Stavanger, 27 April 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

TEUNGKU LAMKARUNA DAN LARANTUKANYA
Omar Putéh
Stavanger - NORWEGIA.

 

MELIHAT DARI DEKAT TEUNGKU LAMKARUNA DAN LARANTUKANYA

Sekitar tahun 1986, Fauzi Hasbi, ayah dari pada "tengku lamkaruna" (si pemilik e_mail: abupase@yahoo.com) mengunjungi Kuala Lumpur, Malaysia.

Teungku Aris telah memberitahukan saya, yang Fauzi Hasbi itu, sedang menginap di Hotel Merdeka. Hotel Merdeka adalah sebuah hotel kecil, kelas rumah tumpangan, yang biasanya dinginapi oleh mereka-mereka yang berbudget kecil, memang sesuailah dengan peruntukan keuangan yang diberikan oleh pihak intelijen Jawa si Penjajah atau Penjajah Indonesia Jawa cq Mayjen Syafrie Syamsuddin.

Walaupun Fauzi Hasbi telah memilih Hotel Merdeka, sebuah hotel kecil itu, yang dulunya pernah punya sejarahnya tersendiri, terutama bagi orang-orang Melayu yang datang dari luar Kuala Lumpur, untuk menghadiri musyawarat tahunan partai UMNO, sebuah partai terbesar bangsa Melayu, namun begitu, kiranya dia tetap sebagai "simerantai" yang masih tidak merdeka dan terus dirantai dengan rantai panjangnya Jawa si Penjajah atau Pejajah Indonesia Jawa cq Mayjen Syafrie Syamsuddin.

Teungku Aris dan rakan yang lain telah mengatakan kepada saya, bahwa beliau menjadi semacam enggan untuk menjumpainya. Makanya saya pun terpaksalah mengambil keputusan, untuk terus pergi bersendirian saja.

Keengganan beliau dan rakan lain itu, berakar dari "tingkahnya" Fauzi Hasbi itu sendiri, karena dia telah menyerahkan dirinya kepada Lettu Syafrie Syamsuddin (kini Mayjen Syafie Syamsuddin) pada tahun 1977, kemudian menjadi kaki busuknya Mayjen Syafrie Syamsuddin itu dan kemudian juga menjadi cu'aknya ABRI-TNI/POLRI, Tentara Teroris Nasional Jawa si Penjajah atau Penjajah Indonesia Jawa. Perkara pengkhinatannya ini telah menjadi sebagai rahsia umum!

Itulah sebabnya bagi orang AM (Acheh Merdeka) atau GAM (Gerakan Acheh Merdeka), khususnya di Kuala Lumpur atau di Malaysia pada umumnya, atau siapapun yang telah mengetahui perkara itu, maka akan menjadi susahlah berhadapan dengan orang semacam ini, dan kemudian pastilah, akan berusaha sedaya upaya mungkin, untuk mengelakkan diri, kecuali jika sudah terperogok.

Sebaik menemui Hasbi Fauzi itu, saya memperkenalkan diri dan sekaligus menambahkan keterangan: "............bahwa saya dan seorang teman: Idris Mahmud, saudara lelaki As-syahid Teungku Dr Zubir Mahmud MD (Menteri Sosial), bertujuan akan pergi naik, menjumpai Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro, tetapi kemudiannya diberitahukan rombongan Kabinet, telah pula diarahkan segera turun, kembali kewilayah masing-masing untuk menjalakan tugas lapangan. Tetapi, sekonyong-konyong dia memotong: "Sayalah yang usulkan kehadapan Wali Negara, agar kalian tidak perlu lagi naik keatas sana!"

Begitupun, saya masih memilih, memberikan respon diam saja, karena sayapun telah dijelaskan malam itu, ketika menemui As-syahid Tengku Dr Mochtar Hasbi MD (PM dan Menteri Dalam Negeri), Menteri Sosial As-syahid Tengku Dr Zubir Mahmud MD dan Tengku Mr Amir Ishak (Menteri Perhubungan) dll. lagi anggota Kabinet, bagaimana sebenarnya duduk persolannya, tetapi tidak seperti sayungan yang dilakukan Fauzi Hasbi itu.

Kemudian dengan agressip pula, dia menghantam saya lagi, dengan sebuah pertanyaan: Adakah pada akhir-akhir ini "droë neuh" (anda) mendapatkan surat terbaru kiriman dari dr Hussaini Hassan?

Dengan pantas dan jujur sayapun menjawab dengan tenang: Tidak, belum pernah! Lantas, diapun bagai terlompat bangun-berdiri dan langsung bergerak menuju ketepi jendela hotel. Lucunya, dia tidak mau lagi berpaling lagi atau memalingkan mukanya sekalipun kearah belakang atau kiri-kanan, kecuali memandang tengadah kedepan.

Sementara sayapun terpikir, mengapa pula si Fauzi Hasbi, sebagai kaki busuknya Mayjen Syafrie Syamsuddin dan cu'aknya ABRI-TNI/POLRI, Tentara Teroris Nasional Indonesia Jawa si Penjajah atau Penjajah Indonesia Jawa dengan dr Hussaini Hasan, (yang kemudian pernah memperkenalkan Syarikat Negara untuk bergabung dengan Jawa si Penjajah atau Penjajah Indonesia Jawa model Uni Eropah, yang mentertawakan itu, yang dipikirnya sudah hebat betul), sebagai patnernya Tan Sri Sanusi Juned, suaminya cucu Teungku Daud Beureuéh, yang pernah bercakap 4 (empat) jam denga LB Murdani dan setengah jam dengan Suharto Kleptokracy).

Alangkah terperanjatnya saya sebagai seorang tamu dengan sikapnya itu, apalagi baru pertama sekali bertemu muka atau mungkinkah samakah terperanjatnya dia dengan jawaban saya itu!? Saya tidak pernah ingin mengetahui lagi terhadapnya, selepas kejadian itu, dan juga tidak pernah ingin tahu apakah sebenarnya tujuan datangnya ke Kuala Lumpur pula? Tetapi setahun kemudian dia, Fauzi Hasbi itu, datang lagi dan seorang teman memberikan kepada saya, sekeping kertas selebarannya dengan menamakan dirinya sebagai seorang Professor dari Universitas Sriwijaya, Sumatra Selatan dan selebarannya itu, berupa kepingan kertas selembaran saja.

Lepas itu, tidak pernah saya mendengar lagi, apakah dia pernah datang lagi atau tidak. Karena kedua orang tuanya telah menetap dan mempunyai status Permanet Residence di Malaysia, sebagai penduduk tetap.

Tetapi yang selalu datang dari Jakarta ke Kuala Lumpur adalah anak kandung Teungku Daud Beureuéh, Kolonel (Pens) Hasballah Daud, yang kemanakan perempuannya adalah istri Tan Sri Sanusi Juned ex Mentri Kabinet Malaysia. Kedua mereka inipun masa itu, sebagai agen LB Murdani dan anteknya Suharto.

Hasan Salleh, orang yang pernah mengkhianati perjuangan Teungku Daud Beureuéh, pernah datang juga, tetapi kedatangannya hanya untuk pergi berobat. Walaupun juga diketahui bahwa dia ada membuat kontak dengan bekicot-bekicotnya, anak-anak Indonesia etnis Acheh yang satu macam itu.

Mengenai orang tua Fauzi Hasbi atau neneknya "teungku lamkaruna": (Almarhum) Teungku Hasbipun sudah juga mengikuti jejak anaknya Fauzi Hasbi, apalagi setelah Tan Sri Sanusi Juned, pernah memintanya sebagai pendamping diatas pentas, ketika membuka kampanye memburuk-buruk Teungku Hasan di Tiro dan perjuangannya.

Dan (Alm.) Teungku Hasbi inipun, terakhir terikut-ikut pula dengan "mazhab" kumpulan Abdullah Sungkar (Islam Jam'ah?), seorang yang dikabarkan sebagai seorang pemimpin dari pesantren Solo-Jawa Tengah yang bermarkas di Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Tetapi pengikut-pengikut Abdullah Sungkar (Islam Jama'ah?) asal Medan dan Padang (Sumatra) mengatakan lain, bahwa orang-orangnya sebagai pengikut Zubil Usman dari Komando Jihad, sebuah organisasi Islam bawah tanah ciptaan Jenderal Ali Murtopo.

Teungku Hasbi dan keluarga, tinggal dirumah ex-sewaan, tempat tinggalnya saudara Sudirman seorang yang berasal dari Padang, yang beristrikan seorang wanita berasal dari Sunda, tetapi masih berulak alik juga ke Kuala Pilah. Ex-rumah saudara Sudirman itu, terletak bersebelahan dengan surau orang Acheh di Kampung Kayu Ara-Acheh, Kuala Lumpur, tetapi Sudirman terpaksa berpindah ketempat lain, karena mereka, orang-orangnya Abdullah Sungkar (Islam Jama'ah?) merasa terganggu, ketika membuat pertemuan-pertemuan tertentu pada setiap malam Jum'at disana, yang mana, pada malam yang sama, anak-anak Acheh berkumpul membaca Dalaé, sejenis seni melatih membaca kira'ah di suaraunya sendiri.

Orang-orang kumpulan Abdullah Sungkar (Islam Jam'ah?) ini tidak suka dengan bangsa Acheh yang sedang memperjuangkan kemerdekaan, kecuali mau ikut memperjuangkan Islam semata. Diujung cerita, akhirnya kumpulan Abdullah Sungkar (Islam Jama'ah) ini, berpecah juga (tidak suka sesama mereka) ketika ada diantara mereka, merasa tidak mendapat pembahagian "adil" akan suatu "bantuan" luar.

Apakah kumpulan Abdullah Sungkar (Islam Jama'ah) ini, juga beraliansi dengan Mayor Jenderal Syafrie Syamsuddin, sebagaimana Jenderal Ali Murtopo beraliansi dengan Komando Jihadnya? Ataukah Mayjen Syafrie Syamsuddin juga mesra dengan Abdullah Sungkar (Islam Jama'ah) sebagaimana mesranya Jen Ali Murtopo dengan Tengku Ismail Taib Paya Bujok (Pak IT?), entahlah.

Mayjen Syafrie Syamsuddin menjadikan Fauzi Hasbi sebagai kaki busuknya dan tetapi bagaimanakah Abdullah Sungkar (Islam Jam'ah?) memperlakukan Teungku Hasbi? Teungku Hasbi kemudian dikabarkan telah meninggal dunia di sisi istri-dan anak perempuannya di Bandung.

Tetapi malangnya ayah dari "teungku lamkaruna" si Fauzi Hasbi, mati kekal sebagai kaki busuknya Mayjen Syafrie Syamsuddin, atau sebagai cu'ak ABRI-TNI/POLRI, Tentara Teroris Nasional Jawa si Penjajah atau Penjajah Indonesia Jawa, atau mati sebagaimana seorang pengkhianat, yang dibunuh secara tekhnikal oleh agen-agen Jawa si Penjajah atau Penjajah Indonesia Jawa di Ambon, atau mati sebagaimana lazimnya seorang penkhianat!!!

Mengenai subject: Studi Komperatif Perjuangan Teungku Daud Beureuéh dan Teungku Hasan di Tiro, tulisan "teungku lamkaruna" (nama asli anaknya Fauzi Hasbi dapat dicari di surat kabar-harian Medan, ketika dia sedang diinterview oleh para wartawan sebaik ayahnya Fauzi Hasbi dibunuh oleh agen dari Mayjen Syafrie Syamsuddin di Ambon, yang dicalling (dipanggil ) ke Ambon yang diisyaratkan sebagai sedang menguruskan bisnis cengkehnya, sebagai klimak balas "jasa" abadi, sebagai pengunci tugas terakhirnya dari seorang pengkhianat bangsa Acheh) akan kita jelaskan sebagaimana yang dikehendakinya oleh forum diskusi ini, sebagai pendamping jawaban dari saudara Ahmad Sudirman yang lalu:

Mengenai perjuangan Teungku Daud Beureuéh dengan Teungku Hasan di Tiro dapatlah saya katakan bahwa, pada prinsip dan struktur perjuanggannya adalah jelas berbeda. Saya akan terangkan insya Allah!

Tahun 1977 saya telah menemui Teungku Daud Beureuéh di mesjid beliau, Mesjid Jamik Beureunun. Dan untuk diketahui, beliau pulalah yang mengaturkan tempat tinggal saya, dan teman saya dan kemudian ikut mengarahkan ex marconisnya memberi perlindungan sebelum rencana berangkat-pergi menjumpai Wali Negara, Teungku Hasan di Tiro di markas sana! Dan lain-lain yang terkait!

Sedikit cerita: Sebaik kami dipersilahkan duduk disamping Teungku Daud Beureuéh, setelah beliau menutup pengajian mengajar tafsir tinggi Ilmu Alqur'an yang khusus kepada seorang muridnya, lantas beliau mengambil dua keping kartu selamat hari raya, dari bawah lapik tempat duduk beliau sambil berkata: Lihat Dr Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir telah mengirimkan kedua kartu ini, kepada saya yang mana sebelumnya, sebelum Proklamasi Kemerdekaan Acheh 4 Desember, 1976, tidak pernahpun mereka berdua berbuat demikian!

(Akan saya sambung segera pada "Plus I + Tengku Lamkaruna dan Larantukanya" Dan akan saya bantu uraikan selengkapnya)

Wassalam

Omar Putéh

om_puteh@hotmail.com
Norway
----------