Stockholm, 18 April 2005

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
 

AGUNG, ITU ABUN SANDA DARI KOMPAS MELIHAT HASIL PERUNDINGAN ASNLF-RI PAKAI KACAMATA SEJARAH
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.

 

AGUNG SEDAYU, ITU ABUN SANDA DARI KOMPAS MELIHAT HASIL PERUNDINGAN ASNLF-RI PAKAI KACAMATA SEJARAH & PSIKOLOGIS

"Dear Pak Ahmad, Membaca artikel kompas 17-Apr-05, mengenai konflik di Aceh. berjudul: "29 Tahun Konflik Aceh Mengapa Tidak Naik Perahu yang Sama?" http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/17/nasional/1690805.htm Apakah dari tulisan tersebut bisa ditafsirkan lain, tentang tujuan perjuangan GAM/ASNLF ? Ataukah pihak perunding RI yang menerima persepsi berbeda. Sangat menarik pak." (Agung Sedayu , se_dayu@yahoo.com , Mon, 18 Apr 2005 02:16:33 -0700 (PDT))

"Memang masih butuh waktu untuk mempertemukan proposal Indonesia dengan proposal yang diajukan GAM. Ikhtiar mempertemukan dua kutub inilah yang agaknya membutuhkan waktu. Konflik Aceh sudah berlangsung 29 tahun. Banyak pihak merasa disakiti, dikecewakan, dan ditinggalkan. Untuk menyudahi konflik itu memang butuh waktu yang tidak singkat, sehingga kalau perundingan damai Aceh berkali-kali dilakukan dan belum membawa hasil konkret, tak perlu pesimistis." (Abun Sanda , 29 Tahun Konflik Aceh Mengapa Tidak Naik Perahu yang Sama?, Minggu, 17 April 2005)

"Bagi Indonesia, self government adalah otonomi khusus yang cukup luas, tetapi bagi GAM self government adalah semacam state. Gambaran yang dimunculkan GAM, self government adalah provinsi dengan kewenangan luas, sampai mempunyai lagu dan bendera sendiri. Kewenangan mengatur pendidikan, pariwisata, pelabuhan, sampai kepada proposal yang lebih sensitif yakni anggota DPR asal Aceh mempunyai hak veto atas masalah-masalah Aceh." (Abun Sanda , 29 Tahun Konflik Aceh Mengapa Tidak Naik Perahu yang Sama?, Minggu, 17 April 2005)

Baiklah saudara Agung Sedayu dan saudara Abun Sanda di Jakarta, Indonesia.

Saudara Abun Sanda, salah seorang jurnalis dari RI yang dikirim oleh Kompas untuk mengikuti perundingan RI-ASNLF, 12-16 April 2005 di Konigstedt Mansion, Vataa, Finlandia, telah menulis tentang perundingan konflik di Acheh dengan judul "29 Tahun Konflik Aceh Mengapa Tidak Naik Perahu yang Sama?"

Setelah Ahmad Sudirman membaca tulisan saudara Abun Sanda yang telah menguraikan bahwa "Ikhtiar mempertemukan dua kutub inilah yang agaknya membutuhkan waktu. Konflik Aceh sudah berlangsung 29 tahun. Banyak pihak merasa disakiti, dikecewakan, dan ditinggalkan. Untuk menyudahi konflik itu memang butuh waktu yang tidak singkat, sehingga kalau perundingan damai Aceh berkali-kali dilakukan dan belum membawa hasil konkret, tak perlu pesimistis."

Nah, memang benar adanya apa yang ditulis saudara Abun ini. Ahmad Sudirman melihat konflik di Acheh telah berlangsung sejak 14 Agustus 1950, yaitu dari sejak Acheh ditelan dan dicaplok Soekarno melalui RIS-nya, jadi sudah hampir 55 tahun. Sedangkan saudara Abun melihat konflik Acheh sejak 4 Desember 1976, yaitu ketika Teungku Hasan Muhammad di Tiro Presiden ASNLF memproklamasikan ulang Negara Acheh.

Pandangan dan pikiran saudara Abun Sanda tentang penyelesaian konflik Acheh dilihat dari sudut sejarah RI dan ASNLF/GAM memang jauh berbeda, terutama dalam hal konsepsi self-government. Dimana pihak RI melihat self-governmnet adalah struktur pemerintah otonomi khusus yang luas berdasarkan dasar hukum UU No.18/2001. Adapun pihak ASNLF/GAM melihat self-government adalah struktur pemerintahan sendiri dibawah naungan negara sendiri. Dan konsepsi yang ditulis dalam bentuk dokumen ini telah disampaikan oleh tim juru runding ASNLF/GAM kepada pihak tim juru runding RI, dan dalam jangka waktu 14 hari sudah harus diberi jawabannya oleh pihak RI.

Dan tentu saja, konsepsi politik self-government yang disodorkan pihak ASNLF/GAM adalah jauh berbeda dengan apa yang tertuang dalam dasar hukum UU No.18/2001.

Inilah perbedaan konsepsi tentang struktur pemerintahan sendiri atau self-government antara model ASNLF/GAM dan model RI.

Dan selama masih adanya perbedaan dasar dalam hal konsepsi self-government ini, maka selama itu perlu diusahakan terus untuk dicari jalan penyamaan jalur titian politik untuk meraih proses damai di Acheh ini.

Jadi, adanya perbedaan konsepsi self-government antara pihak RI dan ASNLF/GAM ini bukan hanya sekedar berbeda dalam masalah bahasa saja, seperti yang dinyatakan oleh Jusuf Kalla, melainkan jauh lebih dalam dan lebih terjal. Dan perbedaan-perbedaan inilah yang melibatkan bukan hanya pihak Pemerintah RI melainkan juga pihak DPR untuk melakukan revisi terhadap UU No.18/2001 ini.

Hanya yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pihak Pemerintah RI dan DPR bersedia dengan sepenuh hati untuk melakukan usaha penyelesaian konflik Acheh secara damai dan aman atau tidak ?

Karena, kalau melihat dari sikap Pemerintah RI dan pihak DPR dalam hal penyelesaian konflik Acheh, mereka hanya berkisar disekitar gelanggang otonomi khusus dengan UU No.18/2001 dan penyelesaian konflik secara total saja, artinya penyerahan total dari pihak ASNLF/GAM & TNA kepada pihak RI. Dan tidak ada yang namanya gencatan senjata. Karena dalam pandangan RI gencata senjata itu hanyalah penghentian konflik sementara. Sedangkan dari pihak ASNLF/GAM justru melalui gencatan senjata inilah proses damai akan bisa dicapai. Hal ini salah satunya berdasarkan pertimbangan, karena masih belum adanya saling kepercayaan satu sama lain. Dan permusuhan yang telah tertanam lebih dari setengah abad ini, tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja.

Dan hal yang sangat penting juga untuk dipikirkan disini adalah bahwa kedua belah harus memahami akar utama penyebab timbulnya konflik. Karena tanpa memahami dan mengerti mengapa timbul konflik Acheh ini, maka selama itu hanya bergerak disekitar permukaan konflik Acheh saja.

Dalam hal penyebab akar utama timbulnya konflik Acheh ini, Ahmad Sudirman telah berpuluh kali menampilkan, menjelaskan, menerangkan apa yang menjadi akar utama penyebab timbulnya konflik Acheh ini.

Secara singkat akar utama timbulnya konflik Acheh ini adalah akibat adanya kebijaksanaan ekspansi politik yang dilakukan pihak Soekarno dengan RIS-nya untuk memperluas wilayah kekuasaan Negara RI yang merupakan Negara Bagian RIS, bukan hanya disekitar Yogyakarta saja, melainkan meluas keluar wilayah Yogyakarta, termasuk ke wilayah Acheh. Karena itulah mengapa Soekarno pada tanggal 14 Agustus 1950 melakukan tindakan sepihak melakukan aneksasi wilayah Negeri Acheh kedalam wilayah RIS dengan memakai payung hukum sepihak yang dibuat Soekarno cs yang dinamakan PP RIS No.21/1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi dan dilanjutkan dengan Perppu No.5/1950 Tentang pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Artinya pihak RIS dibawah Soekarno secara sepihak disini tanpa adanya kesepakatan, keikhlasan, keridhaan, kesetujuan dari seluruh rakyat Acheh dan pimpinan rakyat Acheh telah melakukan aneksasi, penalan, pendudukan dan penjajahan wilayah Acheh kedalam wilayah RIS dan diteruskan kedalam tubuh RI Negara Bagian RIS.

Inilah akar utama mengapa timbulnya konflik Acheh yang terus berkepanjangan sampai detik sekarang ini.

Nah, selama pihak RI, khususnya tim juru runding RI, tidak mau dan tidak memahami masalah akar utama penyebab timbulnya konflik Acheh ini, maka selama itu pihak RI tetap menganggap bahwa rakyat Acheh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri dianggap sebagai separatis dan pemberontak.

Padahal, yang dinamakan separatis itu adalah kalau itu Negeri Acheh memang milik dan bagian sah dari wilayah kekuasaan secara de-facto dan de-jure RI. Dan karena menurut fakta, bukti, sejarah dan hukum yang ada menunjukkan bahwa pihak RI tidak memiliki fakta, bukti, sejarah dan hukum yang sah yang menyatakan adanya legalitas Negeri Acheh dimasukkan kedalam wilayah RI, maka itu Negeri Acheh adalah Negeri yang dianeksasi, diduduki dan dijajah RI sampai detik sekarang ini.

Nah, kalau Negeri Acheh dianeksasi, diduduki, dan dijajah RI, maka tidak benar dan salah total kalau ada orang yang mengatakan bahwa rakyat Acheh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri ini adalah rakyat yang masuk kedalam golongan separatis.

Begitu juga dengan istilah pemberontak.Yang namanya pemberontak kalau memang itu Negeri Acheh merupakan wilayah sah dan wilayah legal milik RI. Dan menurut fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum membuktikan bahwa pihak RI tidak memilik bukti, fakta, sejarah dan dasar hukum yang sah tentang legalitas Negeri Acheh masuk kedalam wilayah Negara RI.

Dengan dasar inilah mengapa itu wartawan Kompas Abun Sanda menggoreskan penanya mengenai hasil-perundingan antara ASNLF/GAM dengan RI di Konigstedt Mansion, Vataa, Finlandia dengan mentakan bahwa "Untuk menyudahi konflik itu memang butuh waktu yang tidak singkat, sehingga kalau perundingan damai Aceh berkali-kali dilakukan dan belum membawa hasil konkret, tak perlu pesimistis"

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
---------

Date: Mon, 18 Apr 2005 02:16:33 -0700 (PDT)
From: AgungSedayu <se_dayu@yahoo.com>
Subject: Re: TUJUAN ASNLF/GAM DALAM PERUNDINGAN VATAA UNTUK CAPAI PROSES DAMAI DI ACHEH
To: Ahmad Sudirman <ahmad@dataphone.se>

Assalamualaikum Wr.Wb.

Dear Pak Ahmad,
Membaca artikel kompas 17-Apr-05, mengenai konflik di Aceh. berjudul : "29 Tahun Konflik Aceh Mengapa Tidak Naik Perahu yang Sama?" http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/17/nasional/1690805.htm

Apakah dari tulisan tersebut bisa ditafsirkan lain, tentang tujuan perjuangan GAM/ASNLF ?
Ataukah pihak perunding RI yang menerima persepsi berbeda. Sangat menarik pak.

Bahkan kompas dalam satu artikelnya menulis bahwa kesultanan Aceh tidak bisa dikalahkan oleh Belanda.

Agung Sedayu

se_dayu@yahoo.com
Jakarta, Indonesia
----------

Minggu, 17 April 2005
29 Tahun Konflik Aceh Mengapa Tidak Naik Perahu yang Sama?

Di kamar kecil sebuah rumah peristirahatan milik Pemerintah Finlandia di Vantaa, 25 kilometer dari pusat kota Helsinki, salah seorang perunding Indonesia bagi perdamaian Aceh, dr Farid Husain, Jumat lalu, secara tidak sengaja bertemu dengan dua anggota delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka tampak karib dan berbicara tentang kota Helsinki. Ketika hendak keluar dari kamar kecil, Farid berujar, "Mengapa kita mesti berseberangan. Mengapa Anda tidak naik perahu yang sama dengan kami dan bersama- sama membangun Aceh?"

Dua anggota delegasi GAM dengan santun menjawab, konflik di Aceh sudah 29 tahun. Perlu waktu, kesamaan persepsi dan paradigma untuk hidup damai, saling percaya, dan saling mencintai. Jika belum ada kesamaan-kesamaan, kata salah seorang anggota delegasi GAM, percuma naik perahu yang sama sebab percekcokan tidak akan terhindarkan. Perahu yang ditumpangi pun akan oleng. Mereka kemudian diam, dan melangkah ke ruang perundingan informal yang digelar di rumah peristirahatan itu.

Perundingan informal yang dilakukan pekan ini merupakan perundingan babak ketiga. Perundingan informal babak pertama dilakukan tanggal 27-29 Januari, dan kedua tanggal 21-23 Februari 2005 di lokasi yang sama.

Percakapan dengan bahasa perumpamaan itu tidak sekali dua kali terjadi. Hal yang kemudian menarik diamati, perbedaan pendapat yang ekstrem di antara dua kutub itu tidak serta-merta menghilangkan etika dan sopan santun dalam pergaulan. Para anggota tim perunding lainnya juga bersikap demikian. Jika bertemu, mereka bercakap-cakap ramah dan sesekali melempar seloroh. Namun begitu berhadapan di meja perundingan, kedua belah pihak mengambil jarak, berdiri pada posisi berseberangan. Adu argumen, kerap dalam bahasa amat tajam, tidak terhindarkan.

Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin datang dengan konsep matang mengajak GAM membuang semua permusuhan, meletakkan senjata, serta bersama-sama membangun Aceh yang damai dan sejahtera.

Delegasi RI di antaranya menawarkan otonomi khusus, amnesti, kompensasi ekonomi untuk Aceh yang jauh lebih baik, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya. Semuanya, ujar Hamid, dalam kerangka penyelesaian Aceh secara menyeluruh, komprehensif, tidak parsial dan permanen. Dan, tentu saja dalam frame Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.

Bentuk kompensasi ekonomi sangat beragam dan diperkirakan menelan anggaran puluhan triliun rupiah. Ada pembangunan jalan, jembatan, peningkatan kualitas dan standar bandara, pendidikan, sarana transportasi udara, darat, laut dan sebagainya. Sebaliknya GAM menghentikan semua kegiatannya tanpa syarat, meletakkan senjata, tidak melakukan kekacauan, dan sebagainya.

Bagaimana dengan GAM? GAM selalu datang dengan konsep self government yang cukup rinci. GAM mengajukan proposal tertulis kepada Pemerintah Indonesia, yang di antaranya menyangkut economic arrangements, security arrangements, dan politic arrangements. Proposal itu akan dijawab secara tertulis oleh Pemerintah Indonesia dalam waktu lebih kurang dua pekan, melalui fasilitator Crisis Management Initiative (CMI).

Persoalan yang bisa menjadi masalah cukup pelik adalah terminologi self government itu sendiri, sebab pemahaman self government di antara kedua belah pihak berbeda. Bagi Indonesia, self government adalah otonomi khusus yang cukup luas, tetapi bagi GAM self government adalah semacam state.

"Tapi state di sini bukan state seperti di negara-negara serikat, karena Indonesia negara kesatuan. Ini lebih kurang state yang bukan state-lah," ujar salah seorang anggota delegasi GAM, Nurjuli. Adapun otonomi khusus itu, tambah Nurjuli, sesungguhnya bagian dari konflik. Jika kita masih berkutat pada istilah otonomi khusus itu, kita masih berbicara tentang lingkaran yang itu-itu saja. Dan itu pasti tidak obyektif.

Gambaran yang dimunculkan GAM, sebagaimana terungkap dalam perundingan nonformal itu, self government adalah provinsi dengan kewenangan luas, sampai mempunyai lagu dan bendera sendiri. Kewenangan mengatur pendidikan, pariwisata, pelabuhan, sampai kepada proposal yang lebih sensitif yakni anggota DPR asal Aceh mempunyai hak veto atas masalah-masalah Aceh.

Proposal GAM ini tentu cukup berat, sehingga sejak awal Menkominfo yang ikut aktif berunding menyatakan, ada proposal GAM yang bisa langsung diterima, ada yang perlu diubah, dan ada yang tidak bisa diterima sebab sudah menyentuh konstitusi negara.

Babak pembicaraan tentang self government inilah yang kemudian menjadi fokus pembicaraan maraton antara delegasi RI dengan delegasi GAM di Vantaa, Helsinki.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan self government serta turunannya bisa didiskusikan setiap hari. Dan kini, ketika pembicaraan sudah memasuki babak ketiga pun, masalah ini masih menjadi fokus perhatian.

Lalu di tengah pembicaraan tentang perdamaian yang langgeng di Aceh, pihak delegasi GAM selalu mempunyai informasi yang bagi Indonesia "negatif". Betul atau tidak betul informasi itu, tetapi hal seperti ini cukup mengganggu. Misalnya, seperti diungkapkan oleh Nurjuli, baru-baru ini ada perempuan Aceh yang diperkosa sembilan orang pria yang diindikasikan sebagai aparat negara. Ada juga, sambung Nurjuli, informasi yang menyebut bahwa TNI tidak mengurangi personelnya di Aceh.

DARI uraian di atas, memang masih butuh waktu untuk mempertemukan proposal Indonesia dengan proposal yang diajukan GAM. Ikhtiar mempertemukan dua kutub inilah yang agaknya membutuhkan waktu. Konflik Aceh sudah berlangsung 29 tahun. Banyak pihak merasa disakiti, dikecewakan, dan ditinggalkan. Untuk menyudahi konflik itu memang butuh waktu yang tidak singkat, sehingga kalau perundingan damai Aceh berkali-kali dilakukan dan belum membawa hasil konkret, tak perlu pesimistis.

Sebelum perundingan informal di Helsinki, sudah pernah digelar perundingan serius yang dilakukan di Geneva, Swiss. Lalu ada pertemuan-pertemuan informal yang cukup memeras tenaga dan pikiran yang diselenggarakan di dalam dan di luar negeri, tetapi perdamaian di Aceh tetap sulit terwujud.

Sebelum perundingan informal di Helsinki ini, pernah digelar perundingan damai lewat COHA (Cessation of Hostiliestis Agreement), 9 Desember 2001. Namun, COHA juga tidak menunjukkan hasil memuaskan. Dan, GAM tetap berada di hutan, mengangkat senjata.

Belajar dari pengalaman tersebut, kedua delegasi yang berunding memang harus bekerja ekstra keras. Harus saling memperlihatkan good faith dan "mendekatkan" proposal masing-masing. Jika kedua belah pihak bersikeras dan ngotot pada posisinya, perdamaian yang dikehendaki di Aceh sulit terwujud.

Dalam kondisi begini, bagaimana prospek perdamaian yang langgeng dan menyeluruh di Aceh? Apakah kedua belah pihak akan berhasil mencapai titik temu bagi solusi menyeluruh?

Para anggota delegasi Indonesia seperti Menkominfo Sofjan A Djalil dan Deputi Menko Kesra Farid Wadjdi Husain menyatakan amat optimistis konflik Aceh bisa disudahi dan perdamaian yang dikehendaki berhasil diraih. "Saya selalu optimis kedua delegasi berhasil menunaikan tugasnya dan tercapai perdamaian yang riil di Aceh. Karena aspek optimis itulah saya dan teman-teman datang ke Aceh," ujar Farid Wadjdi Husain. Menurut Farid, perundingan informal kali sudah jauh lebih maju. Materi yang substantif telah dibahas secara bersama dan amat serius.

Para anggota delegasi GAM juga menyampaikan pernyataan yang lebih kurang sama. Mereka-Zaini Abdullah, Nurdin, Bakhtiar, dan Nurjuli-mengemukakan kepada Kompas bahwa mereka memang melihat perbedaan yang tajam di antara kedua kubu. Tetapi, mereka juga optimistis, jika proposal kedua pihak didekatkan, perdamaian akan tercapai. "Kalau tidak optimistis melihat celah perdamaian, kami tidak akan datang ke sini," ujar Nurdin.

Di luar masalah tersebut, fasilitator perundingan informal ini, lembaga Crisis Management Initiative (CMI), sudah memberi batas waktu perundingan. Menurut Media Liaison Officer CMI, Maria-Elena Cowell, deadline perundingan ini adalah Juli. Jika perdamaian atau solusi menyeluruh tidak tercapai, tidak ada lagi negosiasi baru. Seperti dikatakan Maria-Elena Cowell, kita tidak mungkin hanya berunding dan berunding saja. Deadline dari CMI ini yang diharapkan menjadi pendorong kedua belah pihak untuk menuntaskan masalah dengan sebaik-baiknya. (Abun Sanda)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/17/nasional/1690805.htm
----------