta seorang kafir yang terus-menerus menghinanya. Orang kafir itu mati. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah, beliau mendiamkannya (Ahmad Sajeed, 17 Juli 1999).

Nah, dibawah ini saya akan tampilkan pendapat saudara Ahmad Sajeed tentang jihad yang diberi judul "Sekali lagi tentang jihad".

Saudara Ahmad Sajeed menulis "Semoga Anda (Ahmad Sudirman) selalu berada dalam lindungan Allah swt. Pada tanggal 14 Juli lalu Anda telah mengeluarkan artikel berjudul "JIHAD" untuk menjawab pertanyaan Saudara Zurlia (Australia). Tampaknya jawaban Anda (lagi-lagi) terlalu normatif dan tidak praktis. Yang saya baca dari pikiran Saudara Zurlia, dia menghendaki jawaban kongkrit bagaimana Daulah Khilafah melakukan jihad ketika negara itu akan berdiri dan setelah berdiri.

Jihad yang boleh dilakukan ketika belum berdirinya Daulah Khilafah adalah jihad defensif (mempertahankan diri). Hal ini didasarkan pada dalil bahwa Rasulullah saw pernah diminta oleh seorang Shahabat untuk menyerang jamaah haji yang berada di Mina (beliau belum Hijrah). Tetapi Rasulullah menolak permintaan tersebut dengan jawaban : "Lam nu'mar bi dzaalik ba'd" (kita BELUM diperintahkan untuk itu). Penggunaan "lam" (belum) disini bermakna bahwa suatu ketika beliau akan diperintahkan berperang oleh Allah. Terbukti setelah Daulah Islam berdiri di Madinah, beliau segera melakukan futuhat-futuhat ke berbagai daerah (jihad ofensif). Bolehnya berjihad untuk membela diri (ketika Daulah Khilafah belum berdiri) didasarkan pada dalil tindakan Abdurrahman bin Auf yang pernah memukul dengan rahang unta seorang kafir yang terus-menerus menghinanya. Orang kafir itu mati. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah, beliau mendiamkannya.Dari kedua peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Khilafah belum berdiri, jihad yang diizinkan syara' hanyalah yang berupa pembelaan diri, bukan jihad ofensif berupa futuhat-futuhat (penaklukan wilayah). Perjuangan mewujudkan Khilafah Islam dilakukan dengan dakwah siyasiyah (politik) sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dahulu. Hal ini merupakan pokok bahasan tersendiri.

Ketika Daulah Khilafah berdiri (sebentar lagi, insyaallah), jihad adalah salahsatu metode penyebaran risalah Islam selain dengan dakwah. Hal ini dilakukan terutama dalam kebijakan politik luar negeri Daulah Khilafah yang berintikan pada upaya "nashrul Islam" (lihat Afkar as-Siyasiyah Hizbut Tahrir bab as-Siyasah). Jihad ofensif berupa penaklukan wilayah-wilayah, dilakukan oleh Daulah Khilafah sebagai suatu kewajiban syar'iy yang dibebankan oleh Allah kepada negara, bukan kepada individu. Tujuannya adalah menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui metode (thariqah) dakwah dan jihad. Untuk mencapai tujuan itu, jihad tidak selalu berarti harus mengangkat senjata. Tidak harus! Hal ini bisa dipertimbangkan berdasarkan kekuatan obyektif Daulah Khilafah dan kekuatan obyektif lawan. Perang adalah masalah strategi, dan disini kita tidak bisa lari dari masalah kalkulasi rasional.

Daulah Khilafah akan menggolongkan negara-negara lain ke dalam 3 golongan:
1. negara-negara besar yang bersifat ideologis, seperti AS, Inggris, Cina.
2. negara-negara besar yang tidak ideologis, tetapi kaya sumber daya alam, seperti Brazil, Cile, Argentina, Australia.
3. negara-negara kecil yang tidak berpengaruh apa-apa dalam konstelasi politik internasional, seperti Fiji, Trinidad-Tobago, Monako, Bhutan, Myanmar.

Untuk negara-negara kecil, dilakukan thariqah (metode) diplomasi internasional sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu mengajukan 3 tawaran, yaitu:
1. segera memeluk Islam, jika tidak,
2. tetap dalam agamanya dan menggabungkan wilayahnya ke dalam wilayah Khilafah, sementara itu mereka dijaga harta dan kehormatannya, atau,
3. perang sebagai pilihan terakhir.

Ketika Rasulullah (dan para Khalifah sesudahnya) menyebarkan Islam ke kabilah-kabilah/negara-negara kecil, ketiga hal inilah yang ditawarkan. Adakalanya yang memilih perang (seperti Irak), atau memilih jalan baik-baik seperti daerah Najran. Bahkan ketika itu para pendeta Najran mendatangi Rasulullah untuk berdialog dan dilayani dengan baik oleh Rasulullah. Wilayah Najran pun ditaklukkan tanpa peperangan. Sejarah mencatat bahwa pada peristiwa Futuh Makkah, tidak ada satu tetes darahpun yang tumpah!

Untuk negara-negara golongan kedua, yaitu negara besar yang kaya sumber daya alam, Daulah Khilafah dapat mengadakan kerjasama ekonomi dan bertetangga baik (husnul jiwar) sebelum mereka ditaklukkan di kemudian hari. Jihad tidak memberi batas waktu kapan suatu daerah dapat ditaklukkan. Bizantium (Romawi Timur) misalnya, baru ditaklukkan 800 tahun kemudian oleh Shalahuddin al-Ayyubi.

Khilafah dapat mengadakan perjanjian bilateral dalam jangka waktu tertentu. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau mengadakan perjanjian kerjasama dengan qabilah-qabilah di perbatasan Syam untuk memata-matai negeri Syam. Sebagai imbalannya, Rasulullah memberi hadiah kepada mereka. Daulah Khilafah nantinya dapat mengadakan kerjasama perdagangan dengan Brazil, Argentina, dan lain-lain dalam kerangka "fair trade" menurut syariat Islam. Mereka tetap diseru dengan dakwah Islam, dibujuk dengan misi-misi diplomatik, dan cara-cara lain. Hal ini dilakukan jika kekuatan militer Daulah Khilafah masih lemah. Rasulullah pun ketika hijrah ke Madinah, tidak langsung mengontak negara-negara besar, seperti Romawi, Persia, Mesir, maupun Yaman. Beliau terlebih dahulu memantapkan kekuatan di dalam negara, "mengunci" kafir Quraisy Makkah dengan perjanjian Hudaibiyah, dan menggalang kerjasama diplomatik dengan suku-suku di wilayah utara Madinah. Rasulullah baru mengirimkan surat ke Romawi, Persia, Yaman, dan Ethiopia, pada tahun ke-7 setelah hijrah.

Untuk negara golongan pertama, yaitu negara-negara besar ideologis, mereka kemungkinan besar akan mengadakan serangan militer ke wilayah Khilafah. Untuk mereka ditetapkan status "daarul harb", yaitu negara yang harus diperangi secara fisik karena mereka melakukan serangan yang mengancam eksistensi Khilafah Islam. Dalam masalah ini tidak ada perjanjian diplomatik untuk bertetangga baik (husnul jiwar).

Nah, Saudara Ahmad Sudirman, jihad (ofensif) pada hakikatnya adalah untuk menghancurkan penghalang fisik dan politik untuk sampainya risalah Islam ke suatu negeri. Jika halangan-halangan tersebut bisa diatasi dengan jalur diplomatik (seperti Rasulullah dengan uskup Najran), perang tidak harus dilakukan. Berarti nantinya, Daulah Khilafah akan sibuk melakukan propaganda ke seluruh penjuru dunia, baik melalui TV, radio, media cetak, buklet, pamflet, maupun misi diplomatik.

Masyarakat di suatu negara berusaha disadarkan bahwa bergabung dengan Khilafah Islam adalah pilihan yang terbaik. Dan akan jauh lebih bagus apabila propaganda itu dapat mempengaruhi penduduk suatu negeri sehingga mereka secara sadar akan menuntut kepada penguasanya untuk bergabung dengan Khilafah Islam. Lihatlah kasus Yugoslavia, dimana propaganda AS membuat rakyat Serbia ramai-ramai menuntut Slobodan Milosevic untuk mundur sehingga AS dapat menempatkan penguasa bonekanya di negara itu. Atau tengoklah bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur yang justru dikehendaki oleh rakyat kedua negara tersebut.

Nah, jika bahasa diplomatik bisa menyelesaikan masalah, mengapa mesti perang?

Inilah pendapat saudara Ahmad Sajeed.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se