Stockholm, 10 Agustus 2001

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

SHARING CONTRACT TIDAK DIMASUKKAN KEDALAM ISI UU NO 25/1999
Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.

 

SEDIKIT PENJELASAN UNTUK ANGGOTA MILIS DISKUSI BDI-KPS

Sependek apapun yang saudara-saudara tulis yang merupakan komentar, jawaban, sanggahan, ulasan, kritikan terhadap tulisan-tulisan saya yang dikirimkan ke berbagai milis diskusi, media-media online, individu-individu tertentu dan juga ke dalam milis Bdi-kps ini, semuanya sampai kepada saya, tidak ada yang tertinggal satupun, dan telah disimpan didalam hard disk ditempat yang aman.

Hanya tentu saja, saya dalam memberikan jawabannya, ada beberapa tahapan, yaitu, bisa dijawab langsung, atau ditunda beberapa saat, atau ditunda dengan waktu yang cukup lama, atau tidak perlu dijawab, atau hanya disimpan sebagai bahan dokumentasi.

Adapun alasan-alasannya adalah berdasarkan kepada apa yang telah saya pikirkan, renungkan, analisa, pahami dan putuskan.

Jadi, bisa saja tulisan-tulisan yang berisi komentar, jawaban, sanggahan, ulasan, kritikan terhadap tulisan-tulisan saya itu tidak semuanya saya jawab.

UNDANG UNDANG TIDAK BERISIKAN PERINCIAN PRODUCTION SHARING CONTRACT

Nah sekarang, dibawah ini saya akan sedikit memberikan penjelasan terhadap apa yang disampaikan oleh saudara Zul Anwar terhadap tulisan saya "Aceh tetap jadi nightmare bagi rezim Mega-Hamzah". Dimana saudara Zul Anwar menulis: "Dalam ketentuan PSC (production sharing contract), pengelolaan minyak bumi di Indonesia umumnya berlaku pembagian 85%: 15%, untuk minyak dan 65% : 35% untuk gas (tergantung dari beberapa kondisi), tapi pembagian itu bukan untuk pusat atau daerah. Pembagian itu adalah untuk Operator pemegang lisensi (Kontraktor seperti Caltex, BP, Total, dll) 15% dan bagian untuk pemerintah sebesar 85%. Itu pun bukan dari pajak, tapi merupakan hasil perhitungan dimana hasil totalnya adalah kira-kira sebesar itu (dari revenue)--kalau mau lihat cara perhitungannya bisa reply khusus ke saya. Sedangkan untuk pemerintah daerah diatur sendiri oleh peraturan mengenai otonomi daerah yang mungkin masing-masing daerah mengajukan nilai yang
berbeda-beda. Hal tersebut juga berlaku untuk ladang gas bumi."(Zul Anwar <zulanwar@yahoo.com> ,Fri, 10 Aug 2001).

Memang apa yang disampaikan saudara Zul Anwar kalau melihat pada "production sharing contract"-nya, memang ada benarnya. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang tertuang dalam Undang Undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang disahkan dan di undangkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1999, oleh BJ Habibie, Presiden RI saat itu, tidak mencantumkan perincian production sharing contract yang harus dibuat antara pemerintah pusat atau daerah dengan kontraktor dari dalam atau luar negeri.

Karena dalam undang undang hanya berisikan pasal-pasal dan ayat-ayat yang akan dijadikan sebagai dasar hukum untuk pembuatan kontrak atau peraturan-peraturan bawahan lainnya.

Jadi, ketika saya menyatakan bahwa: "Tetapi tentu saja, Aceh mempunyai sumber daya alam seperti gas alam dan minyak bumi, hanya tentu saja menurut UU No 25/1999 dari hasil minyak bumi setelah dipotong pajaknya diberikan 85% kepada pusat dan 15% kepada daerah. Sedangkan untuk hasil gas alam setelah dipotong pajaknya diberikan 70% kepada pusat dan 30% kepada daerah...", adalah didasarkan kepada landasan hukum Undang Undang No 25 Tahun 1999 yang berbunyi:

"Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:

Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.

Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah." ( UU No 25/1999, Bab III, Pasal 6, Ayat 6)

Jadi, dalam pelaksanaannya yang bisa dalam bentuk peraturan, perjanjian, kontrak, semuanya harus dilandaskan kepada dasar hukum tersebut diatas.

Karena itu, secara umum untuk seluruh daerah yang ada di negara pancasila, dalam hal Dana Perimbangan yang menyangkut Dana Alokasi Umum tentang Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan didasarkan kepada  UU No 25/1999, Bab III, Pasal 6, Ayat 6 tersebut diatas.

Inilah sedikit penjelasan dari saya untuk saudara Zul Anwar.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
-----------------------

Date: Fri, 10 Aug 2001 01:05:21 -0700 (PDT)
From: Zul Anwar <zulanwar@yahoo.com>
To: bdi-kps@yahoogroups.com
Subject: Re: [bdi] ACEH TETAP JADI NIGHTMARE BAGI REZIM MEGA-HAMZAH

Assalamu'alaikum wr. wb.
Maaf dalam hal ini saya tidak akan mengomentari mengenai masalah sekularitas atau yang bersangkut paut dengan politik. Saya hanya ingin meluruskan beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh saudaraku Ahmad Sudirman, mengenai
perminyakan, yang kebetulan saya sedikit mengetahuinya. saudara Ahmad menulis:
...
Tetapi tentu saja, Aceh mempunyai sumber daya alam seperti gas alam dan minyak bumi, hanya tentu saja menurut UU No 25/1999 dari hasil minyak bumi setelah dipotong pajaknya diberikan 85% kepada pusat dan 15% kepada daerah. Sedangkan untuk hasil gas alam setelah dipotong pajaknya diberikan 70% kepadapusat dan 30% kepada daerah.
..
Dalam ketentuan PSC (production sharing contract), pengelolaan minyak bumi di Indonesia umumnya berlaku pembagian 85%: 15%, untuk minyak dan 65% : 35% untuk gas (tergantung dari beberapa kondisi), tapi pembagian itu bukan untuk pusat atau daerah. Pembagian itu adalah untuk Operator pemegang lisensi (Kontraktor
seperti Caltex, BP, Total, dll) 15% dan bagian untuk pemerintah sebesar 85%. Itu pun bukan dari pajak, tapi merupakan hasil perhitungan dimana hasil totalnya adalah kira-kira sebesar itu (dari revenue)--kalau mau lihat cara perhitungannya bisa reply khusus ke saya. Sedangkan untuk pemerintah daerah diatur sendiri oleh peraturan mengenai otonomi daerah yang mungkin masing-masing daerah mengajukan nilai yang
berbeda-beda. Hal tersebut juga berlaku untuk ladang gas bumi.

Juga mengenai kontribusi gas/minyak bumi di Aceh. Kalau berbicara real saat ini. Pendapatan migas Indonesia ditentukan oleh Quota yang besarnya sekitar 1.2 juta barel per hari. Dari jumlah tersebut 600 - 700 ribu barel berasal dari Caltex di Riau. Sisanya diperoleh dari perusahaan besar seperti VICO, TOTAL, UNOCAL, BP, EXPAN, PERTAMINA, dll. Sedangkah untuk Aceh sendiri mungkin saat ini reserve-nya sudah sangat minim. Sehingga ketika ada problem keamanan disana, pihak Exxon-Mobil agak ogah-ogahan untuk melanjutkan operasinya.

Jadi sekali lagi saya hanya ingin meluruskan beberapa angka yang saya anggap salah.

Wassalam
Zul
-------------------------