Stockholm, 22 April 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
MOU HELSINKI ADALAH BENTUK PERJANJIAN
INTERNASIONAL YANG MENGIKAT PEMERINTAH RI DAN DPR RI.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MENGHILANGKAN
POIN-POIN DALAM MOU HELSINKI ADALAH SAMA DENGAN PELANGGARAN TERHADAP PERJANJIAN
INTERNASIONAL ANTARA PEMERINTAH INDONESIA DENGAN GAM.
"MoU
itu levelnya rendah sekali, bahkan di bawah MoI (Letter of Intent). MoU
Helsinki sama sekali bukan sebuah dokumen diplomatik, itu hanyalah sebuah
"nota kesepahaman" antara sebuah negara dan beberapa orang rebellian.
Jadi kalo DPR membuang pasal-pasal dalam MoU Helsinki yang tidak sejalan dengan
ketentuan negara RI, itu teramat sangat wajar. DPR meluangkan waktu untuk
membahas MoU Helsinki itu karena semata-mata dalam MoU itu ditegaskan bahwa:
"Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehigga pemerintahan rakyat
Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara
kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia", yang menegaskan kewilayahan
RI tetap membentang dari Sabang sampai Merauke. Kalau
tidak karena itu jelas MoU Helsinki itu hanya akan jadi keranjang sampah"
(Muba Zir, mbzr00@yahoo.com , Sat, 22 Apr 2006 08:34:08 -0700 (PDT))
Kelihatan masih ada segelintir
orang yang berusaha bukan saja melanggar perjanjian internasional yang dibuat
oleh Pemerintah Indonesia, melainkan juga menolaknya, seperti kelompok
PDI-P-nya Megawati dan PKB-nya Abdurrahman Wahid serta para jenderal pensiunan
TNI.
Kalau mereka menolak hasil
Perjanjian Internasional yang berupa Memorandum of Understanding antara GAM dan
Pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia, maka mereka itu sama saja dengan menentang dan menolak
kepada hasil Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia.
Atau dengan kata lain kelompok PDI-P dan PKB yang duduk dalam DPR RI menolak
terhadap hasil Perjanjian Internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah
Indonesia dan sekaligus menentang dan melanggar kepada apa yang tertuang dalam
konstitusi dan Undang-Undang yang mereka akui, yaitu UUD 1945 pasal 11 dan UU
No 24/2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Dasar hukum tentang Perjanjian
Internasional yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 11 itu tergambar dengan jelas
bahwa (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (2) Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kemudian, karena Perjanjian
Internasional menurut dasar hukum UUD 1945 pasal 11 (2) diatas tidak
menyebutkan secara jelas subjek hukum internasional-nya siapa, maka kekurangan
itu dilengkapi dengan UU No 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, yang
dijelaskan secara terperinci dalam Bab II Pasal 4 (1) Pemerintah Republik
Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih,
organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan
kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut
dengan iktikad baik.
Nah, menurut penjelasan UU No.24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional itu adalah setiap perjanjian di
bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah
dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama
perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain: treaty,
convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter,
declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary
records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent.
Adapun
yang menyangkut subjek hukum internasional lain itu adalah suatu entitas hukum
yang diakui oleh hukum internasional dan mempunyai kapasitas membuat perjanjian
internasional dengan negara.
Nah
sekarang, GAM telah diakui secara langsung oleh pihak Pemerintah Indonesia
sebagai suatu entitas hukum yang mempunyai kapasitas membuat perjanjian
internasional dengan Pemerintah Indonesia. Dan pengakuan hukum lainnya, seperti
pengakuan dari Uni Eropa dalam bentuk bantuan hukum dan keamanan, itu
menggambarkan bahwa pihak GAM sebagai suatu entitas hukum telah diakui dan
mempunyai kapasitas membuat perjanjian internasional dengan pihak Pemerintah
Indonesia.
Dengan
ditandatanganinya Memorandum of Understanding Helsinki 15 Agustus 2005, yang
sebelumnya kesepakatan Memorandum of Understanding Helsinki ini telah diparaf
pada tanggal 17 Juli 2005 oleh Ketua Tim Juru Runding GAM Teungku Malik Mahmud
dan Ketua Tim Juru Runding Pemerintah Indonesia Hamid Awaluddin, membuktikan
bahwa pihak Pemerintah Indonesia secara hukum telah memberikan pengakuan kepada
GAM sebagai belligerent atau kelompok perlawanan yang memperoleh pengakuan.
Jadi,
perundingan di Helsinki itu merupakan perundingan internasional karena delegasi
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan
materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing. Sebagaimana yang
tertuang dalam UU No.24/2000 Bab II Pasal 5 (4).
Nah
sekarang sudah jelas, bahwa memang benar GAM sebagai subjek hukum internasional
yang telah mendapat pengakuan sebagai belligerent atau kelompok perlawanan yang
memperoleh pengakuan dari Pemerintah Indonesia.
Karena
itu, Perundingan GAM – RI yang berlangsung 5 periode yang dimulai dari tanggal
27 Januari sampai 17 Juli 2005 di Helsinki dibawah fasilitator mantan Presiden
Martti Ahtisaari adalah merupakan perundingan internasional, yang hasil
perundingannya itu merupakan Perjanjian Internasional, dalam bentuk memorandum
of understanding Helsinki 15 Agustus 2005, yang isinya mengikat Pemerintah
Indonesia dan DPR RI.
Selanjutnya
tentang Self-Government atau pemerintahan sendiri di Acheh atau pemerintahan
rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh dalam MoU Helsinki adalah didasarkan
kepada kesepakatan antara pihak Gerakan Acheh Merdeka (GAM) dan Pemerintah
Indonesia. Dimana yang dinamakan atau dimaksud dengan Self-Government atau
pemerintahan sendiri di Acheh atau pemerintahan rakyat Acheh atau pemerintahan
Acheh adalah Pemerintahan sendiri di wilayah Acheh berdasarkan perbatasan 1
Juli 1956 yang bukan provinsi dan bukan bersifat otonomi, yang memiliki
kewenangan kedalam dan kewenangan keluar, kecuali enam kewenangan yang masih
dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yaitu kewenangan dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Kemudian,
karena Self-Government atau pemerintahan sendiri di Acheh atau pemerintahan
rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh tidak ada dasar referensi hukumnya baik
dalam UU yang masih berlaku sekarang di RI ataupun dalam UUD 1945, maka
poin-poin yang tertuang dalam Perjanjian Internasional MoU Helsinki itulah yang
menjadi dasar dan fondasi berdirinya Self-Government atau pemerintahan sendiri
di Acheh atau pemerintahan rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh.
Jadi,
yang masih menjadi jalur hubungan antara Self-Government atau pemerintahan
sendiri di Acheh atau pemerintahan rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh dengan
Pemerintah Indonesia adalah karena masih adanya enam kewenangan yang dimiliki
oleh pihak Pemerintah Indonesia.
Nah
terakhir, sekarang akan mudah dimengerti mengapa pihak GAM dan Pemerintah
Indonesia sepakat mencantumkan kalimat "Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui
suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi
Republik Indonesia", karena memang Self-Government atau pemerintahan
sendiri di Acheh atau pemerintahan rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh masih
memiliki enam kekurangan dalam hal kewenangan. Atau dengan kata lain, karena
pihak Self-Government atau pemerintahan sendiri di Acheh atau pemerintahan
rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh masih minus enam kewenangan tersebut, maka
antara pihak Self-Government atau pemerintahan sendiri di Acheh atau
pemerintahan rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh dengan pihak Pemerintah
Indonesia masih ada tali hubungan. Walaupun masih adanya kekurangan enam
kewenangan yang dimiliki oleh pihak Self-Government atau pemerintahan sendiri
di Acheh atau pemerintahan rakyat Acheh atau pemerintahan Acheh, tetapi
Self-Government atau pemerintahan sendiri di Acheh atau pemerintahan rakyat
Acheh atau pemerintahan Acheh sudah bisa didirikan dan dibangun di wilayah
Acheh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 yang bukan provinsi dan bukan bersifat
otonomi melalui suatu proses yang demokratis dan adil.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------