Stockholm, 30 Januari 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

WIDODO TAMPILKAN PROSPEK PENYELESAIAN ACHEH DENGAN CARA TERMINASI KONFLIK MODEL SOEKARNO
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, JUSUF KALLA DAN WIDODO ADI SUTJIPTO GENERASI PENERUS SOEKARNO YANG MENGHARAPKAN PENYELESAIAN KONFLIK ACHEH PAKAI CARA TERMINASI KONFLIK MODEL SOEKARNO

Nah prospek atau harapan atau kemungkinan untuk penyelesaian konflik Acheh dengan cara terminasi konflik atau mengakhiri konflik yang dilihat dari sudut pandang Soekarno dan para penerusnya termasuk Menteri Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan Laksamana (Purn) Widodo Adi Sutjipto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Jelas, karena adanya perbedaan pandangan dan dasar berpijak dari pihak RI dan pihak ASNLF atau GAM dalam perundingan Helsinki 28-29 Januari 2005 yang dipasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari inilah yang menyebabkan perundingan Helsinki ini gagal total. Mengapa ?

Karena prospek atau harapan atau kemungkinan penyelesaian konflik Acheh yang dibayangkan oleh pihak RI dibawah Susilo Bambang Yudhoyono Cs ini adalah melihat dan memandang itu Negeri Acheh adalah bagian dari wilayah RI dari sejak RI diproklamasikan 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Moh. Hatta.

Sedangkan dari pihak ASNLF atau GAM prospek atau harapan atau kemungkinan penyelesaian konflik Acheh ini didasarkan kepada adanya ekspansi politik Soekarno melalui cara pendudukan dan penjajahan Negeri Acheh secara sepihak dengan melambungkan PP RIS No.21/1950 dan PERPPU No.5/1950, tanpa adanya persetujuan, tanpa kerelaan, dan tanpa keikhlasan dari seluruh rakyat Acheh dan pimpinan rakyat Acheh.

Tentang mengapa itu Negeri Acheh bukan bagian dari wilayah de-facto dan de-jure RI telah berpuluh kali dikupas oleh Ahmad Sudirman di mimbar bebas ini, yang arsipnya disimpan secara aman dan rapih di http://www.dataphone.se/~ahmad/opini.htm .

Nah, dengan adanya perbedaan pandangan dan dasar berpijak inilah yang menghasilkan perbedaan dalam hal prospek atau harapan untuk penyelesaian konflik Acheh.

Pihak RI yang diwakili oleh Menteri Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan Laksamana (Purn) Widodo Adi Sutjipto, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil dalam perundingan Helsinki 28-29 Januari 2005 melihat dan mengharapkan penyelesaian konflik dengan cara terminasi konflik, yaitu dengan menyelesaikan secara tuntas dan sekaligus selesai, melalui cara teknis yang meliputi seluruh pimpinan ASNLF atau GAM kembali ke RI, dan seluruh pasukan TNA turun dari gunung dengan menyerahkan seluruh senjata kepada pihak RI, dengan janji diberi ampunan oleh Presiden dalam bentuk pemberian amnesti.

Sedangkan dari pihak ASNLF atau GAM yang diwakili oleh Perdana Menteri Teungku Malik Mahmud dan Menteri Luar Negeri Teungku Dr Zaini Abdullah mengharapkan penyelesaian konflik Acheh dengan melihat subtansinya yang paling utama dan paling penting saat sekarang ini yaitu melakukan gencatan senjata guna memberikan kepada para relawan militer dan sipil asing dan dalam negeri agar bebas dan merasa aman untuk bisa memberikan bantuan dalam bentuk pemulihan, rehabilitasi korban gempa dan tsunami yang sangat membutuhkan bantuan dan pertolongan segera, dan untuk rekonstruksi dalam jangka panjang.

Nah, dari apa yang ditampilkan oleh kedua belah pihak, RI dan ASNLF atau GAM dalam perundingan Helsinki ini, ternyata pihak RI dibawah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dan tim juru rundingnya kelihatan dalam prospek penyelesaian konflik Acheh ini sangat kaku dan tidak fleksibel. Mengapa ?

Karena, pihak RI hanya terfokus kepada adanya ketakutan bahwa Negeri Acheh itu akan lepas sebagaimana Timor Timur, sehingga bagaimanapun berusaha untuk tetap mempertahankan status Negeri Acheh sebagai bagian dari RI dalam bentuk otonomi khusus melalui pembuatan dasar hukum sepihak UU No.18/2001.

Dengan adanya ketakutan dan kekhawatiran Negeri Acheh itu lepas ketangan rakyat Acheh, maka dengan segala usaha dan taktik, pihak RI terus melakukan pembentengan melalui cara pemberian harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi dengan melambungkan tali penjerat NKRI sudah final, dan Acheh dengan status otonomi khususnya yang berpijak diatas dasar hukum gombal UU No.18/2001.

Sehingga ketika pihak RI melakukan perundingan Helsinki kelihatan itu tim juru runding RI hanya terfokus kepada terminasi konflik dengan cara semua pimpinan ASNLF atau GAM dan TNA menyerah dengan senjata-senjatanya dikumpulkan di depan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Sebaliknya pihak ASNLF atau GAM walaupun mereka mengetahui secara pasti dan jelas itu Negeri Acheh telah diduduki dan dijajah oleh RIS, NKRI, RI dari sejak Soekarno sampai sekarang Susilo Bambang Yudhoyono, masih berlapang dada untuk tidak membicarakan masalah tuntutan penentuan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah RI, melainkan lebih memfokuskan dan mengutamakan kepada bagaimana untuk menyelamatkan korban gempa tsunami yang sangat memerlukan pertolongan segera dengan memberikan kebebasan dan rasa aman bagi para relawan militer dan sipil asing dan dalam negeri untuk menjalankan tugas guna menyelamatkan, memulihkan dan merehabilitasi para korban gempa dan tsunami yang sangat memerlukan pertolongan secepatnya.

Jadi, disini kelihatan memang itu tim RI masih tetap ketakutan lepasnya Negeri Acheh, sehingga kelihatan dalam taktik dan strategi mereka dengan lambungan konsep terminasi konflik yang kaku dan gombal itu.

Sedangkan dari pihak ASNLF atau GAM justru lebih fleksibel dengan tidak menyangkutkan kepada masalah tuntutan penentuan nasib sendiri, melainkan lebih banyak memfokuskan kepada masalah kemanusiaan dan keamanan bagi pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi korban gempa dan tsunami di Acheh.

Karena itu, kalau memang pihak RI dan ASNLF berencana untuk kembali berunding, maka yang lebih penting dirobah adalah bagaimana sikap dari pihak RI untuk merobah taktik dan strategi perundingan yang memiliki prospek penyelesaian konflik Acheh yang luwes tanpa harus dibuntuti dengan rasa kekhawatiran Negeri Acheh akan lepas kepada rakyat Acheh, sehingga tidak berani melepaskan dasar hukum gombal UU No.18/2001 dan konsepsi kerangka NKRI yang usang itu.

Dan pihak RI harus menyadari dan harus memahami bahwa masa depan Negeri Acheh ada ditangan seluruh rakyat Acheh, bukan ditangan penguasa pusat di Jakarta.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
----------