Stavanger, 19 Februari 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.


CERITA KELUARGA KAMI PLUS KEMANUSIAAN JAWA-NYA.

Omar Puteh

Stavanger - NORWEGIA.

 

 

SEKILAS MERENUNGI CERITA KELUARGA KAMI PLUS KEMANUSIAAN JAWA-NYA.

 

Gambar dibawah ini adalah gambar Omar Putéh yang diambil di-"malam hening",  malamnya mengheningkan tragedi Tsunami Asia, di Internasional Hus, Stavanger, Norway yang dihadiri oleh bangsa-bangsa lain didunia dan telah dimuat oleh salah sebuah surat kabar di Stavanger, tetapi kemudian telah digunakan untuk maksud yang kotor, jahat dan tidak beradab oleh gang-gang kumpulan MP GAM (Koalisi Suara Masyarakat Achèh Internasional Untuk Demokrasi) dan MB GAM (Komite Persiapan Achèh Merdeka Demokratik) baru-baru ini.

 

 

Terima kasih saya ucapkan kepada saudara saya: Tengku Ahmad Hakim Sudirman dari ahmad_sudirman@hotmail.com dan Abu Hasyim dari patuan_janji@yahoo.com, yang telah memberikan respon hikmah baik kepada saya atas tulisan fitnah yang kotor, jahat dan tidak beradab serta kurang ajar itu dari kumpulan: Yusuf Daud Paneuk @ Krungkông Pasie 'Lhõk dan Syahbuddin Rauf @ Hj Gafur Paneuk Antèna cq MP GAM (Koalisi Suara Masyarakat Achèh Internasional Untuk Demokrasi) dan MB GAM (Komite Persiapan Kemerdekaan Achèh Demokratik), yang bermarkas di Kampung Fitya, Norsbog, Swedia, yang mereka terbitkan pada 14 February, 2006 lewat PPDI@yahoogroups.

 

Maka sehubungan itu, kepada kedua saudara saya: Tengku Ahmad Hakim Sudirman dan Abu Hasyim itu, biarlah pada hari ini, Khamis 16 February, 2006 saya menerbitkan sedikit cerita dari keluarga kami, yang pernah diceritakan oleh pihak ibu dan nenek perempuan dari pihak ayah kami, ketika kami masih kecil-kecil dulu lagi, yang mungkin dapat membetulkan cerita karut, sebagai fitnah kotor, jahat dan tidak beradab serta kurang ajar itu, selain untuk menyertai kedua tulisan: Tengku Ahmad Hakim Sudirman dan Abu Hasyim.

 

(1) Atok (Èndatu) ibu kami: Panglima Prang Nya' Hasan, putra kedua dari tiga bersaudara, (2) Asiah kakak beliau dan (3) Zainal Abidin adik beliau.  Orang tua lelaki beliau adalah: Tengku 'Ibnu atau Tengku di Reudeup, yang berasal dari Achèh Rajeuk (Wilayah Achèh Rajeuk).

 

Diceritakan bahwa, keluarga Tengku Ibnu atau Tengku di Reudeup, dari Achèh Rajeuk itu, datang dari sebuah keluarga penasehat militer (military adviser) Turki, yang satu-satunya yang terselamat dari ketujuh yang terkorban (satu riwayat lain 12) dari cobaan jahat (military coup d' état) dari kumpulan staff (sapai wie) Sultan Iskandar Muda.

 

Setelah Sultan Iskandar Muda mendapatkan ma'af atas peristiwa yang terjadi itu, seperti tersebut diatas dari Sultan Turki, dan berjanji akan terus memperlakukan atok ibu kami itu dengan baik dikemudian harinya.

 

Sebagaimana dimaklumi keturunan beliau itu (atok) nenek kami, pada kenyataannya terus turun-temurun mesra dengan pihak istana Negara (Kerajaan) Achèh sehingga tahun 1874.

 

Atok ibu kami itu: Panglima Prang Nya' Hasan, adalah Panglima Prang Pasukan Meriam Negara (Kerajaan) Achèh dan merupakan salah seorang Panglima Prang yang pernah berhadapan langsung dengan tentara agressor KNIL Belanda dan anak-anak Jawa, Pembunuh bayaran KNIL Belandanya, si Belanda Hitam pada waktu Jenderal Mayor Köhler menyerang Achèh ditahun 1873 dan pada agressi kedua ditahun 1874.

 

Beliau juga ikut terus mempertahankan benteng terakhir pertahanan Istana Sultan Achèh, dengan gigih selama tiga bulan, walaupun jarak medan pertahanan hanya beberapa ratus meter dari front peperangan itu, ketika penyerbuan tentara agressor KNIL Belanda dan anak-anak Jawa, Pembunuh bayaran KNIL Belanda, si Belanda Hitam pada agressi ke II, ditahun 1874.

 

Yang menurut seorang rakan saya dari Danmark, kegemilangan pertahanan yang tangguh itu, telah ditulis oleh Belanda, sebagai kecermelang taktik pertahanan Tentara Negara Achèh, dibawah kepimpinan Tuanku (Said) Hasjim Banta Muda, yang juga sebagai abang ipar dari Panglima Prang Nja' Hasan itu sendiri.

 

Tuanku (Said) Hasjim Banta Muda, ketika itu juga tertulis dalam sejarah Negara (Kerajaan) Achèh adalah sebagai Ketua Ahli Majelis Negara, yang pernah melantik Wali Negara Pertama: Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman, atok (èndatu) ibu Wali Negara (sekarang): Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad, selaku mandataris Sultan Achèh.

 

Tuanku (Said) Hasjim Banda Muda dan atok ibu kami: Panglima Prang Nja' Hasan kemudian pergi bertugas ke Pangkalan Pertahanan Laut: Manjak Paéd.  Mungkin taktik strategi ini, sambil menunggu keberhasilan "misi" yang sedang dijalankan oleh diplomat Achèh di Singapura.

 

Pertahanan Laut Manjak Paéd telah lama didomisili oleh orang-orang Achèh yang datang dari Achèh Rajeuk.  Dan disinilah juga Tengku Hasan Kruëng Kalée, salah seorang diantara 4 "Oelama" yang membuat pernyataan 15 Oktober, 1945 yang kontroversil itu, mengawini istrinya yang ke sembilan.

 

Di Pertahanan Laut: Manjak Paéd sana, Tuanku (Said) Hasjim Banta Muda menugaskan adik iparnya atok ibu kami: Panglima Prang Nja' Hasan ke Pangkalan Pertahanan Laut: Pulau Sampoë (Pulau Kampai), Pangkalan Susu, Medan, sebagaimana juga ada terceritakan dalam buku "Achéh Sepanjang Abad-nya Mohammad Said", yang buku itu, dimiliki oleh rakan saya dari Danmark).  Sedangkan Tuanku (Said) Hasjim Banta Muda, terus tetap di Pertahanan Laut Manjak Paéd, dimana, dari sana beliau terus berulang-alik: Manjak Paéd-Pulau Pinang-Bandar Achèh (Kutaradja), untuk menguruskan logistik perang Negara (Kerajaan) Achèh yang dipimpin oleh WN: Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman menentang agressor Negara (Kerajaan) Belanda.

 

NB (I):  Saya tidak tahu pasti apakah Pulau Sampoë Achèh (Pulau Kampai), Pangkalan Susu, Medan itu, termasuk dalam peta wilayah Achèh Self Government (Pemerintahan Achèh) yang dilakar pada tahun 1956 itu.  Sepatutnya Pulau Sampoë Achèh (Pulau Kampai), Pangkalan Susu, Medan itu musti berada dalam peta wilayah Pemerintahan Achèh, karena Pulau Sampoë Achèh (Pulau Kampai), Pangkalan Susu, Medan itu, pernah dipertahankan habis-habisan oleh Angkatan Perang Laut (Tentara Negara Achèh) menentang Tentara Portugis yang berkubu disana.   Dan di Pulau Sampoë Achèh (Pulau Kampai), Pangkalan Susu, Medan, itulah juga suami Laksamana Hayati, rebah-syahid.  Selain itu, Pulau Sampoë (Pulau Kampai), Pangkalan Susu, Medan itu, status kedudukan sejarah geographisnya seperti status kedudukan geographisnya Pulau Guam USA, di Lautan Pasifik (Teduh).

 

Kemudian perlu juga diketahui, Tuanku (Said) Hasyim Banta Muda, menamakan salah seorang anak lelaki beliau sebagai Tuanku (Said) Ibrahim bin Tuanku (Said) Hasjim Banta Muda dan Tuanku (Said) Ibrahim bin Tuanku (said) Hasyim Banta Muda pula menamakan salah seorang anak lelaki beliau kembali dengan nama Tuanku (Said) Hasyim bin Tuanku (Said) Ibrahim bin Tuanku (Said) Hasyim Banta Muda, mengikut nama atok beliau sendiri, yang sekarang bermukim di Medan, yang juga sebagai paman kami dari pihak ibu kami.  (Nama-nama ini tersebut diatas pernah coba dimanipulirkan oleh si Lamkaruna Fauzi Hasbi, untuk menolak hak sejarah dan hak hukum dari kepimpinan Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad dalam tulisannya yang lalu, sebelum dia mati).

 

Kami belum pernah membuat kunjungan ketempat asal atok ibu kami di Reudeup, Achèh Rajeuk, walaupun pernah dianjurkan, oleh ayah-wa kami ketika beliau mengirimkan ara kata (salasilah keluarga) ketika saya telah berada di Malysia untuktuk pertama kalinya,  yang diperlukan untuk mencari famili ayah-wa saya itu di Yan, Kampung Achèh, Kedah Darul Aman, Malaysia.

 

Keluarga atok ibu kami yang lain, selain terus tinggal di Manjak Paéd + Tualang Tjut, mereka juga sebahagian berpindah ke Madat-Simpang Ulim, Seruway-Kuala Simpang, selain juga di Mali, Pidië dan di Yan, Kampung Achèh, Kedah Malaysia (berdepan) dengan rumah kediaman saudara Suhaimi, yang juga rakan saya yang pernah bersama dua saudara lain: Trio beliau + ratusan anak Achèh, mendirikan "IMAM", (Ikatan Masyarakat Achèh di Malaysia), sebuah nama yang direkomendasikan oleh Tengku Jakob Djuli, abang dari Tengku Nur Djuli), sebuah organisasi anak-anak Achèh yang pertama sekali wujud di Malaysia, selain "Achèh Seupakat Malaysia", yang wujud dari leburan Perkumpulan Iskandar Thani, yang pernah ditubuhkan di Pulau Pinang, Malaysia.

 

Saudara Suhaimi ini, yang menjadi rakan saya sejak 1980-an, sejak di Achèh Seupakat Malaysia,  kemudian dikabarkan  banyak membantu dr Hussaini Hassan Ketua/Sekjen MP GAM, ketika membuka bisnis dengan Medical Clinic-nya di Malaysia, dan yang sekarang saya dengar pula sedang bekerja membantu pihak UNHCR, Kuala Lumpur, Malaysia.

 

Putera lelaki atok ibu kami atau ayah dari ibu saya, berkawin dengan putri/cucu? dari Panglima Prang Saréh (Sjarief) yang datang dari kalangan Tengku Tjhik di Langsa.

 

Panglima Prang Saréh (Sjarif) atau nenek'nda dari pihak ibu saya dan Tengku Tjhik di Langsa, keduanya berasal dari Meureudu (Teunom dan Beuratjan), Pidië.  Ketika itu, boleh dikatakan Langsa itu sebenarnya, sebagai Meureudu kedua, yang letak kota awal disebut Langsa Lama, sedang tempat tinggal orang tua kami sekarang ini disebut sebagai Langsa Baru.

 

Atau dalam kesimpulannya: Ibu kami beratokkan dari atok lelaki: Panglima Prang Nja' Hasan dari Reudeup, Achèh Rajeuk dan beratokkan dari atok perempuan: Panglima Prang Saréh (Sjarief) dari Langsa, Wilayah Peureulak, Darul Nurul 'Akla.

 

Nah itulah,  Tengku Ahmad Hakim Sudirman dan Abu Hasyim,  secebis cerita dari pihak ibu kami, sebagaimana cerita yang pernah diceritakan kepada kami, anak-anak-nya beliau.  Dan satu lagi, menoleh kegaris horizontal keluarga lain dari kami: Pak Buyung (asal Minang) sebagai: Kerani terakhir Tengku Thaèb, Tengku Tjhik Peureulak, Darul Nurul 'Aqla, adalah juga keluarga kami,  yang salah seorang dari mereka atau abang saya itu, sekarang ini berdomisili dalam Wilayah Pasèe..

 

NB (II):  Cerita kami waktu kecil-kecil itu, terutama yang berhubungan dengan sejarah atok ibu kami, tentang penasihat militer yang terselamat itu, sebagai tercerita diatas, kiranya (secara kebetulan?) sama sebagaimana ketika saya membaca sebuah buku: "Gadjah Putih dan Iskandar Muda", sebuah buku yang diwajibkan membelinya kepada sesiapa dari mereka-mereka yang berperusahaan berorintasijkan import-eksport, ketika mengambil "import-export alocation" dari Finec, seperti yang ketika itu dimiliki juga oleh orang tua lelaki kami.

 

NB (III)  (a) Dari elemen cerita (sejarah) atok ibu kami, sebagaimana telah tersimpul juga dalam dokumen teks Reproklamasi 4 Desember, 1976,  dan (b)  Juga ketika melihat terhadap wujudnya kesimpang siuran penggunaan nama GAM atau AGAM sebagai nama tentara negara Achèh, maka sejak 17 Agustus, 2000, kembalilah saya medokumentasikan nama tentara negara Achèh sebagai: TNA, Tentara Negara Achèh, sesuai dengan dokumentasi yang telah diwartakan oleh The London Times, 22 April, 1873.   Lantas mengapakah pada 17 Agustus, 2000?  Karena pada hemat perkiraan saya, pada 17 Agustus, 2004, 4 (empat) berikutnya, bangsa Achèh akan merdeka dan Penjajah Indonesia Jawa alkan sudah angkat kaki dari tanah air bangsa Achèh!

 

Dan kemudian dengan berlatar belakang sejarah itu juga, maka saya, meletakkan predikat "Panglima Prang" pertama sekali kepada As-syahid Tengku Abdullah Sjafi'i sebagai: Panglima Prang Tengku Abdullah Syafi'i dan Tengku Muzakir Manaf sebagai: Panglima Prang Muzaki Manaf, sempena kepredikatan Panglima Prang dari atok ibu kami.

 

Alhamdulillah dan syukurillah, bertepatan dengan tanggal 19 July, 2002 atas usulan Tengku Nur Djuli didepan majelis Meusapat Bansa Achèh Ban Sigom Dönja I, 2002, (Pertemuan Bangsa Achèh Sedunia I/Reuni I) di Stavanger, Norwegia, maka secara resminya nama tentara untuk TNA, Tentara Negara Achèh, telah dinominasikan oleh Majelis Pertemuan Bangsa Achèh Sedunia I/Reuni I) cq Wali Negara, Negara Achèh Sumatera, Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad, sebagai nama resmi dari tentara negara Achèh.

 

Kembali mengenai ibu kami, tetapi yang ini, sehubungan penceritaan terhadap masalah Jawa dalam kalangan keluarga kami:

 

Ketika ibu kami remaja dan masih berumur 16 tahun telah mengambil seorang anak perempuan Jawa asal Bukit Kerandji, Upah, Kuala Simpang, yang letaknya tidak jauh dari front perlawanan melawan Jepang di tahun 1945, sebagai anak pungut beliau, walupun beliau (ibu kami) belum lagi berumah tangga dan pula dengan perbedaan umur hanya 4 tahun dari anak perempuan Jawa yang bernama: "Tukiem" itu, yang kemudian bertukar dengan nama Achèh, sebagai "Sawijah", kemudian lagi menjadi kakak angkat saya juga dan sekaligus sebagai pengasuh saya, ketika masa kecil-kecil saya.  Selain dari ibu kami, yang mengambil anak Jawa sebagai anak angkatnya, adalah abang dari ibu kami,  dengan ambilan tiga anak angkat.  Tetapi saya hanya mengetahui nama-nama Achèh mereka saja sebagai Hussen, (kemudian dikenal sebagai "Hussen Achèh", dikediamannya sekarang  di Timur Sumatra Utara),  Daud (meninggal tak lama sesudah berumah tangga) dan Musa (masih di Achèh).

 

Mengapa ibu kami dan abang dari ibu kami itu perlu mengambil anak-anak Jawa, sebagai anak angkat atau anak pungut, puluhan tahun sebelum Reproklamasi 4 Desember, 1976? Jawabannya adalah Prikemanusiaan!  Karena ketika itu ke-empat anak-anak Jawa itu, sangat menderita, selain seluruh tubuh mereka ditumbuhi penyakit puru (sejenis penyakit kulit)  dan juga diketahui umum bahwa, banyak anak-anak Jawa, ketika itu, sedang keluar mencari makan sendiri, disebabkan buruh-buruh Jawa kontrak diperkebunan karet, sedang menderita kelaparan akibat pendudukan tentara fasis Jepang, yang serakahnya sama seperti ABRI_TNI/POLRI, Tentara fasis Penjajah Indonesia Jawa.................................................!

 

Sekarang saya menceritakan pula sebagaimana cerita nenek'nda perempuan kami dari pihak ayah.  Nenek lelaki ayah saya: Tengku Djuroë Mudoë Haluih (Juru Mudi Halus?) ayah dari nenek lelaki saya: Tengku Paya bin Djuroë Mudoë Haluih, yang dkatakan, beliau datang dari keluarga Teuku Chadék, Sapai Uneun (Staff Kanan) dari Tengku Tjhik Peusangan?

 

Tengku Djuroë Mudoë Haluih adalah pemilik satu-satunya Jung (tongkang besar)) di Kuala Peusangan, yang membawa penumpang ulak-alik dari Kuala Peusangan-'Lhok Seumawé(h).  Cerita inipun saya peroleh selain dari nenek kami, juga dari seorang tua, yang pernah tinggal bersama keluarga kami, di Langsa, ketika musim tanam lada dulu yang menceritakan langsung kepada saya ketika saya datang ke kampung nenek kami: Tengku Paya Tengku Djuroë Mudoë Haluih, di Bugak Mesjid, Kruëng Panjoë di tahun 1978, tahun-tahun awalnya saya mulai minggat dari kediaman saya yang sedang tidak aman lagi.

 

Sedangkan ibu dari nenek perempuan, dari pihak ayah kami berasal dari Kruëng Manée.  Saya diberitahukan juga pada tahun 1978 bahwa, kaum-keluarga nenek kami bertebaran mulai dari Pintô Angèn sampai ke Sawang + Ulèe Glée Sawang), ke lapangan terbang Malikussaleh, ke Bungkaih (juga kampung asal orang tua As-syahid Tengku Ishak Daud, yang kemudian berpindah ke Kuala Idi, di Achèh Timur).

 

Saya diceritakan oleh nenek perempuan dari pihak ayah kami itu, yang mereka datang dari keluarga adik-beradik yang kesemuanya perempuan dan kesemuanya berpredikat dengan Tjut Bungong......................   Entah karena itu, atau entah karena apa, maka salah seorang paman saya, yang pernah menjabat tugas Jaksa di 'Lhok Seumawé, telah meletakkan predikat didepan nama beliau sebagai: Teuku, sedang dari keluarga kami lain tidak!

 

Nah,  itulah pula secebis cerita dari nenek dari pihak ayah kami dari Kruëng Manèe (Wilayah Pasèe) dan dari Bugak Mesdjid, Kruëng Pandjoë, Peusangan (Wilayah Batèe Iliek).

 

Lantas disini, saya kembali menceritakan sehubungan penceritaan terhadap masalah Jawa dalam kalangan keluarga kami, sebagaimana pernah diceritakan kepada kami ketika kami juga masih kecil-kecil lagi:

 

Ditahunan 1948, ayah kami telah memempekerjakan "ratusan" buruh-buruh Jawa kontrak, yang sedang menderita kelaparan didalam perkebunan.  Ayah kami sebagai kontraktor perkebunan karet dan sekaligus sebagai pensupply getah untuk remiling Hock Lee & Co atau kemudiaan dikenal sebagai Sabena.  Selain sebagai pensupply balok bantal rel kereta api di Medan dan kayu bakau, kayu pembakar kereta api di Achèh, juga pembeli getah mulai dari watas kota Peuereulak terus kesepanjangan jalan hingga ke Upah, Kuala Simpang.

 

Pada masa itu rakan kongsi beliau adalah Tengku Ali,  (yang kemudian lebih dikenal sebagai Mandor Ali) yang berasal dari Lung Putuë, Pidië, ayah dari Prof Dr Abdullah Ali, yang ibu beliau pula berasal dari Kruëng Manèe, dari famili kami.

 

Mandor Ali sebagai rakan kongsi dari ayah kami yang juga ikut mengkontrak ladang getah kepunyaan Said Abu Bakar.

 

Selain itu, ayah kami masih mempekerjakan "puluhan" orang lagi untuk ladang ubi kayu, sebagai logistik pangan perkebunan-perkebunan karet.  Sebagaimana saya telah katakan diatas, buruh-buruh Jawa kontrak, ketika itu sedang pada kelaparan.

 

Ayah saya akan menukarkan 1 (satu) ton ubi kayu dengan 1 (satu) ton getah sheet.

 

Demikianlah keterlibatan keluarga kami dengan buruh-buruh Jawa kontrak ketika itu.

 

Masalah hubungan Jawa dengan perjuangan Negara Achèh Sumatra/ASNLF/GAM, telah saya ceritakan secara publik:

 

(1) Dirumah kediaman si Ramli (sipenggemar cium tangan PM), anak menantu Djali Jeram-Meulaboh, si pengelola website MP GAM/MB GAM Kampung Fitya, Norsborg, Swedia, ketika anak ini, masih di Kampung Baru, Kuala Lumpur, Malaysia, di tahun 1989, ketika baru-baru kembalinya mereka-mereka, rakan-rakan dari pendidikan militer di luar negeri.

(2) Di Rumôh Peureulak di Selayang, Kuala Lumpur, Malaysia, yang juga dihadiri oleh Daud Husin atau Daud Paneuk.

(3) Di kediaman saudara Doi Peureulak, didepan jema'ah Wirit Yasin, yang juga dihadiri oleh Raden Bukhari Popiya, di Bryne, Rogaland, Norwegia.

(4) Kuliah-kuliah lain saya yang sudah dicassete-kan oleh As-syahid Said Hanan.

(5) Menjadi perbalahan kuat di pertemuan Bansa Achèh Ban Sigom Dônja, di Internasional Hus, Stavanger, Norwegia.

 

NB IV:   Pengkuliahan masalah Jawa sehubungan dengan perjuangan Negara Achèh Sumatra/ASNLF/GAM adalah kebetulan baru hanya saya saja (tunggal) yang pernah melakukannya di luar negeri.  Ini berdoman atas kuliahan Tengku Hasan di Tiro kepada As-syahid Tengku Dr Zubir Mahmud, orang yang juga lingkungannya juga penuh dengan Jawa, terutama perkebunan Karet dan Kelapa Sawit Karang Inoë (satu-satunya perusahan Inoë Rubber dari Jepang yang menginvestasikan modalnya? dalam perkebunan karet, semasa pendudukan Jepang).

 

Pengkuliahan masalah Jawa, menjadi penting, karena selain menyangkut dengan masalah perjuangan juga masalah kemanusian dan ke-Islam-an!

 

Saya akan ceritakan kembali bagaimana masalah Jawa sehubungan dengan keperjuangan, kemanusiaan dan ke-Islam-an ketika saya merespon Bingkisan Malam II, karangan? Raden Bukhari Popiya.  Insya Allah!

 

Masalah menyebut pekerjaan saya, tidaklah menjadi masalah apapun yang akan saya kerjakan baik di Achèh maupun di Malaysia.

 

Sewaktu kami miskin, sayapun sudah agak pandai menyadap pohon karet, diladang getah saya sendiri atau pergi menanam padi.  Walaupun kami miskin, namun kami punya ladang buah-buahan yang lumayan.  Ladang rambutan kami pernah diketahui sebagai ladang rambutan bukan saja yang terluas di kota saya, malahan di Achèh.

 

Begitu juga dengan kerja saya sewaktu saya miskin, selain saya sudah bisa menyadap (menoreh-bahasa Malaysia) pohon karet, saya juga sebagai karyawan perusahaan minyak asing.  Exploration Manager, memberikan surat rekomendasinya sebagai Acting Seretary o Exploration Manager, sedangkan Wakil Exploration Manager memberikannya sebagai Secrertary to Exploration Manager, selain menjabat sebagai Drilling Coordinator, di perusahaan  Seismic asing.

 

Begitulah juga, sewaktu saya di Malaysia, saya bekerja sebagai pekerja rough-neck dan kadangkala sebagai sub-contractor kecil-kecilan yang saya pikir asal bisa hidup dan ada apa yang dimakan.

 

Mengenai sebutan berulang-ulang terhadap Tengku Nur Djuli, adalah tidak demikian. Saudara saya dari Danmark tahu betul atas ucapan apa yang sesungguhnya saya sebutkan. Begitu juga dengan melibatkan Usman Hanafi.  Hal itu sudah kami putuskan sikap kami didalam satu musyawarah yang diusulkan oleh As-syahid Tengku Ishak Daud, di kantor Gerakan Achèh Merdeka kami, di Selayang, Kuala Lumpur, Malaysia.

 

Pernah hal berkenaan saya dengan Tengku Nur Djuli, yang ditangani seorang rakan dari Oslo, yang saya katakan tidak ada apa-apa yang disembunyikan dan silakan  dilihat dan dibaca sendiri dalam internet, saya katakan yang dsememang diakuinya.

 

Kalau terakhir ada sedikit perbalahan diinternet dengan beliau, adalah semata-mata menjelaskan ketidak sempurnanya beliau membahas masalah "nasionalisme" dengan saudara Syamsul dari Australia?  Selain sebagai  hanya untuk mengekspose sedikit gelagat saya bahwa, saya sedang membela rakan saya dari Danmark, yang pernah ada perbalahan dengan beliau, sebagaimana salinan kiriman dari rakan Danmark itu kepada saya, atau sebagai penyataan dan reaksi saya kepada beliau bahwa, rakan saya dari Danmark itu adalah pada kedudukan yang benar.

 

Dan masalah kecil itu, sudah kli(a)r, apalagi beliau sendiri sudah mengulurkan tangan di lapangan terbang Sola, Stavanger, Norwegia: Please Apologize me!  OK!

 

Dan bagi saya Tengku Nur Djuli dan abang beliau Tengku Jakob Djuli adalah sudah teranggap sebagai saudara, sejak saya pertama kali memperkenalkan beliau kepada anak-anak Achèh di Damansara di tahun 1980-an.

 

Saya telah mintakan Tengku Nur Djuli agar mengikut WN pada tahun 1987? Dan begitu juga memintakan Tengku Jakob Djuli jangan terlibat menukarkan "IMAM" dengan organisasi "Pakat" dibawah T. Rizal tahun-tahun sebelumnya.

 

Begitu juga misalnya terhadap  Abdullah (Dolah) Kruëng (sekarang ini di Houston, Texas) pernah saya panggil berdiskusi pukul tiga pagi, dengan mengambil tempat dianak ditangga kantor UNHCR Kuala Lumpur, Malaysia didepan "Plaza"-nya  Baih Gani, dengan catatan: Agar jangan asik sibuk mengatakan diri sebagai orang lama, tetapi menggangu orang lain di Kuala Lumpur. Mengapakah saya katakan demikian,  karena saya katakan, sayapun sudah terlibat AM (sekarang GAM) sejak As-syahid Tengku Zubir Mahmud masih Drs Med. lagi.

 

Jadi masalah sepele selalu digunakan oleh kumpulan Yusuf Daud Paneuk @Krungköng Pasië 'Lhôk dan kumpulan Syahbuddin Rauf @ Hj Ghafur Paneuk Antèna cq MP GAM (Koalisi Suara Masyarakat Achèh Internasional Untuk Demokrasi) dan MB GAM (Komite Persiapan Kemerdekaan Achèh Demokratik) untuk mengadu domba saya dengan Tengku Nur Djuli, rakan dari Danmark dan rakan dari Belanda, sememangnya sudah berulangkali disebut-sebut dalam internet.

 

Demikianlah Tengku Ahmad Hakim Sudirman dari ahmad_sudirman@hotmail.com dan Abu Hasyim dari patuan_janji@yahoo.com  responan saya terhadap point-point dari tulisan kotor, jahat dan tidak beradab dari kumpulan Yusuf Daud @ Krungköng Pasie 'Lhok dan Kumpulan Syahbuddin Rauf @Hj Ghafur Paneuk Antèna cq MP GAM (Koalisi Suara Masyarakat Achèh Internasional Untuk Demokrasi) dan MB GAM (Komite Persiapan Kemerdekaan Achèh Demokratik) yang pihak Tengku Ahmad Hakim Sudirman dan Abu Hasyim telah meberikan responnya, yang disini, sekali lagi saya dengan rendah hati mengucapkan terima kasih.

 

Dan untuk ingatan Tengku Ahmad Hakim Sudirman dan Abu Hasyim, bagai saya tulisan keji yang kotor, jahat dan tidak beradab serta kurang ajar itu, tidak akan bisa menyetop keatipan saya mengetengahkan struktur kebenaran, sebagaimana kedua anda telah lakukan.

 

Saya ingat kesemua tulisan keji, kotor, jahat dan tidak beradab serta kurang ajar itu, yang pernah mereka tulis sejak 1999 ata/dan mungkin sejak 1997 akan terus kembali menyerang mereka para penderita "Kanker Mental", selama mereka hidup sehingga kemati.  Insya Allah, kita akan lihat, kalau umur kita dipanjangkan Allah ASWT,  terhadap mereka-mereka itu, sebagai penderita Kanker Mental!

 

Wassalam.

 

Omar Putéh

 

om_puteh@yahoo.com

Norway

----------