Stockholm, 26 Juli 2005

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.


DENNY JA BERMIMPI SIAP MELAKUKAN LOMPATAN POLITIK DI ACHEH

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.



DIREKTUR EKSEKUTIF LINGKARAN SURVEI INDONESIA DENNY JA BERMIMPI SIAP MELAKUKAN LOMPATAN POLITIK DI ACHEH

 

Ada bebarapa poin yang perlu digaris bawahi dari apa yang dilambungkan Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA dalam tulisannya yang berjudul “Lompatan Politik di Aceh” yang dipublikasikan di Suara Pembaharuan Daily, Senin, 25 Juli 2005.

 

Diantara poin-poin yang perlu digaris bawahi itu diantaranya:

 

Pertama, pemimpin, akademisi, aktivis, selayaknya mendukung perobahan politik perdamaian Helsinki.

 

Kedua, jika perdamaian dengan ASNLF atau GAM tercipta, tidak ada pilihan merdeka lagi, yang ada hanya dibolehkan berada dalam kerangka NKRI.

 

Ketiga, perjanjian damai tercapai merupakan momentum rekonsiliasi.

 

Keempat, partai lokal di Acheh itu adalah pemberian khusus untuk publik Acheh karena Indonesia menerima pengakuan GAM atas NKRI.

 

Kelima, belum tentu pula partai lokal yang dipelopori aktivis ASNLF atau GAM mampu mengalahkan partai nasional di Acheh.

 

Keenam, jika partai lokal di Acheh yang didirikan mantan aktivis ASNLF atau GAM dikalahkan oleh Golkar atau PDI-P atau PAN atau PKS pada pemilu DPRD Acheh, akan membuka mata dunia bahwa bagi bangsa Acheh yang penting bukan mantan ASNLF/GAM atau bukan, melainkan siapa yang memperjuangkan nasib bangsa Acheh.

 

Nah, dari poin-poin diatas yang perlu digaris bawahi itu menggambarkan bagaimana pandangan dan pikiran Denny JA terhadap kesepakatan Helsinki 17 Juli 2005 tentang perdamaian di Acheh.

 

Memang seharusnya bukan hanya bagi pemimpin, akademisi, aktivis yang mendukung perdamaian Helsinki, melainkan keseluruhan, termasuk Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, DPR, Jenderal-Jenderal TNI. Karena diantara kelompok yang ada di DPR saja itu masih ada suara-suara yang menentang perdamaian Helsinki, seperti kelompoknya PDI-P-nya Mega dan PKB-nya Gus Dur, begitu juga dari kalangan TNI, terutama Jenderal-Jenderal TNI yang menyokong kaum ultra nasionalis yang berkumpul di kubu PDI-P-nya Mega dan PKB-nya Gus Dur.

 

Nah, kalau masih ada kelompok-kelompok yang tidak mengehendaki damai di Acheh melalui jalur perundingan Helsinki, itu membuktikan bahwa kesepakatan Helsinki bisa saja didobrak oleh kelompok-kelompok ultra nasionalis dan sebagian Jenderal TNI itu.

 

Disamping itu, perundingan Helsinki bukan hasil langkah dobrakan Jusuf Kalla Bugis saja, melainkan juga karena adanya keinginan dari bangsa Acheh khususnya dari pihak ASNLF atau GAM yang mau tegaknya kedamaian dan keadilan di Acheh.

 

Disamping itu, adanya dukungan penuh dari dunia internasional seperti dari pihak Pemerintah Finlandia, melalui Presiden Martti Ahtisaari yang dengan gigih berusaha meloloskan kesepakatan damai di Acheh.

 

Juga adanya dukungan dan sokongan penuh dari negara-negara anggota Uni Eropa untuk menyelesaikan konflik Acheh melalui jalur perundingan politik secara damai.

 

Begitu juga adanya kesedian penuh dari Negara-Negara ASEAN yang bersama-sama dengan pihak Uni Eropa ikut langsung terlibat di tanah Acheh memonitor jalannya pelaksaan kesepakatan Helsinki di lapangan.

 

Dengan adanya keterlibatan langsung pihak negara-negara asing di Acheh adalah menjadi satu kekuatan untuk bisa dijadikan sebagai jembatan yang menuju kepada kedamaian, keamanan di Acheh.

 

Bagaimanapun kedua belah pihak, ASNLF atau GAM dan RI tidak bisa dengan mudah untuk melakukan suatu usaha pelanggaran kesepakatan Helsinki dengan tujuan untuk penggagalan tanpa harus melalui lobang jarum tim monitoring Uni Eropa dan ASEAN. Dan hal inilah yang memperkuat jalan dan berhasilnya pelaksanaan kesepakatan Damai di lapangan.

 

Belum pernah terjadi sebelumnya, hasil kesepakatan damai ASNLF-RI yang langsung diawasi oleh negara-negara internasional di tanah Acheh. Jadi ini merupakan keberhasilan bagi pihak ASNLF untuk bersama dunia internasional membangun perdamaian di Acheh.

 

Tentu saja, bagi pihak RI, termasuk didalamnya DPR, TNI, partai-partai politik dan semua unsur yang ada di RI kalau mencoba untuk menggagalkan kesepakatan Helsinki akan menghadapi benteng kekuatan Uni Eropa dan ASEAN.

 

Dan tidak mudah bagi pihak RI untuk berkelit dan ingkar janji dari apa yang telah disepakati di Helsinki itu. Karena pihak RI akan berhadapan dengan kekuatan Uni Eropa dan ASEAN, yang nota bene adalah negera-negara anggota PBB, dimana pihak Sekjen Konfi Annan telah menyambut baik dan menyetujui kesepakatan Helsinki itu.

 

Jadi, hadirnya  negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan ASEAN adalah memberikan jaminan akan berhasilnya kesepakatan Helsinki di lapangan, dan keberhasilan bagi bangsa Acheh untuk menjalankan self-government di Acheh. Negeri Acheh untuk bangsa Acheh, bukan untuk orang yang duduk ongkang-ongkang di Jakarta.

 

Kemudian, dengan terciptanya kedamaian di Acheh, dan berdirinya Pemerintah Sendiri Acheh yang diatur oleh bangsa Acheh sendiri, itu tidak menutup mata dan tidak menutup pintu politik bagi keinginan bangsa Acheh untuk mengatur negerinya sendiri tanpa adanya campur tangan dari luar Acheh. Dan usaha itu bisa dilakukan melalui jalur politis, kendatipun adanya rintangan-rintangan yang dipasang dari Jakarta seperti rintangan tidak ada pilihan merdeka lagi atau rintangan hanya boleh dibawah payung NKRI. Karena kalau keinginan dari sebagian besar bangsa Acheh untuk menentukan nasib sendiri dalam lindungan self-government Acheh itu tidak akan ada satu kekuatan politik atau militerpun yang bisa menghalangi keinginan seluruh bangsa Acheh. Jadi, betapa naiv-nya kalau ada yang mengatakan ”jika perdamaian dengan ASNLF atau GAM tercipta, tidak ada pilihan merdeka lagi, yang ada hanya dibolehkan berada dalam kerangka NKRI”, sebagaimana yang dilambungkan Denny JA.

 

Seterusnya, rekonsiliasi akan tercapai kalau memang dari kedua belah pihak sudah ada saling kepercayaan yang penuh yang tidak saling merugikan satu sama lain, dan diantara kedua belah pihak berada dalam kedudukan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Seandainya kondisi yang demikian masih belum tercipta di Acheh, maka selama itu rekonsiliasi tidak akan pernah terwujud di bumi Acheh.

 

Lalu partai politik lokal Acheh merupakan realisasi dari kesepakatan Helsinki yang dituangkan dalam bentuk partisipasi politik melalui cara adil dan demokrasi. Jadi, partai-partai politik lokal yang akan dibangun oleh bangsa Acheh itu merupakan realisasi dari hasil kesepakatan Helsinki. Karena itu tidak ada alasan lain, selain daripada pihak RI harus mematuhi dan komitmen dengan apa yang telah disepakati dalam kesepakatan Helsinki.

 

Bagi bangsa Acheh untuk menyalurkan aspirasi politiknya melalui jalur politik lokal itu adalah hak bagi bangsa Acheh yang telah disepakati dalam kesepakatan Helsinki. Soal apakah nanti partai politik lokal bisa membendung partai-partai politik berbasis nasional, itu akan terlihat dalam kenyataannya ketika berlangsung pemilu untuk membentuk dan menjalankan Self-Government di Acheh.

 

Soal pengakuan ASNLF atau GAM terhadap NKRI itu sebatas menyangkut diluar kedaulatan terhadap wilayah Acheh. Karena sudah jelas bahwa pihak Pemerintah negara Acheh dalam hal ini melalui ASNLF atau GAM adalah merupakan lembaga institusi kenegaraan yang sama tingkat dan statusnya dengan lembaga negara RI berdasarkan dasar hukum kesepaktan Helsinki. Jadi, tidak ada dinyatakan bahwa Pemerintah Negara Acheh mengakui Kedaulatan NKRI atas Acheh. Jadi adalah suatu hal yang mengada-ada kalau Denny JA menyatakan bahwa ”Indonesia menerima yang jauh lebih besar lagi: pengakuan GAM atas NKRI”. Justru yang diakui dan disepakati adalah apa yang tertuang dalam hasil kesepakatan Helsinki yang akan dituangkan dalam Memorandum of Understanding Helsinki yang akan ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. Dimana dalam MoU Helsinki itu, sebagaimana tertuang dalam poin-poin utama yang tertulis dalam Joint statement oleh pihak ASNLF atau GAM dan RI yang dibacakan Presiden Martti Ahtisaari pada 17 juli 2005 di Helsinki, tidak tercantum adanya pengakuan ASNLF atau GAM kedaulatan NKRI atas wilayah Acheh. Yang ada justru kedua belah pihak mendapatkan kesepakatan yang bermartabat tanpa kedua belah pihak kehilangan muka.

 

Kemudian lagi, soal apakah partai-partai politik lokal yang akan dibangun dan dijalankan oleh bangsa Acheh dan aktivis ASNLF atau GAM mampu mengalahkan partai nasional di Acheh ?. Itu belum pernah dibuktikan dan dilaksanakan dalam sejarah yang sudah berlangsung di Acheh. Jadi, sangat awal sekali kalau melambungkan prediksi bahwa partai-partai politik lokal Acheh belum tentu mampu mengalahkan partai nasional di Acheh. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya setelah partai-partai politik lokal Acheh berdiri dan berjalan di Acheh.

 

Terakhir, sebagaimana juga yang dikatakan diatas bahwa karena dalam sejarah Acheh belum pernah dilakukan pemilihan umum di Acheh melalui jalur partai politik lokal, maka tidak bisa memberikan prediksi bahwa pihak Golkar atau PDI-P atau PAN atau PKS pada pemilu DPRD Acheh akan mengalahkan partai-partai politik lokal Acheh. Jadi, untuk membuktikan asumsi yang demikian terlebih dahulu harus terlaksananya partisipasi politik bangsa Acheh di Acheh secara bebas dan adil. Tidak ada lagi hambatan dan halangan berupa kekerasan guna menjegal keinginan dari bangsa Acheh untuk menjalankan dan mencapai penentuan nasib sendiri di Acheh. Dalam situasi dan kondisi demikian Insya Allah bangsa Acheh akan dengan aman dan damai menjalankan hak dan kewajiban politisnya di Acheh tanpa merasa terancam dan takut. Dan dalam keadaan situasi dan kondisi yang aman dan damai inilah bangsa Acheh akan mencapai tujuan penentuan nasib sendiri.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad


Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*


Wassalam.


Ahmad Sudirman


http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

SUARA PEMBARUAN DAILY

Lompatan Politik di Aceh

Denny JA

 

POLITIK di kala normal adalah politik yang rutin. Semua peristiwa dan dinamika yang terjadi adalah politik sehari-hari yang sudah terjadi sejak lama di wilayah itu. Orientasi pelaku politik, aturan main politik dan kultur politik yang bekerja di wilayah itu, sudah tercipta sejak lama.

 

Lompatan politik terjadi jika kondisi politik berubah total. Orientasi pelaku politik berubah. Aturan main para pelaku politik ikut berubah menyesuaikan diri. Perlahan-lahan tercipta kultur politik yang baru. Publik luas segera merasakan perbedaan hidup di zaman baru dan di zaman lama akibat terjadinya lompatan politik itu.

 

Sejarah Indonesia sudah beberapa kali merasakan lompatan politik itu. Yang paling dekat, adalah momentum reformasi tahun 1998. Politik Indonesia melompat dari paradigma politik otoriter menuju politik demokrasi. Perubahan sangat dirasakan publik luas, mulai dari kebebasan politik, partisipasi politik sampai kepada perubahan kultur politik. Berbagai aturan main politik ikut diubah untuk menyesuaikan diri, mulai dari UU sampai kepada amendemen UUD 1945.

 

Perdamaian dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki juga potensial menjadi lompatan politik. Pemimpin, akademisi, aktivis, selayaknya mendukung lompatan politik itu, demi perubahan kualitas hidup di Aceh. Sejauh semua kesepakatan berada dalam kerangka NKRI, aneka konsesi lainnya yang diberikan kepada mantan aktivis GAM, seharusnya menjadi sekunder.

 

Berubah

 

Beberapa hal penting di Aceh segera berubah dengan lompatan politik perdamaian di Helsinki. Pertama, dinamika politik di Aceh jelas berubah arah. Ujung dari dinamika itu tidak lagi pilihan yang sulit seperti Aceh Merdeka atau bersama Indonesia. Pilihan itu begitu menguras energi dan sudah memecah-belah kohesi komunitas di Aceh secara mendalam sekali.

 

Bagi sebuah keluarga, komunitas di desa ataupun di provinsi, pilihan politik yang ada selama itu dapat berujung kepada kematian. Memilih tetap bersama Indonesia akan dicap pengkhianat oleh rekan-rekan separatisme bersenjata. Sementara memilih merdeka juga akan dicap sebagai makar dan akan menghadapi risiko yang mahahebat.

 

Sudah lebih dari 30 tahun rakyat Aceh selalu dihadapkan dengan pilihan politik yang sulit itu. Ratusan ribu penduduk Aceh sudah mati karenanya. Ayah kehilangan anak. Anak kehilangan ayah. Istri kehilangan suami. Sedangkan seorang suami terpaksa mengungsi meninggalkan keluarga yang terbengkalai. Kultur konflik seperti itu hanya melahirkan generasi yang ahli berperang, namun tidak ahli membangun.

 

Lompatan Politik

 

Pilihan politik itu segera berakhir jika perdamaian dengan GAM tercipta. Tak ada pilihan merdeka lagi. Semua dinamika politik yang ada hanya dibolehkan berada dalam kerangka NKRI. Berbagai kecerdasan dan energi yang selama ini dihabiskan untuk Aceh merdeka, kini harus disalurkan dalam aneka aktivitas politik di bawah payung NKRI.

 

Lompatan politik kedua di Aceh jika perundingan damai tercapai adalah kultur kekerasan. Dinamika politik di Aceh selama ini berujung di senjata. Pilihan Aceh merdeka, atau tetap bersama Indonesia tak dapat dikompromikan. Dua pilihan itu akhirnya harus dilanjutkan dengan senjata. Yang berbicara akhirnya bukan lagi wacana rasional. Yang menentukan adalah peluru, bom, dan granat.

 

Politik masyarakat ditentukan di hutan-hutan tempat persembunyian. Target politik disederhanakan menjadi mengurangi dan membunuh pihak lawan sebanyak mungkin. Tak ada komunitas yang dapat sehat dan sejahtera jika kultur kekerasan yang menjadi nada dasarnya.

 

Perundingan damai di Helsinki sangat potensial mengurangi kekerasan secara substansial. Dinamika politik dan perbedaan kepentingan tidak lagi diselesaikan dengan senjata. Semua senjata akan dilucuti. Perbedaan politik akan diselesaikan di parlemen daerah. Peluru, granat, dan bom, berganti dengan debat publik, pertarungan opini, dan voting di parlemen. Politik tidak lagi berdarah.

 

Lompatan politik lainnya di Aceh jika perjanjian damai tercapai adalah momentum rekonsiliasi. Aceh bagi Indonesia menjadi duri dalam daging selama ini, sementara Indonesia bagi Aceh menjadi monster yang menakutkan yang tak hanya menyedot habis kekayaan Aceh untuk dibawa ke pusat. Indonesia juga dianggap telah menyebabkan begitu banyak janda dan anak yatim.

 

Sementara antarwarga Aceh sendiri sudah pula tercabik-cabik. Rasa nasionalisme orang Aceh sebenarnya sangat tinggi. Memang banyak orang Aceh yang kecewa terhadap kebijakan pemerintah pusat. Namun, banyak dari mereka bukanlah pengikut GAM yang ingin merdeka. Mereka hanya butuh keadilan.

 

Ketika pilihannya hanyalah Aceh merdeka atau bersama Indonesia, banyak pihak sulit untuk berada di tengah. Akibatnya antara satu keluarga dengan keluarga lainnya di Aceh, bahkan antaranggota dalam satu keluarga sekalipun, banyak yang terlibat konflik.

 

Perdamaian di Helsinki itu potensial mengakhiri akar konflik itu. Apa pun kepentingan dan persepsi yang mereka punyai, semua tetap berada dalam kerangka makro yang sama, naungan NKRI. Rekonsiliasi akan mudah dikondisikan.

 

Partai Lokal

 

Karena sedemikian besar lompatan politik itu akan mengubah wajah Aceh, janganlah perkara partai lokal menjadi kendala. Apalagi partai lokal itu dibatasi hanya untuk wilayah Aceh, tidak wilayah lainnya. Anggap saja partai lokal di Aceh itu adalah pemberian khusus untuk publik Aceh karena Indonesia menerima yang jauh lebih besar lagi: pengakuan GAM atas NKRI.

 

Tak ada yang perlu dikhawatirkan atas partai lokal yang hanya diizinkan beroperasi di Aceh. Pengaruh partai lokal itu juga hanya lokal pula. Apalagi partai lokal dibatasi oleh aturan main yang fundamental. Partai lokal itu misalnya tak bisa memperjuangkan referendum, apalagi kemerdekaan.

 

Dalam masyarakat yang heterogen, mustahil pula ada partai lokal yang mampu menguasai suara DPRD di atas 50 persen. Akan ada banyak partai lainnya di Aceh, baik partai lokal yang didirikan oleh mereka yang anti-GAM, ataupun partai nasional. Kebijakan resmi melalui DPRD di Aceh nanti juga akan banyak melalui kompromi.

 

Belum tentu pula partai lokal yang dipelopori aktivis GAM mampu mengalahkan partai nasional di Aceh. Jika partai lokal di Aceh yang didirikan mantan aktivis GAM dikalahkan oleh Golkar atau PDI-P atau PAN atau PKS pada pemilu DPRD Aceh, justru itu akan menjadi momen penting. Itu segera membuka mata dunia bahwa bagi penduduk Aceh yang penting bukan mantan GAM atau tidak, tetapi siapa yang paling baik memperjuangkan nasib penduduk Aceh.

 

Saatnya terjadi lompatan politik di Aceh. Draf perdamaian di Helsinki itu potensial menjadi lompatan politik penting, jika tidak diaborsi oleh kekuatan politik lain yang berpengaruh.

 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia

Last modified: 25/7/05

http://www.suarapembaruan.com/News/2005/07/25/index.html

----------