Stockholm, 14 Februari 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

INSTRUKSI NO. I/MBKD/1948 22 DESEMBER 1948 TIDAK BERISIKAN PENGANGKATAN GUBERNUR MILITER DI ACEH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

JELAS DAN TERANG INSTRUKSI NO. I/MBKD/1948 22 DESEMBER 1948 TIDAK BERISIKAN PENGANGKATAN GUBERNUR MILITER DI ACEH

"Assalamu'alaikum wr wb. Saudara Ahmad, saya selalu mengatakan bahwa Aceh adalah bagian NKRI, karena memang sejak awal kemerdekaan lagi telah terjadi pengibaran bendera merah putih di Aceh, kemudian keluarnya Maklumat Ulama Se Aceh, sampai keluarnya intruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 yang mengangkat Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan tanah Karo. Jika Aceh bukan wilayah NKRI tidak perlulah Daud Beureueh menerima intruksi yang di keluarkan oleh Nasution tersebut. Tapi mengapa Daud Beureueh menerima dan menjalankan intruksi tersebut, karena beliau sendiri sudah menyatakan setia kepada RI dan berada di belakang Soekarno seperti apa yang dinyatakan pada Maklumat Ulama Se Aceh. Dan saya ingin tau apa sebenarnya yang dimaksud dengan dasar hukum, sehingga anda selalu menyatakan tidak dasar hukumnya Aceh bergabung dengan NKRI. Dan disini saya mau sedikit beri komentar atau kritik, karena kritik yang positif itu tentunya diperlukan oleh seorang pemimpin, dan semua manusia adalah pemimpin...setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri.Kritik ini saya tujukan kepada Om puteh, Shahen Fasya, Tangce, Muhammad dahlan, Imah Nor, saya sendiri serta pembaca lainnya. Cobalah kalo menulis atau berbicara dengan bahasa yang sopan, dan berbudi bahasa yang baik, tidak perlu marah-marah dan memaki seperti "Dasar penjajah, dasar pembunuh, pemerkosa dan kata-kata makian lainnya. Dan sebelumnya saya mohon ma'af jika tulisan, komentar dan kritik saya ini menyinggung perasaan pembaca lainnya"
(Sagir Alva , melpone2002@yahoo.com , Fri, 13 Feb 2004 19:05:29 -0800 (PST))

Terimakasih saudara Sagir Alva di Universitas Kebangsaan Malaysia, Selangor, Malaysia.

Baiklah saudara Sagir Alva.

Saudara Sagir Alva menulis: "intruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 yang mengangkat Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan tanah Karo. Jika Aceh bukan wilayah NKRI tidak perlulah Daud Beureueh menerima intruksi yang di keluarkan oleh Nasution tersebut. Tapi mengapa Daud Beurueh menerima dan menjalankan intruksi tersebut, karena beliau sendiri sudah menyatakan setia kepada RI dan berada di belakang Soekarno seperti apa yang dinyatakan pada Maklumat Ulama Se Aceh."

"Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer" dkeluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution ketika di Jawa, Panglima Tentara dan Territorium Jawa, pada tanggal 22 Desember 1948 mengumumkan berdirinya pemerintahan militer untuk Jawa.
Dalam pada itu di bidang militer, dengan bermodalkan pengalaman yang diperoleh selama menghadapi agresi militer pertama dan perjuangan bersenjata sebelumnya, telah disiapkan konsep baru di bidang pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam Pemerintah Siasat No.1 Tahun 1948 yang pokok isinya adalah:

1. Tidak melakukan pertahanan yang linier.
2. Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta bumi-hangus total.
3. Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa pegunungan.
4. Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh (wingate) dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.192-193)

Nah itulah, saudara Sagir Alva yang dinamakan Pemerintah Siasat No.1 Tahun 1948, bersama isi dari Instruksi Kolonel A.H. Nasution.

Selanjutnya, kalau saudara Sagir Alva menghubungkan "instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer dengan pengangkatan Gubernur Militer Teungku Daud Beureueh untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo", maka jelas itu adalah suatu usaha menyisipkan sejarah yang dipaksakan untuk mengklaim Negeri Aceh masuk kedalam wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya. Atau bisa juga dikatakan suatu pemalsuan dan penipuan sejarah untuk mengklaim Negeri Aceh masuk kedalam wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya.

Mengapa suatu penyisipan, pemalsuan, penipuan sejarah untuk mengklaim negeri Aceh masuk kedalam wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya?

Karena kalau yang namanya "instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948" itu diterapkan untuk seluruh Indonesia, jelas itu adalah benar-benar melanggar apa yang sudah ditandatangani dalam perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 yang sebagian isinya mengakui secara de facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja dan ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.155,163)

Jadi, terbuktilah dengan jelas bahwa apa yang ditulis oleh saudara Sagir Alva mengenai keluarnya "instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer. Diantara Pemerintahan Militer adalah diangkatnya Gubernur Militer Teungku. Daud Beureueh untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo" adalah sebenarnya suatu sisipan sejarah yang dipaksakan untuk mengklaim Negeri Aceh masuk kedalam wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya. Tentu saja bisa dikatakan suatu pemalsuan dan penipuan sejarah untuk mengklaim negeri Aceh masuk kedalam wilayah kekuasaan Negara RI-Jawa-Yogya.

Memang 3 hari sebelum "Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer" dikeluarkan, pada tanggal 19 Desember 1948 Negara RI-Jawa-Yogya kembali di gempur oleh pasukan Dr.Beel wakil Gubernur Hindia Belanda yang baru pengganti Van Mook yang berhasil masuk ke wilayah Yogyakarta. Dimana pasukan TNI dari pihak Negara RI-Jawa-Yogya bersama Kolonel A.H. Nasution tidak mampu bertahan dari serangan pasukan Beel, sehingga Yogyakarta jatuh dan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Bangka.

Nah dari sejak Soekarno dan Mohammad Hatta ditawan dan Yogyakarta tidak bisa diselamatkan TNI dari serangan pasukan Beel, maka Negara RI-Jawa-Yogya secara de facto dan de-jure sudah tidak ada lagi.

Hanya yang timbul dan berdiri adalah Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dibentuk oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara berdasarkan dasar hukum mandat yang dibuat dalam Sidang Kabinet RI yang masih sempat diajalankan sebelum Negara RI lenyap, dan sempat dikirimkan melalui radiogram kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang waktu itu berada di Sumatera.

Jadi itulah saudara Sagir Alva penjelasan menganai "Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer" dikeluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution pada tanggal 19 Desember 1948, ternyata kalau ditujukan pada pengangkatan Gubernur Militer Teungku Daud Beureueh untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo", maka tujuan itu telah melanggar apa yang sudah ditandatangani dalam perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 yang sebagian isinya mengakui secara de facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja dan ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.155,163)

Jadi, menganai "Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer" itu secara hukum kalau dipakai untuk pengangkatan Gubernur Militer Teungku Daud Beureueh untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah tidak sah dan suatu pelanggaran terhadap Perjanjian Renville 17 Januari 1948.

Kemudian saudara Sagir Alva berargumen dan menjawan sendiri dengan menulis: "Tapi mengapa Daud Beureueh menerima dan menjalankan intruksi tersebut, karena beliau sendiri sudah menyatakan setia kepada RI dan berada di belakang Soekarno seperti apa yang dinyatakan pada Maklumat Ulama Se Aceh."

Nah disini adanya satu dasar yang lemah yang dijadikan alasan oleh Saudara Sagir Alva. Mengapa?
Karena, secara tingkatan dan usia dasar hukum, apabila Maklumat Ulama Seluruh Aceh dalam mendukung Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 15 Oktober 1945 di Kutaradja, yang disetujui oleh Teugku Hadji Hasan Kroeng Kale, Teungku M.Daoed Beureuh,Teungku Hadji Dja'far Sidik, Teungku Hadji Ahmad Hasballah Lamdjabat Indrapoeri, Residen Aceh T.Nja'Arif, Toeankoe Mahmud dibandingkan dengan dasar hukum Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, maka Maklumat Ulama Seluruh Aceh adalah sangat lemah dan tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum untuk menetapkan pengangkatan Gubernur Militer Teungku Daud Beureueh untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

Jadi, sebenarnya kalau terus ditelusuri mengenai pengangkatan Teungku Muhammad Daud Beureueh menjadi Gubernur di Aceh setelah ditandatanganinya Perjanjian Renvile 17 januari 1948 adalah tidak dibenarkan dan tidak sah.

Nah, kalau pengangkatan Gubernur Teungku Muhammad Daud Beureueh itu dijalankan setelah Perjanjian Linggajati pada tanggal 25 Maret 1947 ditandatangani di Istana Rijswijk, sekarang Istana Merdeka, Jakarta, oleh pihak RI ditandatangani oleh Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem, Mr.Soesanto Tirtoprodjo, dan A.K.Gani, sedangkan dari pihak Belanda ditandatangani oleh Prof.Schermerhorn, Dr.van Mook, dan van Poll, yang berisikan secara de pacto RI dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. RI dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS, yang salah satu negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.119,138), maka bisa diterima secara hukum, karena ada dasar hukumnya, yaitu hasil Perjanjian Linggajati pada 25 Maret 1947 ini.

Hanya dalam proses selanjutnya, ketika pada tanggal pada 17 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo yang sebagian isi perjanjian tersebut menyangkut gencatan senjata disepanjang garis Van Mook dan pembentukan daerah-daerah kosong militer. Sehingga terlihat secara de-jure dan de-facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.155,163), maka secara hukum atau de-jure dan secara de-facto atau fakta bahwa Negeri Aceh adalah tidak termasuk wilayah kekuasaan secara de-jure dan de-facto Negara RI.

Dan ini memang diketahui benar dan pasti oleh Soekarno bahwa memang benar wilayah Negeri Aceh tidak termasuk wilayah kekuasaan secara de-jure dan de-facto Negara RI. Mengapa ?

Karena terbukti, ketika satu hari sebelum RIS dilebur menjadi NKRI, Presiden RIS Soekarno pada tanggal 14 Agustus 1950 menetapkan dasar hukum Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi oleh Presiden RIS Soekarno yang membagi Negara RI-Jawa-Yogya menjadi 10 daerah propinsi yaitu, 1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur, 4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera - Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan, 8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda - Kecil apabila RIS telah dilebur menjadi Negara RI-Jawa-Yogya. Dan menetapkan dasar hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang termasuk didalamnya wilayah daerah Aceh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Aceh Besar, 2. Pidie, 3. Aceh-Utara, 4. Aceh-Timur, 5. Aceh-Tengah, 6. Aceh-Barat, 7. Aceh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara, tanpa persetujuan, kerelaan dan keikhlasan seluruh rakyat Aceh dan pemimpin rakyat Aceh.

Selanjutnya, saudara Sagir Alva bertanya: "apa sebenarnya yang dimaksud dengan dasar hukum, sehingga anda selalu menyatakan tidak dasar hukumnya Aceh bergabung dengan NKRI ? "

Seperti yang telah diketahui umum, bahwa untuk menentukan dan memutuskan sesuatu hukuman atau keputusan harus berlandaskan kepada dasar hukum yang telah disahkan dan diakui bersama dan diumumkan kepada rakyat atau kepada yang bersangkutan yang terlibat dalam pembuatan hukum tersebut.

Misalnya Undang Undang Dasar atau Konstitusi satu Negara, Undang Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Resolusi PBB, Resolusi Dewan Keamanan PBB, Pernyataan Umum Hak Hak Asasi Manusia, Perjanjian Konvensi Geneva 1951, dll.

Nah, itulah yang merupakan dasar hukum yang menjadi acuan segala keputusan, ketetapan, yang akan dijalankan dan diterapkan di masyarakat, pemerintahan dan negara.

Selanjutnya, saudara Sagir Alva menyampaikan kritik: "disini saya mau sedikit beri komentar atau kritik, karena kritik yang positif itu tentunya diperlukan oleh seorang pemimpin, dan semua manusia adalah pemimpin...setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri.Kritik ini saya tujukan kepada Om puteh, Shahen Fasya, Tangce, Muhammad dahlan, Imah Nor, saya sendiri serta pembaca lainnya. Cobalah kalo menulis atau berbicara dengan bahasa yang sopan, dan berbudi bahasa yang baik, tidak perlu marah-marah dan memaki seperti "Dasar penjajah, dasar pembunuh, pemerkosa dan kata-kata makian lainnya."

Tentu saja, saya terima kritik dari saudara Sagir Alva ini, dan akan diteruskan kepada yang bersangkutan. Semoga saja untuk saat mendatang akan terjadi perobahan dalam cara penyampaian pikiran, pendapat, dalam mimbar diskusi tentang Negeri Aceh dan referendum yang bebas ini.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Fri, 13 Feb 2004 19:05:29 -0800 (PST)
From: sagir alva <melpone2002@yahoo.com>
Subject: Dasar hukum
To: ahmad@dataphone.se
Cc: melpone2002@yahoo.com

Ass.Wr.Wb.

Selamat pagi saudara Ahmad:) Bagaimana kabar anda pagi hari ini? semoga anda sehat-sehat selalu serta semoga anda dilindungin oleh Allah SWT.

Saudara Ahmad, saya selalu mengatakan bahwa Aceh adalah bagian NKRI, karena memang sejak awal kemerdekaan lagi telah terjadi pengibaran bendera merah putih di Aceh, kemudian keluarnya Maklumat Ulama Se Aceh, sampai keluarnya intruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 yang mengangkat Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan tanah Karo.

Jika Aceh bukan wilayah NKRI tidak perlulah Daud Beureueh menerima intruksi yang di keluarkan oleh Nasution tersebut. Tapi mengapa Daud Beureueh menerima dan menjalankan intruksi tersebut, karena beliau sendiri sudah menyatakan setia kepada RI dan berada di belakang Soekarno seperti apa yang dinyatakan pada Maklumat Ulama Se Aceh.

Dan saya ingin tau apa sebenarnya yang dimaksud dengan dasar hukum, sehingga anda selalu menyatakan tidak dasar hukumnya Aceh bergabung dengan NKRI.

Dan disini saya mau sedikit beri komentar atau kritik, karena kritik yang positif itu tentunya diperlukan oleh seorang pemimpin, dan semua manusia adalah pemimpin...setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri.

Kritik ini saya tujukan kepada Om puteh, Shahen Fasya, Tangce, Muhammad dahlan, Imah Nor, saya sendiri serta pembaca lainnya. Cobalah kalo menulis atau berbicara dengan bahasa yang sopan, dan berbudi bahasa yang baik, tidak perlu marah-marah dan memaki seperti "Dasar penjajah, dasar pembunuh, pemerkosa dan kata-kata makian lainnya.

Dan sebelumnya saya mohon ma'af jika tulisan, komentar dan kritik saya ini menyinggung perasaan pembaca lainnya. Terima kasih.
 

Wassalam

Sagir Alva

melpone2002@yahoo.com
Universitas Kebangsaan Malaysia
Selangor, malaysia
----------