Stockholm, 8 Agustus 2000

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

NU DAN MUHAMMADIYAH HARUS BERSATU PADU KEMBALI
Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.

 

MENEROPONG 55 TAHUN YANG LALU KETIKA BERSATUNYA ORGANISASI-ORGANISASI ISLAM

Memang kalau kita menelusuri kembali sejarah bersatunya beberapa organisasi Islam dalam satu wadah perjuangan politik yang digerakkan dan dibangun oleh para tokoh Islam Indonesia melalui musyawarah dalam kongres Ummat Islam pada tanggal 7 Nopember 1945 di Ketanggungan Jogyakarta.

Dimana tercatat satu hasil musyawarah yang melahirkan pandangan bahwa perjuangan ummat Islam Indonesia untuk menegakkan Agama Allah hanya dapat dilakukan sesempurna-sempurnanya dengan kebulatan tenaga dan hikmah dari segenap ummat Islam Indonesia yang tersusun dan dikerahkan dalam satu badan perjuangan politik, maka kongres ummat Islam memutuskan bahwa badan perjuangan politik ini diciptakan sebagai penjelmaan dari Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang sampai saat kongres itu merupakan satu pusat permusyawaratan ummat Islam Indonesia menjadi satu-satunya Partai Politik Islam Indonesia yang bertujuan terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi dengan melalui cara memadukan tenaga-tenaga dalam lapangan politik yang sebelumnya terserak dalam partai-partai politik seperti PSII, Partai Islam Indonesia, NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, PUI, PUII dan Al Jamiyatul Wasliyah (Hikmah, 1952).

GENERASI BARU MUSLIM HARUS MELIHAT KEDEPAN

"Inna hadihi ummatukum ummatan wahidah, wa ana robbukum, fa'buduun." (Al An-Biyaa, 92). Sesungguhnya kamu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Rob-mu, beribadahlah kepadaku. Dimana "ummatan wahidah" atau ummat yang satu merupakan wadah atau "alat". Jadi "ummatan wahidah" ini adalah ummat yang satu yang terdiri dari individu, keluarga, masyarakat dan negara yang akan menjadi tempat, wadah atau alat untuk terlaksananya hukum Islam dalam rangka ibadah kepada Tuhan. Memang secara individu-individu telah berhasil mengadakan usaha dan ibadah kepada Tuhan, tetapi secara "ummatan wahidah" belum berhasil. Nah, disinilah usaha untuk membangun "ummatan wahidah" dalam rangka menuju tujuan yaitu "ibadah" dengan mencari ridha Allah.

Memang usaha untuk mengadakan persatuan dalam satu wadah ummat Islam pada tahun 1945 tidak berlangsung lama, terutama dari sejak NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Dimana pertentangan yang terjadi diantara kedua organisasi tersebut sebagian besar hanyalah masalah pertentangan atau perbedaan dalam masalah dan kebijaksanaan politik pemerintahan.

Karena itu saya pikir mudah-mudahan bisa diselesaikan oleh anggota-anggota generasi muda Islam yang ada dalam kedua organisasi tersebut yang akan menggantikan para pimpinan mereka sekarang, bahwa perbedaan pandangan politik harus selalu didasarkan kepada akidah Islam saja, karena perbedaan pandangan politik tanpa didasarkan pada akidah Islam akan memecahkan dan menghancurkan persatuan umat Islam Indonesia yang bercita-cita tegaknya Islam, hukum Islam, pemerintahan Islam dan Daulah Islam Rasulullah dengan mencari keridhaan Allah.

SALAH SATU USAHA AGAR TERLAKSANANYA SYARIAT ISLAM

Sebagaimana yang telah dijadikan tujuan oleh para tokoh Islam yaitu agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara, menuju keridhaan Ilahi, maka ada salah satu usaha dari sekian banyak usaha yang harus dijalankan yaitu meninjau dan meluruskan kembali apa yang terlah terjadi ketika sebelum rancangan UUD di syahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berisikan preambule (pembukaan).

Dimana kejadiannya diawali oleh sekelompok orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis (salah seorang anggota Panitia Sembilan, dimana anggota Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta adalah Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Agus Salim, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Ahmad Subardjo, Mohammad Yamin.) yang secara serius menolak sila pertama dalam piagam Jakarta yang menyatakan: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Kemudian Muhammad Hatta, yang  memimpin rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) itu, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo (keduanya bukan anggota panitia sembilan), menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta yang menjadi keberatan dimaksud. Sebagai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua gerakan pembaharu Islam Muhammadiyah), ditambahkan sebuah ungkapan baru dalam sila Ketuhanan itu, sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dan di cantumkan dalam preambule (pembukaan) UUD'45 sampai sekarang.

Jadi memang wajar kalau sekarang timbul kembali usaha-usaha pelurusan sejarah itu yang telah terbenam 55 tahun. Dimana sekarang sudah banyak suara yang ingin mengembalikan kembali tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta itu untuk dimasukkan kedalam preambule dan batang tubuh UUD 1945.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se