Stockholm, 29 Agustus 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
LUTH, ITU GAM ENTITAS HUKUM YANG MEMPUNYAI KAPASITAS MEMBUAT
PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN NEGARA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
PERLU
LUTH KEY KETAHUI BAHWA GAM MERUPAKAN ENTITAS HUKUM YANG MEMPUNYAI KAPASITAS
MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN NEGARA
"Tetapi
saya bertanya-tanya, apakah Bung Ahmad sadar bahwa ini adalah masalah politik,
bukan masalah hukum. Topik yang kita bahasa ini murni masalah politik dan bukan
masalah hukum, peradilan atau pun perundang-undangan. Gerakan Acheh Merdeka
adalah suatu organisasi ilegal (paling tidak di Indonesia sampai setelah Mou
ditandatangani) sehingga GAM sendiri bukanlah subjek hukum yang berhak
melakukan perjanjian demi hukum baik secara domestik apa lagi internasional.
Dengan kata lain semua perjanjian dengan GAM adalah tidak sah, sama tidak
sahnya dengan perjanjian yang ditandatangani anak berumur 5 tahun." (Luth
Key, shinmeiryuu@yahoo.com ,
Sun, 28 Aug 2005 20:54:41 -0700 (PDT))
Baiklah
saudara Luth Key di Bandung, Indonesia.
Masalah
amnesti bukan masalah politik, melainkan masalah hukum. Karena itu apa yang
dibicarakan yang menyangkut amnesti itu merupakan wilayah pembicaraan hukum.
Dan karena sudah menyangkut wilayah hukum, maka harus ditunjang oleh adanya
dasar hukum yang dijadikan pegangan.
Nah,
Memorandum of Understanding merupakan Bentuk dan nama perjanjian internasional
yang mengacu kepada dasar hukum UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional, yang dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1)
Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu
negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional
lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan
perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
Dimana
bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara
lain : treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol,
charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed
minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent.
Karena
MoU merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional yang berlandaskan UU
No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, yang dijelaskan secara
terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1), maka MoU menjadi sebagai dasar dan acuan
hukum.
Kemudian,
ASNLF/GAM adalah sebagai subjek hukum internasional lain yang mempunyai
kapasitas membuat perjanjian internasional dengan negara. Dan kapasitas
ASNLF/GAM untuk membuat perjanjian internasional dengan negara telah diterima
dan diakui oleh pihak Pemerintah RI dan Pemerintah Negara lainnya, seperti
Amerika, Jepang, dan Negara-Negara anggota Uni Eropa.
Hal
ini terbukti ketika pada hari Senin, 9 Desember 2002, di Jenewa yang dihadiri
oleh diplomat-diplomat Barat, pihak ASNLF/GAM dan pihak Pemerintah RI
menandatangani Perjanjian Damai RI-GAM tentang Genjatan Senjata, pihak pihak
Pemerintah RI ditandatangani oleh Wiryono Sastrahandoyo dan dari pihak
ASNLF/GAM ditandatangani oleh Zaini Abdullah. Begitu juga ketika dilakukannya
penandatanganan Memorandum of Understanding RI-GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki,
yang ditandatangani oleh Hamid Awaluddin dari pihak Pemerintah RI dan Malik
Mahmud dari pihak ASNLF/GAM.
Nah,
disini tidak disinggung apakah pihak yang diakui sebagai entitas hukum yang
mempunyai kapasitas membuat perjanjian internasional dengan negara itu yang
mewakili dan menandatanganinya WNI atau WNA. Yang dilihat dan diakui hanyalah
lembaga entitas hukum yang merupakan subjek hukum internasional lain-nya, bukan
status pelaku-pelaku hukumnya.
Jadi,
hasil produk UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, yang
dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1) yang merupakan bentuk
Memorandum of Understanding adalah merupakan dasar hukum dan acuan hukum bagi
hukum-hukum lainnya yang berkaitan.
Misalnya,
RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh yang akan disahkan dan
diundangkan paling lambat 31 Maret 2006, itu isinya memuat klausul-klausul yang
tertuang dalam MoU RI-GAM 15 Agustus 2005 Helsinki.
Karena
itu salah besar, kalau saudara Luth Key menyatakan bahwa "MoU sama sekali
tidak sah secara hukum, dan sangat salah kalau kita menganggapnya sebagai suatu
perjanjian yang mengikat secara hukum. MoU hanya dapat kita lihat sebagaimana
adanya, yaitu suatu nota kesepahaman semata yang murni berdasar pada kebijakan
politik. Oleh sebab itu wajar saja jika DPR ingin amnesti hanya diberikan pada
anggota GAM yang setia pada NKRI, karena keinginan itu pun keinginan politik,
tidak perlu berdasar hukum."
Jadi
sekali lagi, kalau pihak GAM harus menyatakan sumpah dalam hal amnesti itu
memang tidak ada dasar hukumnya yang telah disepakati sesuai dengan dasar
hukum UU No 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional, yang dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal
4 (1).
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu
untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang
Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di
HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
Date:
Sun, 28 Aug 2005 20:54:41 -0700 (PDT)
From:
Luth Key shinmeiryuu@yahoo.com
Subject:
Re: TIDAK ADA DASAR HUKUMNYA BAGI GAM UNTUK MENYATAKAN SUMPAH
To:
Ahmad Sudirman ahmad@dataphone.se
Berbicara
mengenai dasar hukum, Bung Ahmad sangat benar bahwa anggota DPR tidak memiliki
dasar hukum untuk menyatakan bahwa amnesti diberikan hanya kepada anggota GAM
yang sudah berganti kesetiaan. Saya sangat yakin bahwa hal ini tidak disebutkan
sama sekali dalam MoU, karena jika ada point seperti itu tentu pihak GAM tidak
akan rela untuk menandatanganinya.
Tetapi
saya bertanya-tanya, apakah Bung Ahmad sadar bahwa ini adalah masalah politik,
bukan masalah hukum. Topik yang kita bahasa ini murni masalah politik dan bukan
masalah hukum, peradilan atau pun perundang-undangan.
Bila
kita cermati lebih teliti, kita akan melihat bahwa sebenarnya MoU itu sendiri
tidak memiliki dasar hukum. Suatu perjanjian internasional hanya dapat memiliki
dasar hukum apa bila pihak-pihak dalam perjanjian tersebut adalah negara-negara
yang berdaulat baik secara de facto atau de jure. Apa bila pihak lain yang
melakukan perjanjian secara internasional, maka perjanjian tersebut bukan
termasuk sebagai perjanjian internasional. Misalnya Mr X dari negara Y dan Mr W
dari negara Z melakukan perjanjian atau PT A dari negara B dengan Organisasi C
dari negara D melakukan kontrak kerja sama maka perjanjian yang dihasilkan
bukan lah perjanjian internasional yang tunduk pada hukum internasional,
melainkan menjadi perjanjian yang tunduk pada hukum dari negara yang menjadi
kewarganegaraan salah satu atau kedua pihak yang menandatangani perjanjian
tersebut, dan sifatnya hukum nasional dan apabila terjadi pelanggaran maka akan
disidangkan di pengadilan nasional dengan hukum nasional.
Acheh
secara de facto dan de jure masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, oleh sebab itu tidak ada pihak yang dapat mewakili Acheh dalam suatu
perjanjian internasional kecuali pemerintah NKRI atau pihak yang ditunjuk dan
diberi kuasa secara hukum oleh pemerintah/penguasa NKRI.
Sedangkan
Gerakan Acheh Merdeka adalah suatu organisasi ilegal (paling tidak di Indonesia
sampai setelah Mou ditandatangani) sehingga GAM sendiri bukanlah subjek hukum
yang berhak melakukan perjanjian demi hukum baik secara domestik apa lagi
internasional. Dengan kata lain semua perjanjian dengan GAM adalah tidak sah,
sama tidak sahnya dengan perjanjian yang ditandatangani anak berumur 5 tahun.
Lebih
jauh lagi, anggota-anggota GAM adalah manusia tidak berkewarganegaraan (yang
sah dari suatu negara berdaulat) sehingga tidak dapat mengikat suatu perjanjian
dengan dilindungi hukum dari suatu negara tertentu, apalagi hukum internasional
(HAM bukan hukum). Kalau kita menyatakan bahwa anggota GAM berkewarganegaraan
Indonesia, maka tidak ada masalah sama sekali, MoU otomatis tidak berlaku,
karena pemerintah suatu negara tidak melakukan perjanjian internasional dengan
warga negaranya sendiri. Sedangkan anggota GAM yang berkewarganegaraan asing
(Eropa dan lain sebagainya) sama sekali tidak berhak dan tidak signifikan untuk
mewakili Acheh dalam perjanjian apa pun.
Dengan
kata lain MoU sama sekali tidak sah secara hukum, dan sangat salah kalau kita
menganggapnya sebagai suatu perjanjian yang mengikat secara hukum. MoU hanya
dapat kita lihat sebagaimana adanya, yaitu suatu nota kesepahaman semata yang
murni berdasar pada kebijakan politik.
Oleh
sebab itu wajar saja jika DPR ingin amnesti hanya diberikan pada anggota GAM
yang setia pada NKRI, karena keinginan itu pun keinginan politik, tidak perlu
berdasar hukum.
Luth
Key
shinmeiryuu@yahoo.com
Bandung,
Indonesia
----------