Jakarta, 25 Agustus 2004

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

PENCULIKAN GELOMBANG II YANG DIMOTORI DA'I BACHTIAR
Fauzan Al-Anshari
Jakarta - INDONESIA.

 

MABES POLRI MULAI LAGI MERAJALELA MELAKUKAN PENCULIKAN TERHADAP PULUHAN AKTIVIS MUSLIM

Setahun yang lalu, sekitar Juni-September 2003 Mabes Polri melakukan penangkapan --tepatnya penculikan-- terhadap puluhan aktivis muslim. Saat itu kami membentuk Tim Kuat (Tim Pembela Korban UU Antiteroris) untuk mengadvokasi mereka. Maklum mereka buta terhadap KUHP sehingga tidak tahu hak-haknya sebagai tersangka. Setelah kami lakukan testimoni ke beberapa pihak seperti ke Komnas Ham dan MUI, akhirnya Kapolri Jendral Dai Bachtiar mendatangi MUI untuk membantah adanya penculikan tersebut. Sejak itu penculikan berhenti dan tiba-tiba sejak awal Juli-Agustus ini penculikan dan penyiksaan kembali mencuat ke permukaan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 18 (1) disebutkan prosedur penangkapan, yakni pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Kemudian tembusan surat penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.

UU no.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mengatur prosedur penangkapan, sehingga polisi harus merujuk kepada KUHAP. Bedanya, waktu penangkapan terhadap tersangka teroris yang memiliki bukti permulaan cukup adalah 7x24 jam, sedangkan bagi tersangka berdasarkan KUHP hanya 1x24 jam. Untuk memperoleh bukti permulaan itu penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen setelah dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Jika kemudian tidak terbukti, polisi harus segera membebaskan dengan mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Pemeriksaan).

Mereka yang tidak terbukti bersalah tetapi terlanjur ditangkap seharusnya mendapatkan kompensasi, namun kedua UU itu tidak mengaturnya. Yang mendapatkan kompensasi hanyalah korban kejahatan terorisme. Padahal orang yang ditangkap itu juga bisa dikatakan sebagai korban teror oleh aparat kepolisian. Misalnya, musibah yang menimpa Syaifuddin Umar, alumni Gontor
dan Ummul Quro Mekkah, yang ditangkap pada 4 Agustus 2004 oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri dan Polda Jatim yang mengakibatkan luka-luka di tubuhnya, seperti: tiga bekas sundutan rokok di pipi; dua di kanan dan satu kiri, benjolan besar di dahi, luka memar memanjang di punggung; jumlahnya lebih dari lima, dua bekas sundutan rokok di tangan; satu di kanan dan satu kiri, dua luka sayat di tangan; satu di kanan dan satu kiri, kuku jari kelingking tangan kanan pecah, kuku ibu jari kaki kiri lepas, bibir kiri lebam, luka memar di pangkal paha hingga atas mata
kaki kanan, luka memar di atas mata kaki hingga tulang kering kaki kiri, dn depresi; gejalanya, sering bergumam dan takut pada orang yang tidak dikenalnya. (Indopos, 19/8).

Pertanyaannya adalah, siapa yang melakukan penyiksaan terhadap Syaifuddin Umar yang berprofesi guru ngaji tersebut? Apakah proses penangkapannya sesuai prosedur hukum? Oleh sebab itu, wajarlah jika akal sehat kita menuntut Polri, sebagai alat keamanan negara agar segera menangkap pelaku penyiksaan terhadap Ustad Syaifuddin Umar. Siapa pun pelaku penyiksaan
tersebut berarti telah melanggar UUD 45 Pasal 28i (1) yakni hak untuk tidak disiksa, sekalipun terhadap tersangka. Tugas polri sebagai penyidik adalah untuk menemukan bukti-bukti kuat terhadap tuduhan yang disangkakan kepadanya, bukan mengejar pengakuan yang justru akan mendorong terjadinya penyiksaan tersebut.

Jika penyiksaan itu dilakukan oleh oknum polri, maka hal itu menunjukkan bahwa polri tidak bekerja secara profesional, melainkan bekerja ala preman. Nurani kita juga menuntut agar polri bersikap adil terhadap penegakan supremasi hukum menyangkut tindak pidana terorisme, sementara terhadap konglomerat hitam, penjualan asset negara, illegal logging, dan pencemaran lingkungan terkesan bertele-tele. Para tersangka yang dampak kejahatannya jauh lebih dahsyat daripada peledakan bom ini justru mendapatkan hak-haknya, seperti panggilan resmi sebanyak tiga kali dan jika sakit diberi kesempatan untuk berobat. Tetapi mengapa untuk tersangka teroris tidak memperoleh haknya?

Kecurigaan pun langsung mengarah kepada keberadaan Densus 88 Anti Teror yang ada di Mabes Polri. Sejak bom Bali lembaga ini menjadi monster bagi aktivis muslim. Kini telah menangkap sekitar 145 tersangka teroris yang semuanya muslim, tidak ada satu pun teroris nonmuslim. Bahkan tokoh separatis RMS Alex Manuputty hanya dikenakan KUHP dan kabur ke Amerika. Nampaknya lembaga tersebut telah menjelma menjadi superbodi yang tak tersentuh hukum dan banyak sekali menyakiti umat Islam, khususnya para ulama dan aktivis muslim yang dituduh teroris.

Islam sangat menentang kejahatan terorisme (al-hirabah) sehingga menghukum pelakunya dengan tegas, yakni dihukum mati atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diusir dari negerinya (lihat QS. Al-Maidah/5:33). Namun, Islam telah memberikan pengertian teroris secara permanen sehingga tidak mudah diselewengkan orang, yakni orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. Maka siapa pun pelakunya harus ditindak tegas, termasuk oknum aparat yang melakukan teror penculikan terhadap tersangka teroris.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sebaiknya lembaga tersebut dibubarkan saja, karena telah dimanfaatkan oleh kelompok anti-Islam untuk memberangus para aktivis muslim yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Jika lembaga itu tetap dipertahankan, maka kesalahan Orde Baru
yang terkenal sangat represif terhadap umat Islam dengan opsusnya akan terulang kembali. Kezaliman militer Orde Baru jangan sampai beralih kepada polri pada era reformasi sekarang ini. Jika demikian, umat Islam tidak akan melupakan kezaliman mereka dan akan menuntut mereka di depan Mahkamah Illahi nanti. Kami juga melihat bagaimana akhir kehidupan orang-orang yang
dulu menzalimi umat Islam.

Wassalam.

Drs. Fauzan Al-Anshari

Ketua Departemen Data dan Informasi
Majelis Mujahidin
Jakarta, Indonesia
----------

Jakarta, 19 Agustus 2004

MAJELIS MUJAHIDIN DEPARTEMEN DATA DAN INFORMASI
Jl. Jatinegara Timur III no.26 Jakarta-13350 Tlp/Fax: 8517718

PERNYATAAN SIKAP

Mencermati musibah yang menimpa ustad Syaifuddin Umar, alumni Gontor dan Ummul Quro Mekkah, yang ditangkap pada 4 Agustus 2004 oleh Detasemen Khusus 88 Mabes Polri dan Polda Jatim yang mengakibatkan luka-luka di tubuhnya, seperti:

1. Tiga bekas sundutan rokok di pipi; dua di kanan dan satu kiri.
2. Benjolan besar di dahi.
3. Luka memar memanjang di punggung. Jumlahnya lebih dari lima.
4. Dua bekas sundutan rokok di tangan; satu di kanan dan satu kiri.
5. Dua luka sayat di tangan; satu di kanan dan satu kiri.
6. Kuku jari kelingking tangan kanan pecah.
7. Kuku ibu jari kaki kiri lepas.
8. Bibir kiri lebam.
9. Luka memar di pangkal paha hingga atas mata kaki kanan.
10. Luka memar di atas mata kaki hingga tulang kering kaki kiri.
11. Depresi. Gejalanya, sering bergumam dan takut pada orang yang tidak dikenalnya. (Indopos, 19/8).

Maka kami menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

a. Menuntut Polri, sebagai alat keamanan negara agar segera menangkap
pelaku penyiksaan terhadap Ustad Syaifuddin Umar.
b.Siapapun pelaku penyiksaan tersebut berarti telah melanggar UUD 45 Pasal 28I (1) yakni hak untuk tidak disiksa, sekalipun terhadap tersangka.
c. Tugas polri sebagai aparat penyidik adalah untuk menemukan bukti-bukti kuat terhadap tuduhan yang disangkakan kepadanya, bukan mengejar pengakuan yang justru akan mendorong terjadinya penyiksaan tersebut.
d. Jika penyiksaan itu dilakukan oleh aparat polri, maka hal itu menunjukkan bahwa polri tidak bekerja secara profesional, melainkan bekerja ala preman.
e. Menuntut agar polri bersikap adil terhadap penegakan supremasi hukum menyangkut tindak pidana terorisme, sementara terhadap konglomerat hitam, penjualan asset negara, illegal logging, dan pencemaran lingkungan terkesan bertele-tele.

Drs. Fauzan Al-Anshari

Ketua Departemen Data dan Informasi
Majelis Mujahidin
Jakarta, Indonesia
----------