Stockholm, 20 Juni 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

POLRI GAGAL HADAPI GAM KARENA KEBODOHANNYA SENDIRI
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

JELAS ITU KELIHATAN POLRI GAGAL MENGHADAPI GAM KARENA KEBODOHANNYA SENDIRI

"Kita akan segera mencarikan penerjemah kalau memang dibutuhkan penyidik Swedia. Kita akan penuhi segala hal yang dibutuhkan oleh penyidik Swedia agar segala informasi yang menggunakan bahasa apa pun dapat dimengerti oleh mereka" (Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Mabes Polri, Jumat, 18 Juni 2004)

Disinilah satu kebodohan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar. Mengapa ?. Karena Pengadilan di Swedia, khususnya sekarang Pengadilan Huddinge, tidak bisa distir atau diatur oleh Pemerintah asing, termasuk Kepolisian Pemerintah asing tersebut. Pengadilan Huddinge hanya membicarakan masalah hukum, bukan politik. Semua tuduhan yang mengarah kepada politik tidak diakui dan tidak dibicarakan dalam Pengadilan Swedia khususnya Pengadilan Huddinge.

Coba kita lihat apa yang dijadikan dasar tuduhan dari pihak Kejaksaan Stockholm, yang dipercaya oleh pihak Pemerintah Swedia untuk menyidik tuduhan pihak RI terhadap pihak ASNLF atau GAM yang ada di Swedia.

Ada tiga tuduhan dasar, yaitu pertama, memimpin Pemerintah Acheh Merdeka di pengasingan di Swedia untuk tujuan memisahkan Acheh dari Republik Indonesia. Kedua, memerintahkan pasukan gerilya yang mereka pimpin di Acheh untuk membakar 6 sekolah. Ketiga, memerintahkan untuk menyandera 243 orang.

Padahal ada beberapa tuduhan lain yang disampaikan oleh pihak RI kepada pihak Kejaksaan Stockholm, yakni melakukan peledakan bom di Bursa Efek Jakarta tanggal 13 September 2000, Mall Atrium tanggal 23 September 2001, Bina Graha Cijantung Mall tanggal 1 Juli 2002, Balai Kota Medan tanggal 31 Maret 2003, dan di Jalan Belawan Deli Medan tanggal 1 April 2003, 2 kasus pembunuhan, salah satunya kasus pembunuhan rektor Universitas Syiah Kuala, Prof.Dr.Dayan Dawod. Tetapi, ternyata tuduhan-tuduhan tersebut tidak dimasukkan kedalam agenda tuduhan yang disampaikan oleh pihak Ketua Jaksa Penuntut Tomas Lindstrand kehadapan sidang Hakim di Pengadilan Huddinge, Jumat, 18 Juni 2004. Karena memang fakta dan buktinya sangat lemah.

Sekarang kita perhatikan tuduhan pertama, memimpin Pemerintah Acheh Merdeka di pengasingan di Swedia untuk tujuan memisahkan Acheh dari Republik Indonesia.

Jelas ini adalah tuduhan yang bersifat politis. Dimana tuduhan yang berifat politis tidak dibicarakan dalam Pengadilan Swedia, khususnya dalam Pengadilan Huddinge. Sebagaimana dikatakan oleh Advokat Leif Sibersky pembela Teungku Malik Mahmud bahwa Pengadilan di Swedia tidak boleh dipengaruhi oleh masalah politis. Dalam Pengadilan Swedia hanya dibicarakan masalah hukum. Jalannya Pengadilan di Swedia tidak dibenarkan diatur oleh masukan dari pemerintah asing, seperti pihak Kepolisian RI mau ikut campur dalam peradilan di Swedia. Dan di Acheh bergolak perang sejak bulan Mei 2003.

Memang benar ASNLF atau GAM memperjuangkan penentuan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila. ASNLF atau GAM merupakan gerakan untuk kemerdekaan penerus Negara Acheh yang sebelumnya telah berdaulat, tetapi dalam keadaan dijajah oleh Belanda, Jepang, dan oleh RIS sejak 14 Agustus 1950 dan dilanjutkan oleh RI sejak 15 Agustus 1950 sampai sekarang ini.

Jadi, secara politis, pihak ASNLF tidak perlu dituduh dalam hal menuntut kemerdekaan Negara Acheh pelanjut Negara Acheh yang telah berdaulat dahulu, tetapi dijajah oleh Belanda, Jepang dan sekarang oleh RI. Karena memang fakta, bukti, dasar hukum dan sejarah jelas Negeri Acheh ditelan, diduduki, dan dijajah oleh pihak RI. Oleh sebab itu secara politis Petinggi GAM memimpin Pemerintah Acheh Merdeka di pengasingan di Swedia untuk tujuan penentuan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila.

Nah, tuduhan yang bersifat politis dari pihak RI melalui Ketua Jaksa Penuntut Tomas Lindstrand ini, jelas tidak dibahas karena memang sifatnya yang politis, yang menimbulkan berbagai penafsiran politis.

Selanjutnya, tuduhan kedua, memerintahkan pasukan gerilya yang mereka pimpin di Acheh untuk membakar 6 sekolah.

Nah dalam tuduhan ini pihak RI telah memasukkan bukti yang disampaikan kepada Kejaksaan Stockholm, yang diambil dari orang-orang yang telah menyerah kepada pihak RI, seperti misalnya, Amri bin Abdul Wahab salah seorang yang termasuk empat juru runding GAM, Teungku Sofyan Ibrahim Tiba, Teungku Amni bin Ahmad Marzuki, Teuku Kamaruzzaman, yang pada hari Senin, tanggal 12 Mei 2003 telah membuat surat pernyataan menyerahkan diri diatas sehelai kertas bermaterai Rp 6.000,00. Kemudian Direktur Intelijen Polda NAD Kombes Pol. Rusli Saleh dan Brigjen (Mar.) Safzen Noerdin menjemput Amri bin Abdul Wahab ke Hotel Kuala Tripa untuk bersama-sama terbang ke Jakarta dengan pesawat Hercules bersama rombongan JSC Internasional yang dipimpin Mayjen Tanongsuk Tuvinun utusan senior JSC dari Thailand. Sesampai di Bandara Halim Perdanakusumah dijemput oleh asisten Intelijen Kasum TNI Brigjen (Mar.) Lutfi yang menjadi penanggung jawab keamanan Amri bin Abdul Wahab. Besoknya, Selasa, 13 Mei 2003 KSAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, dan Kapolda NAD Irjen Pol. Bahrumsyah di Banda Aceh mengakui adanya penyerahan diri Amri bin Abdul Wahab.

Seterusnya seminggu kemudian, 20 Mei 2003, atau satu hari setelah Keppres No.28/2003 diberlakukan di Negeri Aceh, itu Amri bin Abdul Wahab mulai bercerita dalam konferensi pers di Purna Graha, Kebayoran, Jakarta Selatan, yang isinya entah kemana-mana: "Cara-cara perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah melenceng dari tujuan semula. GAM kini telah melakukan penghalalan berbagai cara, yang pada akhirnya justru menyengsarakan rakyat Aceh. Saya mengajak kepada seluruh anggota GAM untuk menyerahkan diri kepada Pemerintah RI dan mengakui kedaulatan RI. Saya melihat GAM sudah melenceng dari garis utama mereka. GAM berbuat hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri, bukannya untuk rakyat Aceh. Mereka menghalalkan berbagai cara untuk kepentingan kelompoknya. Mereka menindas rakyat Aceh yang tidak mau ikut." (Amri bin Abdul Wahab, dalam konferensi pers di Purna Graha, Kebayoran, Jakarta Selatan, 20 Mei 2003)

Jelas, kalau bukti yang dipakai oleh pihak RI diambil dari orang model Amri bin Abdul Wahab ini, yang mengaku-ngaku ada perintah dari Panglima Tertinggi Tentara Negara Acheh (TNA), Muzakkir Manaf, dan ada perintah dari Teungku Zaini, Teungku Malik, dan Teungku Hasan di Tiro untuk membakar bangunan sekolah, ya, jelas itu sudah tidak objektif lagi. Itu sudah termasuk dalam propagandanya Ryacudu dan Sutarto, termasuk juga Da'i Bachtiar.

Jadi, kalau sumber bukti tuduhan dari pihak RI tentang pembakaran gedung sekolah itu diambil dari saudara Amri bin Abdul Wahab, ya, jelas, itu namanya bukan dasar bukti yang objetif lagi, itu namanya bukti yang subjektif yang penuh dengan rasa permusuhan kepada pihak ASNLF atau GAM.

Karena bisa diterima secara hukum, kalau bukti tuduhan pembakaran gedung sekolah itu sumbernya dari Amri bin Abdul Wahab orang yang membelot dan menyerah kepada Ryacudu, Da'i Bachtiar, dan kepada Sutarto. Dan yang sangat benci kepada ASNLF atau GAM, ditolak mentah-mentah oleh pihak Teungku Zaini Abdullah. Karena memang buti yang diambil dari saudara Amri bin Abdul Wahab itu tidak benar.

Kemudian kita lihat itu tuduhan ketiga,memerintahkan untuk menyandera 243 orang. Jelas, itu yang disandera itu siapa. Lagi pula sudah semua sandera dibebaskan. Dalam keadaan perang, terutama setelah diberlakukan Keppres No.28/2003, tanggal 19 Mei 2003. Itu setiap Panglima Komando di daerah masing mempunyai tanggung jawabnya masing-masing untuk menjaga dan mengatur keamana daerah masing-masing yang dikuasainya. Siapa saja yang diangggap bekerjasama dengan pihak musuh yakni RI dan memasuki wilayah kekuasaan TNA, jelas itu akan ditahan untuk diperiksa oleh pihak TNA. Kalau ternyata setelah diperiksa orang tersebut tidak bersalah, yang cepat atau lambat akan dibebaskan. Dan memang terbukti semua yang ditahan TNA sudah dibebaskan oleh Teungku Ishak Daud.

Sekarang, ternyata ketiga tuduhan tersebut yang diajukan oleh pihak Ketua Jaksa Penuntut Tomas Lindstrand kehadapan tim Hakim di Pengadilan Huddinge untuk dipakai menjadi alasan memperpanjang waktu tahanan, ternyata ditolak mentah-mentah oleh tim Hakim Pengadilan Huddinge. Dengan alasan tidak ada cukup bukti. Dan akhirnya Teungku Zaini Abdullah dan teungku Malik Mahmud dibebaskan tanpa syarat.

Seterusnya, pihak Ketua Jaksa Penuntut Tomas Lindstrand, setelah tuduhan dan alasan yang dipakainya ditolak tim Hakim Pengadilan Huddinge, menyatakan bahwa para Petinggi GAM itu walaupun dibebaskan dari tahanan, tetapi masih tetap dianggap tersangka dan akan terus diadakan penyidikan.

Nah, persoalan sekarang, atas dasar tuduhan apa yang akan dijadikan alasan dengan memiliki dasar bukti-bukti yang kuat yang bisa diterima oleh pihak tim Hakim Pengadilan Huddinge untuk menahan kembali para Petinggi GAM ini ?.

Yang jelas, mereka tidak memiliki lagi dasar bukti yang kuat sampai saat sekarang. Kecuali mungkin barang-barang dokumentasi yang disitanya dari rumah Teungku Zaini Abdullah, Teungku Hasan di Tiro dan Teungku Malik Mahmud.

Kemudian, kalau ternyata dikumen-dokumen yang disita itu adalah merupakan barang bukti baru, mungkin bisa dijadikan sebagai bahan bukti. Tetapi masalahnya sekarang adalah, apakah barang-barang dokumen yang disita itu akan menguntungkan pihak Jaksa Penuntut ? Karena sudah pasti, bahwa dokumen-dokumen yang dimiliki oleh para Petingggi GAM itu adalah dokumntasi yang menyangkut kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh pihak RI dan TNI-nya, seperti misalnya pelanggaran hak-hak asasi manusia di Acheh. Jelas, itu dokumen-dokumen model yang demikian akan sangat merugikan pihak RI.

Jadi, menurut saya, itu tidak akan mungkin pihak Ketua Jaksa Penuntut Tomas Lindstrand mempergunakan barang-barang bukti yang disita dari rumah para Petinggi GAM.

Karena itu sekarang, apa pula itu Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar mau terus-terusan mencoba ikut mengekor Ketua Kejaksaan Stockholm untuk menydik para Petinggi GAM di Stockholm.

Padahal sudah jelas, itu adalah dengan keterlibatan pihak Pemerintah asing dalam hal ini Kepolisian RI dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Stockholm akan ditolak oleh pihak tim Hakim Pengadilan di Swedia, khususnya di Pengadilan Huddinge.

Disamping itu, pihak Pemerintah RI tidak mempunyai lagi bukti-bukti lainnya yang kuat yang bisa dipakai untuk menjerat pihak Petinggi GAM di Swedia.

Jadi, sebenarnya kalau saya perhatikan itu yang dilakukan oleh Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar adalah satu usaha untuk menutupi kegagalannya dalam menghadapi pihak GAM dalam bidang diplomasi dan dalam bidang hukum.

Memang kalau saya perhatikan pihak POLRI ini bodoh, mereka mengangap seperti di kampungnya sendiri. Bisa membuat bukti seenaknya, bisa memeriksa seenaknya. Kena yang diperiksa para Petinggi GAM, eh, Kapolri mati kutu. Ah, itu Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar harus banyak belajar lagi tentang hukum dan sistem peradilan yang dipakai di Swedia. Biar tidak lagi digebuk oleh para Petinggi GAM bersama tim Pembela hukumnya. Suruh belajar lagi itu para staf Kedutaan Besar RI di Stockholm, jangan hanya pandai melongo saja.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

Polri akan Kirim Penerjemah ke Swedia

JAKARTA (Media): Polri akan mengirimkan penerjemah bahasa Aceh dan bahasa Indonesia untuk membantu penyidik Swedia dalam menerjemahkan dokumen-dokumen yang ditemukan di rumah Hasan Tiro di Swedia.

"Kita akan segera mencarikan penerjemah kalau memang dibutuhkan penyidik Swedia. Kita akan penuhi segala hal yang dibutuhkan oleh penyidik Swedia agar segala informasi yang menggunakan bahasa apa pun dapat dimengerti oleh mereka," kata Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar usai salat Jumat di Mabes Polri, kemarin.

Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Stockholm, Tomas Lindstrand mengatakan pihaknya menemukan dokumen di rumah Hasan Tiro dan kawan-kawan saat penggerebekan, Selasa (15/6). Lindstrand mengatakan, pihaknya kesulitan menemukan penerjemah yang bisa membantu menerjemahkan berkas-berkas itu.

Polri sebenarnya telah mengirimkan tiga perwira menengah untuk membantu kejaksaan Swedia. Namun, ketiga perwira ini tidak satu pun yang dapat berbahasa Aceh. "Secepatnya kita kirimkan penerjemah. Sebenarnya itu bukan kewajiban kita sendiri, melainkan untuk membantu proses penyidikan apa pun akan kita lakukan. Ini menyangkut kepentingan nasional dan negara," tegas Direktur I Keamanan dan Trans Nasional Mabes Polri Brigjen Aryanto Sutadi.

Ketika ditanya dokumen apa saja yang ditemukan penyidik Swedia di rumah Hasan Tiro, Aryanto mengaku tidak tahu persis. "Saya belum mendapat informasi tentang itu," jelasnya.

Aryanto mengaku gembira, penyidik Swedia memberikan kesempatan kepada penyidik Mabes Polri untuk memeriksa secara langsung Hasan Tiro, Zaini Abdullah, dan Malik Mahmud. "Mereka adalah aktor intelektual dari keberadaan GAM dan kegiatan teror yang dilakukan GAM. Selama ini kita tidak kontak langsung dengan mereka. Jadi, diberikannya kesempatan untuk memeriksa langsung betul-betul sangat kita butuhkan."

Namun, dalam kesempatan pemeriksaan pertama, ketiga pentolan GAM tersebut tidak bersedia menjawab pertanyaan penyidik Polri. "Ya, itu hak mereka, tetapi kita akan mencari cara agar bisa memperoleh keterangan dari mereka," katanya.

Tiga orang penyidik Mabes Polri yang melakukan pemeriksaan di Swedia adalah Komisaris Besar IGM Sumeka, Ajun Komisaris Besar Zeldy Ramadhan dan Ajun Komisaris Besar Hasan Malik.

Jika dalam pemeriksaan selanjutnya, ketiga pentolan GAM tersebut tidak bersedia menjawab, penyidik Polri akan menitipkan sejumlah pertanyaan kepada penyidik Swedia. "Idealnya kita yang memeriksa langsung karena kebutuhan pemeriksaan kita dengan penyidik Swedia jelas berbeda. Mereka memeriksa karena ketiganya dianggap menyalahi hukum Swedia. Tetapi, kalau tidak ada jalan lain, ya, kita titipkan pertanyaan."

Dibebaskan

Sementara itu, Kejaksaan Swedia telah melepas Zaini Abdullah dan Malik Mahmud dari tahanan, kemarin.

Mereka dilepas karena permintaan kejaksaan untuk memperpanjang masa penahanan keduanya tidak dikabulkan. "Pengadilan menilai tidak cukup bukti penahanan keduanya diperpanjang," kata hakim Pengadilan Swedia Lars Berger kepada AFP.

Menanggapi hal ini, Aryanto menyatakan itu sepenuhnya wewenang penegak hukum Swedia. "Itu tidak masalah karena meski tidak ditahan, penyidikan terus dilakukan."

Dia mencontohkan Hasan Tiro sendiri sejauh ini tidak ditahan karena pemimpin GAM tersebut sering sakit-sakitan karena usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun, meski tidak ditahan, Hasan Tiro tetap menjalani pemeriksaan.

Dilepasnya Zaini Abdullah dan Malik Mahmud dari rumah tahanan Kejaksaan Swedia, tutur Aryanto, hanya karena hakim belum mengetahui banyak tentang barang bukti keterlibatan keduanya sebagai aktor intelektual berbagai kegiatan teror.

Berdasarkan hukum di Swedia, masa penahanan seorang tersangka hanya tiga hari dan bisa diperpanjang dengan izin hakim.

"Mudah-mudahan dengan dikirimnya penerjemah kita ke sana, barang bukti keterlibatan Zaini Abdullah dan Malik Mahmud semakin kuat, sehingga ada alasan bagi hakim untuk meluluskan permintaan Kejaksaan Swedia menahan kembali dua tokoh GAM tersebut," terang Aryanto.

Sementara itu, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Endang Suwarya meminta anggota GAM untuk segera turun dari hutan dan menyerah setelah pimpinan puncak GAM ditangkap di Swedia.

Dikatakan, anggota GAM yang berada di Aceh sudah ditipu Hasan Tiro yang sudah hidup enak dan senang di Swedia. ''Saya mengingatkan kepada seluruh anggota GAM yang masih berada di hutan-hutan, untuk segera turun dan kembali ke pangkuan Ibu Petiwi. Karena, usaha mereka untuk memerdekakan Aceh hanya sia-sia dan akan menyengsarakan masyarakat Aceh sendiri,'' ujar Endang Suwarya di Banda Aceh, kemarin. (Fud/HP/J-2)
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004061902514106
----------