Stockholm,
21 Februari 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
RUU PEMERINTAHAN ACHEH MADE IN DEPDAGRI RI TIDAK
MEREFERENSIKAN KEPADA MOU HELSINKI DAN PENUH KEPALSUAN.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
RUU
TENTANG PEMERINTAHAN ACHEH MADE IN DEPARTEMEN DALAM NEGERI RI TIDAK SEPENUHNYA
MEREFERENSIKAN KEPADA MOU HELSINKI DAN ISINYA PENUH DENGAN KEPALSUAN.
"Konteksnya kan MoU itu
dijadikan referensi. Oleh sebab itu, kalau kemudian ada yang difilter oleh
Depdagri, karena itu bertentangan dengan konstitusi. Jadi, apa saja yang keluar dari
konstitusi, itu tidak diterima. Karena penyelesaian Aceh dalam MoU juga
dikatakan berdasarkan konstitusi" (Menteri Komunikasi dan Informasi Dr
Sofyan Djalil, Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Acheh, Sabtu 18 Februari 2006).
Kita
akan buktikan dibawah ini apa yang dikemukakan oleh Menteri Komunikasi dan
Informasi Dr Sofyan Djalil diatas itu adalah ternyata penuh kepalsuan dan
kebohongan.
Walaupun
telah banyak Ahmad Sudirman mengupas dan menguliti isi RUU Tentang Pemerintahan
Acheh made in Departemen Dalam Negeri RI yang sekarang sedang digodog di DPR
RI, tetapi ternyata masih banyak penyimpangan-penyimpangan dalam isinya dari
apa yang telah disepakati dalam MoU helsinki 15 Ahustus 2005.
Kendatpin
pihak Pemerintah RI selalu berulang kali menyatakan bahwa dalam pembuatan RUU
Tentang Pemerintahan Acheh mereferensikan sepenuhnya kepada MoU Helsinki,
tetapi ketika Ahmad Sudirman mempelajari dan mendalami isi RUU Tentang
Pemerintahan Acheh made in Depdagri ini, ternyata isinya masih banyak penyimpangan-penyimpangan dari MoU Helsinki
dan adanya pemalsuan sejarah proses pertumbuhan dan perkembangan RI dihubungkan
dengan Acheh.
Dibawah
ini Ahmad Sudirman akan menerangkan dan membukakan berbagai penyelewengan yang
ada RUU Tentang Pemerintahan Acheh yang
telah keluar dari jalur MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan pemalsuan sejarah proses pertumbuhan dan perkembangan RI
dihubungkan dengan Acheh.
Pemalsuan
sejarah yang dituangkan dalam RUU Tentang Pemerintahan Acheh.
Pihak
Departemen Dalam Negeri RI dalam RUU-Pemerintahan Acheh-nya menuliskan:
"Menimbang : b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik
Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh
yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber dari pandangan
hidup yang berlandaskan syari'at Islam, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia".
Nah,
kalau diteliti, ditelusuri dan dianalisa secara mendalam apa yang terkandung
dalam kata-kata: "berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,
Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa", ternyata apa yang dilambungkan oleh pihak Departemen Dalam
Negeri RI ini adalah tidak lebih dari suatu isapan jempol atau suatu kepalsuan
dan kebohongan yang besar saja, mengapa ?
Karena,
setelah diteliti dan digali lebih kedalam, ternyata ditemukan suatu proses
jalur perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia dari sejak awal yang
didalamnya ada pengklaiman bahwa Acheh berada dalam tubuh RI, padahal yang
sebenarnya itu Acheh bukan merupakan satuan pemerintahan daerah yang ada dalam
tubuh de-facto dan de-jure RI dari sejak awal. Dimana tentang masalah jalur
proses pertumbuhan dan perkembangan RI yang dihubungkan dengan Acheh telah
banyak dikupas oleh Ahmad Sudirman di mimbar bebas ini. Misalnya bisa dibaca
kembali dalam tulisan "Sudah 54 tahun Acheh diduduki & dijajah
RI" ( http://www.dataphone.se/~ahmad/040817a.htm )
Sekarang,
mari kita kupas kembali kebohongan dan kepalsuan yang dilakukan oleh pihak
Departemen Dalam Negeri RI dalam pembuatan RUU Tentang Pemerintahan Acheh ini
yang menyangkut "berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,
Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa".
Nah,
kalau kita membaca dan mendalami suatu kejadian yang menimpa RI setelah 2 tahun
5 bulan dari sejak RI dimunculkan kepermukaan, yaitu ketika ditandatanganinya
Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang sebagian isinya menyangkut
gencatan senjata disepanjang garis Van Mook dan pembentukan daerah-daerah
kosong militer. Dimana secara de jure dan de
facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja. Perjanjian Renville
ini ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir
Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali
Sastroamidjojo. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI,
1986, hal.155,163).
Kemudian apa yang terjadi setelah
perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 ?
Ternyata wilayah kekuasaan
de-facto dan de-jure Negara RI adalah hanya di Yogyakarta dan daerah
sekitarnya. Akibat dari ditandatangani Perjanjian Renville inilah kekuasaan
de-facto RI hanya di Yogyakarta dan daerah sekitarnya dan daerah Acheh berada
diluar wilayah kekuasaan de-facto Negara RI.
Hubungan RI dengan Acheh.
Nah, ketika Soekarno datang
berkunjung ke Acheh pada tanggal 17 Juni 1948, itu secara de-facto dan de-jure
antara Negara RI dengan Acheh tidak punya hubungan struktur pemerintahan.
Karena Negara RI secara de-facto dan de-jure wilayahnya tidak melingkupi daerah
Acheh, oleh karena itu Acheh adalah Acheh yang secara de-jure dan de-facto
berdiri sendiri.
Seterusnya, menurut cerita, itu
Soekarno datang ke Acheh pada waktu itu untuk "mengharapkan partisipasi
yang sangat besar dari rakyat Acheh untuk menyelamatkan Republik
Indonesia", karena Negara RI sudah digencet dan terkurung di Yogyakarta
dan daerah sekitarnya.
Sekarang, kita gali siapa yang
mengangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer di Daerah
Militer wilayah Acheh, langkat dan tanah Karo ?.
Nah jawabannya adalah yang jelas
dan pasti bukan Soekarno, mengapa ? Karena ketika Soekarno datang ke Acheh pada
tanggal 17 Juni 1948 adalah setelah setelah perjanjian Renville 17 Januari 1948
ditandatangani dan setelah itu antara pemerintah RI dan Acheh tidak ada garis
struktur pemerintahan yang langsung. Acheh berada diluar de-facto dan de-jure
RI.
Selanjutnya, kalau kita gali ke
dalam menelusuri ke waktu sebelum Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yaitu ke
masa setelah Perjanjian Linggajati ditandatangani pada 25 Maret 1947, maka
jelas pada waktu itu tidak akan mungkin terjadi pengangkatan Gubernur Militer
Teungku Muhammad Daud Beureueh di Daerah Militer Acheh, mengapa ? Karena
Gubernur untuk Propinsi Sumatera masih wujud yaitu Teuku Mohammad Hassan.
Jadi sekarang, kalau memakai dasar
cerita tentang pengangkatan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh ini
untuk dipakai sebagai pengklaiman Acheh sebagai wilayah RI, maka itu tidak
benar dan tidak kuat dasar hukumnya dan itu adalah merupakan cerita yang
dibesar-besarkan oleh pihak RI serta itu hanya sekedar cerita tambahan agar
supaya Acheh bisa terus diklaim sebagai wilayah RI.
Seterusnya, kalau ada orang yang
menghubungkan pengangkatan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh
dengan Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948, maka jelas
penghubungan inipun dasar hukumnya sangat lemah, mengapa ?.
Karena Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal
22 Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer yang keluarkan
oleh Kolonel A.H. Nasution ketika di Jawa, Panglima Tentara dan Territorium
Jawa pada tanggal 22 Desember 1948 yang mengumumkan berdirinya pemerintahan
militer untuk Jawa. Dalam pada itu di bidang militer, dengan bermodalkan
pengalaman yang diperoleh selama menghadapi agresi militer pertama dan
perjuangan bersenjata sebelumnya, telah disiapkan konsep baru di bidang
pertahanan. Dimana konsepsi tersebut dituangkan dalam Pemerintah Siasat No.1
Tahun 1948 yang pokok isinya adalah: 1.Tidak melakukan pertahanan yang linier.
2.Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta
bumi-hangus total. 3.Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang
mempunyai kompleks di beberapa pegunungan. 4.Pasukan-pasukan yang berasal dari
daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh (wingate) dan membentuk
kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang
luas (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986,
hal.192-193).
Nah sekarang kalau dilihat,
dibaca, dipikirkan, dipahami dan dianalisa lebih dalam dengan menggunakan
alasan Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai
Bekerjanya Pemerintahan Militer untuk dipakai sebagai alat guna mengklaim Acheh
bagian RI, maka akan timbul dua pelanggaran besar yaitu:
Pelanggaran
pertama, kalau Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai
Bekerjanya Pemerintahan Militer yang keluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution
ketika di Jawa, Panglima Tentara dan Territorium Jawa, pada tanggal 22 Desember
1948 diterapkan untuk seluruh Indonesia, maka ini merupakan suatu pelanggaran
dasar hukum Perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang sebagian isinya mengakui
secara de facto kekuasaan RI sekitar Yogyakarta dan daerah sekitarnya saja.
Karena
itu, Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai
Bekerjanya Pemerintahan Militer yang keluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution
ketika di Jawa, Panglima Tentara dan Territorium Jawa pada tanggal 22 Desember
1948 hanya diterapkan di Jawa dan merupakan satu dasar hukum untuk dipakai
sebagai alat pendirian pemerintahan militer untuk Jawa. Sebagaimana yang
tercantum dalam sebagian isinya yaitu "4. Pasukan-pasukan yang berasal
dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh (wingate) dan
membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan
gerilya yang luas" (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat
Negara RI, 1986, hal.192-193).
Kemudian
secara de-facto dan de-jure Pemerintah RI dari sejak 19 Desember 1948 telah
hilang dan lenyap dari Yogyakarta dan daerah sekitarnya, hal ini disebabkan
oleh TNI yang tidak mampu menghadapi pasukan Beel, akibatnya Yogyakarta dan
daerah sekitarnya jatuh ke pasukan Beel. Soekarno
dan Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Bangka. Setelah RI hilang, muncul
Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dibentuk oleh Mr. Sjafruddin
Prawiranegara berdasarkan dasar hukum mandat yang dibuat dalam Sidang Kabinet
RI yang masih sempat diajalankan sebelum Negara RI lenyap dan sempat dikirimkan
melalui radiogram kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang waktu itu berada di
Sumatera.
Nah, kalau dilihat dari sudut
proses kesinambungan sejarah perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, maka
antara Negara RI dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dibentuk oleh
Mr. Sjafruddin Prawiranegara tidak ada kesinambungan, karena pemerintah RI
tidak sama dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dibawah Mr. Sjafruddin
Prawiranegara.
Pelanggaran
kedua, kalau Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang Mulai
Bekerjanya Pemerintahan Militer yang keluarkan oleh Kolonel A.H. Nasution
ketika di Jawa, Panglima Tentara dan Territorium Jawa pada tanggal 22 Desember
1948 dan yang diberlakukan untuk di Jawa dipaksakan untuk dipakai di luar
daerah kekuasaan de-facto Negara RI di Yogyakarta, waktu itu Yogyakarta sudah
dikuasi pasukan Beel, dipakai sebagai dasar hukum untuk mengangkat Mayor
Jenderal Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Jenderal Daerah
Militer Negeri Aceh, maka itu telah melanggar hukum yang berlaku dalam
pengeluaran instruksi dalam tubuh TNI. Mengapa ?
Karena
yang mengeluarkan Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang
Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer adalah Panglima Tentara dan Territorium
Jawa Kolonel A.H. Nasution, bukan Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang
dilantik oleh Presiden RI Soekarno pada tanggal 28 Juni 1947 di Yogyakarta.(30
Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 143).
Secara
tingkatan kekuatan dasar hukum yang berlaku dan dipakai baik dalam TNI atau
Pemerintah RI adalah tingkatan dasar hukum yang berada diatasnya yang bisa
dipakai.
Jadi
disini kelihatan dengan jelas, karena Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22
Desember 1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer bukan dikeluarkan
oleh Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang dilantik oleh Presiden RI
Soekarno pada tanggal 28 Juni 1947 di Yogyakarta, maka ditinjau dari kekuatan
dasar hukumnya, Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 tentang
Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer tidak kuat dan tidak sah kalau dipakai
untuk mengangkat Mayor Jenderal Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur
Jenderal Daerah Militer Acheh.
Nah
sekarang, kesimpulannya adalah Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember
1948 tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer yang keluarkan oleh Kolonel
A.H. Nasution ketika di Jawa, Panglima Tentara dan Territorium Jawa pada
tanggal 22 Desember 1948 kalau diterapkan untuk seluruh Indonesia, maka itu
merupakan suatu pelanggaran dasar hukum Perjanjian Renville 17 Januari 1948.
Kalau juga dipaksanakan untuk dipakai sebagai dasar hukum pengangkatan Mayor
Jenderal Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Jenderal Daerah
Militer Negeri Acheh, maka Instruksi No. I/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948
tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer tidak kuat dan tidak sah dipakai
sebagai dasar hukum untuk mengangkat Mayor Jenderal Teungku Muhammad Daud
Beureueh sebagai Gubernur Jenderal Daerah Militer Negeri Aceh.
Nah
inilah fakta, bukti dan dasar hukum mengapa Ahmad Sudirman menyatakan bahwa
pihak Departemen Dalam Negeri RI telah melakukan pemalsuan dan kebohongan yang
besar ketika mereka menuliskan kata-kata dalam RUU Tentang Pemerintahan Acheh
yang berbunyi: "Menimbang : b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan
rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syari'at Islam, sehingga Aceh menjadi daerah
modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia"
Self-Government atau Pemerintahan sendiri di Acheh tidak mengacu dan tidak mereferensikan kepada UUD 1945.
Self-Government
atau Pemerintahan sendiri di Acheh yang selanjutnya disebut dengan Pemerintahan
Acheh adalah hasil kesepakatan antara pihak GAM dan pemerintah RI di Helsinki
yang dituangkan dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005, yang tidak mereferensikan
dan tidak mengacu kepada UUD 1945.
Mengapa Pemerintahan Acheh tidak
mereferensikan dan tidak mengacu kepada UUD 1945 ? Karena memang dalam UUD 1945
tidak tidak ada tertuang Self-Government atau Pemerintahan sendiri di Acheh
atau Pemerintahan Acheh.
Jadi, berdirinya Pemerintahan Acheh
bukan diatas UUD 1945, melainkan diatas MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
Karena itu sekarang, kalau pihak
Departemen Dalam Negeri RI menyatakan dalam draft RUU Tentang Pemerintahan
Acheh bahwa: "d. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di
Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk
membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menumbahkan kesadaran
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan
konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan serlu bermartabat dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia", maka dalam isi RUU
Tentang Pemerintahan Acheh itu mengandung suatu kesalahan besar yang
diakibatkan oleh adanya penyelewengan dari apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki,
yaitu Self-Government atau Pemerintahan sendiri di Acheh atau Pemerintahan
Acheh.
Dimana bentuk penyelewengan itu
diformulasikan dalam bentuk untaian kata-kata "untuk menyelesaikan
konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan serlu bermartabat dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia"
Untaian kata-kata "dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia" adalah merupakan hasil
pelintiran dari kata-kata MoU Helsinki yang berbunyi: "Para pihak
bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat
diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan
dan konstitusi Republik Indonesia"
Nah, kata-kata MoU Helsinki:
"dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia"
kalau dihubungkan dengan Self-Government atau Pemerintahan sendiri di Acheh
atau Pemerintahan Acheh, maka berdirinya Pemerintahan Acheh yang bukan otonomi
dan tidak mereferensikan kepada UUD 1945 ini tidak ada hubungan dan tidak ada
kaitannya dengan "kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia",
mengapa ?
Karena Pemerintahan sendiri di
Acheh atau Pemerintahan Acheh berdiri dan berjalan dengan memiliki semua
kewenangan dalam sektor publik, kecuali kewenangan dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Karena itu, kewenangan pihak
pemerintah RI dalam hal Acheh adalah hanya dalam enam kewenangan saja,
selebihnya kewenangan-kewenangan itu berada dibawah kewenangan Pemerintahan
sendiri di Acheh atau Pemerintahan Acheh atau Self-Government di Acheh.
Inilah yang telah disepakati dalam
MoU helsinki 15 Agustus 2005 antara pihak GAM dan pemerintah RI.
Nah, kalau pihak pemerintah RI
mencoba memelintirkan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki, maka itu
pihak pemerintah RI telah melakukan pengkhianatan dan pelanggaran MoU Helsinki.
Jadi, Pemerintahan Acheh berdiri
dan berjalan dengan semua kewenangannya, kecuali kewenangan dalam bidang
hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter
dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di daerah berdasarkan
pada perbatasan 1 juli 1956, yang tidak
berbentuk propinsi dan tidak bersifat otonomi, yang hubungannya dengan pihak
pemerintah RI diatur oleh Undang-Undang Tentang Pemerintahan Acheh, yang
mereferensikan dan mengacu kepada MoU Helsinki 15 Agustus 2005.
Nah sekarang, berdasarkan MoU
Helsinki itu, kelihatan dengan jelas, bahwa Pemerintahan Acheh berdiri di
daerah perbatasan 1 juli 1956 yang
tidak berbentuk propinsi dan tidak bersifat otonomi serta tidak berada
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, mengapa ?
Karena pemerintahan sendiri di
Acheh atau Self-Government atau Pemerintahan Acheh wujud dengan mereferensikan
dan mengacu kepada MoU Helsinki, tidak mereferensikan dan tidak mengacu kepada
UUD 1945.
Jadi kesimpulannya adalah
pemerintah RI hanya memiliki enam kewenangan di Acheh yaitu kewenangan dalam
bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal
moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, diluar itu
semuanya merupakan kewenangan Pemerintahan sendiri di Acheh atau Pemerintahan
Acheh atau Self-Government di Acheh.
Nah, dengan hanya enam kewenangan
yang dimiliki oleh pihak pemerintah RI di Acheh, ditambah dengan Pemerintahan
Acheh tidak mengacu kepada UUD 1945, melainkan mereferensikan dan mengacu
kepada MoU Helsinki, maka hal itu membuktikan bahwa Acheh tidak berada dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Jadi sekarang, sudah kelihatan
dengan jelas dan terang, bahwa ternyata pihak pemerintah RI, dalam hal ini
Departemen Dalam Negeri dalam pembuatan RUU Tentang Pemerintahan Acheh telah
melakukan suatu tipu daya dan suatu kebohongan yang besar dengan cara memelintir
isi kesepakatan MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Dimana dengan jelas kelihatan
tipu daya dan pemalsuan pihak Departemen Dalam Negeri dalam RUU Tentang
Pemerintahan Acheh-nya yang menggiring Acheh kedalam wadah otonomi yang tidak
tertuang dan tidak disepakati dalam MoU Helsinki, melalui jaringan "UUD
1945 Pasal 18B ( 1 ) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang".
Inilah suatu penipuan
besar-besaran yang dilakukan oleh pihak pemerintah RI dalam hal ini oleh
Departemen Dalam Negeri RI ketika melakukan pembuatan RUU Tentang Pemerintahan
sendiri di Acheh atau Pemerintahan Acheh atau Self-Government di Acheh.
Jadi apa yang dikemukakan oleh
Menteri Komunikasi dan Informasi Dr Sofyan Djalil: "Konteksnya kan MoU itu
dijadikan referensi. Oleh sebab itu, kalau kemudian ada yang difilter oleh
Depdagri, karena itu bertentangan dengan konstitusi. Jadi, apa saja yang keluar dari
konstitusi, itu tidak diterima. Karena
penyelesaian Aceh dalam MoU juga dikatakan berdasarkan konstitusi". Jelas
itu pernyataan dan alasan Sofyan Djalil adalah merupakan suatu penipuan besar
dan alasan yang tidak punya dasar hukum yang kuat.
Bagaimana bisa dikatakan bahwa MoU
itu dijadikan referensi, kalau ternyata dalam realitanya klausul-klausul yang
sesuai dengan MoU Helsinki, ternyata dalam realitanya dianggap bertentangan
dengan konstitusi, sehingga klausul-klausul tersebut dipangkasnya atau
dibuangnya.
Apakah Sofyan Djalil sudah lupa atau
pura-pura bodoh, bahwa Self-Government atau Pemerintahan sendiri di Acheh atau
Pemerintahan Acheh tidak ada dalam UUD 1945 dan MoU Helsinki itu sendiri tidak
mereferensikan kepada UUD 1945 artinya tidak mereferensikan kepada otonomi atau
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 18B ( 1 ) UUD 1945, melainkan kepada Self-Government
atau Pemerintahan sendiri di Acheh atau Pemerintahan Acheh yang tidak mengacu
kepada UUD 1945.
Terakhir, karena pihak Departemen
Dalam Negeri RI telah melakukan penipuan besar-besaran dalam RUU Tentang
Pemerintahan Acheh-nya, maka sudah bisa dibayangkan dan dipastikan bahwa isi
RUU Tentang Pemerintahan Acheh yang akan ditetapkan DPR RI ini berisikan
klausul-klausul yang bertentangan dengan MoU Helsinki 15 Agustus 2005, atau
dengan kata lain RUU Tentang Pemerintahan Acheh yang akan ditetapkan oleh DPR
RI menjadi UU Tentang Pemerintahan Acheh isinya bertolak belakang dengan MoU
Helsinki 15 Agustus 2005.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon
pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------
Rabu, 31 Desember 1969
Terlalu Melebar, Draf RUU-PPA
Dipangkas.
BANDA ACEH - Menteri Komunikasi
dan Informasi Dr Sofyan Djalil mengatakan, draf Rancangan Undang-undang
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh (RUU-PPA) usulan DPRD NAD yang disampaikan
kepada pemerintah pusat, isinya melebar kemana-mana dan ada yang bertentangan
dengan konstitusi. Selain itu, DPRD NAD terlalu maju dan terlalu banyak
konsensi atau permintaan, akibatnya tim Depdagri memangkas beberapa substansi
draf RUU-PPA.Hal itu dikatakan oleh Sofyan Djalil dalam acara Pembekalan Tim
Sosialisasi Aceh Damai di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur NAD, Sabtu (18/2)
kemarin. Hadir dalam acara pembekalan tersebut antara lain Penjabat Gubernur
NAD Mustafa Abubakar, Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Bakhtiar Abdullah,
Ketua DPRD NAD Said Fuad Zakaria dan anggota Muspida serta unsur ulama, LSM,
dan lainnya.
“Sebenarnya begini. Konteksnya kan
MoU itu dijadikan referensi. Oleh sebab itu, kalau kemudian ada yang difilter oleh
Depdagri, karena itu bertentangan dengan konstitusi. Jadi, apa saja yang keluar dari
konstitusi, itu tidak diterima. Karena penyelesaian Aceh dalam MoU juga
dikatakan berdasarkan konstitusi,” kata Sofyan saat ditanyai Serambi mengapa ia
mengatakan draf RUU-PPA usulan DPRD NAD melebar kemana-mana.
Sofyan
juga mengakui bahwa terlalu banyak konsensi yang diinginkan seperti yang
tercermin dalam draf RUU-PPA usulan DPRD NAD. “Betul,
betul (terlalu banyak konsesi). Itu yang kita kembalikan kepada posisinya. Dan yang paling penting masyarakat Aceh bisa hidup damai.
Masalah-masalah ini akan kita kerjakan dengan baik,” katanya. Menyangkut Dana
Alokasi Umum (DAU) yang diusulkan lima persen, tetapi pasal ini pun
’dipreteli‘, sehingga tinggal hanya satu persen selama lima tahun, padahal itu
tidak bertentangan dengan konstitusi, Sofyan mengatakan, bahwa reduksi ini
semata-mata atas pertimbangan keadilan.
“Itu sebenarnya tidak ada urusan.
Bahwa dalam MoU dikatakan 70 persen sumber daya alam diserahkan kepada Aceh. Tetapi, kemudian Depdagri
melihat bahwa kalau lima persen, daerah lain tidak ada sama sekali. Kemudian
diturunkan menjadi satu persen selama lima tahun. Karena kita menyadari bahwa
daerah ini bekas konflik, bekas tsunami, maka perlu diberikan dana tambahan. DAU secara umum dapat. Dan itu satu persen dari DAU pusat. Itu besar sekali. Kalau lima persen seperti yang diusulkan,
maka daerah lain tidak mendapatkan apa-apa,” jelas Sofyan. Dalam penjelasannya,
Sofyan juga menjelaskan banyak hal lain, termasuk soal kewenangan. Dikatakan, ada kesalahpahaman
selama ini dalam soal kewenangan.
Ia
mencontohkan soal pendidikan. Dikatakan, pendidikan di Aceh adalah wewenang
pemerintah Aceh. Akan tetapi, ketertinggalan pendidikan bukan sepenuhnya
diserahkan kepada Aceh, pusat masih perlu bertanggung jawab membuat kebijakan
supaya pendidikan di Aceh maju. “Jadi, ada yang disebut dengan wewenang, ada
yang disebut dengan policy. Wewenang pendidikan di Aceh boleh diserahkan ke
Aceh, tapi tidak boleh kemudian pendidikan di Aceh justru mendidik hal-hal yang
sifatnya tabu, misalnya Aceh akan merdeka. Itu
tidak bisa. Jadi, pusat tidak boleh melepas tangan dan tanggung jawab terhadap
pendidikan
secara menyeluruh,” katanya.
Sedangkan menyangkut dengan pengadilan HAM, dikatakan bahwa di Aceh akan segera
dibangun. Akan tetapi, dipastikannya pengadilan ini tidak akan mengadili pelanggaran HAM yang terjadi
pada masa lalu.
Tak
biarkan pecah
Dikatakan
bahwa pemerintah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berbeda dengan
pemerintahan Megawati sebelumnya. Di kepemimpinan SBY, dilakukan penelitian dan
pengkajian mendalam jika ada keinginan perpecahan suatu wilayah. Sofyan
menjelaskan ini menanggapi pertanyaan peserta sosialisasi yang bertanya apakah
pemerintah berkeinginan Aceh pecah setelah perdamaian ini. “Mendagri sekarang pusing dengan Irian yang sudah
dimekarkan,” katanya, memberi contoh.
Dijelaskan, pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa daerah-daerah yang dipecah tidak memberi manfaat bagi rakyat
banyak. Dicontohkan, hasil penelitian Universitas Paramadina menunjukkan bahwa
93 kabupaten dan kota yang dimekarkan, 84 di antaranya tidak membawa manfaat
bagi masyarakat, bahkan cenderung merugikan masyarakat. “Yang untung adalah
elite politik. Di banyak daerah, yang mau memecah adalah elite-elite politik,”
jelasnya.
Khusus menyangkut calon
independen, dikatakan bahwa pemerintah menggunakan taktik dengan tak
mencantumkan langsung soal ini dalam draf yang diajukan ke DPR. Ia optimis
peluang ini akan tetap terbuka dalam draf yang akan disahkan DPR kelak.
Menyangkut amnesti kepada Tapol GAM, dikatakan bahwa pemerintah sebetulnya
ingin membebaskan seluruhnya. Akan tetapi, karena sebagiannya tersangkut dengan
persoalan kriminalitas, maka tak seluruhnya dapat dibebaskan. “Amnesti dimana
pun di seluruh dunia tidak pernah diberikan bagi kriminalitas. Sekarang ada
70-an yang dipersoalkan (oleh GAM). Kami telah memverifikasi satu per satu. Paling sedikit minggu ini 16 di antaranya sudah dilepas,”
katanya.
Saat ditanyakan, apa yang dimaksud
dengan perbatasan Aceh dalam MoU yang merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956,
Sofyan menjelaskan maksudnya adalah perbatasan Aceh seperti yang ada sekarang.
“Perbatasannya adalah perbatasan Aceh yang ada sekarang. Kalau disebutkan
sebagian wilayah Sumatera Utara masuk, maka akan timbul lagi masalah,”
jelasnya, menanggapi seorang peserta yang mengatakan bahwa Danau Toba di
Sumatera Utara akan masuk wilayah Aceh jika perbatasannya merujuk pada 1 Juli
1956 sebagaimana tercantum dalam MoU.
Selain itu, Sofyan juga mengaku heran jika masih ada keraguan terhadap tekad pemerintah dalam menyelesaikan konflik Aceh. “Presiden SBY itu pasang badan demi kedamaian Aceh. Pemerintah tidak akan menyia-nyiakan MoU. Masak pemerintah menyia-nyiakan MoU, karena pemerintah hampir saja di-impeach karena MoU,” katanya.
Tim
DPRD NAD mulai bekerja
Sementara
itu dari DPRD NAD diperoleh informasi bahwa Tim Advokasi RUU-PPA DPRD NAD mulai
Sabtu (18/2) kemarin, sudah memasuki tahap pembahasan materi draf RUU-PPA yang
telah diubah pemerintah pusat. Pembahasan ini dibagi dua kelompok, A dan B.
Untuk kelompok A ditugaskan melakukan pembahasan sebanyak 104 pasal, mulai
pasal 1 hingga pasal 104, yang terdiri atas 17 bab seluruhnya. Mulai dari bab
mengenai Ketentuan Umum, hingga bab mengenai Kepegawaian. Sedangkan kelompok B
ditugaskan membahas sebanyak 104 pasal, mulai pasal 105 hingga pasal 209 yang
di dalamnya mulai dari bab tentang Mahkamah Syar‘iyah hingga bab soal Ketentuan
Peralihan.
Kelompok
A yang dipimpin Adrimat Kimat melakukan pembahasan di ruang Komisi A secara
tertutup, Sabtu kemarin. Tampak Mawardy Ismail, salah seorang tim ahli dari tim
advokasi RUU-PPA menghadiri rapat tersebut. Sedangkan kelompok B di bawah
pimpinan Azhari Basar, melaksanakan rapat pembahasan materi ini di Komisi B.
“Dalam rapat tadi hanya mencari alasan yang kuat untuk mempertahankan dan
memasukkan kembali dalam RUU-PPA yang digodok parlemen nantinya terhadap
pasal-pasal yang telah dihapus dan ’dipreteli‘ oleh pemerintah pusat
sebelumnya,” kata Sekretaris Tim Advokasi, Khairul Amal.
Setelah
pembahasan materi ini selesai dalam dua hari, katanya, maka pada Senin (20/2)
mendatang, tim akan kembali melakukan konsolidasi dengan tim pengawal RUU-PPA
Pemda serta para ulama. Konsolidasi ini dilakukan, guna mencari visi yang sama dengan
tim Pemda soal alasan yang kuat untuk menggolkan draf RUU-PPA yang diusulkan
dewan. “Sehingga nantinya dalam menggolkan RUU-PPA tidak terjadi benturan
antara tim DPRD dan Pemda,” demikian Khairul Amal.(sak/sup)
http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=15671&rubrik=1&kategori=1&topik=11
----------