Stockholm, 5 Agustus 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

REVISI DULU UU PEMERINTAHAN ACHEH YANG DITOLAK GAM SETELAH ITU BARU BICARA PEMILIHAN KEPALA PEMERINTAHAN ACHEH.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA PEMERINTAHAN ACHEH DIANGGAP BATAL KALAU UU NO.11/2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACHEH YANG DITOLAK GAM DAN OLEH SEBAGIAN RAKYAT ACHEH MASIH BELUM DIREVISI OLEH DPR RI.

 

GAM memiliki kekuatan hukum untuk menyatakan hasil pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh dan para Bupati di Acheh adalah batal kalau dasar hukum yang dijadikan acuan hukum yang tertuang dalam UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang memiliki pasal-pasal yang bertentangan dengtan MoU Helsinki masih belum direvisi oleh pihak DPR RI. Mengapa ?

 

Karena GAM adalah salah satu pihak yang telah bersepakat untuk melahirkan MoU Helsinki yang akan dijadikan sebagai referensi hukum lahirnya UU tentang Pemerintahan Acheh. Dimana keputusan pembatalan tersebut diacukan kepada apa yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki, yaitu melalui Misi Monitoring Acheh (AMM) dan juga Dewan Direktur Crisis Management Initiative serta Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa.

 

Jadi, jangan mengikuti apa yang dipaksakan oleh pihak Pemerintah RI dan DPR RI  yang melambungkan ide dengan menyatakan laksanakan dulu isi UU No.11 tahun 2006 ini, baru setelah itu secara perlahan dilakukan perobahan.

 

Itu pernyataan politik dari pihak Pemerintah RI dan DPR RI jelas tidak bisa diterima secara hukum. Mengapa ? Karena dasar hukum yang akan diacukan untuk pelaksanaan berjalannya roda Pemerintahan Sendiri di Acheh masih mengandung butiran-butiran yang bertentangan dengan referensi hukum MoU Helsinki yang telah disepakati oleh pihak GAM dan Pemerintah RI serta merupakan ibu dari lahirnya UU tentang Pemerintahan Acheh ini. Tanpa MoU Helsinki, sampai dunia kiamat tidak akan lahir dan ditetapkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh dan tidak akan mungkin lahir perdamaian di Acheh.

 

Jadi, sebenarnya secara hukum bukan karena UUD 1945 atau UU RI lainnya yang dijadikan referensi hukum untuk lahirnya perdamaian di Acheh dan lahirnya Pemerintahan Sendiri di Acheh, melainkan karena adanya referensi hukum MoU Helsinki hasil kesepakatan antara pihak GAM dan Pemerintah RI yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

 

Sudah hampir 30 tahun, yang namanya UUD 1945 dan UU RI lainnya tidak mampu dijadikan referensi hukum untuk lahirnya perdamaian di Acheh dan lahirnya UU tentang Pemerintahan Acheh. Tetapi, dengan lahirnya MoU Helsinki 15 Agustus 2005, maka perdamaian di Acheh muncul dan UU tentang Pemerintahan Acheh bisa ditetapkan.

 

Hanya masalahnya, pihak Pansus DPR RI yang juga sebenarnya terikat oleh MoU Helsinki telah merobah dan memanipulasi isi dari MoU Helsinki itu untuk disesuaikan dengan kepentingan penganeksasian Acheh-nya. Artinya, pihak Pansus DPR RI tetap menjalankan status quo-otonomi-Acheh-nya. Padahal status-quo otonomi Acheh tidak pernah disepakati dalam MoU Helsinki. Yang disepakati adalah Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh yang secara fakta, bukti, sejarah dan hukum, baru pertama-kalinya muncul dan lahir diatas dunia ini. Belum pernah dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan RI ada yang namanya Self-Government atau Pemerintahanh Sendiri di Acheh, melainkan setelah MoU Helsinki ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 oleh pihak GAM dan Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia.

 

Karena itu yang namanya Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh dalam pembentukannya diacukan kedapa dasar hukum MoU Helsinki, bukan kepada yang lainnya. Mengapa ?

 

Karena kalau diacukan kepada referensi hukam lainnya, maka seperti yang dibuat oleh Pansus DPR RI, yaitu menjadikan status-quo otonomi Acheh model “Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara” dan “model Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen”. Akhirnya, hasil hukum buatan Pansus DPR RI tersebut secara jelas dan nyata telah bertentangan dengan MoU Helsinki yang menjadi dasar dan referensi hukum lahirnya perdamaian di Acheh dan disepakatinya Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh dengan memiliki kewenangan penuh kedalam ataupun keluar, kecuali enam kewenangan yaitu kewenangan dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia.

 

Nah, disini kalau memang di Acheh akan dibangun dan didirikan serta dijalankan Pemerintahan rakyat Acheh melalui jalur proses demokratis dan adil, maka sudah jelas dan pasti dasar hukumnya juga harus jelas dan pasti. Artinya, UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh harus berdiri diatas pondasi yangt telah disepakati dalam MoU Helsinki. Karena, kalau tidak, maka akan runtuhlah UU No.11 tahun 2006, disebabkan tidak berdiri diatas dasar fondasi yang telah disepakati oleh pihak GAM dan Pemerintah RI. Atau dengan kata lain, karena sebagian pasal-pasal yang tertuang dalam UU No.11 tahun 2006 tersebut sangat bertentangan dengan MoU Helsinki, maka sudah dipastikan pelaksanaannya akan menimbulkan kegoyahan dan ketidak stabilan, yang akhirnya akan meruntuhkan jalur proses perdamaian di Acheh.

 

Seterusnya, kalau memang di Acheh akan dibangun dan dijalankan roda Pemerintahan Rakyat Acheh yang berbentuk Self-Government atau Pemerintahan Sendiri yang mengacu kepada referensi hukum MoU Helsinki yang memiliki jalur demokratis dan adil, maka kalau di Acheh akan dilaksanakan pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh tidak diperlukan pasukan keamanan yang melibatkan kekuatan Polisi. Mengapa ? Karena, kalau masih ada diperankan kekuatan keamanan dalam bentuk pengerahan anggota pasukan polisi untuk mengamankan pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh, maka itu tandanya bahwa pihak Pemerintah RI masih menjalankan kebijaksanaan politik-kekerasannya. Dan kalau itu terjadi, maka dasar fondasi yang dituangkan dalam bentuk ”demokratis dan adil” hanyalah berlaku diatas kertas saja.

 

Jadi, dengan dasar argumentasi diatas, tidak perlu adanya pengerahan kekuatan pasukan Polisi di Acheh untuk tujuan pengamanan pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh. Apalagi harus perlu tambahan kekuatan pasukan Polisi sebagaimana yang diminta oleh Penjabat Kepala Pemerintahan Acheh Mustafa Abubakar dan juga oleh Kepala Kepolisian Daerah Irjen Bachrumsyah Kasman.

 

Terakhir, serahkan semuanya kepada bangsa dan rakyat Acheh untuk menjalankan hak dan kewajibannya guna membangun, mendirikan dan menjalankan roda Pemerintahan Sendiri di Acheh sebagaimana yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Buang jauh-jauh politik-kekerasan melalui tangan-tangan pasukan Polri dan TNI di Acheh. Biarkan bangsa dan rakyat Acheh yang menjalankan dengan kesadaran apa itu yang dinamakan dengan demokrasi dan adil melalui jalur pemilihan Kepala Pemerintahan Acheh. Biarkan bangsa dan rakyat Acheh, mempergunakan hak dan kewajiban serta kebebasannya. Apakah mereka mau memilih atau tidak, semuanya diserahkan kepada masing-masing individu bangsa dan rakyat Acheh. Bangsa dan rakyat Acheh yang akan menentukan masa depan Acheh.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------