Stockholm, 3 Juni 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
SURYOKUSUMO COBA HADANG SWEDIA PAKAI HUKUM INTERNASIONAL
GUNA MENAHAN SERANGAN ASNLF/GAM
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
SUMARYO
SURYOKUSUMO COBA MENGHADANG SWEDIA PAKAI PEDANG HUKUM INTERNASIONAL GUNA
MENAHAN SERANGAN ASNLF/GAM
"Kalau
masalah ini tidak diantisipasi dengan saksama, bukan tidak mungkin Aceh akan
mengikuti Timor Timur, lepas dari pangkuan negara kesatuan Republik Indonesia.
Kehadiran Uni Eropa sebagai tim monitor, juga sangat bermasalah karena UE -
setelah melakukan pemantauan di lapangan - akan melaporkan hasil kerjanya ke
Dewan Menteri Eropa. Apakah tindakan Swedia sah menurut hukum internasional
yang membiarkan warga negaranya melakukan konspirasi dan perjanjian dengan satu
kelompok atau gerakan untuk melakukan perlawanan senjata terhadap pemerintahan
RI yang sah dengan tujuan memisahkan diri ?.” (Guru
besar hukum internasional UI, Sumaryo Suryokusumo, Jakarta, Kamis, 2 Juni 2005)
Guru Besar hukum Internasional
dari Universitas Indonesia, Sumaryo Suryokusumo, orang Jawa ini, mulai
kegerahan melihat kemajuan yang dijalankan oleh pihak ASNLF/GAM dalam
menghadapi kekuatan pihak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di medan
politik dan perundingan dalam masalah penyelesaian konflik Acheh secara aman dan
damai.
Kearoganan dan merasa diri hebat
mampu menepuk lalat sekali tepuk, ternyata ketika tim juru runding Hamid
Awaluddin orang Pare Pare yang didukung oleh Sofyan Djalil kelahiran Peureulak
yang merasa diri mampu melibas para pejuang Acheh di meja perundingan, dalam
kenyataannya ketika mereka dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa masalah
konflik Acheh adalah sudah menjadi masalah internasional, maka mau tidak mau,
pil pahit harus ditelan oleh mereka.
Usaha pihak RI untuk menutupi
konflik Acheh dengan selimut yang bertuliskan domestik, ternyata ketika
dihadapkan kepada realita yang sebenarnya, dan dihadapkan dalam kenyataan mata
dunia yang sedang menyorot dan menunggu penyelesaian damai di Acheh, ternyata
pihak RI harus menelan kenyataan pahit. Medan perang diplomasi dan politik
dalam lingkaran meja perundingan telah menggiring kemedan yang makin luas yang
menarik kekuatan pihak dunia internasional untuk memberikan dukungan, bantuan
dan pemecahan segera konflik Acheh dengan cara yang aman dan damai.
Keberhasilan taktik dan strategi
Presiden Martti Ahtisaari dalam membawa bahtera meja perundingan kearah dunia
internasional yaitu dengan meminta keikut sertaan dunia internasional dari
Dewan Skretariat Uni Eropa dan Komisi Uni Eropa untuk menjadi tim monitoring di
Acheh guna menjamin kelancaran dan terlaksananya hasil perundingan kesepahaman
ASNLF-RI di bumi Acheh.
Dengan kecanggihan Presiden Martti
Ahtisaari yang membawa bahtera perundingan dilautan internasional, akhirnya,
pihak RI mau tidak mau harus mengakui kenyataan dan fakta bahwa masalah konflik
Acheh baru bisa diselesaikan dengan melalui jalur dunia internasional. Konflik
Acheh bukan lagi konflik domestik seperti yang digembar-gemborkan oleh pihak
RI, tetapi konflik Acheh telah meluas dan menjadi milik dan perhatian dunia
internasional.
Dengan telah adanya kesepahaman
dalam beberapa point, selama masa perundingan ASNLF-RI di Helsinki, Finlandia,
dan telah berhasilnya menarik dunia internasional khususnya dari Uni Eropa
untuk ikut secara bersama dalam upaya untuk melakukan pengawasan guna lancar
dan terlaksananya secara baik hasil kesepahaman dilapangan, ternyata telah
menimbulkan udara panas didalam gedung DPR RI, sehingga pihak DPR benar-benar
merasa terpukul dan terjerembab.
Nah, tentu saja, pihak DPR tidak
akan mungkin untuk menarik diri dan melakukan tindakan penentangan terhadap apa
yang telah dilakukan oleh pihak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam
hal kesepahaman, karena yang akan dihadapi pihak DPR bukan pihak Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla, melainkan tangan dunia internasional.
Justru, sekarang diuji pihak DPR,
apakah mereka ingin menyelesaikan konflik Acheh dengan cara damai atau tetap
menjadikan Acheh sebagai kancah tempat pembunuhan sebagaimana yang telah
berlangsung lebih dari setengah abad oleh pihak TNI.
Nah, dalam keadaan yang cukup
kritis bagi DPR dan pihak Susilo Bambang Yudhoyono inilah, Sumaryo Suryokusumo
seorang Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia melambungkan
hasil pikirannya: ”Kalau masalah ini tidak diantisipasi dengan saksama, bukan
tidak mungkin Aceh akan mengikuti Timor Timur, lepas dari pangkuan negara
kesatuan Republik Indonesia.”
Dari apa yang dilambungkan oleh
Sumaryo itu menggambarkan bahwa persoalan penyelesaian konflik Acheh sudah
tidak bisa dibendung lagi dan sudah tidak bisa ditutupi lagi, pintu sudah terbuka, dan dunia internasional telah
melihat dan sekaligus mengulurkan tangan untuk bersama-sama menyelesaikan
konflik Acheh secara aman dan damai.
Keadaan inilah yang mendorong
Sumaryo untuk berusaha sekuat tenaga guna mencari celah-celah yang bisa dilalui
agar supaya tidak timbul uasaha perdamaian di Acheh yang melibatkan dunia
internasional.
Tetapi, karena bahtera meja
perundingan terus melaju, dan dunia internasional terus melihat dan mengawasi
serta membantunya, dan kalau ada usaha-usaha dari pihak tertentu, baik itu dari
pihak DPR atau pihak TNI atau dari pihak tertentu untuk mengagalkan usaha
penyelesaian damai yang aman di Acheh melalui jalur perundingan ini, maka
usaha-usaha penggagalan itu akan menghadapi benturan benteng dunia
internasional.
Kelihatannya Sumaryo mencoba untuk
mencari celah guna menggagalkan usaha perdamaian di Acheh ini dengan
melambungkan pemikirannya dalam bentuk pertanyaan: ”Apakah tindakan Swedia sah
menurut hukum internasional yang membiarkan warga negaranya melakukan
konspirasi dan perjanjian dengan satu kelompok atau gerakan untuk melakukan
perlawanan senjata terhadap pemerintahan RI yang sah dengan tujuan memisahkan
diri ?”
Nah, disini Sumaryo mencoba
melihat celah-celah yang ada dalam jaringan hukum internasional yang bisa
dipakai untuk menjerat Swedia guna bisa dipakai alat untuk menyetop usaha maju
dari pihak ASNLF/GAM.
Hanya sayang, usaha Sumaryo
melalui jalur hukum internasional ini tidak akan kesampaian. Mengapa ? Karena
usaha yang telah ditempuh sebelumnya yang dilakukan oleh rezim Megawati untuk
menjerat para petinggi ASNLF/GAM di Swedia melalui jalur hukum, ternyata
mengalami gagal total. Dan tentu saja, kalau usaha melalui jalur hukum ini yang
juga akan ditempuih oleh Sumaryo, maka sudah dipastikan akan mengalami jalan
buntu. Masalahnya sangat sederhana, yaitu Pemerintah Swedia tidak akan
melakukan tindakan hukum terhadap warganya yang tidak terbukti secara hukum
melakukan kejahatan tindak pidana di wilayah Swedia dan diluar wilayah Swedia.
Sampai detik ini tidak ada bukti
hukum yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menjerat petinggi ASNLF/GAM guna
diajukan ke meja hijau. Bahkan bardasarkan fakta dan bukti hukum yang ada, pada
hari Jumat, 22 April 2005, pihak Kepala Jaksa Penuntut Umum Tomas Lindstrand
menyatakan bahwa penyidikan terhadap Teungku Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah
dihentikan, karena tidak ada fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa Teungku
Malik Mahmud dan Dr.Zaini Abdullah terlibat dalam tindakan terorisme, makar,
pembakaran dan penculikan, sebagaimana dituduhkan oleh pihak RI. Sedangkan
tuduhan yang ditujukan kepada Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang dituduh
melakukan pelanggaran hukum internasional oleh pihak Pemerintah Indonesia telah
dicabut oleh Kepala Jaksa Penuntut Umum Tomas Lindstrand, pada hari Jumat, 16
Juli 2004, melalui penghentian penyidikan terhadap Teungku Hasan Muhammad di
Tiro, dengan alasan masalah kesehatan.
Jadi kalau Sumaryo Suryokusumo akan
juga mencoba untuk menghunuskan pedang hukum internasional kehadapan Pemerintah
Swedia untuk meminta warganya menghentikan usaha perundingan untuk penyelesaian
damai di Acheh, maka tentu saja, usaha Sumaryo itu akan mengalami kegagalan.
Mencoba menghunuskan pedang hukum internasional tanpa diringi dengan bukti
hukum yang menyatakan petinggi ASNLF/GAM terlibat melakukan tindak pidana
pelanggaran hukum baik di Swedia atau di RI, maka selama itu usaha Sumaryo akan
kandas.
Bagi yang ada minat untuk menanggapi
silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se
agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca
tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam
dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
SUARA
PEMBARUAN DAILY
Pemantau
Uni Eropa Akan Timbulkan Masalah
JAKARTA
- Hasil perundingan lanjutan delegasi Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, berimplikasi luas, Kehadiran pemantau
dari Uni Eropa dinilai akan menimbulkan masalah.
Guru
besar hukum internasional dari Universitas Indonesia Sumaryo Suryokusumo
mengatakan hal itu, Kamis (2/6), di Jakarta, mencermati perundingan lanjutan
antara Indonesia dengan GAM yang berakhir Selasa lalu di Helsinki, Finlandia.
Kekhawatiran
serupa itu juga dilontarkan oleh anggota Komisi I DPR Djoko Susilo dari Fraksi
Partai Amanat Nasional.
DPR
kecewa dengan perundingan tersebut, tutur Djoko, karena hasil yang disepakati
tidak sesuai dengan keputusan bersama antara pemerintah dan DPR dalam rapat
kerja beberapa waktu lalu. Keabsahan perundingan RI-GAM juga dipertanyakan,
terutama menyangkut kredibilitas orang-orang yang terlibat dalam perundingan
tersebut.
Sumaryo
mengingatkan, kesepahaman menghadirkan tim pemantau asing dalam hal ini dari
Uni Eropa dan ASEAN untuk memantau pelaksanaan keputusan perundingan RI-GAM,
akan menimbulkan implikasi yang sangat luas. "Status GAM bisa berubah dan
itu sudah terbaca sejak perundingan berlangsung," ujarnya.
Internasionalisasi
Dalam
perundingan, tuturnya, delegasi GAM datang dengan membawa atribut berupa
bendera dan lagu kebangsaan sendiri, namun pihak Indonesia tidak memprotes sama
sekali. "Ini sudah mengindikasikan bahwa masalah Aceh telah
diinternasionalisasikan," tukasnya.
Kalau
masalah ini tidak diantisipasi dengan saksama, menurut dia, bukan tidak mungkin
Aceh akan mengikuti Timor Timur, lepas dari pangkuan negara kesatuan Republik
Indonesia.
Kehadiran
Uni Eropa sebagai tim monitor, sambungnya, juga sangat bermasalah karena UE -
setelah melakukan pemantauan di lapangan - akan melaporkan hasil kerjanya ke
Dewan Menteri Eropa.
Dewan inilah yang kemudian
menganalisa dan mengambil langkah-langkah selanjutnya.
Mengenai tim pemantau dari ASEAN,
Sumaryo mengaku tidak terlalu cemas karena bisa dikendali. Walau demikian, internvensi
negara-negara ASEAN dalam masalah internal salah satu negara anggotanya juga
tidak tepat dan bertentangan dengan komunike politik yang telah disepakati.
Dia menambahkan, keabsahan
perundingan RI-GAM juga layak dipertanyakan.
"Pertanyaan itu adalah apakah
tindakan Swedia sah menurut hukum internasional yang membiarkan warga negaranya
melakukan konspirasi dan perjanjian dengan satu kelompok atau gerakan untuk
melakukan perlawanan senjata terhadap pemerintahan RI yang sah dengan tujuan
memisahkan diri?" ucap Sumaryo.
Begitu pula Djojo mengatakan,
hasil kesepahaman RI-GAM layak dipertanyakan dari sisi Indonesia, karena
delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin tidak
dalam posisi mengambil keputusan.
"Keputusan itu diambil oleh
otoritas yang tertinggi. Sehingga kami dari DPR mempertanyakan kapasitas Hamid
Awaluddin," ujarnya.
Sumaryo mengingatkan, masalah Aceh
adalah persoalan dalam negeri dan tidak harus diangkat ke dunia internasional.
Lagi pula, GAM itu bukan entitas negara.
Mediasi yang diminta beberapa
pihak hanya bisa dilakukan dalam konteks perjuangan rakyat pembebasan nasional,
seperti yang terjadi di Palestina, dan bukan untuk separatisme.
"Separatisme adalah masalah
dalam negeri yang harus diselesaikan oleh pemerintah sendiri tanpa campur
tangan pihak asing manapun. Berbagai tawaran dialog yang diminta pihak asing
harus ditolak karena hanya memperkeruh suasana dalam negeri," tegasnya.
Djoko menambahkan, keterlibatan
pihak asing, dalam hal ini Uni Eropa sudah menjadi fakta yang tidak
terbantahkan lagi, bahwa kasus Aceh sudah diinternasionalisasikan.
Fakta lain, biaya perundingan yang
dimediasi oleh Crisis Management Inisiative (CMI) pimpinan mantan Presiden
Finlandia Martti Ahtisaari dikeluarkan oleh Uni Eropa melalui dana Rapid
Mechanism Respons.
Dana itu, lanjutnya, hanya mungkin
dan bisa dicairkan dalam dua kondisi, yakni akibat krisis politik atau bencana
alam.
"Masalah Aceh adalah bagian
dari krisis politik sehingga UE berkewajiban mengeluarkan anggaran untuk
menyelesaikan masalah politik tersebut," katanya. (L-8)
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/06/02/Utama/ut02.htm
----------