Stockholm, 26 Februari 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

GUENOENG GEUREUDOENG PERLU BELAJAR KEMBALI BAGAIMANA BELANDA MENYERAHKAN KEDAULATAN KEPADA RIS BUKAN RI
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

GUENOENG GEUREUDOENG DI HUDDINGE PERLU BELAJAR BANYAK TENTANG PENYERAHAN KEDAULATAN DARI BELANDA KEPADA RIS BUKAN KEPADA RI

"Makna self government atau" pemerintah sendiri adalah sama dengan Indonesia dan Hindia Belanda. Sewaktu Hindia Belanda ditukar menjadi Indonesia bermaksud untuk menenangkan rakyat yang sudah benci kepada nama pura2 Hindia Belanda itu. Sekarang Belanda Singapura menukar nama otonomi yang sangat dibenci itu menjadi "pemerintah sendiri" untuk menipu rakya Aceh. Itulah kerja Malik Mahmud dengan M Nur djuli GAM Coba Jelaskan "Self Government", Tapi Masih Kabur Dari Minta Merdeka ke Referendum" (Guenoeng Geureudoeng, apalambak2000@yahoo.ca , Sat, 26 februari 2005 13:25:16)

Baiklah saudara Guenoeng Geureudoeng di Huddinge, Swedia.

Mendengar nama Guenoeng Geureudoeng, Ahmad Sudirman teringat kepada gunung yang bernama geureudoeng yang tingginya 2590 m, terletak di Kabupaten Acheh Tengah, ibu kotanya Takengon yang telah diklaim oleh suku Gayo untuk dijadikan provinsi sendiri bebas dari Acheh.

Ahmad Sudirman tidak akan meduga-duga itu orang yang menamakan dirinya Guenoeng Geureudoeng ini adalah orang dari suku Gayo di Acheh Tengah yang sekarang tianggal di Huddinge, Swedia ini.

Hanya disini, yang akan dikomentari adalah pandangan dan pikiran saudara Guenoeng Geureudoeng yang menyatakan: "Makna self government atau" pemerintah sendiri adalah sama dengan Indonesia dan Hindia Belanda. Sewaktu Hindia Belanda ditukar menjadi Indonesia bermaksud untuk menenangkan rakyat yang sudah benci kepada nama pura2 Hindia Belanda itu. Sekarang Belanda Singapura menukar nama otonomi yang sangat dibenci itu menjadi "pemerintah sendiri" untuk menipu rakya Aceh"

Nah, dari apa yang dilontarkan oleh Geureudoeng ini menunjukkan bahwa Geureudoeng sendiri hanyalah menduga-duga saja apa yang dinamakan self government yang disodorkan oleh pihak tim juru runding ASNLF dalam perundingan RI-ASNLF putaran II di Koningstedt, Finlandia, 21-23 Februari 2005. Mengapa ?

Karena, dengan menyebutkan "Makna self government atau pemerintah sendiri adalah sama dengan Indonesia dan Hindia Belanda.". Itu adalah jelas salah besar. Mengapa ?

Karena yang dinamakan Hindia Belanda artinya daerah yang dikuasai dan diduduki Belanda di wilayah Hindia, itu tidak diberikan kedaulatannya kepada pihak RI, melainkan kepada pihak RIS.

Jadi, adalah salah besar kalau menyamakan pemerintah sendiri Indonesia sama dengan kekuasaan tertinggi atas pemerintahan Hindia Belanda ditangani dan dikuasai oleh RI. Lagi pula yang meliputi Hindia Belanda tidak mencakup Negeri Acheh.

Selanjutnya kesalahan fatal yang dikemukakan oleh Geureudoeng adalah: "Sewaktu Hindia Belanda ditukar menjadi Indonesia bermaksud untuk menenangkan rakyat yang sudah benci kepada nama pura2 Hindia Belanda itu."

Jelas, disini kesalahan fatal yang telah meracuni otak-otak rakyat di Nusantara akibat racun mematikan Soekarno.

Hindia Belanda tidak ditukar menjadi Indonesia. Yang ada adalah pihak Kerajaan Belanda menyerahkan dan mengakui kedaulatan kepada pihak RIS, bukan kepada pihak RI. RI adalah merupakan Negara Bagian RIS. RI tidak memiliki kedaulatan. Karena kedaulatan RI diserahkan kepada RIS.

Jadi Negara RI yang sekarang disebut Indonesia adalah pada saat kedaulatan diserahkan Belanda kepada RIS, itu Negara bagian RI tidak punya kedaulatan. Karena kedaulatan RI telah diserahkan kepada pihak RIS.

Karena itu kesalahan fatal kalau Geureudoeng menganggap bahwa itu RI sama dengan RIS atau sebaliknya. Dan inilah racun mematikan yang ditanamkan Soekarno kepada rakyat di Negara pancasila sampai detik sekarang ini.

Selanjutnya kesalahan fatal Geureudoeng yang lainnya adalah: "Sewaktu Hindia Belanda ditukar menjadi Indonesia bermaksud untuk menenangkan rakyat yang sudah benci kepada nama pura2 Hindia Belanda itu.". Mengapa ?

Karena ketika Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949 di Belanda, itu tidak ada disebutkan bahwa peneyerahan kedaulatan kepada RIS oleh Belanda merupakan alat untuk menenangkan rakyat yang sudah benci kepada nama pura2 Hindia Belanda itu.

Kalau ada yang mengangap seperti itu, maka orang itu adaklah orang gila yang tidak mengetahui sejarah, fakta, bukti dan dasar hukum mengenai penyerahan dan pengakuan kedaulatan kepada pihak RIS dari tangan Kerajaan Belanda.

Nah, dengan adanya kesalahan fatal dari pemikiran Geureudoeng kemudian dihubungkan dengan konsepsi self government yang dilambungkan pihak ASNLF yang disamakan dengan "Belanda Singapura menukar nama otonomi yang sangat dibenci itu menjadi "pemerintah sendiri" untuk menipu rakya Aceh."

Jelas, kalau yang dikatakan Belanda Singapura adalah Malik Mahmud, maka itu adalah salah fatal. Mengapa ? Karena masalah detil bagaimana itu bentuk self government yang disodorkan pihak ASNLF belum dibicarakan secara terperinci dan menyeluruh. Tetapi baru sebagai bentuk titian awal agar supaya ada kesamaan pikiran dengan tim juru runding RI yang menyodorkan konsep otonomi khusus dengan UU No.18/2001-nya.

Nah, ini merupakan taktik dalam perundingan untuk memecahkan benteng yang ada depan, supaya jalur untuk dialog demi pemulihan, rehabilitasi, rekonstruksi rakyat dan Negeri Acheh bisa dibicarakan dengan lancar.

Dan, memang benar, dengan disodorkannya istilah self government ini ternyata disantap oleh pihak tim RI. Dan akhirnya benteng penghalang didepan menuju jalur perdamaian bisa dilalui.

Inilah, yang Ahmad Sudirman katakan keberhasilan dan keluwesan pihak tim ASNLF ketika melihat benteng yang tebal berada didepannya bisa digeser sehingga bisa melalui jalur yang menuju kearah perdamaian, tanpa mengorbankan tuntutan kemerdekaan.

Dan hal ini diakui oleh pihak ASNLF, seperti yang dikemukakan oleh saudara Bakhtiar Abdullah dalam rilisnya kemarin, Jumat, 25 Februari 2005. Rilisnya dilampirkan dibawah tulisan ini.

Dimana Bakhtiar menyatakan: "Sebagaimana semua orang tahu pihak Indonesia hanya mau berdialog dengan GAM kalau tawaran Otonomi Khusus-nya dimasukkan dalam agenda perbicangan sedangkan bagi GAM istilah itu mewakili status-quo (keadaan yang ada) yaitu konflik dengan segala unsur kezaliman yang terkandung di dalamnya seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan, perampokan dan berbagai pelanggaran HAM yang serius lainnya. Jadi kalau kedua belah pihak tidak mahu berkompromi untuk mencari suatu topik lain yang boleh diterima oleh kedua belah pihak tanpa menimbulkan sesuatu perasaan muak yang mendalam, maka dialog tidak mungkin berlangsung, sedangkan dialog sangat diperlukan dalam masa pasca tsunami di Acheh untuk membolehkan pihak internasional masuk meyampaikan bantuan tanpa gangguan dan memulai usaha pembangunan kembali Acheh. Dalam konteks pemikiran inilah, pihak team Perunding GAM mencari satu idea eksplorasi yang kreatif untuk keluar dari jaringan deadlock yang menghambat diteruskannya dialog yang sangat diperlukan pada masa ini menimbang keadaan bangsa Acheh yang sangat tersiksa oleh terjadinya bencana gempa dan tsunami dan diteruskannya keganasan militer terhadap penduduk sipil oleh pemerintah kolonial RI."

Nah, dengan daya kreatif yang ditampilkan pihak ASNLF untuk mendobrak jalan buntu, itu memberikan jalan baru bagi pembicaraan lain yang lebih detil. Seperti masalah gencatan senjata, sistem pengawasan gencatan sejata oleh pihak militer asing, ham, amnesti, penarikan 50.000 pasukan non-organik TNI, pemilihan umum di Acheh dari rakyat dan untuk rakyat Acheh.

Adapun masalah self government sendiri masih belum dibicarakan secara detil, dan hal ini akan dibicarakan dalam perundingan berikutnya. Setelah masing-masing pihak mempelajari apa yang sudah dibicarakan dan apa yang akan dibicarakan selanjutnya.

Kemudian apa yang akan disodorkan pihak ASNLF dalam perundingan selanjutnya mengenai isi dari self government ini, itu pihak ASNLF tidak akan menjelaskan kepada publik, karena sesuai dengan apa yang diputuskan bersama, yaitu kalau ada sesuatu hal yang masih kurang jelas atau yang akan ditanyakan, harus melalui pihak mediator dan fasilitator yaitu melalui mantan Presiden Martti Ahtisaari. Masing-masing pihak tidak dibenarkan memberikan berbagai pemecahan melalui jalur umum. Karena itu, kita lihat dan tunggu apa yang akan disodorkan pihak ASNLF tentang isi dari self government ini. Tentu saja sebagai rakyat Acheh atau orang luar bisa memberikan masukan kepada pihak ASNLF tentang isi self government ini.

Jadi, sebagai rakyat Acheh harus secara bersama memberikan masukan kepada pihak ASNLF mengenai self government ini. Jangan memberikan suara yang senada dengan pihak Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya contoh yang dikemukakan oleh saudara Geureudoeng: "menukar nama otonomi yang sangat dibenci itu menjadi "pemerintah sendiri". Jelas contoh ini adalah contoh yang bisa memberikan angin bagi pihak Susilo Bambang Yudhoyono. Atau dengan kata lain bahwa Geureudoeng mendukung itu usaha Susilo Bambang Yudhoyono untuk tetap menjalankan kebijaksanaan politik otonomi khususnya di Acheh.

Menyinggung masalah kebijaksanaan politik ASNLF seperti yang dikemukakan Bakhtiar: "sepanjang perjuangannya sejak tahun 1976 GAM telah mengatur berbagai strategi dan langkah untuk melaksanakan mandat itu. Dari mula-mula dengan tegas menuntut kembali kedaulatan Negara Acheh secara mutlak, beralih secara fundamental kepada menerima referendum yang mempertaruhkan kedaulatan itu demi memberi jalan kepada prinsip demokrasi. Menerima referendum berarti menerima kemungkinan kedaulatan itu jatuh kepada Indonesia secara sah untuk selama-lamanya, sekiranya bangsa Acheh memilih tetap berada dalam Indonesia dalam sebuah referendum yang dilaksanakan dengan adil, selamat dan demokratik. Indonesia ternyata tidak berani menerima cabaran demokrasi itu walaupun melawung-lawungkan kepada dunia bahwa NKRI sekarang adalah sebuah negara yang mempraktekkan prinsip demokrasi."

Nah dari pernyataan Bakhtiar Abdullah diatas, menggambarkan bahwa taktik dan strategi perjuangan ASNLF berobah secara mendasar, dari pada awalnya yang berbentuk penuntutan mutlak dan tegas untuk dikembalikannya kedaulatan Negara Acheh, menjadi bentuk plebisit atau referendum.

Nah, adanya perobahan radikal dalam taktik strategi perjuangan ASNLF adalah disesuaikan dengan tuntutan rakyat Acheh secara bebas, rahasia, adil, jujur dan bijaksana dalam bentuk plebisit atau referendum.

Resikonya memang besar dan tidak bisa ditarik kembali. Sebagaimana yang dinyatakan Bakhtiar bahwa kalau sebagian rakyat Acheh setuju dengan otonomi melalui referendum, maka kedaulatan itu jatuh kepada Indonesia secara sah untuk selama-lamanya.

Tetapi tentu saja, pihak ASNLF menyadari bahwa yang menentukan negeri Acheh dan masa depan Acheh adalah seluruh rakyat Acheh. Caranya untuk mendapatkan kedaulatan Acheh adalah melalui plebisit atau referendum. Karena melalui referendum ini merupakan cara yang bebas, rahasia, adil, jujur dan aman. Dan inilah merupakan cara yang paling bisa diterima secara menyeluruh yang dijalankan dan diputuskan oleh seluruh rakyat Acheh.

Inilah yang dimaksud dengan perobahan radikal oleh pihak ASNLF dari penuntutan mutlak dan tegas untuk dikembalikannya kedaulatan Negara Acheh, menjadi bentuk plebisit atau referendum oleh seluruh rakat Acheh.

Persoalannya sekarang adalah ternyata pihak RI tidak mau menjalankan cara yang penuh kebebasan, rahasia, adil, jujur, aman, dan damai ini. Walaupun pihak RI bergembar gembor demokrasi kemanan-mana. Tetapi untuk menerapkan demokrasi di Negeri Acheh melalui cara plebisit atau referendum pihak RI menolaknya mentah-mentah. Inilah kemunafikan yang besar yang ditonjolkan pihak RI dalam hal konflik Acheh.

Terakhir, saudara Geureudoeng menyinggung: "pihak GAM menyebut-nyebut opsi self government, namun tanpa memberikan rincian penjelasan. Akibatnya, di Indonesia, sejumlah kalangan, terutama politisi dan pejabat militer, melontarkan sinyalamen bahwa konsep tersebut sama saja dengan merdeka dan memiliki pemerintahan yang berdaulat."

Memang, dalam perundingan RI-ASNLF putaran II ini belum dibicarakan secara terperinci mengenai apa itu self government. Karena memang disodorkannya istilah self government adalah baru taraf titian pertama untuk mendobrak benteng yang menghalangi jalur kearah pembicaraan yang lebih jauh yang perinciannya telah dijelaskan diatas.

Hanya tentu saja, dari pihak RI menafsirkan menurut tafsiran pihak RI. Tetapi itu hanyalah berupa penafsiran mereka saja. Karena secara detilnya memang belum dibahas. Jadi karena belum dibahas apalagi disetujui, maka belum ada keputusan apapun mengenai self government ini.

Jadi, kita lihat dan perhatikan langkah selanjutnya dalam perundingan RI-ASNLF 12-17 April 2005, tentang apa itu sebenarnya yang dinamakan dengan self government yang disodorkan pihak ASNLF ini. Hanya yang bisa dipegang sebagai patokan adalah apa yang dikatakan saudara Bakhtiar Abdullah dalam rilisnya: "Perlu ditekankan pertama sekali bahwa Pemerintah Negara Acheh/Gerakan Acheh Merdeka tidak pernah menggugurkan tuntutan kemerdekaan, aspirasi bangsa Acheh yang telah diperjuangan dengan darah, airmata dan keringat sejak 1873, dan telah dipimpin oleh Gerakan Acheh Merdeka sejak 1976."

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

From: Guenoeng Geureudoeng apalambak2000@yahoo.ca
Date: Sat, 26 februari 2005 13:25:16
To: lantak@yahoogroups.com, ppdi@yahoogroups.com, asca@yahoogroups.com
Subject: "PPDi" Njoe makna selfgovernment (pemerintah sendiri)

Makna selfgovernment atau "pemerintah sendiri adalah sama dengan Indonesia dan Hindia Belanda. Sewaktu Hindia Belanda ditukar menjadi Indonesia bermaksud untuk menenangkan rakyat yang sudah benci kepada nama pura2 Hindia Belanda itu.

Sekarang Belanda Singapura menukar nama otonomi yang sangat dibenci itu menjadi "pemerintah sendiri" untuk menipu rakya Aceh.

Itulah kerja Malik Mahmud dengan M Nur djuli GAM Coba Jelaskan "Self Government", Tapi Masih Kabur Dari Minta Merdeka ke Referendum Sumber: Rilis, 2005-02-26 13:29:08

Menyusul kontroversi tawaran GAM untuk memiliki pemerintahan sendiri (self government) di Aceh, Kementrian Penerangan GAM di Swedia mengeluarkan keterangan pers hari Jumat (25/2) kemarin. Kendati demikian, dalam keterangan yang ditandatangani Jurubicara Pemerintah Negara Acheh dalam Pengasingan, Bakhtiar Abdullah itu, tidak dirinci bagaimana format konkret dari konsep self government itu. GAM hanya menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan kompromi besar dari tuntutan mutlak kemerdekaan,menjadi referendum.

"Menerima referendum berarti menerima kemungkinan kedaulatan itu jatuh kepada Indonesia secara sah untuk selama-lamanya, sekiranya bangsa Acheh memilih tetap berada dalam Indonesia," tulis Bakhtiar dalam keterangan persnya.

Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan informal kedua di Helsinki, 21-23 Februari lalu, setelah mendengar tawaran Otonomi Khusus dari Pemerintah Indonesia, pihak GAM menyebut-nyebut opsi self government, namun tanpa memberikan rincian penjelasan. Akibatnya, di Indonesia, sejumlah kalangan, terutama politisi dan pejabat militer, melontarkan sinyalamen bahwa konsep tersebut sama saja dengan merdeka dan memiliki
pemerintahan yang berdaulat.

Karena itu, pihak GAM lalu mengeluarkan pernyataan yang ingin memberikan penjelasan. Namun, dalam pernyataan tersebut, masih belum ditemukan bentuk-bentuk konkret dari konsep self government itu.

Guenoeng Geureudoeng

apalambak2000@yahoo.ca
Huddinge, Swedia
----------

Berikut ini keterangan selengkapnya dari pihak GAM:

Penjelasan Tentang "Self-Government" dalam Perundingan ke 2 di Helsinki - Finlandia

Assalamualaikum w.w.,

Dalam beberapa hari ini telah timbul semacam kontroversi dan perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat Acheh di seluruh dunia, setelah tersebar berita kononnya Gerakan Acheh Merdeka (GAM) telah menggugurkan tuntunan merdeka dalam perundingannya di Helsinki, Finlandia dengan pihak pemerintah kolonial Indonesia, dan menggantikannya dengan apa yang dinamakan "pemerintahan sendiri" (self-government). Perlu ditekankan pertama sekali bahwa Pemerintah Negara Acheh/Gerakan Acheh Merdeka tidak pernah menggugurkan tuntutan kemerdekaan, aspirasi bangsa Acheh yang telah diperjuangan dengan darah, airmata dan keringat sejak 1873, dan telah dipimpin oleh Gerakan Acheh Merdeka sejak 1976.

Jadi apakah sebenarnya maksud GAM memasukkan usul "Pemerintahan Sendiri" dalam agenda meeting di Helsinki dan apakah yang dimaksudkan dengan "Pemerintahan Sendiri" (self-government) itu?

Sebagaimana semua orang tahu pihak Indonesia hanya mau berdialog dengan GAM kalau tawaran Otonomi Khusus-nya dimasukkan dalam agenda perbicangan sedangkan bagi GAM istilah itu mewakili status-quo (keadaan yang ada) yaitu konflik dengan segala unsur kezaliman yang terkandung di dalamnya seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan, perampokan dan berbagai pelanggaran HAM yang serius lainnya. Jadi kalau kedua belah pihak tidak mahu berkompromi untuk mencari suatu topik lain yang boleh diterima oleh kedua belah pihak tanpa menimbulkan sesuatu perasaan muak yang mendalam,
maka dialog tidak mungkin berlangsung, sedangkan dialog sangat diperlukan dalam masa pasca tsunami di Acheh untuk membolehkan pihak internasional masuk meyampaikan bantuan tanpa gangguan dan memulai usaha pembangunan kembali Acheh.

Dalam konteks pemikiran inilah, pihak team Perunding GAM mencari satu idea eksplorasi yang kreatif untuk keluar dari jaringan deadlock yang menghambat diteruskannya dialog yang sangat diperlukan pada masa ini menimbang keadaan bangsa Acheh yang sangat tersiksa oleh terjadinya bencana gempa dan tsunami dan diteruskannya keganasan militer terhadap penduduk sipil oleh pemerintah kolonial RI.

Itulah latar belakang usul membicarakan "self-government" itu. Sangat penting dijelaskan bahwa prinsip meeting di Helsinki yang telah ditetapkan dengan tegas oleh pihak fasilitator, CMI, yang dipimpin oleh bekas presiden Finlandia, President Martti Ahtisaari, dan dibiayai serta didukung sepenuhnya oleh pemerintah Finlanda. Prinsip tersebut adalah "nothing is agreed until everything is agreed", artinya tiada apapun yang dipersetujui hingga seluruhnya disetujui. Maksudya, kalau ada satu perkara saja dari berbagai perkara yang dibincangkan tidak disetujui oleh sesuatu pihak, maka keseluruhan dialog itu dibubarkan tanpa sesuatu keputusan (gagal).

Apakah yang dimaksudkan oleh GAM dengan "self government" itu? Memang terdapat berbagai tafsiran dan taraf "self-government". Bagi GAM, segalanya tergantung pada kehendak bangsa Acheh sendiri. Berkali-kali telah ditegaskan bahwa GAM hanyalah pelaksana mandat bangsa Acheh untuk mencapai kemerdekaan. Sepanjang perjuangannya sejak th 1976 GAM telah mengatur berbagai strategi dan langkah untuk melaksanakan mandat itu. Dari mula-mula dengan tegas menuntut kembali kedaulatan Negara Acheh secara mutlak, beralih secara fundamental kepada menerima referendum yang mempertaruhkan kedaulatan itu demi memberi jalan kepada prinsip demokrasi. Menerima referendum berarti menerima kemungkinan kedaulatan itu jatuh kepada Indonesia secara sah untuk selama-lamanya, sekiranya bangsa Acheh memilih tetap berada dalam Indonesia dalam sebuah referendum yang dilaksanakan dengan adil, selamat dan demokratik.

Indonesia ternyata tidak berani menerima cabaran demokrasi itu walaupun melawung-lawungkan kepada dunia bahwa NKRI sekarang adalah sebuah negara yang mempraktekkan prinsip demokrasi. Pemerintah kolonial Indonesia bahkan memilih untuk melancarkan serangan militer secara besar-besaran. Walaupun pihak musuh berpuluh kali lebih ramai dan mempunyai senjata berat yang canggih-canggih termasuk jet dan helikopter penempur, tank dan panzer serta alat-alat perang terkini lainnya, kita telah dapat mempertahankan tanah air lebih dari dua tahun berlakunya darurat militer yang disambung pula dengan darurat sipil dengan kekuatan militer terus ditambah dan diperhebat dengan kehadiran apa yang dinamakan batalion-batalion Raiders (anti-gerilya). Pihak musuh dengan terkeburnya menyatakan akan menghancurkan GAM dalam waktu 3 bulan tetapi Allah masih memelihara kita hingga sekarang.

Kini tanah air dan bangsa kita telah tertimpa bencana alam yang begitu dashyat sehingga terketuk hati seluruh bangsa-bangsa di dunia yang selama ini tidak pernah pun mendengar nama Acheh. Namun pihak Indonesia masih terus dengan kepicikan hati nuraninya yang bukan saja tidak sanggup dan tidak mahu membantu bangsa Acheh, tetapi mencari berbagai cara untuk menghalang pihak internasional untuk menyampaikan bantuan.

Sesungguhnyalah Indonesia sedang menggunakan tsunami untuk kepentingan politiknya dan sedang menghalau penduduk kampung ke tangsi-tangsi yang jauh dari perkampungan mereka dengan alasan "relokasi", mengosongkan kampung-kampung Acheh untuk kemudian diisi oleh transmigran. Inilah realitas yang dihadapi oleh bangsa Acheh sekarang, yang memaksa GAM memikirkan strategi-strategi baru untuk memungkinkannya memelihara keselamatan dan keujudan bangsa Acheh sebagi satu entiti bangsa yang bermartabat.

Pemerintah Negara Acheh menyeru kepada bangsa Acheh di seluruh dunia untuk tetap tenang dan tidak terpancing oleh provokasi-provokasi dan propaganda musuh dan membuat spekulasi-spekulasi yang tidak perlu. Biarlah segala sesuatunya dirundingkan lebih dahulu oleh pihak pimpinan negara hingga bila sampai masanya nanti segala-galanya disampaikan kepada bangsa Acheh secara terbuka untuk mendapatkan keputusan yang demokratis.

Wassalamualaikum w.w.,

Bakhtiar Abdullah

Jurubicara Pemerintah Negara Acheh dalam pengasingan
Di Stockholm, Sweden 25.02.2005
----------