Tranbjerg, 20 Mei 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

DARURAT MILITER BATHIL DAN DARURAT SIPIL JAHIL DI ACHEH
Yusra Habib Abdul Gani
Tranbjerg - DANMARK.

 

MELIHAT HASIL DARURAT MILITER BATHIL DAN MENUKAR DENGAN DARURAT SIPIL JAHIL DI ACHEH

Genap setahun sudah, rezim penjajah Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Acheh melalui Kepres No. 28/2003, 19 Mei 2003. Selama rentang masa itu, telah mengakibatkan bencana luar biasa, dimana 72% dari 6000 kampung di Acheh, penduduknya hidup dalam keadaan melarat; sebanyak 1.8 juta dari 4.2 juta jiwa penduduk Acheh, hidup dibawah garis kemiskinan; dari 460.000 kepala rumah tangga di Acheh, 377.000 diantaranya adalah Janda (sumber: Biro Perempuan Provinsi NAD); lebih dari 2000 orang ditangkap, ditahan, dan dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan; 314 orang diantaranya dibuang ke penjara-penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur (143 orang dibuang pada Januari lalu dan 171 lagi Mei 2004); 869 sekolah sudah hangus terbakar seluruh Acheh; ribuan anak didik tingkat SD-SMA terlantar belajar; sebanyak 342 orang dikenal pasti mengalami penyakit syaraf akibat perang. (Rumah Sakit Jiwa Banda Acheh tidak mampu menampung korban yang terus-menerus didatangi.

Sementara itu, menurut sumber PUSPEN TNI (5/5 2004): "Operasi pemulihan keamanan selama keadaan darurat militer di propinsi Nangroe Aceh Darussalam TNI berhasil melumpuhkan 5.339 personil anggota pemberontak GAM dan menyita 1.045 pucuk senjata dari berbagai jenis. Dari 5.339 pemberontak GAM yang dilumpuhkan masing-masing 1.963 orang tewas dalam kontak senjata, 2.100 tertangkap dan 1.276 orang secara Suka rela menyerahkan diri. Sedang senjata yang disita masing - masing 859 Pucuk senjata standart militer dan 186 pucuk lainnya merupakan senjata rakitan. Sementara dalam operasi imbangan yang dilaksanakan oleh Kodam I/ Bukit Barisan aparat TNI berhasil melumpuhkan 103 personil GAM dan menyita 30 pucuk senjata."

Sebanyak 81 ribu serdadu Indonesia dikerahkan selama Darurat Militer (angka ini berdasarkan pengakuan anggota DPR-RI dalam Rapat Komisi I antara Pemerintah dengan DPR sesudah triwulan pertama Darurat Militer). Untuk membiayai perang (81 ribu serdadu, peralatan perang: Pesawat Tempur bagi Angkatan Udara, Kapal Perang Laut untuk Angkatan Laut, Truck dan Tank untuk angkatan Darat, logistik, gaji serdadu dan gaji penguasa prang di Acheh, telah menelan Rp. 15 trilliun lebih. Biaya ini dibebankan kepada anggaran Provinsi NAD dan dari anggaran Pemerintah pusat.

Darimana Indonesia memperoleh dana perang ini? Ternyata, IMF memberi dana sebesar 400 juta dollar USA, 3.2 Milyar dollar USA bantuan CGI; 46 Milyar Yen bantuan Jepang dalam bentuk pinjaman luar negeri kepada Indonesia, belum lagi bantuan berupa hibbah dari Jepang, Australia, Canada, Norwegia dan Amerika. Ini berarti, secara politik dan ekonomi, dunia internasional turut menyokong rezim Indonesia untuk mempertahankan NKRI. Lantas apa hasilnya? Perang yang melibatkan 81 ribu serdadu, sokongan penuh dari MPR dan DPR-RI, dukungan dari media massa lokal dan nasional, dukungan moral dan material dari Badan keuangan internasional, kemudahan membeli perlengkapan perang dari Rusia, Belanda, Inggeris dan Jerman yang menelan biaya Rp.15.milliun lebih, tujuannya semata-mata untuk menghancurkan TNA, ternyata semuanya gagal. TNA tidak mampu dikalahkan oleh 81 ribu serdadu Indonesia. TNA masih menguasai beberapa kawasan penting. Hal ini diakui sendiri oleh Penguasa Darurat Militer, bahwa 52 Kampung di Acheh, tidak dapat ikut Pemilu, 5 April yang lalu, sebab diketahui wilayah berdaulat TNA. Bukti lain, ketika pelepasan tahanan TNA pada 15 dan 17 Mei yang lalu, dimana ICRC, PMI dan 7 wartawan Indonesia menyaksikan sendiri, betapa TNA masih memiliki kuasa dan kawasan berdaulat di Acheh, sehingga Endang Suwarya mempertaruhkan nyawanya untuk tidak akan menyerang TNA di kawasan berdaulat TNA. Yang kalah adalah hancurnya nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bangsa Acheh.

Untuk menebus malu, penguasa perang Indonesia menangkap yang kebanyakannya warga sipil, dipaksa mengaku sebagai anggota TNA, ditahan, disiksa dan dibuang ke penjara di Pulau Jawa tanpa melalui proses pengadilan. Termasuk penahanan terhadap 5 Juru runding Acheh.

Selama setahun berperang, rezim Indonesia mengaku baru 50% kekuatan TNA dilumpuhkan, meskipun pasukan TNA mendapat serangan dari udara, laut dan darat, tetapi sampai sekarang masih bertahan dan selamat.

Yang menjadi pertanyan sekarang ialah: meskipun seluruh lapisan masyarakat: 'Ulama, intelektual, konglemerat, rakyat jelata telah dipaksa untuk menyuarakan agar Darurat Militer diperpanjang, tetap status DM ditukar? Penukaran dari status Darurat Militer ke Darurat Sipil dengan Kepres No. 43/2004 katanya: "berupaya menghentikan tindak kekerasan bersenjata dengan mengirimkan TNI dan Polri. Secara umum, keadaan sudah dapat dikendalikan. Apalagi setelah pemerintah melaksanakan operasi terpadu yang meliputi operasi pemulihan keamanan, penegakan hukum, pemulihan ekonomi, pemantapan roda pemerintahan dan kemanusiaan." (Megawati, dalam pidato pengukuhan Kepres no. 43/2004, Tempo Interaktif, 18 Mei 2004.) Pada hal alasan yang sesungguhnya ialah: penjajah Indonesia tidak sanggup lagi membiayai perang; gagal mencapai target perang; merubah taktik dari memburu anggota TNA ke memburu uang dari perusahaan-perusahaan multi nasional dengan dalih biaya melindungi kepentingan pihak asing; TNI, Polri dan Pemda NAD bersama-sama menggerogoti angggaran Provinsi NAD. Ini terkukti dari pernyataan Juru bicara Penguasa perang Indonesia, Kol Laut, Ditya Sudasono bahwa "selama pemberlakukan Darurat Militer, 315 serdadu Indonesia (TNI/Polisi) yang dikenal pasti telah melakukan tindak kejahatan, seperti: penganiayaan. pembunuhan, pemerkosaan, perzinahan, pencurian dengan kekerasan, mencuri kayu balak."

Konsekuensi logis dari perang ini, secara ringkas sudah dipaparkan, oleh sebab itu, Bank Dunia, Amerika, Jepang dan EU yang turut memprakarsai rundingan antara Acheh-RI di Tokyo, (18-19 Mei 2003) mesti jeli melihat realitas politik dan keamanan di Acheh. Dunia internasional yang membantu secara moral dan material kepada Indonesia memerangi Acheh, dalam realitasnya tidak berhasil melumpuhkan TNA dan nyata sudah tidak menyelesaikan masalah. Jika sebelum ini dunia internasional sebelah mata melihat Acheh, kini buka mata, tatap, analisa dan berpikir cerdas -tidak termakan propaganda Indonesia- peka dengan realitas yang terjadi di Acheh. Untuk kemudian, memakai instrumen politik yang tepat untuk mengakhiri konflik di Acheh.

Diakui bahwa Parliament EU telah mengeluarkan suatu Resolusi khusus tentang Acheh pada Februari 2004 dan didapati laporan rinci dari Human Rights Watch tentang "Perang Tersembunyi Di Acheh", tapi itu belum cukup, tanpa diikuti tindak lanjut yang konkrit, jika tidak, Acheh akan tetap menjadi persoalan global dunia internasional yang berkepanjangan.

Wallahu'aklam bissawab.

Yusra Habib Abdul Gani

yusrahabib21@hotmail.com
Tranbjerg, Danmark