Stockholm, 15 Januari 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
PEMEKARAN ACHEH MENJADI DUA BAGIAN JELAS-JELAS MELANGGAR MOU
HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
USAHA
SEGELINTIR ORANG DI ACHEH YANG DIDUKUNG OLEH PIHAK TNI DAN PIHAK YANG ANTI MOU
HELSINKI UNTUK MEMECAH ACHEH MENJADI DUA BAGIAN ADALAH JELAS-JELAS MELANGGAR
MOU HELSINKI 2005.
"Sebenarnya
motivasi utama pemekaran propinsi adalah bukan dalam rangka menggagalkan MoU
Helsinki seperti yang ada di benak pemikiran NGO/aktivis mahasiswa, simpatisan
GAM termasuk eks GAM yang ada di Aceh karena pemekaran propinsi ALA (Aceh
Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) tetap memakai dasar wilayah yang
dimekarkan yaitu sesuai 1 Juli 1956 bukan wilayah yang lain serta ALA dan ABAS
tetap berada dalam wilayah Aceh, bahkan nama propinsi baru ini saja masih
mengandung unsur nama “Aceh”." (Tony Priyono dan Sigit Sugiharto, Modus,
Sabtu,14 Januari 2006).
Setelah membaca
tulisan "Pemekaran Propinsi ALA dan ABAS, point of no return" yang
dimuat Modus hasil pemikiran saudara Tony Priyono dan Sigit Sugiharto, yang
keduanya merupakan konsultan masalah polkam dan intens dan tinggal di Meulaboh
Acheh Barat, maka timbul dalam pemikiran Ahmad Sudirman bahwa itu saudara
Priyono dan Sugiharto telah memutar balik fakta, bukti dan hukum yang tertuang
dalam Memorandum of Understanding Helsinki 15 Agustus 2005, mengapa ?
Karena sudah
jelas dan nyata bahwa Acheh yang dimaksud dalam MoU Helsinki adalah Acheh yang
mengacu kepada perbatasan 1 Juli 1956, artinya Acheh yang tidak dibagi-bagi
atau dimekarkan, yaitu yang terdiri dari 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3.
Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan
dan Kota Besar Kutaraja.
Alasan saudara
Priyono dan Sugiharto bahwa motivasi utama pemekaran propinsi adalah bukan
dalam rangka menggagalkan MoU Helsinki, melainkan pemekaran propinsi ALA dan
ABAS tetap memakai dasar wilayah 1 Juli 1956 dan tetap berada dalam wilayah
Acheh.
Nah, itu alasan
saudara Priyono dan Sugiharto sangat bertolak belakang dengan apa yang tertuang
dalam MoU Helsinki, mengapa ?
Karena dengan
disepakatinya Acheh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956, itu membuktikan secara
fakta dan hukum bahwa Acheh merupakan satu daerah atau bagian permukaan bumi
Acheh yang tidak terpisah, artinya Acheh tidak bisa dibagi-bagi.
Jadi, kalau ada
dari pihak Acheh, dalam hal ini pihak kelompok dari Acheh Leuser Antara, Acheh
Barat dan Acheh Selatan dan dari pihak RI dalam hal ini pemerintah RI dan DPR
RI serta DPRD di tiga wilayah tersebut yang menghembus-hembuskan usaha
pembagian atau pemekaran Acheh menjadi dua bagian, maka mereka itu telah dengan
terang-terangan melanggar kesepakatan isi Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI
dan GAM di Helsinki.
Seterusnya, kalau
saudara Priyono dan Sugiharto menuliskan alasan bahwa pemekaran propinsi Acheh
Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan adalah sebenarnya merupakan soal aspirasi
politik dan kehendak politik rakyat dan elit politik di daerah ini yang dijamin
oleh UUD 1945, Kovenan PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta dalam MoU
Helsinki itu sendiri yang sangat menghargai aspirasi politik yang berkembang,
maka alasan tersebut, merupakan alasan yang lemah dan dicari-cari saja, mengapa
?
Karena dalam MoU
Helsinki tidak menyebutkan aspirasi sekelompok kecil rakyat dan elit politik di
Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan untuk membagi daerah Acheh
menjadi dua bagian.
Begitu juga
dengan dicantumkannya Kovenan PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta dalam
MoU Helsinki yang sangat menghargai aspirasi politik, bukan diarahkan dan
ditujukan kepada usaha pembagian atau pemekaran Acheh menjadi dua bagian,
melainkan aspirasi politik bagi seluruh bangsa dan rakyat di Acheh tidak
terkecuali melalui perjuangan politik dan partai politik lokal di seluruh
Acheh.
Adapun adanya
jaminan UUD 1945 terhadap aspirasi politik dan kehendak politik rakyat dan elit
politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan, jelas dalam
pelaksanaanya harus disesuaikan dengan apa yang telah disepakati dalam MoU
Helsinki, yaitu keputusan-keputusan DPR RI yang terkait dengan Acheh akan
dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPR Acheh. Sedangkan
kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh pemerintah RI berkaitan
dengan Acheh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala
Pemerintahan Acheh.
Juga kalau
saudara Priyono dan Sugiharto menyatakan alasan bahwa "menolak rencana
pemekaran Propinsi ALA dan ABAS berarti pelanggaran terhadap MoU Helsinki itu
sendiri sebab dalam MoU Helsinki juga diatur tentang persoalan hak asasi
manusia dan aspirasi pemekaran Propinsi ALA dan ABAS bagian dari persoalan HAM
rakyat didaerah tersebut yang juga harus dihargai oleh semua kalangan
masyarakat Aceh, termasuk orang-orang di pesisir Aceh yang sebagian besar
menolak pemekaran propinsi ALA dan ABAS ini", maka alasan yang dikemukakan
oleh saudara Priyono dan Sugiharto diatas jelas merupakan alasan yang rapuh,
mengapa ?
Karena persoalan
hak asasi manusia dan aspirasi serta HAM yang tertuang dalam MoU Helsinki
ditekankan kepada persoalan hak asasi dan aspirasi bagi seluruh bangsa dan
rakyat Acheh di Acheh tidak terkecuali. Dan yang terpenting yang tertuang dalam
MoU Helsinki adalah bukan hak asasi manusia dan aspirasi segelintir orang di
Acheh, melainkan mencakup keseluruhan bangsa dan rakyat Acheh di seluruh Acheh.
Seandaianya
aspirasi tersebut mau dibelokkan ke arah kemauan segelintir rakyat dan elit
politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan, maka
penyelesaiannya sebagaimana yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki yaitu
harus melalui konsultasi dan persetujuan DPR Acheh dan Kepala Pemerintahan
Acheh.
Dan kalau pihak
elit politik di Acheh Leuser Antara, Acheh Barat dan Acheh Selatan akan membawa
ide pemekaran Acheh ini digelanggang legislatif, maka tidak ada cara lain lagi
selain, ide pemekaran tersebut harus diacukan kepada MoU Helsinki, yakni
terlebih dahulu harus melalui konsultasi dan persetujuan DPR Acheh dan Kepala
Pemerintahan Acheh berdasarkan UU baru Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
Sendiri di Acheh yang akan diundangkan paling lambat 31 Maret 2006 di Acheh.
Itulah cara dan
jalan demokratis sebagaimana yang telah disepakati dalam Nota Kesepahaman
antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus
2005.
Terakhir, setelah
dipelajari apa yang dilontarkan dan dituliskan oleh saudara Priyono dan
Sugiharto diatas, kemudian dianalisa dengan mendasarkan pada fakta, bukti dan
hukum yang telah disepakati antara pihak Pemerintah RI dan GAM di Helsinki,
maka apa yang dituliskan oleh saudara Priyono dan Sugiharto tersebut merupakan
tulisan yang berisikan alasan yang rapuh yang tidak memiliki dasar fakta, bukti
dan hukum yang kuat. Dan tentu saja ide "Pemekaran Propinsi ALA dan ABAS,
point of no return" masih bisa diluruskan dengan cara mengacu kepada MoU
Helsinki 15 Agustus 2005.
Bagi yang ada
minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi
yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang
menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di
kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada
Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk,
amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
----------
MODUS
Sabtu,14/1/06
08:15 WIB
PEMEKARAN
PROPINSI ALA DAN ABAS, POINT OF NO RETURN
Oleh Tony
Priyono dan Sigit Sugiharto*)
Berbicara
tentang pemekaran propinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS)
sebenarnya berbicara soal aspirasi politik dan kehendak politik rakyat dan elit
politik di daerah ini yang nota bene dijamin oleh UUD 1945, Kovenan PBB tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik serta dalam MoU Helsinki itu sendiri yang sangat
menghargai aspirasi politik yang berkembang.
Menolak
rencana pemekaran Propinsi ALA dan ABAS berarti pelanggaran terhadap MoU
Helsinki itu sendiri sebab dalam MoU Helsinki juga diatur tentang persoalan hak
asasi manusia dan aspirasi pemekaran Propinsi ALA dan ABAS bagian dari
persoalan HAM rakyat didaerah tersebut yang juga harus dihargai oleh semua
kalangan masyarakat Aceh, termasuk orang-orang di pesisir Aceh yang sebagian
besar menolak pemekaran propinsi ALA dan ABAS ini. Dan ini wajar karena MoU
Helsinki memang sangat menguntungkan GAM itu sendiri dan sikap GAM jelas bahwa
mereka menolak pemekaran propinsi karena wilayah NAD sesuai perjanjian 1 Juli
1956.
Sebenarnya
motivasi utama pemekaran propinsi adalah bukan dalam rangka menggagalkan MoU
Helsinki seperti yang ada di benak pemikiran NGO/aktivis mahasiswa, simpatisan
GAM termasuk eks GAM yang ada di Aceh karena pemekaran propinsi ALA dan ABAS
tetap memakai dasar wilayah yang dimekarkan yaitu sesuai 1 Juli 1956 bukan
wilayah yang lain serta ALA dan ABAS tetap berada dalam wilayah Aceh, bahkan
nama propinsi baru ini saja masih mengandung unsur nama “Aceh”.
Sedikit mundur ke belakang, ide pemekaran propinsi ini sudah diusung di DPR-RI sejak paruh terakhir era 1990, namun “mentah” dan tidak sempat masuk ke dalam BAMUS (Badan Musyawarah), yang berkompeten untuk meng-agendakan RUU apa saja yang akan digulirkan dalam satu triwulan periode kerja. Karena belum berhasil, dalam momen-momen terakhir periodesasi DPR-RI 1999 – 2004 ide inipun kembali diangkat. Namun lagi-lagi terkendala karena masa persidangan yang sudah harus diakhiri.
Setidaknya ada 6 alasan mengapa bersetuju dengan ide
pemekaran. Alasan-alasan itu adalah, (1) jarak yang jauh ke ibukota, (2)
prasarana yang ketinggalan, (3) pelayanan yang sulit, (4) diskriminasi, (4)
sulit menjadi pejabat teras dan (6) demi kesejahteraan rakyat. Sebenarnya,
ke-enam alasan itu bisa disederhanakan menjadi dua yaitu (a) faktor demografis
yang mencakup poin 1, 2 dan 3, serta (b) faktor sosial yang mencakup poin 4 dan
5. Sedangkan poin ke 6 masih relatif, tergantung dari interes masing-masing.
Faktor demografis, secara moral, tidak cukup kuat untuk menjadi basis
argumentasi pemekaran. Walau UU
memungkinkan untuk itu. Dalam hal ini pemerintah NAD dengan seluruh jajaran
atau dinas terkait dituntut untuk mampu mencari jalan keluar dari
keter-isolasian ini.
Titik kritis ada pada faktor sosial. Tema-tema diskriminasi dan keterpinggiran adalah tema-tema lama. Realitas ALA dan ABAS adalah realitas dimana kita telah gagal dalam cara memandang identitas kolektif. Ia tidak muncul dari ruang yang vacuum, tetapi dari pola interaksi yang sudah bertahun-tahun terbangun dan memasuki kisi-kisi kesadaran kita. Kita tidak mampu mencarikan satu defenisi tentang siapa yang disebut Aceh itu; karakternya, ciri-cirinya, dan sifatnya. Kegagalan itu menggiring kita untuk merasa “lebih Aceh” atau “kurang Aceh”. Dari sinilah masalah itu bermula. Mereka yang merasa lebih Aceh, merasa lebih berhak atas segala posisi (previlege) di pemerintahan atau status sosial apa saja, sementara yang dianggap kurang Aceh menjadi warga kelas dua. Mereka yang merasa lebih Aceh mendominasi, sementara mereka yang dianggap kurang Aceh ter-subordinasi.
Ide untuk memekarkan propinsi juga dilandasi adanya fakta bahwa telah terjadi etnosentrisme sempit yang selama ini kita praktekkan yang membuat kita terpecah-pecah. Alasan sosial ini, tentu tidak bisa dibebankan kepada pemerintah, juga tidak bisa di-qanunkan, kecuali dengan merubah cara pandang kita terhadap kebersamaan dan kesetaraan yang harus terus kita promosikan. Fenomena keterpinggiran sebenarnya tidak hanya khas Aceh Tengah dan sekitarnya, tetapi juga dikonsumsi oleh warga Aceh di Meulaboh dan Tapaktuan, Simuelue, Singkil dan Tamiang. Mengentalnya konsolidasi identitas sub-etnik dikalangan masyarakat Gayo, hanya akan terjadi bila mereka sudah tidak merasa seperti dirumah sendiri (fell like home). Dalam manifestasi lanjutan, lahirlah harapan untuk mewujudkan identitas itu dalam satu entitas politik bernama provinsi. Bila sudah se-akut itu, maka saudara-saudara kita itu sudah tidak lagi merasa dirinya satu suku bersama dengan suku-suku yang lain, mendiami dan membesarkan Aceh. Dalam konteks NAD, gejala ini dipandang sebagai hilangnya loyalitas suatu kelompok sub-etnis terhadap kesepakatan dan ikatan yang lebih besar.
Disamping itu, penyebab lainnya dari timbulnya keinginan sebagian masyarakat Aceh untuk mendirikan propinsi baru yang terpisah dari NAD adalah adanya perasaan bahwa penduduk Aceh ada yang “orang Aceh” dan ada yang orang “kurang Aceh”.
Perasaan atau
kesan seperti itu sangat dapat dirasakan meskipun mungkin tidak terkatakan.
Etnis seperti Gayo, Alas, Singkil, Anuek Jamee, Simeulue, Kluet dan Tamiang
dianggap sebagai “orang yang kurang Aceh” dibandingkan mereka yang di pesisir
Timur atau di Aceh Besar dan Pidie. Hal ini disebabkan karena etnis-etnis
minoritas yang mendiami pesisir Barat Selatan, bagian tengah Aceh dan wilayah
yang diperbatasan dengan Sumatera Utara tersebut berbeda, terutama dari segi
bahasa yang digunakan sehari-hari.
Jika begitu perlu
didefinisikan kembali siapa sebenarnya yang berhak disebut sebagai “orang
Aceh”? orang Acehkah Meurah Johan, Syeh Abdurrauf as Singkili atau Syeh Muda
Wali ? Lebih Acehkah Hasan Tiro dibandingkan Aman Dimot atau Teuku Mude Telaga
Mekar ? Lebih Acehkah orang Pidie (yang sebagiannya merupakan keturunan
Hindustan) dibandingkan orang Nagan Raya dan Susoh Aceh Barat Daya ? Bisakah
seni budaya Kluet mewakili NAD ke even internasional ? relakah “orang Aceh”
menganggap bahasa Singkil atau Tamiang sebagai bahasa mereka juga ?Masihkah
orang Aceh merasa asing jika ada saudara-saudaranya dari Simeulue atau Gayo
Lues berbicara dalam bahasa mereka sendiri ?
Sesungguhnya
kesamaan latar belakang, sejarah, agama dan rasa senasib sepenanggungan dalam
suka dan duka telah memadukan hati dan jiwa segenap etnis di Aceh sebagai
“ureung Aceh” jauh sejak zaman kerajaan dulu. Bahkan orang-orang Arab, Persia,
Gujarat, Benggali, Cina, Eropa, Semenanjung Malaya, Minangkabau, Jawa dan
sebagainya banyak yang telah menjadi “orang Aceh”.
Sebagai catatan
konklusif, dari sudut mendukung pemekaran tentulah apa yang dikatakan oleh
Thomas Jefferson bisa menjadi basis argumentasi. Sekali waktu dia pernah
berujar “Setiap generasi memiliki semua hak dan kekuasaan yang pernah dimiliki
oleh pada pendahulunya, dan boleh melakukan perombakan hingga sesuai dengan
kebutuhan dirinya sendiri, yang diyakini mampu meningkatkan kebahagiaan
mereka”.
Dengan kata lain,
kehendak masyarakat diwilayah Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulue, Nagan Raya, Aceh
Barat Daya dan Aceh Selatan untuk membentuk Propinsi ABAS, serta kehendak
masyarakat diwilayah Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara dan
Aceh Singkil untuk membentuk Propinsi ABAS adalah merupakan kehendak politik
yang sudah final dan tidak bisa dianggap angin lalu saja. Kehendak politik ini sudah tidak
dapat dibelokkan alias “point of no return”. Jadi, untuk apa ragu-ragu
memperjuangkannya dan ragu-ragu untuk menerimanya ?
*) Kedua
penulis adalah konsultan masalah polkam dan intens mengamati perkembangan di
Nanggroe Aceh Darussalam. Tinggal di Meulaboh Aceh Barat. Email : tonypriyono@yahoo.com dan sigitsugiharto_mar@yahoo.com.
http://www.modus.or.id/opini/abas.html
----------