Stockholm, 17 Januari 2001

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

GUS DUR TURUN MEGA NAIK TIDAK SELESAIKAN MASALAH
Suparmo Abdul Fatah
Bekasi - INDONESIA.

 

GUS DUR JATUH OTOMATIS MEGA NAIK

Pekan-pekan terakhir ini publik semakin sering mendengar tuntutan agar Presiden Abdurrahman Wahid mundur dari jabatannya. Mahasiswa, ekonom, pengamat, anggota DPR, dan lain-lain menghendaki presiden yang baru memerintah satu tahun itu mundur dari jabatannya. Banyak argumentasi yang dikemukakan antara lain, kinerjanya parah, terlalu banyak menyimpang, sebut saja penyimpangan anggaran 1999/2000 sampai 165 trilyun rupiah, banyak skandal yang memalukan mulai dari sekandal uang sampai seksual.

Ketua MPR Amien Rais pun merasa perlu menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat Indonesia karena telah mensponsori naiknya Gus Dur ke kursi Kepresidenan. Konon, untuk menebus dosanya, Amien mensponsori untuk memundurkan Gus Dur melalui Sidang Istimewa MPR. Tetapi tentu saja apabila Gus Dur mundur otomatis Mega naik menurut UUD 1945 "Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". (UUD 1945, BAB III KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA, Pasal 8).

Tuntutan mundur terhadap Gus Dur tentu saja tidak diterima oleh Gus Dur dan para pendukungnya. Terlebih setelah Megawati secara terang-terangan akan mempertahan kan Gus Dur hingga tahun 2004 dan mengkritik para pengkritik Gus Dur. Pernyataan Megawati itu memberi sebentuk keberanian kepada para pendukung Gus Dur fanatik yang selama ini merasa sangat terpojok oleh berbagai pemberitaan dan opini yang menyudutkan Gus Dur.

Merekapun berdemo balas menuntut Amien mundur. Sempat terdengar kabar, Amien Rais dicekal di Jawa Timur, propinsi basis PKB. Malah ada yang berteriak Amien halal darahnya. Rupanya, tuntutan mundur terhadap Gus Dur kemudian berkembang dianggap menjadi perseteruan antara Gus Dur dan Amien Rais bahkan antara NU dan Muhammadiyah.

GUS DUR MUNDUR TIDAK MENYELESAIKAN MASALAH

Pertanyaan bagi kita, apa yang terjadi jika Gus Dur mundur? Akankah menyelesaikan masalah? Apa sebenarnya akar masalahnya sehingga membuat bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini begini terpuruk? Apa yang harus diperjuangkan bangsa Indonesia yang muslim ini bila ingin jaya?

Bagus tidaknya tatanan semua aspek dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tergantung pada dua faktor utama, yakni sistem dan manusia yang menjalankan sistem itu. Sistem terlahir dari sebuah ideologi yang dianut. Untuk sederhananya, ideologi dunia saat ini, setelah runtuhnya ideologi komunis, tinggal dua: Islam dan sekularisme.

Tatanan kehidupan masyarakat akan berjalan dengan sangat baik bila sistem yang dianutnya adalah sistem yang benar serta dijalankan oleh orang yang baik. Bagaimana bila orangnya buruk, korup, totaliter, bermoral rendah dan sebagainya? Hasilnya tentu akan buruk. Dan akan lebih buruk lagi bila orang seperti itu memerintah di sebuah negara yang menganut sistem yang juga buruk. Yang terjadi adalah tatanan yang sangat buruk.

Indonesia, dengan berat hati harus dikatakan, adalah yang terakhir ini. Sistem yang dianutnya adalah sistem yang buruk, yakni sistem sekuler. Agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduknya hanya ditempatkan dalam kehidupan individual, itupun lebih sering sebatas kegiatan ritual. Adanya departemen agama lebih menegaskan kesekuleran republik ini. Sudahlah sistem yang digunakan adalah sistem yang buruk, digerakkan pula oleh para birokrat --yang mungkin tidak semua--, bermental korup.

Lihat saja, bagaimana semua upaya penegakan hukum macet oleh karena aparat yangg berwenang, entah itu polisi, jaksa, hakim sampai pun petugas LP, bisa dibeli. Hampir-hampir tidak ada celah kebaikan dari birokrat di negeri ini yang memang telah dirusakkan mentalnya selama lebih dari 30 tahun oleh pemerintahan orde baru yang korup itu.

Era reformasi tidak mengubah apa-apa. Bahkan pemerintahan yang ada saat ini berperilaku lebih korup dari yang sebelumnya. Maka, adakah koruptor yang diadili? Adakah penyeleweng dana BLBI yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah ditangkap dan masuk penjara? Tidak!.

Oleh karena itu tuntutan agar Gus Dur mundur sebenarnya sangat wajar. Bahkan semestinya bukan hanya Gus Dur, tapi seluruh birokrat yang korup itu harus diadili dan dipecat dari jabatannya masing-masing. Tapi apakah dengan mengganti presiden dan semua birokrat yang bermental bejat itu lantas Indonesia bisa diharap berubah menjadi lebih baik?

Masyarakat tidak boleh lupa. Di samping Indonesia saat ini tengah menghadapi problema rendahnya kualitas pelaksana negara, sistem yang digunakan adalah sistem yang buruk. Bahkan sebenarnya, buruknya birokrat lebih merupakan akibat dari sistem yang buruk itu.

Maka, siapapun yang memerintah negeri ini, sampai misalnya Amien Rais yang dikenal jujur itu, tetap saja keadaan tidak akan berubah baik. Apalagi Amien sendiri mengatakan bahwa kalau Gus Dur mundur, bukan dia yang menggantikan, tetapi Megawati yang menurut konstitusi harus melanjutkan tugas presiden hingga akhir masa jabatannya. Dalam hal ini seolah Amien, sebagai mantan pimpinan ormas Islam Muhammadiyah, lupa akan hadits Rasulullah saw. yang mengomentari diangkatnya putri Kisra (Ratu Buron) menjadi penguasa Persia, "Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan jabatan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita" (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, mundurnya Gus Dur tidak otomatis menyelesaikan masalah. Karena masalahnya bukan hanya terletak di situ. Pangkal masalahnya justru terletak pada sistem salah dan buruk.

YANG PERLU DIDOBRAK ADALAH SISTEM-NYA

Sistem yang buruk itu bernama demokrasi yang diwariskan oleh penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh demokrasi yang mengawali berdirinya republik (pemerintahan demokrasi) adalah para kader yang secara riil dibina oleh Belanda, mendapatkan pendidikan Belanda, atau paling tidak terpengaruh oleh berbagai pemikiran demokrasi yang beredar di kalangan bangsa Eropa, baik yang bercorak kapitalis (demokrasi liberal) maupun yang bercorak sosialis (demokrasi rakyat).

Oleh karena itu, tatkala lima puluh ribu ulama di seluruh negeri ini mengirim surat ke Jakarta dan para tokoh Islam yang di Jakarta, yang tergabung dalam Panitia 9 BPUPKI, menghendaki negara ini diatur dengan Islam, para tokoh demokrasi menolaknya. Bahkan setelah terjadinya kompromi bahwa syari'at Islam hanya akan dilaksanakan bagi para pemeluknya pun, mereka tolak, mereka ubah dalam suatu manuver yang cepat pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah hari kemerdekaan. Ini menunjukkan bahwa para tokoh didikan penjajah itu lebih suka melaksanakan sistem buruk warisan penjajah yang tidak sesuai dengan ideologi Islam. Mereka lebih senang memakai sesuatu yang sebenarnya ditolak oleh diri mereka sendiri.

Para penganut demokrasi warisan penjajah itu terus berupaya melestarikan sistem tersebut sehingga muncullah berbagai penderitaan dan kesengsaraan rakyat dari perjalanan seluruh rezim demokrasi, orde lama, orde baru, maupun orde reformasi kini.

Rakyat yang mayoritasnya adalah kaum muslimin hidup menderita dengan berbagai beban pajak dan pungutan lainnya. Hak-hak mereka tidak diberikan. Sedangkan para penguasa dan kroni-kroninya, baik di lembaga-lembaga politik dan pemerintahan maupun di lembaga-lembaga ekonomi menarik keuntungan. Rakyat dibius dan diadu domba dalam pemilu yang mereka sebut sebagai sebuah pesta demokrasi, pesta rakyat. Padahal banyak rakyat yang luka dan terbunuh, sementara para elit politik bersalaman, berangkulan, dan bagi-bagi uang.

Disamping itu, para penguasa tetap menjalin hubungan dengan negara-negara kafir gembong demokrasi seperti AS dan Eropa. Negara-negara imperialis itulah yang sejak hari kemerdekaan hingga hari ini yang menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelaksanaan sistem demokrasi.

Silih bergantinya penguasa tidak mengubah peruntungan mereka. Sebab merekalah yang mendikte dan mendominasi, merekalah yang berkuasa secara riil. Merekalah yang dulu memelihara Soekarno yang Membubarkan Masyumi dan memenjarakan para ulama.

Merekalah yang memelihara Soeharto yang menghabiskan partai-partai Islam dengan asas tunggal Pancasilanya, yang telah membuat sengsara ekonomi rakyat muslim dengan KKN-nya, yang telah memberikan tambang emas dan tembaga Timika kepada Freeport AS, tambang minyak di Riau kepada Caltex AS, tambang gas di Kalimantan kepada VICO AS, dan lain-lain. Merekalah yang mengasuh para penasihat ekonomi Orde Baru yang terkenal dengan sebutan mafia Barckeley dan Mafia Harvard. Mereka pulalah yang mengasuh think-thank Orde Baru yang bernama CSIS. Mereka pulalah yang menghancurkan rezim asuhannya sendiri setelah dianggap terkontaminasi oleh gerakan kaum muslimin melalui ICMI. Ya, negara kampiun demokrasi yang hipokrit yang melancarkan program demokratisasi setelah lengsernya Soeharto itulah sumber penyebar virus keburukan yang bernama demokrasi.

Oleh karena itu, bila masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ingin benar-benar terbebas dari krisis, tidak bisa tidak harus berusaha sungguh-sungguh untuk secara bersama-sama mengubah sistem demokrasi buruk yang ada saat ini menjadi sistem Islam.

Adakah sistem yang lebih baik daripada sistem Islam? Allah adalah dzat Yang Maha Tahu, maka dia pulalah yang paling tahu bagaimana mengatur kehidupan masyarakat. Lima puluh tahun Indonesia hidup dalam sistem sekuler, dulu di bawah orde lama, lalu tiga puluh tahun di bawah orde baru, sekarang orde reformasi, keadaannya tidak berubah: terpuruk!

Tidak cukupkah itu semua menjadi pelajaran untuk menyadarkan kita semua tentang buruknya sistem demokrasi yang sekuler itu? Masihkah kita mau menanggung keburukan itu lebih lama lagi? Bukankah Allah SWT berfirman:  "Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al Maidah: 50).

MENYATUKAN LANGKAH UMAT ISLAM

Energi kita tidak boleh dibuang percuma untuk sekadar mengganti-ganti person di pemerintahan karena itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Energi kita harus diarahkan bagi perjuangan mengubah sistem. Seluruh kekuatan umat, baik yang ada di dalam pemerintahan ataupun yang di luar, baik yang ada di parlemen ataupun yang tidak, termasuk yang berada di tubuh angkatan bersenjata dan seluruh ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, harus disatukan untuk berhasilnya perjuangan itu. Orang-orang NU, begitu juga Muhammadiyah, sebagai sesama muslim, tidak boleh terjebak pada pertentangan antara menurunkan Gus Dur atau tidak, tapi harus mengarahkan perjuangannya untuk perubahan sistem.

Warga Muhammadiyah, begitu juga warga NU dan para tokoh muslim dan aktifis mahasiswa muslim, harus merasa bahwa persoalannya bukanlah pada figur Gus Dur semata tapi lebih pada sistem yang mengatur negeri ini yang tidak bersumber dari ideologi Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Oleh karena itu, kita, khususnya warga NU dan Muhammadiyah tidak boleh merasa bermusuhan hanya karena persoalan Gus Dur. Kita sesungguhnya punya musuh bersama yang sama-sama harus diperangi, yakni sekulerisme dan sistem demokrasi yang kini mengatur Indonesia.

Umat Islam di Indonesia harus merapatkan barisan. Pertama, menyatukan pandangan, bahwa problematika utama umat di negeri ini adalah dicabutnya sistem Islam sejak zaman penjajahan Belanda.

Kedua, menyelaraskan gerak perjuangan seluruh komponen umat untuk melaksanakan agenda bersama umat: mengubah sistem demokrasi sekuler menjadi sistem Islam dengan menegakkan Daulah Islamiyah.

Dengan demikian, umat akan terhindar dari pro-kontra mundurnya Gus Dur yang sia-sia (bila sistem dan konstelasi politik yang tetap). Para politisi muslim, dari unsur mana saja, yang menerima perubahan sistem ini, tetap pada posisinya. Siapa saja yang menolak, tentu harus mundur. Inilah amanat perjuangan yang diperintahkan Rasulullah saw. tatkala beliau mengubah sistem jahiliyah menjadi sistem Islam.

Maka hendaklah sadar siapa saja di antara umat ini yang menyeleweng dari perintah Rasul. Allah SWT berfirman: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih" (QS. An Nuur: 63).

Wassalam.

Suparmo Abdul Fatah

Bekasi Jawa Barat Indonesia
suparmo@tjp.toshiba.co.jp