Stockholm, 19 Januari 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
PEMERINTAH RI MASIH BERGUMUL DENGAN RUU-PA YANG MENGACU MOU,
JIKA TERLAMBAT DISAHKAN, MAKA DPR RI YANG DISALAHKAN.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
PEMERINTAH
RI MASIH BERGUMUL DENGAN RUU PEMERINTAHAN ACHEH YANG MENGACU MOU HELSINKI, JIKA
TERLAMBAT DISAHKAN, MAKA DPR RI YANG DISALAHKAN.
"Ya
bisa selesai. Target kapan menyerahkan kan
tidak ada. Yang
ada adalah deadline penyelesaian. Pemerintah sih ikuti alur MoU. Tapi harus dimaklumi
sekiranya itu tidak bisa diselesaikan. MoU ikat pemerintah, tapi tidak DPR.
Kita juga harus jelaskan ke GAM soal kemungkinan keterlambatan itu yang bukan
disebabkan dari sisi pemerintah" (Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza
Mahendra, Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 18 Januari 2006).
Menteri
Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mencoba untuk keluar dari ikatan klausul
Mou yang berbunyi: "1.1.1.Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin
dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006" (Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 15 Agustus 2005)
melalui cara dan gaya loncat katak yang diformulasikan kedalam bentuk untaian
kata "Target kapan menyerahkan kan tidak ada. Yang ada adalah deadline
penyelesaian. Pemerintah
sih ikuti alur MoU. Tapi harus dimaklumi sekiranya itu tidak bisa diselesaikan.
MoU ikat pemerintah, tapi tidak DPR".
Nah,
gaya lompat katak model Yusril Ihza Mahendra untuk berkelit dari klausul MoU
diatas, menggambarkan bahwa pihak pemerintah RI tidak ditentukan kapan
menyerahkan RUU Pemerintahan Acheh kepada DPR RI untuk dibahas dan ditetapkan,
melainkan yang ditetapkan batas akhir diundangkan dan berlakunya UU tersebut.
Rupanya,
dengan adanya lobang ini, dipakai untuk menjadi alasan bagi pihak pemerintah RI
untuk memperlambat penggodokan RUU tersebut sebelum diserahkan ke pihak DPR RI.
Kemudian kalau DPR RI terlambat menetapkan RUU menjadi UU, maka yang dijadikan
kambing hitamnya adalah DPR RI bukan pemerintah RI, dengan memakai argumen gaya
lompat kataknya Yusril yang berbunyi "MoU ikat pemerintah, tapi tidak
DPR".
Lalu,
itu Yusril untuk menyelesaikan keterlambatan pengesahan dan pengundangan UU
baru tersebut, cukup itu Yusril memberikan penjelasan kepada pihak GAM dan
diharapkan GAM memakluminya, bahwa keterlambatan pengesahan dan pengundangan UU
baru tersebut disebabkan oleh pihak DPR RI yang tidak terikat oleh MoU
Helsinki.
Nah,
gaya lompat kataknya Yusril ini, memang kalau sekilas diperhatikan masuk akal,
tetapi kalau ditelusuri lebih dalam, maka itu gaya lompat kataknya Yusril
merupakan senjata makan tuan, mengapa ?
Karena
kalau klausul 1.1.1 MoU diatas tidak mengikat DPR RI, tetapi kalau dihubungkan
dengan klausul 1.2.1 yang menyangkut penciptaan hukum tentang partai politik
lokal di Acheh yang harus dikonsultasikan dengan DPR RI, maka kewajiban pihak
pemerintah RI dan DPR RI secara bersama-sama harus mematuhi apa yang telah
tertuang dalam MoU, artinya kedua lembaga negara tersebut secara bersama-sama
melalui cara konsultasi berusaha menyelesaikan dan menetapkan serta
mengundangkan UU baru tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam
MoU yaitu selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
Walaupun
sebenarnya menurut MoU pembuatan UU tentang partai politik lokal paling lambat
diundangkan 18 bulan setelah MoU ditandatangani, tetapi karena masalah partai
politik lokal ini pembuatannya digabungkan dengan masalah penyelenggaraan
pemerintahan sendiri di Acheh yang harus diundangkan paling lambat pada 31
Maret 2006, maka pihak pemerintah RI dan DPR RI terikat oleh klausul 1.1.1 MoU
ini.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan lain baik bagi pihak pemerintah RI ataupun pihak DPR RI untuk mengelak dari ketentuan MoU yang telah menetapkan bahwa pada tanggal 31 Maret 2006 UU baru tentang Pemerintahan Acheh termasuk tentang partai politik lokal di Acheh harus sudah diundangkan.
Karena
itu, tidak ada alasan bagi pemerintah RI kalau pihak DPR RI mengulur waktu dari
yang telah ditetapkan MoU dengan mengajukan alasan jurus kelit lompat kataknya
Yusril yang bernama "MoU ikat pemerintah, tapi tidak DPR".
Terakhir,
memang Ahmad Sudirman memahami mengapa itu pihak Pemerintah RI dalam hal ini
Departemen Dalam Negeri RI mengulur-ngulur pembuatan RUU Pemerintahan Acheh
ini. Hal tersebut dikarenakan pihak Departemen Dalam Negeri RI masih terus
bergulat untuk menyesuaikan dan mengikuti klausul-klausul yang ada dalam MoU
Helsinki dan yang tertuang dalam RUU Pemerintahan Acheh versi GAM.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
POLITIK Kamis, 19 Januari 2006
08:35 WIB
GAM
Diminta Pahami Mundurnya Pembahasan RUU Aceh
Penulis:
Mirza Andreas
JAKARTA--MIOL:
Pemerintah meminta pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat memaklumi jika
pembahasan RUU tentang Pemerintahan Aceh yang akan dilakukan pemerintah dan DPR
melewati jangka waktu yang ditetapkan dalam Nota Kesepakatan Damai (Memorandum
of Understanding/MoU) antara pemerintah RI dengan GAM, yakni 31 Maret 2006.
Hal
itu disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra
kepada wartawan usai mengikuti rapat kabinet terbatas tentang RUU Pemerintahan
Aceh di Kantor Kepresidenan Jakarta, Rabu (18/1).
Pemerintah,
lanjutnya, tetap berharap pengesahan RUU itu dapat dilakukan tepat waktu. Namun
jika terjadi keterlambatan, pemerintah meminta pihak GAM dapat mengerti dan
pemerintah siap memberi penjelasan soal keterlambatan itu.
“Ya
bisa selesai. Target kapan menyerahkan kan
tidak ada. Yang
ada adalah deadline penyelesaian. Pemerintah sih ikuti alur MoU. Tapi harus dimaklumi
sekiranya itu tidak bisa diselesaikan. MoU ikat pemerintah, tapi tidak DPR.
Kita juga harus jelaskan ke GAM soal kemungkinan keterlambatan itu yang bukan
disebabkan dari sisi pemerintah,” ujarnya.
Dalam
rapat kabinet terbatas tersebut, sambungnya, pemerintah telah memfinalisasi RUU
tentang Pemerintahan Aceh. Rencananya, pemerintah akan mengajukan ke DPR pada
Jumat (20/1) mendatang untuk dibahas bersama.
Dalam
rancangan itu, pemerintah telah merampungkan seluruh aturan khusus yang
mengatur soal operasionalisasi pemerintahan di Aceh yang menyangkut hak politik
dan ekonomi masyarakat Aceh, seperti yang tertuang dalam MoU.
Aturan tentang pembentukan partai
politik (Parpol) lokal di Aceh juga masuk dalam RUU itu. Syarat pendiriannya
hampir sama seperti syarat pendirian parpol berbasis nasional yang diatur dalam
UU No.31/2002 tentang Parpol. Hanya saja, parpol di Aceh itu bersifat lokal
yang hanya dapat mengikuti Pilkada, namun tidak dapat ikut Pemilu.
“Papol lokal diatur secara
spesifik dalam RUU ini. Jadi syaratnya hampir sama dengan yang ada di UU
Parpol. Hanya saja diberlakukan secara lokal. Demikian juga larangan dan sanksi
pelanggarannya, semua tunduk pada kententuan UU Parpol Nasional. Hanya dia
bergerak secara lokal. Jadi praktis parpol lokal tidak dapat ikut pemilu secara
nasional. Itu perbedaanya.” terangnya.
Di bidang ekonomi, RUU itu
mengatur tentang hak pemerintah Aceh untuk mencari pinjaman uang dari luar
negeri secara langsung. Namun demikian, melalui Peraturan Daerah NAD (Qanun),
pemerintah akan menerapkan aturan yang mewajibkan pemerintah Aceh untuk tetap
meminta persetujuan dari pemerintah sebelum melakukan pinjaman dari luar
negeri.
Dalam hal kebebasan menentukan
suku bunga bank sendiri oleh pemerintah NAD, sambungnya, RUU itu juga
memasukkan di dalamnya. Hanya saja menurutnya, pemerintah Aceh akan memiliki
beban yang berat karena harus memberi subsidi jika nilai bunga pinjaman bank yang
ditetapkan pemerintah Aceh lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
“Pemerintah Aceh tetap menetapkan
suku bunga lebih rendah dari yang ditetapkan bank sentral kita. Secara teknis sebenarnya
mustahil karena kita gunakan mata uang sama. Kalaupun mau ditetapkan, ya bisa
saja. Tapi akibatnya pemerintah Aceh harus lakukan subsidi bunga pada layanan
perbankan. Kalau tidak, bank swasta juga tidak
mau beroperasi di sana. Karena tidak mungkin mereka menyalurkan kredit pada
masyarakat dengan bunga yang lebih rendah dari yang ditetapkan BI,” tambahnya.
(Msc/OL-06)
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=87888
----------