Stockholm, 12 Mei 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

TGK LAMKARUNA MENCOBA MEMBELOKKAN JALUR PERJUANGAN TGK HASAN DI TIRO
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

KELIHATAN TGK LAMKARUNA PUTRA MENCOBA MEMBELOKKAN JALUR PERJUANGAN TGK HASAN DI TIRO

"Pada awal kemerdekaan, Hasan Tiro pernah aktif dalam organisasi kepemudaan pada Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, Pidie. Di Lamlo pula, Hasan mengibarkan bendera merah putih dan mentabik (memberi penghormatan) dengan rasa khusyu dan khidmatnya. Sungguh menjadi sebuah ironi, apabila kejadian ini terjadi pada patriot bangsa Aceh yang "radikal". Karena kecewa dengan latar belakang "Islam" yang tengah diperjuangkannya, ia kemudian mengubah haluan politiknya. Ia lebih mengambil ideologi kiri seperti fasisme (sosialisme nasional) dan konsep partai "Baath" di timur Tengah dan Libya sebagai orientasi politiknya yang baru. Anehnya, bagi para pengikut fanatiknya, sekarang ini Hasan Tiro menjelma bagaikan seorang pangeran terhormat. Dengan "kehebatannya" itu, banyak rakyat yang tidak mengenalnya pun ikut terpengaruh akibat retorika politiknya. Enam bulan sebelum Gerakan Aceh Merdeka pecah, ia pernah datang ke Aceh. Sejak itu, informasi mengenai Hasan Tiro sangat sulit dilacak." (Tgk. Lamkaruna Putra, abupase@yahoo.com , Tue, 11 May 2004 06:23:51 -0700 (PDT))

Baiklah Teungku Lamkaruna Putra di Medan, Indonesia.

Setelah saya membaca tulisan Teungku Lamkaruna Putra tentang "Mengenal Hasan Tiro (Studi Kritis Terhadap Hasan Tiro) yang dikirimkan kepada saya pada 11 Mei 2004, ternyata ada beberapa hal yang secara sengaja dipaksakan oleh Teungku Lamkaruna untuk merobah perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang membawa rakyat Aceh kearah penenentuan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI menjadi membelok kearah perjuangan kesukuan, tidak berdasarkan Islam, dan mengarah kepada sosialisme nasional.

Nah, disini saya akan luruskan kembali jalur perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang telah dibelokkan secara paksa oleh Teungku Lamkaruna Putra, agar kembali lurus sebagaimana yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI.

Pertama disini yang perlu diluruskan itu, yaitu Teungku Hasan Muhammad di Tiro bukan lahir pada tahun 1925, melainkan lahir pada tanggal 4 September 1930. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro: "(September 4, 1977). Today is my birthday, the 47th. I had never thought that I would be celebrating it here, in Alue Puasa Camp and in this circumstance" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 96). Jadi, karena pada tanggal 4 September 1977, Teungku Hasan Muhammad di Tiro berusia 47 tahun, berarti ia lahir pada tanggal 4 September 1930.

Selanjutnya, mengenai nama di Tiro yang dipakai dalam nama Teungku Hasan, itu diambil dari nama keluarga di Tiro (memang Tiro adalah nama kampung di Pidie). Tetapi yang dijadikan dasar pengambilan nama di Tiro oleh Teungku Hasan ini adalah karena nama di Tiro telah menjadi nama keluarga, yang memang asalnya oleh Tgk Tjheh Saman diambil dari nama kampung Tiro di Pidie, sehingga nama Tgk Tjheh Saman menjadi Teungkoe di Tiro. Sebagaimana menurut lampiran hasil karya H.J. Schmidt, Marechaussee in Atjeh, p.128. Dan memang pengambilan nama akhir di Tiro oleh Teungku Hasan ini dijelaskan dalam tulisannya: "(January 25, 1978). Today is a national holiday, the Tengku Tjhik di Tiro day, commemorating the death of Tengku Tjhik di Tiro the Great, Muhammad Samman, who died on January 25, 1891, amidst the long war with the Dutch, at the Fortreess of Aneuk Galong, in Great Acheh province...It is difficult for me to assess his place in Achehnese history because he was my great grandfather." (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal 139-140).

Jadi bukan seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna: "Menurut silsilah yang telah dipaparkan di atas maka namanya menjadi Hasan Muhammad Tanjong Bungong. Tambahan Tiro, Hasan mengambil dari desa asal orang tua ibunya yang berketurunan Chik Di Tiro Abdussalam."

Seterusnya, yang paling berpengaruh kepada diri Teungku Hasan Muhammad di Tiro adalah bukan karena "latar belakang kehidupannya adalah kedekatan hubungan keluarga ibunya yang bersentuhan langsung dengan keturunan Tiro" sebagaimana yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna, melainkan karena perjuangan dari keluarga Tengku Tjhik di Tiro dalam menghadapi penjajah Belanda. Seperti yang Teungku Hasan Muhammad di Tiro tuliskan: "Even more remarkable, Tengku Tjhik di Tiro the Great (Muhammad Saman), succeeded in laying the foundation for future resistance against all invaders" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal 140)

Karena itu, rakyat Aceh mengenal dan menghormati Teungku Hasan Muhammad di Tiro, bukan karena "ibunya keturunan Tiro", melainkan karena memang menurut fakta, bukti, dan sejarah, keluarga dari Tengku Tjhik di Tiro adalah keluarga pejuang yang dengan semangat tinggi memperjuangkan Negeri Aceh bebas dari penjajah Belanda.

Lalu menyinggung, aktifitas Teungku Hasan Muhammad di Tiro semasa masih mudah sekitar usia dibawah 15 tahun terlibat dalam "organisasi kepemudaan pada Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, Pidie. Masuk dalam Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA) yang berpusat di kota Juang Bireun, dan pernah menjadi Ketua Umumnya. Juga masuk dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di Lamlo pula, Hasan mengibarkan bendera merah putih dan mentabik (memberi penghormatan) dengan rasa khusyu dan khidmatnya", seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna.

Jelas, bisa dimengerti dan dipahami, mengapa pemuda belasan tahun Teungku Hasan Muhammad di Tiro terlibat dalam organisasi kepemudaan pada Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, mengibarkan bendera merah putih, dan mentabiknya. Aktif dalam Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA) yang berpusat di kota Juang Bireun, dan pernah menjadi Ketua Umumnya. Juga aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Karena memang, pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada saat itu, tidak memiliki ilmu pengetahuan sejarah perjuangan Negeri Aceh yang dalam, ditambah minimnya pengetahuan tentang perobahan ketatanegaraan Negeri Aceh, RI, dan Negara-Negara lainnya di luar RI. Dimana ilmunya hanya diperoleh dari Madrasah Sa'adah Al-Abadiyah di Blang Paseh yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ditambah sedikit dari Perguruan Normal Islam Bireun yang dipimpin oleh Teungku M. Nur El-Ibrahimi.

Mana diajarkan itu sejarah mengenai perubahan yang mendalam yang menyangkut Soekarno cs dengan RI-nya, perjanjian-perjanjian antara RI dan Belanda, pembentukan Negara-Negara diluar RI di sekolah Normal Islam Bireun pimpinan Tengku M. Nur El-Ibrahimi. Dan mana mungkin itu diajarkan di Madrasah Sa'adah Al-Abadiyah di Blang Paseh pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Jadi, sangatlah wajar apabila pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang masih berusia belasan tahun itu, pada awal kemerdekaan RI, begitu terpengaruh oleh semangat propaganda nasionalisme Soekarno dengan RI dan PNI-nya. Sehingga aktif dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, Pidie, dalam Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA), dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), dan mengibarkan bendera merah putih.

Nah, kalau pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang masih berusia belasan tahun itu, pada awal kemerdekaan, dianggap oleh Teungku Lamkaruna " Sungguh menjadi sebuah ironi, apabila kejadian ini terjadi pada patriot bangsa Aceh yang "radikal"."

Jelas, pengambilan kesimpulan yang demikian oleh Teungku Lamkaruna, tidak kuat dan hanya merupakan suatu pengalihan tujuan dari perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang membawa rakyat Aceh kearah penentuan nasib sendiri, berobah ke arah perjuangan hanya didalam sangkar Negara pancasila atau NKRI.

Selanjutnya, ketika pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang sudah menginjak usia 19 tahun pindah ke pusat daerah kekuasaan Negara RI di Yogyakarta untuk belajar di Universitas Islam Indonesia jurusan hukum, ternyata kelihatan sangat begitu besar pengaruh propaganda nasionalisme Soekarno dengan RI atau RI-Jawa-Yogyanya. Dimana strategi Soekarno dengan RI-Jawa-Yogya yang sedang menjalankan kebijaksanaan politik pencaplokan Negara-Negara Bagian RIS tidak pernah dibicarakan dan disinggung di Universitas Islam Indonesia. Padahal waktu itu, antara tanggal 14 Desember 1949 sampai 14 Agustus 1950, Soekarno digelangang RIS sedang bergumul dan bertarung untuk menelan semua Negara-Negara Bagian RIS agar masuk kedalam perut Negara RI atau RI-Jawa-Yogya.

Nah, karena taktik dan strategi Soekarno dengan RI-nya dalam hal penelanan dan pencaplokan Negara-Negara Bagian RIS tidak pernah sedikitpun disinggung dalam dunia universitas Islam Indonesia, maka wajar itu pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro tertutup matanya ketika melihat Negeri Aceh yang telah ditelan dan dicaplok oleh Soekarno dengan RIS-nya. Sehingga yang muncul keluar dari pikiran pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro dari kampus UII jurusan fakultas Hukum itu hanyalah ide-ide nasionalisme Soekarno saja, seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna: "Selama menjalani studinya di UII, ia menulis pula sebuah buku tentang hakekat kemerdekaan RI sebagai wujud semangat nasionalisme yang sudah tertanam dalam jiwanya".

Jadi disini, Teungku Lamkaruna dalam menyimpulkan aktifitas Teungku Hasan Muhammad di Tiro dari kampus UII, dalam bentuk tulisannya itu, dengan tujuan bahwa Teungku Hasan Muhammad di Tiro itu adalah seorang nasionalis yang gigih memperjuangkan negara kesatuan RI, dimana Negeri Aceh masuk kedalamnya. Dengan dasar sumpah pemuda, satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.

Nah, pengambilan kesimpulan dari hasil pemikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro ketika masih belajar di UII oleh Teungku Lamkaruna inilah yang dijadikan alasan bahwa Teungku Hasan Muhammad di Tiro memperjuangkan "kemerdekaan RI sebagai wujud semangat nasionalisme yang sudah tertanam dalam jiwanya".

Padahal yang sebenarnya, itu semangat nasionalisme yang ditampilkan Teungku Hasan Muhammad di Tiro ketika sedang belajar di UII adalah akibat dari pengaruh propagada ide-ide nasionalisme PNI-nya Soekarno dengan Negara RI atau RI-Jawa-Yogyanya yang telah menelan semua Negara bagian RIS dan Negeri yang berada dilaur wilayah kekuasaan de-facto dan de-jure RIS, seperti Negeri Aceh.

Dimana memang terbukti, itu semangat nasionalisme yang ditampilkan Teungku Hasan Muhammad di Tiro akibat pengaruh propaganda ide nasionalisme Soekarno dengan RI dan PNI-nya, ternyata dengan secepat kilat pudar. Buktinya, ketika Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada usia 20 tahun, tahun 1950, meninggalkan RI atau RI-Jawa-Yoga menuju Amerika untuk belajar di Universitas Columbia.

Dimana dalam jangka waktu kurang dari 4 tahun, Teungku Hasan Muhammad di Tiro telah berkembang pikirannya, dan makin terbuka, bukan lagi masalah nasionalisme Soekarno yang berkembang dalam pikirannya, melainkan perjuangan pembebasan rakyat Aceh dibawah NII Pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh, rakyat Jawa Barat dengan NII dibawah Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, rakyat di Sulawesi Selatan dibawah Abdul Kahar Muzakar dan Kaso A. Ghani, rakyat daerah Kalimantan Selatan dibawah Ibnu Hajar.

Walaupun Teungku Hasan Muhammad di Tiro sambil kuliah bekerja di Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga September 1954, tetapi tidak menghalangi perkembangn pikirannya yang lebih mengarah kepada perjuangan pembebasan rakyat dari cengkraman Soekarno dengan NKRI-nya.

Terbukti, Ketika Teungku Muhammad Daud Beureueh memaklumatkan Negara Islam Indonesia, pada 20 September 1953, dimana Kabinet NKRI dipegang oleh Kabinet Ali-Wongso dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (PNI) dan Wakil Perdana Menteri Wongsonegoro (Partai Indonesia Raya) yang dilantik pada bulan Agustus 1953 menggantikan Kabinet Wilopo dengan Perdana Menteri Wilopo yang dilantik pada tanggal 3 April 1952 dan jatuh pada tanggal 3 Juni 1953 yang menggantikan Kabinet Soekiman. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 65, 73). Ternyata Kabinet Ali-Wongso makin gencar menghancurkan gerakan NII Teungku Muhammad Daud Beureueh ini.

Sehingga wajar, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, yang pikirannya telah berkembang makin luas dan dalam mengenai perjuangan rakyat Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kalimatan Selatan, ketika mendengar Kabinet Ali-Wongso makin gencar menghancurkan gerakan perjuangan rakyat Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kalimatan Selatan itu, maka Teungku Hasan Muhammad di Tiro mengirimkan surat kecaman kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (PNI) atas tindakan penghancuran terhadap pihak rakyat rakyat Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kalimatan Selatan.

Kemudian, akibat Teungku Hasan Muhammad di Tiro menentang kebijaksanaan politik Kabinet Ali-Wongso itulah, paspor milik Teungku Hasan Muhammad di Tiro dicabutnya.

Nah, dari kejadian tersebut, sudah terlihat bahwa perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro makin terbuka dan bebas. Dimana dari sejak paspor RI-nya dicabut, maka secara otomastis, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, dapat perlindungan politik dari Pemerintah Federal Amerika. Sehingga bisa tinggal dan menetap di Amerika.

Selanjutnya, sebagai seorang yang mempunyai status perlindungan politik dari Amerika, Teungku Hasan Muhammad di Tiro makin bebas untuk menyuarakan pembebasan dan perjuangan rakyat di Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kalimatan Selatan.

Hanya, jelas, walaupun usaha untuk memperjuangkan Negara Islam Indonesia di forum PBB mendapat hambatan, tetapi, tidak menyebabkan Teungku Hasan Muhammad di Tiro putus asa.

Ketika Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federasi diproklamasikan pada tanggal 8 Februari 1960 dan diangkat Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, dibantu oleh M. Natsir, dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Dimana NII Aceh, PRRI dan Permesta menjadi anggota Negara Bagian RPI. Tetapi, RPI hanya mampu bertahan 2 tahun, karena pada tanggal 17 Agustus 1961, kekuasaan RPI secara de-facto dan de-jure telah lenyap. Hanya dua hari sebelum RPI lenyap, NII keluar dari RPI diganti dengan Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi usia RIA inipun
hanya bertahan sampai bulan Desember 1962 . Karena Teungku Muhammad Daud Beureueh di Aceh kena jerat dan tipuan Soekarno yang menyodorkan umpan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" yang dijalankan oleh Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin.

Begitu juga dengan perjuangan Imam NII SM Kartosoewirjo yang pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat, tertangkap. Ditambah dengan sebagian staf Imam NII SM Kartosoewirjo menyerah kepada pihak Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1962.

Adapun perjuangan Abdul Kahar Muzakar dan Kasso Abdul Ghani dari Sulawesi Selatan bertahan sampai bulan Februari 1965 ketika pejuang Islam Abdul Kahar Muzakar menemui sahidnya di medan pertempuran menghadapi agresor Soekarno dengan TNI-nya dari divisi Siliwangi Jawa Barat.

Sedangkan Ibnu Hajar pejuang Islam dari Kalimantan Selatan bertahan sampai akhir tahun 1959.

Jadi dengan melemah dan menghilangnya perjuangan Ibnu Hajar dari Kalimantan Selatan tahun 1959, tertangkapnya Imam NII SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962, menyerahnya Teungku Muhammad Daud Beureueh pada bulan Desember 1962, sahidnya pejuang Islam Abdul Kahar Muzakar pada bulan Februari 1965, menyebabkan geloran perjuangan pembebasan rakyat Aceh yang ada dalam dada dan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro makin hebat. Dimana mencapai puncaknya pada tanggal 4 September 1976, ketika Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggalkan New York menuju Negeri Aceh, dengan meninggalkan istri dan anknya Karim yang saat itu berusia 6 tahun. Pada tanggal 30 Oktober 1976 sekitar jam 8:30 sampai ke pantai Aceh Utara di Desa Pasi Lhok yang disambut oleh wakil Muhammad Daud Husin yang juga dikenal dengan nama Daud Paneuk. Kemudian perjalanan dilanjutkan pakai perahu menuju Kuala Tari yang letaknya sebelah timur Desa Pasi Lhok. Di Kuala Tari ini Teungku Hasan Muhammad di Tiro disambut oleh Muhammad Daud Husin.

Jadi, bukan seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna: "Karena kecewa dengan latar belakang "Islam" yang tengah diperjuangkannya, ia kemudian mengubah haluan politiknya. Ia lebih mengambil ideologi kiri seperti fasisme (sosialisme nasional) dan konsep partai "Baath" di timur Tengah dan Libya sebagai orientasi politiknya yang baru."

Justru, sebaliknya, dengan telah melemah dan lenyapnya para pejuang Islam Ibnu Hajar, Imam NII SM Kartosoewirjo, Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan Abdul Kahar Muzakar, ternyata Teungku Hasan Muhammad di Tiro tampil dengan gerakan pembebasan rakyat Aceh dengan melalui Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatra pada tanggal 4 Desember 1976. Bukan tanggal 20 Mei 1977, seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna.

Karena pada tanggal 4 Desember 1976 itu Negara Aceh Sumatra diproklamasikan dan pada waktu yang sama National Liberation Front of Acheh Sumatra terbentuk.

Kemudian haluan politik yang mendasari ideologi National Liberation Front of Acheh Sumatra adalah bukan "ideologi kiri seperti fasisme (sosialisme nasional) dan konsep partai "Baath" di timur Tengah dan Libya" seperti yang ditulis oleh Teungku Lamkaruna, tetapi yang menjadi haluan politik ideologi National Liberation Front of Acheh Sumatra adalah Islam. Sebagaimana yang ditulis oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro: "Even our National Liberation Front must be an Islamic Movement in the first place. Otherwise no Achehnese would want to risk his life for it" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 124 ).

Terakhir, sebenarnya bagi siapa saja bisa mengetahui dan membaca bagaimana sepak terjang Teungku Hasan Muhammad di Tiro selama dalam hutan dari tanggal 30 Oktober 1976 sampai tanggal 29 Maret 1979 melalui buku-bukunya, yaitu The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984. Dan buku The Drama of Achehnese Hitory 1873-1978, Ministry of Education State of Acheh Sumatra, 1984.

Siapa saja tokoh-tokoh utama pendiri National Liberation Front of Acheh Sumatra itu semuanya tertulis dalam buku The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984.

Hanya ada satu hal yang saya tidak temukan dalam buku the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984 ini yaitu nama Fauzi Hasbi, Mantan Kepala Staf Angkatan Perang Aceh Merdeka yang dijadikan sumber kutipan oleh Teungku Lamkaruna dalam tulisannya.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk,
amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

Date: Tue, 11 May 2004 06:23:51 -0700 (PDT)
From: abu pase abupase@yahoo.com
Subject: MENGENAL HASAN TIRO (Studi Kritis Terhadap Hasan Tiro)
To: pintoe aceh <pintoe_aceh@yahoo.com>, pkb <pkb.indo@mailcity.com>, redaksi aceh kita <redaksi@acehkita.com>, redaksi detik <redaksi@detik.com>, redaksi kompas <redaksi@kompas.com>, redaksi waspada <redaksi@waspada.co.id>, Reyza Zain <warzain@yahoo.com>, Ridwan masterrid@yahoo.com

MENGENAL HASAN TIRO (Studi Kritis Terhadap Hasan Tiro)

A. Riwayat Hidup Hasan Tiro

Nama lengkapnya Teungku Hasan Muhammad Di Tiro lahir pada tahun 1925 di sebuah kampung bernama Tanjong Bungong Kecamatan Kuta Bakti Kabupaten Pidie. Lelaki bertubuh kurus pendek ini dilahirkan dari pasangan Leube Muhammad, seorang petani di Desa Tanjong Bungong dengan Tgk. Fatimah binti Tgk. Mahyuddin bin Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman (1826-1891). Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman sendiri seorang ulama dan sekaligus pemimpin perlawanan terkenal yang ambil bagian dalam perang Aceh pada periode 1885-1891. Setelah beliau gugur, putranya Tgk. Mat Amin melanjutkan pimpinan perlawanan (syahid tahun 1896). Walaupun tidak sehebat orang tuanya, ia meneruskan perjuangan hingga nafasnya yang penghabisan tahun 1896. Tujuh orang putra, menantu dan cucu Tgk. Muhammad Saman. Satu persatu syahid dalam perang gerilya termasuk kakek Hasan Tiro sendiri Tgk. Mahyiddin (wafat 5 September 1910). Cucu Tgk. Muhammad Saman yaitu Tgk. Maad Tiro yang paling akhir gugur dalam perlawanan (tanggal 3 Desember 1911) di Tangse. Keturunan Tgk. Muhammad Saman yang selamat adalah anak-anak perempuan atau cucunya yang masih di bawah umur termasuk Tgk. Umar Tiro (1904-1980).

Menurut silsilah yang telah dipaparkan di atas maka namanya menjadi Hasan Muhammad Tanjong Bungong. Tambahan Tiro, Hasan mengambil dari desa asal orang tua ibunya yang berketurunan Chik Di Tiro Abdussalam.

Hasan Tiro mempunyai seorang saudara laki-laki yaitu Tgk. Zainal Abidin. Ayah mereka mangkat pada tahun 1932, sehingga Tgk. Umar Tirolah 1904-1980 sepupu ibunya, menurut pengakuan Hasan Tiro, yang bertindak sebagai orang tua dalam memberikan bimbingan kepada mereka.

Pada dasarnya latar belakang kehidupan orang tua laki-lakinya tidaklah banyak berpengaruh terhadap masa depan Hasan Tiro. Yang terpenting dari latar belakang kehidupannya adalah kedekatan hubungan keluarga ibunya yang bersentuhan langsung dengan keturunan Tiro. Hal ini sering dibanggakan oleh Hasan Tiro dalam beberapa karya-karya yang ditulisnya, sebagaimana dalam bukunya Jum Meudehka seunurat njang gohlom lheueh nibak Tengku Hasan di Tiro, ia menulis:

Sabab ulon lahe dalam famili di Tiro, famili njang mat pimpinan Bangsa dan Nanggroe Atjeh trok'an meukeuturonan dalam masa prang dan dalam masa dame, dalam seudjarah Atjeh njang panjang njan.Teutapi bat mat neuduek njan, uleh famili ulon, ka le that pajah geubri keureubeuen, darah dan hareuta. "Darah famili Teungku di Tiro ke le that rho bak peutheun Atjeh". Sabab njan pahlawan-pahlawan-pahlawan bangsa Atjeh njang raja-raja le teuka nibak darah ulon . Uleh sabab
seudjarah njang panjang that njoe maka uleh bangsa Atjeh sabe geuharap keu peumimpin geuh di Tiro. Lagee meunan ngon ulon endatu ulon dimasa njang ka u likot, djameunkon, meunankeuh deungon ulon dan keuturonan Atjeh masa ulon uroe njoe, dan meunan ulon harap dimasa ukeue antara aneuk ulon deungon bangsa ulon turon-teumuron, lagee djameunkon.

Terjemahannya:
Karena saya lahir dalam keluarga di Tiro, keluarga yang memegang kepemimpinan bangsa Aceh dan Negara Aceh baik dalam masa perang dan maupun masa damai dalam perjalanan panjang sejarah Aceh. Tetapi dalam memegang kepemimpinan itu, keluarga saya sudah banyak mengorbankan darah dan harta. "Darah keluarga Teungku di Tiro sudah berlimpah ruah dalam mempertahankan Aceh". Oleh karenanya pahlawan-pahlawan bangsa Aceh yang berketurunan raja banyak berasal dari keturunan saya. Melihat sejarah Aceh yang sangat panjang ini maka oleh bangsa Aceh mengharapkan kepemimpinan berada di tangan Tiro. Begitulah sejak dahulu perjalanan sejarah nenek moyang saya. Begitu juga dengan saya dan keturunan Aceh pada sekarang ini. Dan ini saya harapkan di masa mendatang antara anak saya dengan bangsa saya dapat melanjudkan tradisi ini secara turun temurun seperti dahulu kala.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa karena ibunya keturunan Tirolah yang membuat ia dikenal dan dihormati oleh masyarakat ketika itu. Lebih lanjud Hasan Tiro melukiskan perjalanan di masa kecilnya sebagai berikut :

mulai ubit kon, nibak phon ulon teu-ingat, djaroe ulon njoe sabe geutjom uleh bangsa ulon, hana tom geumat kri laen, njoe ulon peugah kon deungon meukeusud pudjoe droe teutapi mangat ek neupham buet ulon njang paudjra droe, njang kon peutimang keupeuntengan droe, dan pakon buet njoe ulon peubuet , dan pakon ulon teupeue buet njoe geuseutot uleh bangsa Atjeh. Sabab njoekeuh pat asai Atjeh Meurdehka! Na watee-watee dalam hudep ulon, ulon galak that beudjeuet hudep legee aneuk miet laen, djeuet djak meuen keunoe-keudeh deungon bibeueh, deungon hana soe padoli; teutapi malang that, njan hantom keumah ulon teumeung. Ulon mantong teu ingat bak siuroe ulon djak meungadu bak Njak ulon, potjut Fatimah, ngon ie-mata rho, ulon peugah han ulon tem djak sikula le, sabab watee teungoh ulon djak u rumoh sikula sabe teulat, hantom trok bak watee, sabab ureueng- ureueng soe njang meurompok bak djalan geudjak tjom djaroe ulon, leubeh-leubeh ureueng-ureueng tuha. Ulon tanjong bak Njak, "Pakon Ureueng galak that geudjak peukaru ulon?" Uleh Njak neupeugah meukeusud ureueng geutanjoe geudjak peu-mulia, kon geudjak peukaru gata. Sabab njan, kheun Njak, ureueng- ureueng njan handjeuet-han beu ta peumulia tjit!.
Trok'an uroe njoe mantong teu-ingat ulon keu saboh keudjadian dalam rumoh sikula di Sigli bak watee ulon ka na kira-kira umu 12 thon. Bak siuroe sidroe Teungku Hadji njang hana ulon turi geudjak u rumoh sikula dan geulakee guree ulon supaya geuba gobnjan bak medja ulon. Watee trok u keue ulon geumat djaroe ulon dan sira geudong geupidato lagee njoe : "O Teungku, ulontuan djak keunoe djak mita Teungku, ulon tuan djak peu-ingat bek sagai Teungku tuwo keu pusaka nibak endatu neuh. Neupeukeumah droe neu-pimpinan Bangsa dan Nanggroe Aceh njoe bak djalan keubeusaran lom, lagee buet endatu-neuh djameunkon." Ulon sabe teu-ingat keu keudjadian njan dan keu peusan njan.

Terjemahannya:

Sejak kecil yang sangat ingat, tangan saya kerapkali di cium oleh bangsa Aceh. Ini saya sampaikan bukan bermaksud untuk memuji diri saya tetapi ini saya sampaikan untuk memudahkan pemahaman apa yang saya lakukan selama ini, bukan untuk kepentingan pribadi, dan kenapa saya tahu yang sedang lakukan ini diikuti oleh bangsa Aceh. Sebab inilah dasar dari Aceh Merdeka! Di masa saya kecil, saya sangat mendambakan untuk dapat hidup seperti anak-anak lain, dapat bermain kemana-mana, tetapi sangatlah malang kesemuanya itu tidak pernah saya dapatkan. Saya masih ingat ketika saya mengadu pada Ibu saya, Potjut Fatimah, dengan air mata terurai saya sampaikan bahwa saya tidak mau melanjudkan sekolah lagi, sebab sewaktu saya pergi sekolah selalu terlambat, tidak pernah datang tepat waktu, karena setiap orang-orang yang bertemu di tengah jalan datang mencium tangan saya, apalagi orang-orang tua. Saya tanyakan hal ini kepada Ibu, "Kenapa orang-orang suka sekali datang mengganggu saya?" Sang Ibu menjelaskan maksud orang-orang kita datang untuk memuliakan, bukan datang untuk mengganggu kamu. Oleh karenanya, lanjud Ibu, orang-orang itu mau tidak mau harus juga kita muliakan! Sampai saat ini saja, saya teringat ketika berumur 12 tahun dimana suatu kejadian ketika di sekolah Sigli. Pada suatu hari datang Tengku Hadji ke sekolah yang tidak saya kenal dan laki-laki itu meminta kepada guru saya untuk dapat mengantarkannya ke meja belajar saya. Waktu itu tangan saya dipegang dan sambil berdiri ia berpidato seperti ini : "O Teungku, paduka datang kemari untuk minta kepada Teungku, saya datang untuk mengingatkan agar Teungku jangan sama sekali melupakan pusaka nenek moyang paduka. Jadikanlah paduka sebagai pemimpin bangsa dan negara Aceh ini kepada jalan kebesaran sebagaimana yang telah dilakukan nenek moyang paduka dahulu." Saya selalu teringat atas kejadian dan atas pesan itu.

Di samping keluarga Tiro yang telah mempengaruhi pola kehidupannya, ia juga tidak terlepas dari pengaruh Tgk. Muhammad Daud Beureueh yang sudah mendidiknya semenjak ia sekolah di Madrasah Sa'adah Al-Abadiyah di Blang Paseh hingga ke Norma Islam yang dikelola langsung oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Atas rekomendasi yang diberikan oleh Abu Beureueh kepada Syarifuddin Prawiranegara akhirnya ia dapat melanjudkan studinya ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Pada tahun 1950, ia melanjudkan pendidikannya di Universitas Columbia Amerika. Semenjak di negara ini pula dia bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketika berada di Amerika, Hasan Tiro mendengar gurunya Abu Beureueh bergabung dengan DI/TII, maka dia pun ikut sehingga ia mendapatkan kepercayaan penuh oleh Abu Beureueh sebagai Dubes Negara Islam Indonesia (NII) Aceh di PBB tahun 1954. Posisi Hasan Tiro sebagai Dubes juga mendapat pengesahan dari Imam NII SM. Kartosuwiryo.

Nama Hasan Tiro mulai dikenal sejak dia membuat surat yang ditujukan kepada Ali Sastroamidjoyo. Isinya, hentikan delegasi TNI dan kekejaman terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi. Jika tidak, Hasan mengancam akan membawa persoalan tersebut ke forum PBB. Akhirnya sebagai konsekwensi dari tindakannya itu, paspor Hasan Tiro ditarik.

Lambat laun pemikiran politik Hasan Tiro berseberangan dengan gurunya Abu Beuereueh. Puncaknya ketika Hasan Tiro memproklamasikan Aceh Merdeka pada tanggal 20 Mei 1977. Ide Islamisasi dalam negara yang ditampilkan Abu Beureueh tidak identik yang dimunculkan Hasan Tiro. Abu Beureueh secara jelas mencantumkan identitas Islam dalam nama gerakan, tetapi Hasan Tiro tidak. Abu Beureueh menyebut Darul Islam untuk sebuah negara yang ingin dia dirikan, sedangkan Tiro menyebut Negara Aceh Sumatera. Hasan Tiro menganggap perjuangannya sebagai nasionalis, bukan berbau Islam. Bahkan, katanya dia terus memelihara hubungan akrab dengan gerakan seperatis Kristen di Maluku dan Timor-Timur. "Orang Jawa adalah musuh kami bersama," katanya. Uraian di atas dapat diketahui bahwa posisi Hasan Tiro dalam peta perpolitikan di Aceh berhasil merekruet pengikut yang relatif jauh lebih kecil jumlahnya dibanding dengan gerakan DI/TII 1953. Hal ini disebabkan, antara lain, tidak digunakannya oleh Hasan Tiro ideologi Islam yang menjadi "roh" rakyat Aceh, yang ada kemungkinan dapat diupayakan untuk mengorbankan semangat jihad fi-sabilillah. Walaupun demikian dari karir politiknya, ia telah berhasil membangun paradigma baru dalam perjuangan rakyat Aceh. Ia sekarang resmi tinggal di Nordsborg sejak 1976 - sekitar setengah jam ke arah Selatan Ibukota Swedia, Stockholm. Ia berhasil menikahi seorang wanita keturunan Yahudi bernama Dora, dari perkawinan itu ia memperoleh seorang anak bernama Karim.

B. Latar Belakang Pendidikannya

Hasan Tiro dilahirkan di tengah-tengah keluarga petani biasa. Ayahnya Leubee Muhammad Tanjong Bungong bukan seorang ulama dan berdarah biru. Pendidikan yang diterimanya di sekolah mempengaruhi kepribadiannya di belakang hari. Sejalan dengan itu Teungku Fauzi Hasbi Mantan Kepala Staf Angkatan Perang Aceh Merdeka mengatakan :

Hasan memang bukan orang yang jenius. Alam pikirannya biasa saja dan cenderung sebagai anak pendiam di sekolah. Dia sekelas dengan Hasan Saleh seorang tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Untuk membina mentalnya, Abu Beureueh mengirimkannya ke Normal School, Bireun Aceh Utara sebuah perguruan yang dibina oleh M. Nur El Ibrahimy. Hasan mulai nakal sehingga ia dikeluarkan karena berkelahi dengan Ismail Paya Bujok dan Hasan akhirnya dikembalikan lagi ke sekolah Abu Beureueh.

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan Hasan Tiro yang dibina Abu Beureueh sejak kecil mempengaruhi kepribadiannya di belakang hari. Hal itu terbukti ketika Abu Beureueh bergabung dengan DI/TII, maka dia pun ikut sehingga ia mendapatkan kepercayaan penuh oleh Abu Beureueh sebagai Dubes Negara Islam Indonesia (NII) Aceh di PBB tahun 1954.

Mula-mula sekali ia mengeyam pendidikan pada Madrasah Sa'adah Al-Abadiyah di Blang Paseh yang dikelola langsung oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Namun karena berkelahi dengan temannya yang bernama Teungku Ismail Paya Bujok akhirnya dia dikeluarkan oleh pimpinan sekolah.

Pada masa pendudukan Jepang ia meneruskan pendidikannya ke Perguruan Normal Islam Bireun yang dipimpin oleh Tgk. M. Nur El-Ibrahimi. Selanjutnya, pada awal kemerdekaan atas permintaan sang kakak, Teungku Zainal Abidin Muhammad, memohon kepada Abu Beureueh agar supaya adiknya bisa melanjutkan pendidikan di sebuah Universitas. Berhubung kakaknya itu orang kepercayaan Abu Beureueh, lewat rekomendasinya yang diserahkan kepada Syafruddin Prawiranegasra maka diterimalah dia sebagai mahasiswa pada Universitas Islam Indonesia Yogyakarta untuk belajar di Fakultas Hukum. Selama menjalani studinya di UII, ia menulis pula
sebuah buku tentang hakekat kemerdekaan RI sebagai wujud semangat nasionalisme yang sudah tertanam dalam jiwanya. Sebagaimana ditulis dalam bab pendahuluan ia menulis :

"Sebagaimana halnya Daerah Aceh adalah satu bagian yang tidak terpisah dari Negara Republik Indonesia. Maka demikian pulalah sejarahnya pun merupakan satu bagian dari sejarah Indonesia, dan semboyan kita satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Untuk menjamin kelanjutan tekad ini sebaik-baiknya tidak saja harus kita perjuangkan dalam lapangan pengertian politik tetapi juga dalam segala lapangan kebudayaan bangsa..."

Ia juga aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Imam Chik Masjid Raya Baiturrahman Teungku H. Sofyan Hamzah, termasuk salah seorang sahabat akrabnya dalam PII. Bahkan ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Gabungan Pelajar Islam daerah Aceh (GAPIDA) yang berpusat di kota Juang Bireun, tahun 1946-1947. Pada tahun 1950, Hasan Tiro bersama dua putera Aceh lainnya yaitu Ilyas Ismail dan Harun Ali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Universitas Columbia Amerika. Di negeri Paman Sam itu, Hasan Tiro bekerja di Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga September 1954. Di samping itu ia menambah pengetahuannya dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan hukum.

Pada awal kemerdekaan, Hasan Tiro pernah aktif dalam organisasi kepemudaan pada Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, Pidie. Di Lamlo pula, Hasan mengibarkan bendera merah putih dan mentabik (memberi penghormatan) dengan rasa khusyu dan khidmatnya.Sungguh menjadi sebuah ironi, apabila kejadian ini terjadi pada patriot bangsa Aceh yang "radikal".

C. Hasan Tiro dan Karir Politik

Pada tahun 1954, ketika daerah Aceh dan daerah-daerah lain sedang perang dengan pemerintahan RI karena meletusnya peristiwa Darul Islam, Hasan Tiro menimbulkan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik. Atas nama "Menteri berkuasa penuh" pemerintah Darul Islam/Negara Islam Indonesia dan -dengan mengangkat dirinya sendiri dan kemudian disyahkan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh- sebagai "Duta Besar perserikatan Bangsa-Bangsa" dia mengirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang berisi ultimatum. Dalam ultimatumnya ia menuduh pemerintah "fasis komunis" membawa bangsa Indonesia ke dalam jurang kehancuran, serta meminta untuk menghentikan terjadinya kekerasan di Jawa serta meminta untuk menghentikan terjadinya kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Aceh.

Atas nama rekomendasi Teungku Daud Beureueh yang disetujui oleh Imam Negara Islam Indonesia, SM. Kartosoewirjo, pada tahun 1956, Hasan Tiro secara resmi bergabung menjadi warga Negara Islam Indonesia. Semenjak Hasan Tiro bergabung ke dalam perjuangan Negara Islam Indonesia, maka dipercayakanlah kepadanya berbagai urusan-urusan penting kenegaraan NII. Diantaranya ialah: Mengurus urusan NII di PBB, mengkampanyekan NII di negara-negara Eropa dan mencari senjata di luar negeri, dengan dibekali uang yang melimpah ruah dari Teungku M. Daud Beureueh dari rakyat Aceh.

Ada kenangan pahit ketika bermukim di kawasan New York. Akibat nekat menyurati pada 1 September 1954 dan mengecam kebijakan refresif Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo atas Aceh dan umat Islam Indonesia, plus rezim Nasakom Soekarno, bukan saja paspor diplomatik yang dipegangnya dicabut oleh Ali Sastroamidjojo sehingga menyebabkan Hasan Tiro sejak 27 September 1954 ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York namun juga harus membayar denda sebesar $ 500 sebagai uang penebus, bahkan yang lebih tragis lagi adalah ditolaknya surat Hasan Tiro di PBB karena "Republik Islam Indonesia/NII" tidak mempunyai status di dalam organisasi PBB. Mulai saat itu Hasan Tiro berpikir kenapa pihak internasional tidak mau menerima resolusi yang diajukannya itu?

Karena kecewa dengan latar belakang "Islam" yang tengah diperjuangkannya, ia kemudian mengubah haluan politiknya. Ia lebih mengambil ideologi kiri seperti fasisme (sosialisme nasional) dan konsep partai "Baath" di timur Tengah dan Libya sebagai orientasi politiknya yang baru. Anehnya, bagi para pengikut fanatiknya, sekarang ini Hasan Tiro menjelma bagaikan seorang pangeran terhormat. Dengan "kehebatannya" itu, banyak rakyat yang tidak mengenalnya pun ikut terpengaruh akibat retorika politiknya. Enam bulan sebelum Gerakan Aceh Merdeka pecah, ia pernah datang ke Aceh. Sejak itu, informasi mengenai Hasan Tiro sangat sulit dilacak.

D. Karya-Karyanya

Hasan Tiro adalah seorang politikus dan ahli sejarah yang produktif. Ia ada mewariskan beberapa karya-karya dalam bidang ilmu pengetahuan. Semangat yang revolusioner dalam menanggapi persoalan-persoalan politik dan ilmu pengetahuan yang berlaku pada zamannya ternyata paling tidak membawa pengaruh terhadap pola berfikir pada masa-masa saat ini khususnya masyarakat Aceh. Walaupun demikian tidak sedikit tokoh-tokoh Aceh yang menentang ide gerakannya
untuk mendirikan Aceh Merdeka. Tulisan-tulisan dan pemikiran politiknya banyak berpengaruh terhadap berdirinya Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 20 Mei 1977.

Karya-karya Hasan Tiro yang terkenal di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Demokrasi Untuk Indonesia
Dalam karyanya ini Hasan Tiro menunjukkan demokrasi yang cocok untuk Indonesia. Adapun demokrasi yang cocok bagi bangsa Indonesia adalah "federalisme". Dalam karya ini Hasan Tiro mengatakan bahwa Federalisme dapat mencegah ketidakadilan dan hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, dimana rakyat dapat menikmati kemakmuran dan keadilan dalam bingkai persatuan-bukan kesatuan- Indonesia.

2. Jum Meudehka Seunurat Njang Gohlom Lheueh Nibak Teungku Hasan di Tiro
Karya ini mengisahkan kembali tentang perjuangannya sebagai Presiden Angkatan Aceh Merdeka mulai tahun 4 Desember 1976 sampai 28 Maret 1979 ketika ia berada gunung bersama-sama dengan teman seperjuangannya.

3. Perang Atjeh 1873 H - 1927 M.
Karya ini dirancang oleh Hasan Tiro tentang hakekat kemerdekaan RI dan membuktikan bahwa sejarah Aceh merupakan suatu bahagian integral yang tidak terpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karya ini adalah satu uraian panjang yang berhubungan dengan perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir penjajahan Belanda sampai kemerdekaan. Buku ini ditulis sebagai wujud semangat nasionalisme yang sudah tertanam dalam jiwanya.

4. Aceh Bak Mata Donya
Karyanya ini berisi tentang sejarah panjang Bangsa Aceh. Ia melukiskan bahwa Aceh adalah suatu bangsa di atas dunia seperti bangsa-bangsa lain yang berdaulat penuh. Buku yang terdiri dari tujuh bab itu juga membahas kejayaan Aceh pada abad ke-17, keheroikan pejuangnya dalam peperangan melawan Belanda dari bulan April 1873 hingga Desember 1937, konsekuensi yang menimpa bangsa Aceh sebagai akibat penjajahan Belanda dan himbauan kepada rekan sepatriot untuk bersatu padu merebut kembali kemerdekaan Aceh yang telah hilang dari tangan bangsa Aceh sejak bulan desember 1911.

Demikianlah di antara karya-karya Hasan Tiro di samping banyak brosur-brosur yang ditulisnya. Pemikirannya hingga saat ini masih banyak ditentang oleh banyak kalangan terutama dari pemerintah Indonesia yang mencoba untuk memisahkan dari bingkai Negara Republik Indonesia.

Wassalam.

Tgk. Lamkaruna Putra

abupase@yahoo.com
Medan, Indonesia
----------