Stockholm, 5 September 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
YUSRA HABIB COBA PERTAHANKAN ACHEH PAKAI ILMU TERBANG
DIUDARA
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
KELIHATAN
ITU YUSRA HABIB COBA PERTAHANKAN ACHEH PAKAI ILMU TERBANG DIUDARA
"Roda
pemerintahan rakyat Acheh berdasarkan MoU itu hanyalah suatu pelimpahan kuasa
administrative lebih luas yang diberikan penjajah (Indonesia) kepada siterjajah
(Acheh) atas dasar perundingan. Yang pasti, status Acheh tetap merupakan salah
satu Provinsi dalam wilayah territorial NKRI. Yang disepakati itu hanya bentuk
government (baca: administrasi) bukan state. Saya pakai kalimat ‘diberikan
penjajah’, sebab bentuk self-government diminta oleh GAM. Tegasnya, GAM
mengakui bahwa Acheh adalah bagian dari wilayah NKRI. Bagi Indonesia, pengakuan
Acheh yang disaksikan dunia Internasional inilah yang maha penting dari segala-galanya.
Inilah konsekuensi logis dari anak kalimat: “... suatu proses yang demokratis
dan adil dalam negara kesatuan..."(Yusra Habib Abdul Gani, ari_linge@yahoo.dk
, Sun, 4 Sep 2005 20:26:17 +0200 (CEST))
Baiklah
saudara Yusra Habib Abdul Gani di Struer, Vestsjalland, Denmark.
Setelah
membaca apa yang dilambungkan saudara Yusra Habib atas apa yang dikemukakan
Ahmad Sudirman sebelum ini yang menyangkut masalah MoU 15 Agustus 2005 Helsinki
dan masalah penuntutan bagi pengakuan
Dunia Internasional atas wilayah territorial negara Acheh berdasarkan peta yang
dibuat oleh Inggeris tahun 1883. Kelihatan masih banyak celah-celah kelemahan
yang sampai kapanpun hanya berada diudara selama memakai cara perjuangan terbang
diawang-awang untuk meraih kemerdekaan
bangsa Acheh.
Langkah yang ditempuh pihak Pemerintah Negara Acheh
dalam pengasingan di Swedia merupakan langkah yang bukan langkah
mengawang-awang diudara, melainkan langkah yang membawa seluruh bangsa Acheh di
Acheh untuk secara bersama membangun Acheh dibawah Pemerintahan Acheh dan oleh
bangsa Acheh.
MoU bukan hanya suatu pelimpahan kuasa administrasi
yang luas saja, melainkan juga pelimpahan perundang-undangan, ekonomi,
perdagangan, sumber alam, keamanan, dan perdamaian, yang kesemuanya secara luas
dilimpahkan kepada Pemerintah Acheh dan Legislatif Acheh.
Modal utama inilah yang akan dijadikan sebagai
langkah awal bagi pihak ASNLF/GAM bersama seluruh bangsa Acheh untuk membangun
Acheh menuju kepada keadaan aman, damai, adil, dan sejahtera bagi seluruh
bangsa Acheh.
Inilah langkah yang terbaik dari langkah-langkah
lainnya yang telah ditempuh oleh pihak ASNLF/GAM di negeri pengasingan. Dengan
melalui pintu MoU inilah ASNLF/GAM akan menancapkan kakinya secara de-facto
langsung di bumi Acheh, tidak lagi berada diawang-awang di negara
pengasingan.
Memang,
tujuan untuk kemerdekaan masih jauh didepan, tetapi dengan melalui pintu MoU
bisa dijadikan pembuka jalan yang lebar bersama dengan seluruh bangsa Acheh di
Acheh menggalang kekuatan dan persatuan guna mencapai pintu kemerdekaan.
Dengan
adanya ASNLF/GAM didalam wilayah Acheh hidup dan membangun bersama seluruh
bangsa Acheh adalah merupakan modal yang kuat untuk mencapai tujuan
kemerdekaan.
Menginginkan
kemerdekaan di Acheh tanpa didukung dan hidup bersama dengan seluruh bangsa
Acheh di Acheh adalah hanya impian.
Memang,
berdasarkan MoU kewenangan Pemerintah Acheh dan Legislatif Acheh tidak seratus
persen berada ditangan, tetapi dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah
Acheh dan Legislatif Acheh sebagaimana yang tertuang dalam MoU adalah merupakan
kekuatan awal untuk dijadikan sebagai alat guna mencapai tujuan kemerdekaan.
Bandingkan
dengan apa yang masih diinginkan oleh saudara Yusra untuk mencapai kemerdekaan
Acheh yaitu salah satunya tetap berada di negara pengasingan dengan ruang gerak
yang sempit dan terbatas, terkurung oleh hukum yang berlaku ditempat
pengasingan, ruang gerak politik untuk Acheh sangat sempit, putus hubungan
dengan sebagian besar bangsa Acheh di Acheh, menyuarakan tuntutan bagi pengakuan Dunia Internasional atas wilayah
territorial negara Acheh berdasarkan peta yang dibuat oleh Inggeris tahun 1883
yang mungkin tidak akan didengar oleh dunia internasional, dan tentu saja tanah
Acheh tetap dijajah RI.
Jadi
kalau dibandingkan langkah perjuangan yang ditempuh ASNLF/GAM dengan MoU jauh
lebih maju dan lebih bersatu dengan bangsa Acheh di Acheh, dibandingkan dengan
langkah yang akan terus dijalankan oleh saudara Yusra Habib di Denmark yang terkurung
di dalam sangkar burung buatan Denmark.
Dengan
kewenangan yang ada berdasarkan MoU, itu Pemerintah Acheh dan Legislatif Acheh
bisa membuka dan menjalin hubungan internasional dalam masalah perdagangan dan
ekonomi. Dan jalur inilah yang salah satunya bisa dijadikan modal oleh
Pemerintah Acheh untuk membangun kerjasama internasional. Dan sekaligus sebagai langkah penggalangan hubungan
internasional untuk mencapai dukungan dan pengakuan internasional.
Kemudian, menjawab pertanyaan:
"Dimana dilaksanakan self government Acheh, kalau bukan di negara
Indonesia?"
Karena dalam MoU pihak ASNLF/GAM
tidak menyepakati UUD 1945 dan tidak menyepakati NKRI berdaulat atas Acheh,
maka itu Self Government dibangun dan dijalankan di diwilayah Acheh yang
dianeksasi, diduduki dan dijajah RI, dengan jaminan politis dari pihak penjajah
RI melalui suatu proses yang demokratis dan adil.
Jadi tidak benar kalau Yusra
menyatakan: "Jika GAM sudah mengakui kedaulatan NKRI atas Acheh dan
Konstitusi Indonesia, de-facto dan de-jure apa-apaan? ".
Karena kalau memang ASNLF/GAM
mengakui kedaulatan NKRI atas Acheh dan UUD 1945, maka tidak perlu harus ada
perundingan segala macam, cukup menyatakan ya, dan terima saja apa yang ada.
Karena pihak ASNLF/GAM tidak
menyepakati UUD 1945 dan tidak menyepakati NKRI berdaulat atas Acheh, maka
dengan disepakatinya MoU merupakan jaminan politis dan hukum dari penjajah RI
kepada ASNLF/GAM untuk membangun dan menjalankan Pemerintahan Acheh. Artinya
secara de-facto wilayah Acheh yang dijajah RI itu diserahkan kepada pihak
Pemerintahan Acheh. Dan secara de-jure Pemerintahan Acheh bisa berjalan
diwilayah Acheh.
Kemudian soal referendum, kalau
sebagian besar bangsa Acheh menginginkan referendum, setelah Pemerintahan Acheh
berdiri dan berjalan, dan setelah melalui penelitian melalui angket kepada
sebagian besar bangsa Acheh yang menghasilkan ya untuk referendum, maka tidak
ada alasan untuk tidak diadakan referendum.
Selanjutnya Yusra menyinggung:
"Acheh tidak bermaksud menjajah Sumatera, seperti tuduhan saudara.
Sultan-sultan Melayu Sumatera menyatukan diri dalam imperium Acheh. Seperti
Acheh menyatukan diri dengan imperium Oesmaniyah Turki. Acheh tidak pernah
merasa dijajah Turki. Jadi peta penting sebagai dokumen negara Acheh, yang jika
ditanya oleh dunia Internasional akan kita jelaskan duduk perkaranya."
Khilafah Islamiyah Utsmani itu
terdiri dari 29 propinsi, ditambah tiga tributary, dan satu principality. Dan dari propinsi yang ada itu
tidak ada yang namanya propinsi Acheh. Karena memang Acheh bukan salah satu
propinsi Khilafah Islamiyah Utsmani, maka Acheh tidak merasa diduduki dan
dijajah oleh Khilafah Islamiyah Utsmani. Kalau yang namanya mengadakan hubungan
diplomatik antara Acheh dengan Khilafah Islamiyah Utsmani, itu namanya bukan
menyatukan diri dengan Khilafah Islamiyah Utsmani.
Terakhir, Negara-Negara dan
Daerah-Daerah yang berada didalam naungan Republik Indonesia Serikat yang
diserahi dan diakui kedaulatannya pada tanggal 27 Desember 1949, itu dari
Sumatera adalah Negara Sumatra Selatan dan Negara Sumatra Timur. Sedangkan
Acheh tidak termasuk dalam Negara Bagian RIS.
Ketika Acheh dicaplok
RI-Jawa-Yogya Soekarno dalam RIS pada tanggal 14 Agustus 1950, itu wilayah
Acheh yang dicaplok dan dimasukkan kedalam wilayah Sumatra Utara adalah 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3. Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja. Dan
wilayah Acheh itulah yang dijadikan sebagai wilayah yang tertuang dalam UU
Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Acheh dan
Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatra Utara.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu
untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang
Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di
HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
Date:
Sun, 4 Sep 2005 20:26:17 +0200 (CEST)
From:
bur kucak <ari_linge@yahoo.dk>
Subject:
"Muallaf" Dalam Soal Acheh
To:
ahmad@dataphone.se, toba157@hotmail.com
Ikhwan
Ahmad Sudirman "muallaf" Dalam Soal Acheh
Seperti
sudah saya katakan bahwa, klarifikasi kepada Omar Putéh jangan sampai menjadi
polemik. Ternyata sdr. Ahmad Sudirman memulai polemik. Respons tersebut perlu
diluruskan dan jawaban ini adalah untuk kali terakhir dalam issu ini.
Pengetahuan
sdr. Ahmad Sudirman soal Acheh masih pada peringkat ”muallaf”, karena itu sukar bagi saya berbincang secara ilmiah
disini. Saya tidak tahu, apakah sdr. Ahmad Sudirman duduk di kelas alif, ba,
ta, Jus’amma atau kelas Matan taqrip dalam soal Acheh? Selama ini, buku “30 Tahun Indonesai
Merdeka” digunakan sdr. Ahmad Sudirman sebagai
rujukan sejarah RI. Buku yang terdiri dari 4 jilid ada juga di tangan saya.
Dasar berpijak sdr. Ahmad Sudirman banyak dipetik dari buku ini, itu baik.
Tetapi untuk melengkapi pengetahuan tentang Acheh, tidak cukup sampai disini.
Itu sebabnya, penulisan sdr. Ahmad Sudirman dalam soal Acheh nampak seperti
pohon mangga cangkok.
Saya bisa menerima argumentasi
sdr.Ahmad Sudirman dalam batas keilmuan, rasional dan logic, walaupun datangnya
dari seorang “muallaf”, tetapi mantiq yang dipakai sdr. Ahmad Sudirman nampak
lemah sekali. Saya tunjukkan di bawah ini.
Dari kalimat: "Para pihak
bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat
diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan
dan konstitusi Republik Indonesia" ada dua hal pokok yang mesti dipahami:
1.Roda pemerintahan rakyat Acheh
berdasarkan MoU itu hanyalah suatu pelimpahan kuasa administrative lebih luas
yang diberikan penjajah (Indonesia) kepada siterjajah (Acheh) atas dasar
perundingan. Yang pasti, status Acheh tetap merupakan salah satu Provinsi dalam
wilayah territorial NKRI. Yang disepakati itu hanya bentuk government (baca:
administrasi) bukan state. Saya pakai
kalimat ‘diberikan penjajah’, sebab bentuk self-government diminta oleh GAM.
Tegasnya, GAM mengakui bahwa Acheh adalah bagian dari wilayah NKRI. Bagi
Indonesia, pengakuan Acheh yang disaksikan dunia Internasional inilah yang maha
penting dari segala-galanya. Inilah konsekuensi logis dari anak kalimat: “...
suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan...” [Masih dalam konteks ini, 2 September 2005,
Dalai Lama ke-IV, memberi statement yang dimuat dalam Surat kabar Metro Express
Denmark sbb: “Dalai lama betragte Tibet som en del af Cina” (Dalam Lama
menganggap Tibet merupakan satu bagain dari Cina” Ini pengakuan pemimpin Tibet,
yang bagi Cina sangat penting. Walaupun Dalai Lama sudah berlanglang buana di
luar negeri sejak tahun 1959, akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi Cina
tahun 2001, setelah sebelumnya juru runding Tibet-Cina menanda tangani self
government untuk Tibet tahun 1951.
2.Dengan disebut Konstitusi
Indonesia dalam anak kalimat ”.. suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara
kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia". Bermakna Acheh mengakui UUD
1945 sebagai Konstitusi tertinggi di Acheh –meleburkan Konstitusi Negara Acheh.
Kalimat sdr. Ahmad Sudirman “Nah, dari apa yang telah disepakati dalam MoU itu
tidak pernah disebutkan dan dituliskan sepatahkatapun nama NKRI dan UUD 1945.
Jadi secara hukum, dan ini merupakan acuan hukum yang akan dipakai oleh pihak
pemerintah RI, bahwa pihak ASNLF/GAM tidak mengakui dan tidak berjanji bahwa
Acheh bagian NKRI dan mengakui UUD 1945” saya anggap suatu analisis kelas kaki
lima. Sebagai bandingan, bagaimana sdr. Ahmad Sudirman memahami pernyataan ini:
“Diharamkan kepadamu dari memakan daging Babi” Disini tidak disebut tulang dan
kulit? Artinya, cukup dengan menyebut Konstitusi Indonsia, itu sudah bermakna
Hukum positif Indonesia yang berlaku di Acheh. Ukur, di tingkat mana mantiq
saudara?
Sdr. Ahmad Sudirman malah berkata:
”Jadi, karena nama konstitusi itu bukan UUD 1945, dan nama NK itu bukan NKRI,
maka sudah jelas dan nyata bahwa pihak ASNLF/GAM dalam MoU yang telah
disepakati tidak mengakui adanya NKRI dan adanya UUD 1945. Bagaimana bisa
saudara Yusra Habib menyimpulkan bahwa "Yang bersepakat antara GAM-RI
untuk mewujudkan demokrasi yang adil dan jujur akan dilaksanakan di Acheh dalam
wadah NKRI" Saya mau tanya: “Dimana dilaksanakan self government Acheh,
kalau bukan di negara Indonesia? Dimana dilaksakan self government Tibet, kalau
bukan di Negara Cina? Ukur sekali lagi di tingkat mana mantiq saudara? Harapan
saya, jangan saudara didik orang Acheh menjadi manusia yang bisa diperbodoh.
Kalimat yang menyesatkan
selanjutnya: ”justru setelah ditandatanganinya MoU pihak ASNLF/GAM secara
de-facto dan de-jure itu wilayah Acheh telah diserahkan kepada pihak
Pemerintahan Acheh, artinya kepada pihak Pemerintah Acheh dan Legislatif Acheh
berdasarkan acuan hukum MoU 15 Agustus 2005.” Jika GAM sudah mengakui
kedaulatan NKRI atas Acheh dan Konstitusi Indonesia, de-facto dan de-jure
apa-apaan? Apa bedanya Provinsi Acheh dengan Provinsi Banten? Kalaupun ada
beda: Gudek yang diberi pemerintah pusat untuk Provinsi Banten buatan
Jogya, sementara Gudek untuk Provinsi
Acheh buatan Helsinki, Finland. Gudek juga kan?
Soal referendum di Acheh dalam
pemerintahan rakyat Acheh tak usah saudara kaitkan dengan MoU. Ada referendum
di Tibet sejak ditanda tangani self government tahun 1951?, Ada referendum
Palestine sejak Intrim government ditanda tangani tahun 1993 (Oslo accord) dan
Mesir accord tahun 1995. Ada referendum di Greenland sejak self government
ditanda tangani di Kopenhagen tahun 1979, ada referendum di Hongkong sejak
Special Administrative Regions ditanda tangani oleh Cina-Inggeris tahun 1989?
Akhirnya, saudara boleh berpikir.
Berdasarkan Traktat Siak tahun 1858, wilayah Siak dikuasai Belanda. Sebenarnya
bukan hanya Siak, sebagian besar Sumatera sudah dikuasai sepeuhnya oleh
Belanda, bahkan Perjanjian Sultan Deli dengan Belanda 1858, telah memaksa Deli
memutuskan hubungan politik dan ekonomi dengan Acheh. Tahun 1871,
Inggeris-Belanda menanda tangani Traktat London. Inggeris berpihak kepada
Belanda. Pendek kata, sejak tahun 1858-1873 belanda memiliki keunggulan di
Sumatera. Tetapi mengapa Ultimatum pada
26 Maret 1873 berbunyi:
(1).Turunkan bendera Acheh dan
naikkan Bendera Belanda (warna merah, putih dan biru);
(2).Acheh menyerah tanpa syarat
kepada Belanda;
(3).Serahkan seluruh bagian
Sumatera yang berada dalam perlindungan
Kesultanan Acheh;
(4).Hentikan
melalun di Selat Melaka;
(5).Putuskan hubungan diplomatic
dengan Kesultanan Usmaniyah di Turki.
Lihat
point 3 di atas. Buat apa ancaman tersebut,
kalau memang secara de facto dan de jure Sumatera sudah dikuasai Belanda
(melalui Trakta Siak tahun 1958? Mengapa Belanda mengklaim supaya sebagian
Sumatera diserahkan, sementara Sumatera sendiri sudah dikuasai oleh Belanda?
Apa artinya ini dari segi sejarah, hukum dan politik? Siapa yang tolol disini?
James Loudon, GUbernur Hindia Belanda? Kohler, panglima perang Belanda? Ratu
Yuliana? Hingga membuat ancaman pada point 3 di atas? Saudara mesti belajar,
bahwa kendati Inggeris-Belanda menanda tangani Traktat London 1871, yang isinya
Inggeris memberi peluang kepada Belanda untuk menyerang Acheh, sebab ada
politisi Inggeris (Menteri luar negeri) Inggeris yang terang-terangan dituduh
oleh media dan Parlemen Inggeris telah menerima suap dari Belanda. Inggeris
berkhianat kepada Acheh, tetapi disisi lain, ada ilmuan sejati Inggeris yang berpihak kepada kebenaran sejarah
Acheh, sehingga dibuat peta Acheh tahun 1883 dan 1890. Peta tersebut satu
dukomen, yang menunjukkan bahwa Acheh adalah Negara merdeka dan berdaulat yang
memilki batas wilayah territorial.
Namun begitu, Acheh tidak
bermaksud menjajah Sumatera, seperti tuduhan saudara. Sultan-sultan Melayu
Sumatera menyatukan diri dalam imperium Acheh. Seperti Acheh menyatukan diri
dengan imperium Oesmaniyah Turki. Acheh tidak pernah merasa dijajah Turki. Jadi
peta penting sebagai dokumen negara Acheh, yang jika ditanya oleh dunia
Internasional akan kita jelaskan duduk perkaranya.
Bagi sdr. Ahmad Sudirman, ”masuk
akal kalau pihak ASNLF/GAM menuntut batas wilayah Acheh sebelum UU Nomor 24
Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Acheh dan Perubahan
Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara disahkan dan diundangkan.
Sekarang saya bertanya, tunjukkan batas wilayah Acheh sebelum tahun 1956?
Bagaimana saudara menerima argumentasi itu, sementara saudara sering katakan
bahwa Acheh dicaplok oleh rezim Sukarno tahun 1950. Jika Acheh tidak sah masuk
ke dalam keranjang Indonesia, bagaimana mungkin hukum si pencaplok (UU No. 24
tahun 1956 itu bisa berlaku untuk menentukan tapal batas Negara Acheh?
Na’uzubillah
YUSRA HABIB ABDUL GANI
Struer,
Vestsjalland, Denmark
----------