Stockholm, 24 Mei 2001

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

TAK SUSAH MEMBUKTIKAN NEGARA PANCASILA INI NEGARA SEKULAR
Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.

 

SEBENARNYA TAK SUSAH MEMBUKTIKAN NEGARA PANCASILA INI NEGARA SEKULAR

Sebenarnya apa yang dijadikan alasan Saudara A. Simanjuntak dalam tulisannya dibawah adalah alasan yang berbelit-belit yang tidak mendasarkan kepada satu pegangan yang jelas dan bisa diterima dengan akal.

Padahal negara sekular pancasila tak ada bedanya dengan kerajaan sekular Swedia. Kalau kita lihat dari konstitusi negara sekular pancasila yang dinamakan UUD 1945 memang secara jelas dan gamblang menggambarkan bagaimana sebenarnya batang tubuh negara sekular pancasila.

Walaupun memang tercantum dalam Bab XI Agama Pasal 29 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tetapi kalau ditelusuri lebih mendalam apa yang dinyatakan dalam ayat (1) diatas dengan bunyi negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah merupakan simbol, label, atau nama saja yang tidak mempunyai pengaruh dan akibat hukum. Karena buktinya penjabaran dari ayat (1) diatas tidak ada dalam hasil ketetapan-ketetapan MPR sampai detik ini yang mempertimbangkan ketetapannya kepada hukum-hukum agama. Begitu juga undang-undang yang dilahirkan oleh DPR atas persetujuan Presiden atau sebaliknya tidak ada yang mempertimbangkan kepada ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum agama.

Adapun ayat (2)-nya yang memberikan jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing itu merupakan bunyi pernyataan dan aturan yang umum. Karena di kerajaan sekular Swedia pun semua pemeluk agama diberikan
jaminan dan kebebasan untuk menjalankan agamanya masing-masing. Selama hukum-hukum agama yang ada itu tidak dilibatkan dan diperjuangkan untuk dimasukkan kedalam undang-undang kerajaan yang diakui dan disyahkan oleh lembaga Parlemen yang ada.

Sedangkan Departemen Agama yang masih ada dibawah pimpinan Menteri Agama di negara pancasila bukan berarti suatu tanda atau alasan bahwa negara sukular pancasila adalah negara non-sekular pancasila. Karena walaupun ada Departemen Agama tetapi dalam mengacu hukum-hukum yang diberlakukan atau aturan-aturan yang diberlakukan bukan mengacu dan mempertimbangkan kepada hukum-hukum agama, melainkan mengacu dan mempertimbangkan kepada Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Undang-undang, Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah.

DIBANDINGKAN DENGAN NEGARA SEKULAR LAINNYA

Karena hal ini memang ada dan terjadi di negara-negara sekular lainnya, misalnya di kerajaan sekular Swedia. Dimana pemerintah membawahi gereja-gereja yang ada di seluruh Swedia. Pendeta-pendetanya digajih oleh pemerintah dan Pendeta tertinggi diangkat oleh Pemerintah. Hanya hukum agama yang ada dan resmi diakui di Swedia tidak dimasukkan dan tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan hukum bagi pemerintahan kerajaan Swedia.

Walaupun ada partai-partai yang berlabel agama, seperti partai Kristen demokrat yang berhasil masuk ke parlemen dan yang ketua umumnya bekas pendeta. Tetapi dasar partainya bukan Kristen. Begitu juga program-program kerjanya tidak ada yang mengarah kepada penegakkan hukum Kristen di wilayah kerajaan sekular Swedia.

Juga dalam kehidupan pendidikan di sekolah-sekolah menengah atas diberikan pelajaran agama. Tetapi hanya sekedar sebagai bahan informasi dan pengetahuan bukan sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan sebagai patokan hukum dalam kehidupan masyarakat dan negara dalam ruang lingkup kerajaan sekular Swedia.

Begitu juga dengan adat istiadat, tata-cara yang ada dan datang dari agama memang diakui, diterima dan dilindungi di kerajaan sekular Swedia. Misalnya perkawinan muslim yang dilangsungkan menurut tata-cara Islam dan dilaksanakan di mesjid dan
disaksikan oleh para saksi memang hasilnya bisa diterima dan diakui oleh pemerintah daerah setepat di wilayah kerajaan sekular Swedia. Contohnya surat kawin yang ditandatangani oleh para saksi dan pengurus masjid yang mengawinkan itu bisa diterima sebagai satu bukti syahnya perkawinan menurut Islam dan bisa diterima oleh bagian kantor perpajakan, kementrian dalam negeri dan kementrian luar negeri apabila sebelumnya surat kawin itu disyahkan dan ditandatangani oleh notaris yang telah ditunjuk oleh pemerintah kerajaan sekular Swedia.

TIDAK BERBEDA DENGAN YANG BERLAKU DI NEGARA SEKULAR PANCASILA

Tentu saja sebenarnya keadaan kehidupan pendidikan di kerajaan sekular Swedia itu tidak ada bedanya dengan keadaan kehidupan pendidikan di negara sekular pancasila ini. Dimana kehidupan pendidikan agama hanyalah sekedar bahan informasi dan pengetahuan untuk para murid dan mahasiswanya, dan bila setelah berhasil keluar dan meraih gelar pengetahuan agamanya itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk membuat ketetapan-ketetapan, undang-undang, peraturan-peraturan, hukum-hukum yang bisa berlaku dalam masyarakat, pemerintah dan negara sekular pancasila.

Begitu juga adat istiadat dan tata-cara kawin menurut Islam di negara sekular pancasila-pun diakui oleh pemerintah daerah setempat, sebagaimana di kerajaan sekular Swedia.

HASIL TARIKAN GARIS LURUS DARI JALAN PIKIRAN DIATAS

Jadi kalau ditarik garis lurus dari hasil jalan pikiran diatas itu negara dan kerajaan dinamakan sekular apabila konstitusi atau undang-undang dasarnya tidak mencantumkan dalam pasal-pasal-nya atau ayat-ayat-nya bahwa negara berdasarkan agama dan hukum-hukum-nya bersumberkan kepada agama.

A.SIMANJUNTAK MENJADIKAN PERILAKU DAN MENTALITAS RAKYAT NEGARA SEKULAR PANCASILA SEBAGAI CONTOH PERILAKU DAN MENTALITAS RAKYAT NEGARA NON-SEKULAR

Kalau saya kutip dari apa yang ditulis oleh Saudara Simanjuntak dibawah ini mengenai penomena yang ada dan terjadi di suatu negara agama, maka saya jadi bertanya apakah memang penomena perilaku dan mentalitas rakyat negara sekular pancasila yang dijadikan sebagai perilaku dan mentalitas rakyat suatu negara yang berdasarkan kepada agama. Kalau memang benar, maka benar-benar menyimpang hasil cukilan jalan pikiran Saudara Simanjuntak ini. Coba perhatikan kutipan yang saya ambil dari tulisan saudara Simanjuntak di bawah ini.

"Yang lebih parah lagi ialah, ketika tokoh-tokoh agama tidak memberdayakan umatnya, sehingga umat ibarat katak dalam tempurung; bodoh dan ketertinggalan budaya. Bahkan, tokoh-tokoh agama tidak ingin umatnya maju atau berdaya sebab takut kehilangan ladang mata pencaharian (urusan perut). Ini adalah kejahatan yang luar biasa. Adanya institusi agama juga penyebab munculnya berbagai konflik berbau SARA, sebab, tokoh agama dalam institusi itu kerapkali menjadi provokator utama dalam pertikaian antar agama sepanjang sejarah. Keputusan untuk berperang atau memusuhi agama lain adalah keputusan institusi yang telah banyak dimanipulasi oleh tokoh-tokoh keagamaan yang sebenarnya hanya karena motif persaingan antar institusi. "Semua agama mengajarkan kebaikan" menjadi retorika semata ketika institusi dan tokoh-tokoh agama mengambil alih tugas Allah untuk menghukum manusia, atau ketika tokoh-tokoh agama menjadikan agama (bahkan Allah) seolah-olah tidak berdaya dalam menyelesaikan persoalan kehidupan manusia (DISTORSI ajaran agama). Akibatnya, umat sebenarnya terjajah dan terkungkung dalam hegemoni institusi dan ketokohan agama-agama saat ini. A. Simanjuntak" ( <augus74@telkom.net> ,Thu, 24 May 2001 16:57:58 +0700)

TENTANG MENGAPA GUS DUR SAYA PANGGIL SEKULARIS ?

Saya panggil sekularis kepada Gus Dur karena memang Gus Dur secara sadar dan penuh ketegasan untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara. Segala hal yang ada hubungannya dengan agama, baik itu aturan-aturan, hukum-hukum agama yang telah ditetapkan Allah SWT tidak bisa dijadikan sebagai landasan dan pertimbangan dalam menetapkan sesuatu ketetapan dan keputusan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Jadi orang yang mempunyai cita-cita, pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan seperti yang disebutkan diatas, orang itu disebut sekularis.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se

---------------------
Date: Thu, 24 May 2001 16:57:58 +0700
From: "As" <augus74@telkom.net>
To: <basuki_r@indonesian-aerospace.com>, <info@alislam.or.id>, "MPR" <sumpr@jakarta.wasantara.net.id>, "Gus Dur" <presiden@ri.go.id>, "HANKAM" <postmaster@hankam.go.id>, "PKB" <pkb.indo@mailcity.com>, <padhang-mbulan@egroups.com>, <khilafah@s-s-net.com>, "Humas PAN" <humas@pan-diy.8m.com>, <hassan.wirajuda@ties.itu.int>, <habibie@ristek.go.id>, "DPP PPP" <dppp3@indosat.net.id>, "Alwi Shihab" <ashihab@cabi.net.id>, "Megawati Soekarnoputri" <megawati@gmx.net>, <siyasah@isnet.org>, <is-lam@isnet.org>, <hikmah@isnet.org>, "Sabili @egroups. com" <sabili@egroups.com>, <ijtihad@yahoogroups.com>, <padhang-mbulan@yahoogroups.com>, <istiqlal@yahoogroups.com>
Subject: [siyasah] Re: SEKULARIS GUS DUR COBA TUTUPI JEJAK PELANGGARAN KONSTITUSI

Salam persatuan untuk kita semua,
Saya sebagai bagian dari anak negeri ini terbeban untuk mencoba menanggapi pemikiran Pak Ahmad Sudirman, yang tampaknya sejak awal sudah berangkat dari 'frame' ketidaksukaan terhadap sosok kepemimpinan Gus Dur, ditandai dengan selalu adanya stigma "Sekuleris Gus Dur", yang semestinya tidak pantas dilakukan oleh seorang intelektual (apalagi notabene sekolah dan berada di negeri asing), karena hal itu jelas akan selalu mempengaruhi obyektifitas dalam pengamatan dan penilaiannya.

Apa sebenarnya maksud stigma 'sekuleris Gus Dur' di sini. Sekilas mungkin dimaksudkan sebagai pemerintahan sekuler. Benarkah pemerintahan kita pemerintahan sekuleris ?. Untuk membahasnya maka saya membuat pembahasan
dengan judul sebagai berikut:

PEMISAHAN URUSAN NEGARA DARI URUSAN AGAMA BUKAN BERARTI NEGARA ITU NEGARA SEKULER

A. Negara Agama Sangat Tidak Relevan
------------------------------------------
Negara agama adalah negara yang mendasarkan diri pada salah satu agama. Ini dimungkinkan pada negara yang memang hampir seluruh warganya memeluk salah satu agama. Namun realitas Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, baik dalam intern agama-agama sendiri banyak perbedaan, apalagi perbedaan dalam 'wilayah bangsa' (suku, budaya, agama, ras, dan bahasa). Belum lagi banyaknya warga negara yang sebenarnya sekedar beragama "KTP", beragama tetapi berpola hidup liberal, beragama tetapi materialistik, beragama tetapi hedonistik, beragama tetapi lebih percaya evolusionisme, beragama tetapi lebih percaya hal-hal yang magic/mistis, dan sebagainya. Jadi, sekedar beragama, atau agama hanya sebagai identitas pelengkap karena kepentingan institusional keagamaan maupun kenegaraan (birokrasi). Kawin harus beragama, masuk PTN harus beragama, masuk TNI/PNS harus beragama. Seorang artis pun tampaknya mau tidak mau (seolah-olah terpaksa) harus memerankan simbol agama agar tidak dituduh tidak beragama (padahal mereka sebenarnya suka kebebasan). Untuk meraih dukungan masyarakat, agama dijadikan sebagai alat politik. Para elit, tampak seolah-olah paling alim, paling suci, dan paling berhak menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam berpolitik sehingga kelihatan sangat menjijikkan. Artinya, di negeri ini sedang banyak terjadi kemunafikan. Oleh karena itu, dalam realitas seperti itu membentuk suatu negara agama adalah sangat tidak relevan, karena pasti akan banyak pemaksaan-pemaksaan, pelanggaran HAM hebat , benturan-benturan kepentingan, pemberontakan, bahkan bisa menimbulkan banyak yang terkorbankan, baik korban jiwa maupun korban disintegrasi karena beberapa daerah akan memilih merdeka, dan sebagainya. Ini adalah fakta sosiologis-antropologis bangsa Indonesia. Kalau pun dikatakan bahwa agama tertentu-lah yang paling adil, paling mujarab untuk mengatasi persoalan bangsa ini maka bolehlah itu dipandang sebagai suatu 'impian' atau 'angan-angan' yang sebenarnya sangat tidak realistis. Kalau dikatakan sebagai agama pembawa solusi atau pembawa keadilan maka semestinya sejak dulu (dalam sejarah perjalanan bangsa) harus sudah terbukti dalam realitas kehidupan bermasyarakat bahwa walaupun belum dalam kerangka negara agama sudah tampak sinar 'solusi' dan 'keadilan' yang dipancarkan oleh agama itu. Tetapi, adakah agama yang bisa mengklaim bahwa agama itu sudah berhasil sebagai perintis perjuangan 'keadilan', 'kebenaran', dan 'kesejahteraan' dalam masyarakat ?. Sudah lebih 50 tahun usia negeri ini, tetapi sudah sejauh mana negara ini mencapai 'kemakmuran yang berkeadilan' ?. Dalam fase mana-kah sebuah agama bisa mengklaim bahwa sinar 'keadilan dan kesejahteraan' dari agama itu sudah pernah diwujudkan dalam pembangunan negeri ini sebagai bukti untuk mengkalim bahwa agama itu sebagai agama 'solusi dan keadilan' bagi seluruh rakyat ?. Bukankah selama ini agama justru dianggap sebagai sumber konflik?. Bahkan, ada tuduhan bahwa agama acapkali sudah terlalu jauh menghakimi 'kesalahan' warga dengan cara-cara yang anarkhis atau tidak manusiawi?. Menghakimi sesama manusia mengatasnamakan agama, seolah-olah ia paling berhak mengambil alih wewenang Tuhan di dunia ini. Sering kali memang orang melihat realitas (bukan anggapan lagi) bahwa para pihak yang merasa dirinya sebagai penegak hukum agama itu sudah tidak proporsional lagi dalam bertindak, bahkan cenderung anarkhis dan brutal. Mereka membawa senjata tajam di depan umum dengan pakaian bersimbolkan agama, sehingga sangat kontraproduktif terhadap nama baik agama itu. Sehingga masyarakat pun menilai bahwa agama itu sesuatu yang menakutkan.... Mungkin saja mereka menganut suatu  agama hanya karena takut terhadap 'vonis' kafir dari komunitas masyarakat beragama yang lebih banyak, alias agama ikut-ikutan (takut tersingkirkan). Dalam kondisi seperti ini, dapatkah pemeluk agama tertentu mengklaim diri sebagai pemegang agama yang paling sesuai untuk mengatasi persoalan bangsa yang rumit ini ?. Sekali lagi, dalam fase mana dia bisa membuktikan bahwa agama tersebut pernah menjadi sinar bagi penegakan keadilan dan kebenaran di negeri ini ?. Selama 32 tahun bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari berbagai tindakan KKN (korupsi. kolusi, dan nepotisme). Paling memalukan lagi, Indonesia notabene sebagai negara religius dengan beragam agama dan kepercayaannya, tetapi mengapa Indonesia pernah menjadi negara terkorup di Asia dan termasuk negara miskin di dunia ?. Mengapa pelanggaran HAM sering terjadi di negeri ini ?.Mengapa angka kejahatan terus meningkat ?. Mengapa angka aborsi sangat mengerikan (2 juta pertahun) ?. Kalau ternyata suatu agama tidak bisa membuktikan dalam fase mana pun ia pernah menjadi penyejuk semua hati rakyat, atau sebagai sinar pendorong keadilan dan kesejahteraan rakyat maka agama itu sangat tidak layak untuk mengklaim diri sebagai agama yang paling sesuai dalam penyelesaian berbagai persoalan bangsa.

Apalagi setelah menjadi institusi, Agama sering kali malah menjadi pengekang manusia, bukan sebagai pembebas manusia. Agama seharunsya membebaskan manusia dari dosa, kebodohan, keterkekangan, ketertinggalan, penghakiman, kebencian, kejahatan, dan sebagainya. Padahal, keyakinan adalah urusan pribadi seseorang dengan Allah, bukan urusan individu dengan institusi agama, bukan urusan individu dengan imam-imam, atau dengan tokoh-tokoh agama. Sering kali tokoh-tokoh dalam institusi agama justru bertindak seolah-olah berhak mengabil alih tugas dan wewenang Allah di bumi, misalnya sikap institusi keagamaan yang selalu menghakimi umatnya, merasa paling benar, dan menentukan hukum atas nama agama yang justru menekan (mengekang) umatnya, karena bukan otoritas Allah yang mereka tegakkan, tetapi otoritas institusi agama yang telah mengalami reduksi menjadi otoritas tokoh keagamaan untuk mengambil keuntungan dari umatnya (hegemoni sekaligus pembodohan umat). Ini adalah penjajahan atau penindasan sesama yang tidak disadari oleh umat manusia di dunia karena kepintaran orang-orang dalam institusi agama untuk menjadikan kedok agama sebagai alat legitimasi tindakannya.Agama yang ter-institusi penyebab banyaknya terjadi reduksi substansi terhadap ajaran agama itu sendiri. Ini adalah salah satu dampak buruk dari agama yang menjadi institusi. Tokoh agama dan umat akhirnya terjebak dalam sistem dan norma institusi itu. Dimana substansi ajaran dalam agama tergeser oleh aturan-aturan baku dan kaku dalam institusi. Yang lebih parah lagi ialah, ketika tokoh-tokoh agama tidak memberdayakan umatnya, sehingga umat ibarat katak dalam tempurung; bodoh dan ketertinggalan budaya. Bahkan, tokoh-tokoh agama tidak ingin umatnya maju atau berdaya sebab takut kehilangan ladang mata pencaharian (urusan perut). Ini adalah kejahatan yang luar biasa. Adanya institusi agama juga penyebab munculnya berbagai konflik berbau SARA, sebab, tokoh agama dalam institusi itu kerapkali menjadi provokator utama dalam pertikaian antar agama sepanjang sejarah. Keputusan untuk berperang atau memusuhi agama lain adalah keputusan institusi yang telah banyak dimanipulasi oleh tokoh-tokoh keagamaan yang sebenarnya hanya karena motif persaingan antar institusi. "Semua agama mengajarkan kebaikan" menjadi retorika semata ketika institusi dan tokoh-tokoh agama mengambil alih tugas Allah untuk menghukum manusia, atau ketika tokoh-tokoh agama menjadikan agama (bahkan Allah) seolah-olah tidak berdaya dalam menyelesaikan persoalan kehidupan manusia (DISTORSI ajaran agama). Akibatnya, umat sebenarnya terjajah dan terkungkung dalam hegemoni institusi dan ketokohan agama-agama saat ini. Tokoh dimaksud di sini ialah; para penegak institusi keagamaan itu sendiri. Institusi agama juga berakibat GENERALISASI kesalahan individu. Misalnya; seorang si A beragama X bertengkar dengan si B yang beragama Y, maka seluruh orang-orang yang Agama X  akan membenci agama Y. Inilah yang kerapkali banyak menimbulkan konflik antar agama, karena generalisasi kesalahan seseorang atau beberapa orang, atau mengangkat kasus dua orang menjadi kasus antar institusi. Ini sangat mengerikan. Institusi agama gampang dijadikan sebagai adu domba antar manusia, institusi agama gampang dijadikan sebagai alat legitimasi suatu tindakan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan substansi ajaran agama itu sendiri.Yang menjadi korban akibat generalisasi ini ialah, sesama yang tidak tahu-menahu persoalan yang sebenarnya yang terjadi, koq tiba-tiba ada pertikaian antar agama. Nah, orang yang paling bertanggungjawab dan yang paling jahat dalam hal ini ialah; pertama, para tokoh keagamaan yang mem-provokasi umatnya (melegitimasi pertikaian itu) dengan jargon/simbol/kedok keagamaan. Kedua, para elit atau tokoh yang menjadikan institusi agama menjadi alat politik dengan mengadu domba rakyat.

Persoalannya sekarang ialah, Agama yang terinstitusi saja sudah banyak sekali menimbulkan masalah, apalagi kalau agama tertentu dijadikan sebagai dasar dalam institusi negara, jelas akan tambah runyam-lah negara ini.

2. Negara Kita Negara Religius, Bukan Negara Agama
--------------------------------------------------------
Memisahkan urusan negara dengan urusan agama bukan berarti negara sekuler. Kalau ada yang menilai bahwa negara Pancasila sebagai negara sekuler maka ia sebenarnya tidak memahami kondisi/realitas bangsa ini yang sesungguhnya, seperti uraian di atas. Negara Pancasila berarti negara tidak mendasarkan diri pada salah satu agama, namun bukan berarti menjadi negara sekuler. Sebab, YANG BERAGAMA ITU IALAH INDIVIDU-INDIVIDU WARGA NEGARA, BUKAN NEGARA. Negara tidak perlu beragama, karena hal itu sama dengan negara agama yang tidak mungkin diterapkan di Indonesia, sebagai bangsa yang sangat majemuk. Gus Dur sebagai presiden, atau Megawati sebagai Wapres, atau Alwi Shihab sebagai Menlu, adalah orang-orang yang beragama yang duduk dalam pemerintahan. Demikian juga, Gubernur, Bupati, Camat, dst, adalah orang-orang yang beragama yang duduk dalam pemerintahan. Jadi, apakah masih pantas jika negara ini sebagai negara sekuler ?. Bukankah Gus Dur sebagai seorang tokoh agama yang menjadi presiden ?. Bukankah individu-individu pemerintah itu memakai agama sebagai standard hidup dalam menjalankan pemerintahan ?. Oleh karena itulah, negara Pancasila tidak benar sebagai negara sekuler, melainkan sebagai NEGARA RELIGIUS, karena individu-individu pemerintahan dan masyarakat adalah orang-orang yang beragama. Sekarang yang menjadi tantangan kita ialah, bagaimana memperkokoh agama sebagai standard hidup pribadi-pribadi warga masyarakat maupun pemerintah sehingga pemerintah dapat hidup jujur dan memperjuangkan kepentingan rakyat, serta bagaiamana agar rakyat dapat hidup dengan moralitas yang tinggi dalam turut serta membangun bangsa yang bermartabat dan sejahtera.

Jadi, masih pantaskah ada istilah "sekuleris Gus Dur" ?. Saya kira, berdasarkan uraian di atas tidak relevan lagi menyebut pemerintahan Gus Dur sebagai pemerintahan sekuler, karena Gus Dur adalah seorang pemeluk agama, bahkan seorang tokoh agama. Itu kalau kita masih mau menghargai beliau sebagai tokoh agama yang patut dihormati, bukan malah dihujat atau dihina.

Demikianlah tanggapan saya kepada Pak Ahmad Sudirman. Kiranya tanggapan ini bermanfaat bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang kita cintai ini.

Salam hormat,
A. Simanjuntak
----------------------