Stockholm, 4 Agustus 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

SUMITRO PAKAI CERITA GOMBAL YANG DISEBARKAN DITYA SOEDARSONO UNTUK PUKUL TGK HASAN DI TIRO
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

KELIHATAN DENGAN JELAS ITU SUMITRO MEMPERGUNAKAN CERITA GOMBAL YANG DISEBARKAN DITYA SOEDARSONO UNTUK PUKUL TEUNGKU HASAN DI TIRO

"Saya yakin tidak akan ada kedamaian di Aceh kalau GAM nya Hasan Tiro masih ada disana. Oleh karena itu rakyat aceh harus waspada dan kalau mau damai maka GAM Hasan Tiro harus Binasa sehingga TNI secara otomatis akan hengkang kaki di Aceh dengan demikian kedamaian akan tercipta di Aceh." (Sumitro mitro@kpei.co.id , Tue, 3 Aug 2004 14:50:10 +0700)

Baiklah saudara Sumitro di Jakarta, Indonesia.

Sumitro buat propaganda. Dengan tujuan untuk menipu dan membohongi rakyat Acheh. Sayangnya propaganda tulisan Sumitro isinya gombal.

Tulisan yang disebar-luaskan Sumitro itu pada awalnya dikirimkan oleh Teungku Lamkaruna Putra ditujukan kepada Komandan Satuan Tugas Penerangan (Dansatgaspen) PDMD Kolonel Laut Ditya Soedarsono. Lalu oleh Kolonel Laut Ditya Soedarsono disebarkan ke para peserta mimbar bebas ini. Kemudian seterusnya disebarkan kembali oleh Sumitro.

Dimana tulisan yang disebarkan kembali Sumitro ini ditulis oleh Nurlis Effendi dan Muhammad Shaleh dari Majalah GAMMA tahun 1999 yang berjudul "ACEH, Hasan Tiro Pembual Besar", dan juga pernah dipublikasikan oleh Milis Apakabar berbasis di Amerika, yang diasuh oleh John Mc Douglas, warga Amerika yg pandai berbahasa Indonesia, Kamis, 23 Desember 1999 18:41:29 -0700 (MST).

Dimana sebenarnya tulisan gombal ini telah saya beri tanggapan pada tanggal 9 Mei 2004 yang lalu dalam tulisan "Kolonel Ditya dapat info salah dari Tgk Lamkaruna tentang Tgk Hasan di Tiro" ( www.dataphone.se/~ahmad/040509.htm )

Karena Sumitro menyebarluaskan kembali tulisan tersebut, maka saya akan tampilkan kembali apa yang telah saya kemukakan dalam tanggapan saya terdahulu itu.

Hasil riset perpustakaan menunjukkan bahwa pada awal tahun 1800 pulanglah seorang haji bernama Haji Abdussalam asal Jawa dari Mekkah dan singgah di Pidie.Lalu menetap di Pidie mengajarkan ilmu agama. Kemudian Raja setempat mengangkat Haji Abdussalam menjadi fakih (wali hakim) di sekitar Masjid Raya Pidie yang dipanggil Teungku Fakih Abdussalam.

Lalu Teungku Fakih Abdussalam menikah dan mendapat beberapa putra dan putri. Dua orang diantara anaknya, sorang putri bernama Aisyah, dan seorang putra bernama Ubaidillah. Keduanya punya keterkaitan dengan kehidupan Tgk Tjhik di Tiro Muhammad Saman.

Masih pada awal 1800 datang pula ke Pidie seorang haji Bugis asal Sidenreng yang baru pulang dari Mekkah yang dikenal sebagai Teungku Sindri. Teungku Sindri ini juga mengajar agama di Pidie.

Pada tahun 1835 M (1250 H) Teungku Sindri menikah dengan Aisyah, putri Teungku Fakih Abdussalam. Pada tahun 1836 M (1251 H), dari perkawinan ini lahirlah Muhammad Saman. Kemudian dia menyandang gelar Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman.

Dalam tubuh Muhammad Saman mengalir darah Jawa (bisa jadi dari pesisir utara Jawa, sebab keturunan raja Mataram tidak pernah naik haji) dan darah Bugis. Lalu dia menikah dengan putri pamannya Ubaidillah. Dari perkawinan ini lahirlah Tgk Mat Amin, Tgk Ubaidillah (Tgk Bed), Tgk Lambada, Tgk Mahjeddin. Syeh Muhammad Saman masih memiliki seorang putra yakni Tgk M.Ali Zainal Abidin dan seorang putri, Nyak Fatimah (Mansur Amin, mansur_amin@mail.com , Fri, 01 Aug 2003 09:34:11 -0500)

Menurut lampiran hasil karya H.J. Schmidt, Marechaussee in Atjeh, p.128. Tgk Tjhik Saman alias Teungkoe di Tiro meninggal 1891. Mempunyai 5 putra, yaitu Tgk Mat Amin meninggal 1896, Tgk Mahidin alias Tgk Tjhik Majet meninggal 5 September 1910, Tgk di Toengkob alias Tgk Beb meninggal 1899, Tgk Lambada meninggal 1904, Tgk di Boeket alias Tgk Moehamad Ali Zainoelabidin meningal 21 Mei 1910.

Teungku Hasan datang dari keturunan Tgk Mahidin yang memiliki putra Tgk Oemar meninggal 21 Mei 1910, Tgk Abdullah, Pocut Fatimah dan Pocut Amut. Pocut Fatimah menikah dengan Leube Muhammad. Dari perkawinan ini lahir Teungku Hasan pada tanggal 4 September 1930 di Kampung Tiro, sekitar 20 km dari Sigli.

Nah dari silsilah diatas tergambar bahwa Teungku Hasan adalah cicit dari Tgk Tjhik di Tiro Muhammad Saman dari pihak Ibu, yaitu dari Pocut Fatimah. Karena Teungku Hasan lahir di kampung Tiro, maka namanya menjadi Teungku Hasan di Tiro, atau kalau ditambahkan nama ayahnya menjadi Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Dimana nama Tiro diambil dari tempat kampung kelahirannya di kampung Tiro.

Teungku Hasan Muhammad di Tiro bukan Sultan, melainkan Wali Neugara. Kemudian, anak Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Karim, bukan sebagai putra mahkota untuk menggantikan posisinya sebagai "raja" Aceh. Karena Aceh dibawah pimpinan Wali Neugara bukan bentuk kerajaan.

Teungku Hasan Muhammad di Tiro selalu memperingati hari kematian Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman, sebagaimana yang ditulis dalam buku hariannya: "Today is a national holiday, the Tengku Tjhik di Tiro day, commemorating the death of Tengku Tjhik di Tiro the Great, Muhammad Samman, who died on January 25, 1891, amidst the long war with the Dutch, at the Fortreess of Aneuk Galong, in Great Acheh province...It is difficult for me to assess his place in Achehnese history because he was my great grandfather." (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal 139-140).

Teungku Hasan Muhammad di Tiro belum pernah pulang ke Aceh sejak meninggalkan NKRI tahun 1951, sebagaimana yang dinyatakannya: "(October 30, 1976)...my first night in my homeland after being in exile for 25 years in the United Stateds" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 9).

Teungku Hasan Muhammad di Tiro mempunyai bisnis perusahaan sendiri sebagaimana dinyatakan: "My own company had join-venture agreements with many of them which I affected, and myself retain a status of consultant to some of them....But I never mixed my business with my politics. So very few of them knew what I had in mind to do in Acheh Sumatra" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 4)

Tentang "duit mengucur dengan derasnya dari 1959 sampai 1961. Termasuk, duit dari Kaso Abdul Gani, Darul Islam Sulawesi di Kuala Lumpur", jelas itu Nurlis Effendi, dan Muhammad Shaleh tidak menyertakan fakta dan buktinya. Sehingga isi tulisan tersebut adalah hanya berupa tuduhan semata.

Teungku Hasan Muhammad di Tiro tidak memimpin aksi Republik Islam Aceh yang dirubah menjadi Aceh Merdeka. Mengapa ?

Karena tanggal 4 September 1976 Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggalkan New York. Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1976 naik kapal dari salah satu pelabuhan di Asia, sampai di pantai Aceh Utara pada tanggal 30 Oktober 1976 disambut oleh M Daud Husin. Dari tanggal 1 November sampai 29 November 1976 menetap di satu kamp kurang lebih 4 kilometer dari pos penjagaan tentara Jawa. Pada waktu itulah Teungku Hasan Muhammad di Tiro bertemu pertama kalinya di Acheh dengan Dr. Muchtar Hasbi yang datang ke kamp tempat Teungku Hasan Muhammad di Tiro berada.

Kemudian, pada tanggal 4 Desember 1976 dideklarasikan ulang Aceh Sumatra merdeka. Pada tanggal 4 Desember adalah merupakan simbol dan sejarah satu hari setelah tentara Belanda menembak mati Teungku Thjik Maat di Tiro dalam perang Alue Bhot, Tangse, pada tanggal 3 Desember 1911. Kemudian Belanda menetapkan tanggal 4 Desember 1911 sebagai hari akhir kedaulatan Negara Aceh. (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 4 - 14).

Jadi bila Teungku Hasan Muhammad di Tiro memimpin Republik Islam Acheh, kalau ada orang yang menuduh Teungku Hasan Muhammad di Tiro memimpin aksi RIA.

National Liberation Front of Acheh Sumatra adalah merupakan wadah perjuangan untuk pembebasan Negara Aceh yang telah dijajah oleh NKRI. Karena itu usaha propaganda pihak NKRI untuk menyebut teroris dan separatis adalah tidak benar, karena National Liberation Front of Acheh Sumatra adalah wadah perjuangan untuk pembebasan Negeri Aceh yang telah dijajah oleh NKRI sejak 14 Agustus 1950 oleh Presiden RIS Soekarno yang diteruskan oleh pihak NKRI dari 15 Agustus 1950.

Kemudian National Liberation Front of Acheh Sumatra adalah merupakan gerakan Islam, karena kalau bukan gerakan Islam, maka tidak ada rakyat Aceh yang mau berkorban untuknya. "Even our National Liberation Front must be an Islamic Movement in the first place. Otherwise no Achehnese would want to risk his life for it" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 124 ).

Teungku Hasan Muhammad di Tiro ketika masih belajar teori politik dan filsafat politik menyinggung juga Nietzsche. Tetapi bukan berarti Teungku Hasan Muhammad di Tiro menjadi penganut ajaran Nietzsche.

Teungku Hasan Muhammad di Tiro menyatakan: "We never talk about the guns first, but the political ideas first...Only people with strong political consciousness, who have grasped the political theory of their independence movement can wage a protracted guerilla war to achieve that independence" (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 74).

Teungku Hasan Muhammad di Tiro menyatakan: "The leader is always the one who should lead the prayer...If a man is not fit to lead in prayer, he is not fit to lead the country and the state...In the present case I am the one who stand as the Imam, the leader, by appointment of the people". (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 21).

Kemudian tentang keputusan untuk menyelamatkan sumber gas alam yang telah dirampok oleh kolonialis Jawa melalui Mobil dan Bechtel. Dimana pertama kali pada tanggal 16 Oktober 1977 telah diputuskan dalam rapat Kabinet Pemerintah Negara Aceh yang berdaulat, bahwa sumber gas alam Aceh harus diselamatkan. Dimana alasan dari penyelamatan sumber gas alam ini adalah National Liberation Front of Acheh Sumatra sebagai pelindung dan yang mempertahankan hak rakyat Aceh berkewajiban untuk menyetop perampokan sumber gas alam oleh kolonialis Jawa melalui Mobil dan Bechtel. Pihak Mobil dan Bechtel boleh tinggal di Negeri Aceh apabila tidak lagi melayani pihak kolonialis Jawa perampok negeri Aceh, tetapi melayani kepada pihak National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Pemerintah Negara Aceh yang berdaulat. (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal.105 - 106).

Pada tanggal 15 Maret 1979 Wali Neugara membuat dekret, bawa selama Teungku Hasan Muhammad di Tiro di luar negeri, Pemerintah Negara Aceh dipimpin oleh Dewan Menteri. Perdana Menteri Dr Muchtar Hasbi, Wakil Perdana Menteri I Teungku Ilyas Laube, Wakil Perdana Menteri II Dr. Husaini Hasan, Wakil Perdana Menteri III Dr. Zaini Abdullah, Wakil Perdana Menteri IV Dr. Zubir Mahmud. Central Comitte National Liberation Front dalam keadaan darurat bertindak sebagai lembaga Legislatif untuk mengesahkan kerja Kabinet. (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal.220 - 221).

Pada tanggal 29 Maret 1979 Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggalkan Batee Iliek untuk pergi keluar negeri dalam rangka misi yang hanya ia sendiri bisa melaksanakannya. (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal.221 - 222).

Ternyata perjuangan rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan asing Negara Pancasila atau NKRI masih terus berlangsung sampai detik sekarang ini. Perjuangan untuk membebaskan Negeri Aceh yang telah ditelan, dicaplok, diduduki, dan dijajah oleh NKRI tetap menggema dan bergemuruh di Negeri Aceh.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad.swaramuslim.net
ahmad@dataphone.se
----------

From: Sumitro <mitro@kpei.co.id>
To: Ahmad Sudirman <ahmad@dataphone.se>, Serambi Indonesia <serambi_indonesia@yahoo.com>, Aceh Kita <redaksi@acehkita.com>,
ahmad jibril <ahmad_jibril1423@yahoo.com>, balipost <balipost@indo.net.id>, waspada <newsletter@waspada.co.id>, PR <redaksi@pikiran-rakyat.com>, Pontianak <editor@pontianak.wasantara.net.id>, Hudoyo <hudoyo@cbn.net.id>, JKT POST <jktpost2@cbn.net.id>, Redaksi Detik <redaksi@detik.com>, Redaksi Kompas <redaksi@kompas.com>
Cc: acheh_karbala@yahoo.no, ahmad@dataphone.se
Subject: RE: M. AL QUBRA: ROKHMAWAN & SUMITRO KENA RACUN SNOUGH HOUGHRONYE, PANCASILA & HIKAYAT MUSANG WAHABI
Date: Wed, 4 Aug 2004 09:46:25 +0700

Seperti halnya yang dikatakan oleh Teuku Don Zulfahri bahwa kefanatikan anggota GAM (seperti Al Qubra) terhadap tokoh seperti Hasan Tiro membuat mereka terjerat dengan kebohongan karena kalau sudah fanatik maka TIDAK akan ada yang salah dan keliru dari idolanya walau membunuh moeslim sekalipun dan pembunuhan itu dianggap halal seperti apa yang dilakukan oleh Hasan Tiro
terhadap Teuku Don Zulfari yang merupakan rekan seperjuangan yang telah banyak berkorban untuk aceh dan lebih-lebih lagi beliau adalah Moeslim. Berdasarkan dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Medan Prang diumumkan oleh saudara Ismail Syahputra.

Dan anda menyatakan Hasan Tiro adalah keturunan kaya raya ? ha ha ha anda begitu bodoh dan sok tahu ! kamu tahu bagaimana dia sekolah ? Konon Lelaki bertubuh kurus pendek ini lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, sebagai putra kedua Leubee Muhammad Tanjong Bungong, pada 1923. Tidak sebuah riwayat pun yang menceritakan ayahnya, Leubee Muhammad, sebagai seorang ulama maupun berdarah biru. Juga tidak ada hubungan dengan Teungku Chik Di Tiro. Hasan lahir sebagai anak petani.

Jika menurut garis keturunan, maka Hasan mesti menyebut nama lengkapnya Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong, bukan Hasan Tiro, konon pula sultan. Dia juga keturunan orang Jawa-Banten. Aneh bukan? Jika dia menyebut Aceh anti-Jawa --seperti komentarnya lewat saluran TV2 Swedia yang menyebut Jawa sebagai orang bodoh. Nah, Hasan sama saja dengan meludah ke atas mukanya sendiri.

Hasan memang bukan pula orang yang pintar-pintar amat. Dia memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat, lalu melanjutkannya pada Madrasah Blang Paseh yang didirikan Abu Daud Beureu-eh pada 1938. Alam pikirannya biasa-biasa saja dan cenderung sebagai anak pendiam di sekolah. Dia sekelas dengan Hasan Saleh, tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).Untuk membina mentalnya, Abu Daud Beure-eh mengirimnya ke Normal School, Bireuen, Aceh Utara. Perguruan yang dipimpin Moehammad El-Ibrahimy.

Hasan mulai nakal. Dia dikeluarkan dari sekolah lantaran berkelahi dengan Ismail Payabujuk. Hasan terdampar lagi d i tempat Abu Daud Beureueh. Hasan kemudian muncul menjadi Ketua Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, Pidie. Di Lamlo pula, Hasan mengibarkan bendera Merah Putih, dan membuat pernyatan atas nama keluarga Tiro sebagai pendukung setia Republik Indonesia pada Agustus 1945. Lalu, abang kandungnya, Zainal Abidin, memohon bantuan Abu Daud Bereueh agar dikirim ke yogyakarta. Hasan masuk ke Universitas Islam Indonesia. Dan, atas rekomendasi Abu Daud Bereueh, Hasan bisa berkenalan dengan Syafruddin Prawiranegara, dan bekerja di pemerintahan Republik Indonesia sambil kuliah, pada 1949 hingga 1951. Syafruddin merekomendasikan Hasan untuk berangkat ke Amerika dan bekerja di kantor
Perwakilan Indonesia di PBB, dari 1951 hingga 1954.

Di Amerika, Hasan mendengar Abu Daud Beureueh bergabung dengan DI/TII, maka dia pun ikut, pada 1954. Nama Hasan mulai dikenal sejak dia membuat surat yang ditujukan kepada Ali Sostroamidjojo. Isinya, hentikan agresi TNI dan kekejaman terhadap rakyat Aceh , Jawa Barat, dan Sulawesi. Jika tidak, Hasan mengancam akan membawa persoalan tersebut ke forum PBB. Jawaban pemerintah, paspor Hasan Tiro ditarik. Namun, dia masih punya tabungan dan bisa membayar denda US$ 500. Dengan duit sebesar itu, dia bisa menetap di Amerika.

Hasan kemudian diangkat S.M. Sukarmaji Mariam Kartosuwiryo sebagai wakil DI di luar negeri, tahun 1956.Di Amerika, Hasan sempat berpacaran dengan seroang wartawati majalah Time, dan berencana mengawininya. Namun, dia mesti pulang ke Aceh untuk memutuskan tunangan dengan pilihan orang tuanya pada 1958.

Inilah pertama kalinya dia menginjak Aceh sejak ditingga linya delapan tahun lalu. Ketika pulang itulah Hasan menerima duit jutaan dolar dari Darul Islam. ujuannya untuk membeli senjata. Isu bakal dapat senjata besar-besar main santer pada 1959, sebab barter Aceh-Malaysia sudah buka. Hasan pun berangkat lagi k e luar negeri.

Sejak berada di luar negeri, Hasan SELALU MEMBERI ANGIN pada pimpinan Darul Islam, terutama melalui Abu Daud Bereu-eh, bahwa dirinya SUDAH MEMILIKI KONTAK INTERNASIONAL. Dan, ujung-ujungnya, perlu duit untuk beli senjata. Duit pun mengucur dengan derasnya dari 1959 sampai 1961.

Termasuk, duit dari dari Kaso Abdul Gani, Darul Islam Sulawesi di Kuala Lumpur. Diketahui kemudian, Hasan TELAH MENGAWINI seorang WANITA KETURUNAN YAHUDI - Swedia yang telah memberikannya seorang putra bernama Karim Hasan. Ada yang bilang dia berprofesi sebagai makelar. Tetapi, ada juga yang bilang dia punya perusahaan yang bergerak dalam bidang perminyakan, yaitu Dural Internasional Limited 1001 New York. Sayangnya, nama perusahaan ini
belakangan diketahui HANYA FIKTIF semata.

Tokoh-tokoh DI/TII tentu terus menanyakan perihal senjata api itu. Namun, selalu saja dijawab tunggu dulu. Di Aceh, Abu Daud Beureu-eh sudah membentuk gerakan sendiri bernama Republik Islam Aceh (RIA), yang diproklamasikan 15 Agustus 1961. Lalu, Abu Daud Berueueh mengirim utusan ke Amerika, Teungku Zainal Abidin, abang kandung Hasan Tiro untuk menagih soal senjata itu. "Tidak usah khawatir, Abang pulang saja ke Aceh, barangkali duluan senjata tiba ke Aceh ketimbang Abang," kata Hasan pula, sambil menyebut senjata dibawa pakai helikopter. Zainal pula dan melapor lagi pada Abu Beureueh, pada 1974. Saat itu juga dipersiapkan tempat pendaratan helikopter. Hutan di Nisam, Aceh Utara, dibersihkan. Namun, senjata tidak kunjung datang. Hasan beralasan tidak bisa mengirimn lewat udara, tetapi harus lewat laut dengan kapal selam.

Nah, Abu Daud Beureueh kembali memerintahkan alur pantai untuk memudahkan kapal selam masuk. Lagi-lagi, ia terkecoh. Sementara, Hasan sudah berada di Bangkok. Utusan kembali dikirim, kali ini Doktor Muchtar Hasbi Abdullah. Mereka berjumpa di Bangkok. Hasan membawa Doktor Muchtar pada salah satu pangkalan --diduga di teluk Subic Filipina--, dan Hasan lagi-lagi membual dengan menyebutnya untuk dikirim ke Aceh.

Bertahun-tahun penipuan itu tersimpan. Akhirnya, Darul Islam berproses. Abu Daud Beureueh pun semakin tua. Dia memilih hidup dalam masjid, berkhotbah dan menjadi imam masjid. Hingga akhirnya, Abu Daud Beureueh diculik dan matanya dibutakan hingga akhir hayatnya. Sedangkan, gerakan Republik Islam Aceh terus melakukan aktivitas di pegunungan. Hingga suatu malam dalam 1977 datanglah berita bahwa Hasan Tiro pulang ke Aceh untuk memimpin pergerakan. Hasan hanya membawa pulang tiga pucuk pistol colt dan dua pucuk doublelub --penembak gajah. Lalu, Hasan memimpin aksi, nama Republik Islam Aceh diubah menjadi Aceh Merdeka.

Penamaan Aceh Merdeka itu juga sebenarnya adalah topeng untuk menutup-nutupi wajah Hasan sesungguhnya. "Dia gampang bersumpah. Abu kan ulama, jadi cepat memaafkannya," kata Teungku Fauzi Hasbi Abdullah, salah seorang saksi sejarah Aceh.Sebab, jika memakai Aceh merdeka, maka label Islam yang menonjol. Dan, itu penting untuk pergerakan di Aceh. Sedangkan, yang sesungguhnya Hasan lebih sering memakai Front Liberation Aceh Sumatera.

Alasan penamaan asing tersebut guna mudah pendapat perhati an internasional. "Kalau Islam sulit berjuang," begitu alasan Hasan, sebagaimana diulangi Teungku Fauzi Hasbi Abdullah, bekas Kepala Staf Angkatan Perang Aceh Merdeka. Waktu terus berjalan hingga diproklamasikannya Aceh Merdeka. Sebenarnya, proklamasinya berlangsung pada 20 Mei 1977.

Jadi, bukan pada 4 Desember 1976 sebagaimana diinginkan Hasan. kabinet pun disusun. Hasan Tiro mengangkat dirinya menjadi Wali Nanggroe Aceh Merdeka. Lantas, Hasan mulai mendoktrin ajaran yang digemarinya bahwa berjuang untuk memerdekakan Aceh cukup dengan 15 orang buta huruf. Jadi, setiap sekolah mesti dibakar. Mirip dengan teori Mao Tze Tung dari Cina. Selain itu, pantang baginya mendengar ada anak b uahnya menjawab perintahnya dengan kalimat "insya Allah", sebab menurutnya itu jawaban orang malas. Itu menunjukkan, Hasan ternyata penganut
ajaran Nietzsche dan Machiavelli.

Hasan pernah menginstruksikan Fauzi untuk menembak dua pegawai asing di Mobil Oil dan pembajakan Kapal PT Sandiwijaya. Alasannya, biar PBB cepat mengetahui pergolakan di Aceh. Setelah sempat perang mulut. Fauzi menggerakkan anak buahnya, akibatnya seorang pekerja
asing itu tewas, dan satunya lagi luka tembak. Rupanya, penembakan dua karyawan asing Mobil Oil merupakan awal bencana bagi Aceh Merdeka. Sebab, setelah peristiwa itu yang datang bukannya utusan PBB, namun sepasukan RPKAD yang dipimpin Letnan Satu Sjafrie Sjamsoeddin --kini mayor jenderal dan staf ahl i Panglima TNI. Hasan dan pengikutnya akhirnya menyelamatkan diri ke hutan. Lalu, Hasan bersumpah akan selalu bersama-sama dengan seluruh anggota Aceh Merdeka. "Hanya ada satu perjuangan, merdeka atau syahid," kata Hasan,
waktu itu.

Namun, setelah terdesak diuber-uber tentara terus, Hasan mulai mencari dalih menyelamatkan diri. Dia minta izin pada Doktor Muchtar, Wakil Wali Naggroe, untuk berkunjung ke luar negeri selama dua bulan. Alasannya untuk mengambil senjata, berurusan dengan PBB, serta menjalin hubungan diplomatik dengan luar negeri.

Sementara, gerakan Aceh Merdeka mulai mengendur. Satu per satu stafnya ditangkap, di antaranya ada yang tewas seperti Muchtar. Pergerakan Aceh Merdeka pun terhenti. Lalu, bergaung lagi tahun 1986-1989. Kembali Hasan MENABUR JANJI. Namun, hasilnya berbagai tindak kekerasan terjadi di Aceh. Operasi militer diberlakukan di Aceh hingga 1998 dengan korban tak kepalang.

Bila dikaji-kaji, sesungguhnya wajah Hasan yang sebenarnya tak banyak diketahui masyarakat ramai --termasuk juga di kalangan pengikutnya di lapis bawah. Mungkin, karena tampil dari kewibawaan Daud Beureu-eh yang dicintai rakyat, pengikutnya menganggap Hasan adalah penerus perjuangan suci tokoh DI/TII yang telah tiada itu. Mitos pun berkembang semacam FANATISME BUTA. Belakangan, terbukti banyak pengikut Hasan pada gelombang kedua ini keluar dari Aceh Merdeka, di antaranya memang tewas dan ditangkap. Kini, gelombang ketiga kembali berkobar di Aceh. Hasan kembali berjanji bahwa Aceh akan merdeka tahun 2004 ini.Konon, sebuah kapal selam lengkap pengangkut senjata akan merapat ke pantai Aceh. BUALAN APA LAGI INI? (Nurlis Effendi, Muhammad Shaleh Majalah GAMMA, tahun 1999)

Sumitro

mitro@kpei.co.id
Jakarta, Indonesia
----------