Stockholm, 8 Agustus 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
KMB BUKAN DASAR HUKUM UNTUK MENGIKAT
ACHEH, BEGITU JUGA KEBERADAAN SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DI ACHEH.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
ACHEH TIDAK DIIKAT OLEH PERJANJIAN KONFERENSI MEJA BUNDAR (KMB) DAN
WUJUDNYA SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DI KUTA RAJA, ACHEH.
“Pak Ahmad Sudirman pada waktu pertemuan Meja Bundar dilakukan,
Syafruddin Prawiranegara menjabat Wakil Perdana Menteri bertempat di Kutaraja
Aceh. Dan Bapak Hasan Tiro adalah salah satu dari anak buah Syafruddin
Prawiranegara di Kotaraja. Jika Pak Ahmad tanyakan pada Pak Hasan Tiro, Apakah
kenal Bapak Idris Batangtaris ? Beliau pasti kenal karena pak Hasan Tiro adalah
wakil dari Bapak Batangtaris dan Bapak Batangtaris adalah Ajudan dari
Syafruddin. Dengan kata lain Bapak Hasan Tiro paham betul bahwa di Aceh ada
Pemerintahan RI yang dipimpin oleh Syafruddin sebagai Wakil Perdana Menteri,
sedangkan Perdana Menterinya adalah Bung Hatta yang sedang memimpin delegasi RI
ke KMB dan Presidennya adalah Sukarno, sebelum ia menjadi Presiden RIS.”
(Rasjid Prawiranegara, rasjid@bi.go.id , Tue, 8 Aug 2006
16:14:22 +0700)
Terimakasih saudara Rasjid
Prawiranegara di Jakarta, Indonesia.
Dari apa yang disampaikan oleh
saudara Rasjid Prawiranegara diatas tergambar dua kemungkinan, yaitu
kemungkinan pertama, saudara Rasjid Prawiranegara tidak mengetahui secara
jelas, pasti dan benar jalur sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) dalam pengasingan di Acheh dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara
dengan mandat-nya dari Kabinet RI di Yogyakarta sebelum lenyap dari Yogya pada
tanggal 19 Desember 1948 hubungannya dengan Acheh, RI dan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Kemungkinan kedua, yaitu saudara Rasjid Prawiranegara mengetahui
jalur sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) hubungannya dengan
Acheh, RI dan Konferensi Meja Bundar (KMB), tetapi diusahakan untuk
ditutupinya, guna memberikan usaha melegalisasikan RI hubungannya dengan Acheh.
Nah, kalau saudara Rasjid
Prawiranegara termasuk dalam kemungkinan pertama, maka perlu dijelaskan disini
bahwa berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan hukum, yang namanya Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam pengasingan di Acheh dibawah pimpinan
Sjafruddin Prawiranegara dengan mandat-nya dari Kabinet RI di Yogyakarta
sebelum lenyap dari Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 secara de-jure
telah lenyap setelah Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandat kepada
Mohammad Hatta pada tanggal 13 juli 1949 di Jakarta, yang juga sekaligus
menyerahkan keputusan mengenai hasil Perjanjian Roem Royen 7 Mei 1949. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949,
Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 227).
Jadi, sejak tanggal 13 juli 1949
secara de-jure dan de-facto Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sudah
tidak ada lagi, yang hidup kembali adalah RI setelah mandat yang diberikan
kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) diserahkan kembali kepada Mohammad Hatta yang telah dibebaskan
dari tawanan di Bangka berdasarkan hasil Perjanjian Roem Royen 7 Mei 1949.
Nah, karena RI lahir kembali
karena adanya Perjanjian Roem Royen 7 Mei 1949 yang didasarkan pada dasar hukum
Resolusi PBB no.67(1949) tanggal 28 Januari 1949 dengan mengacukan kepada dasar
hukum Perjanjian Linggajati 25 Maret 1947 dan Perjanjian Renville 17 Januari
1948 guna membentuk Negara Indonesia Serikat yang berbentuk federasi yang akan
diakui kedaulatannya oleh Belanda paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Mengapa dimasukkan hasil
Perjanjian Linggajati dan Perjanjian Renville dalam Resolusi PBBNo.67(1949) itu
?
Karena, dalam Perjanjian
Linggajati 25 Maret 1947 disebutkan bahwa RI dan Belanda akan bekerja sama
dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama RIS, yang salah satu
negara bagiannya adalah Republik Indonesia. RIS dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Kemudian dari hasil Perjanjian
Renville 17 Januari 1948 dinyatakan menyangkut gencatan senjata disepanjang
garis Van Mook dan pembentukan daerah-daerah kosong militer. (Sehingga terlihat
secara de-jure dan de-facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja)
Jadi untuk pengakuan kedaulatan
dari Belanda kepada United States of Indonesia atau Negara Indonesia Serikat
perlu segera diadakan perundingan baru untuk membentuk satu negara yang
berbentuk federasi dimana negara RI adalah salah satu Negara Bagian United
States of Indonesia.
Sekarang, kalau kita melihat dan
menggali sebelum dilangsungkannya Perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB),
maka pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli sampai
tanggal 2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Kenferensi Inter-Indonesia antara
wakil-wakil RI dan Pemimpin-Pemimpin Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO)
atau Badan Permusyawaratan Federal. Dalam sebagian besar pembicaraan di
Konferensi Inter-Indonesia ini adalah membicarakan pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat
Negara RI, 1986, hal. 229-231).
Kemudian, barulah pada tanggal
23 Agustus 1949 dilaksanakan Perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Ridderzaal, Den Haag, Belanda, yang hasil keputusannya ditandatangani pada
tanggal 2 November 1949 oleh wakil utusan juru runding dari Bijeenkomst voor
Federal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal dipimpin oleh Sultan
Hamid II dari Kalimantan Barat. Dimana BFO ini anggotanya adalah 15 Negara/Daerah
Bagian, yaitu Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Negara Indonesia Timur, Negara
Madura, Daerah Banjar, Daerah Bangka, Daerah Belitung, Daerah Dayak Besar,
Daerah Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Daerah Kalimantan Tenggara, Daerah
Kalimantan Timur, Negara Pasundan, Daerah Riau, Negara Sumatra Selatan, dan
Negara Sumatra Timur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat
Negara RI, 1986, hal.244). Utusan dari Republik Indonesia menurut perjanjian
Renville 17 Januari 1948 yang anggota juru rundingnya adalah Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem,
Prof. Dr. Mr. Soepomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Dr.
Soekiman, Mr. Soeyono Hadinoto, Dr. Soemitro djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim
Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Soemardi. Utusan dari Kerajaan Belanda yang
delegasinya diketuai oleh Mr. Van Maarseveen. Dan Utusan dari United Nations
Commission for Indonesia (UNCI) dipimpin oleh Chritchley. Dimana dalam
perundingan KMB ini telah disepakati bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949.
Mengenai Irian barat penyelesaiannya ditunda selama satu tahun. Pembubaran KNIL
dan pemasukan bekas anggota KNIL ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS), adanya satu misi militer Belanda di Indonesia, untuk membantu
melatih APRIS dan pemulangan anggota KL dan KM ke Negeri Belanda. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.236- 237).
Nah sekarang, kalau kita menghubungkan waktu Konferensi Meja Bundar
(KMB) dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai ditandatanganinya hasil Perundingan
KMB pada tanggal 2 November 1949 dengan Syafruddin Prawiranegara yang menjabat
Wakil Perdana Menteri RI yang bertempat di Kuta Raja Acheh sebagaimana yang
ditulis oleh saudara Rasjid Prawiranegara diatas guna mengklaim bahwa Acheh
berada dibawah Pemerintah RI, maka pengklaiman dan penghubungan tersebut
diatas, tidak menyambung dan tidak ditunjang oleh dasar fakta, bukti, sejarah
dan hukum yang kuat. Mengapa ?
Karena, pada waktu berlangsungnya KMB, yaitu dari 23 Agustus 1949 sampai
2 November 1949, yang namanya RI secara de-jure dan de-facto berdasarkan apa
yang telah tertuang dalam Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yaitu secara
de-jure dan de-facto wilayah RI hanya di Yogyakarta dan daerah sekitarnya, yang
selanjutnya diadopsi dan dijadikan dasar dan acuan hukum dalam Resolusi PBB
no.67(1949) tanggal 28 Januari 1949.
Jadi, adanya Syafruddin Prawiranegara yang menjabat Wakil Perdana
Menteri RI yang bertempat di Kuta Raja Acheh selama KMB berlangsung di Belanda,
seperti yang disebutkan oleh saudara Rasjid Prawiranegara diatas, itu tidak
bisa dijadikan sebagai suatu bukti hukum bahwa pemerintah RI menguasai Acheh.
Begitu juga, kalau dihubungkan antara Teungku Hasan Muhammad di Tiro
yang oleh saudara Rasjid Prawiranegara disebutkan sebagai salah satu dari anak
buah Sjafruddin Prawiranegara di Kuta Raja, maka hubungan Teungku Hasan
Muhammad di Tiro dengan Sjafruddin Prawiranegara tidak bisa dijadikan sebagai
dasar hukum yang menyatakan Acheh berada dibawah kekuasaan Pemerintah RI dengan
Sjafruddin Prawiranegara.
Nah, setelah dibaca, didalami, diteliti dan dianalisa secara lebih
terperinci berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan hukum diatas, maka gugurlah
pendapat yang disampaikan oleh saudara
Rasjid Prawiranegara diatas itu.
Selanjutnya sekarang, kalau saudara Rasjid Prawiranegara termasuk dalam
kemungkinan kedua, yaitu saudara Rasjid
Prawiranegara mengetahui jalur sejarah PDRI hubungannya dengan Acheh, RI dan
Konferensi Meja Bundar (KMB), tetapi diusahakannya untuk ditutupinya, guna
memberikan usaha melegalisasikan RI hubungannya dengan Acheh, maka dalam
keadaan ini, saudara Rasjid Prawiranegara adalah termasuk salah seorang yang
berusaha menutupi jalur sebenarnya mengenai sejarah pertumbuhan dan
perkembangan RI dihubungkan dengan Acheh, agar supaya pihak RI tetap terus bisa
menganeksasi Acheh kedalam RI dan memberikan gambaran palsu tentang Acheh
hubungannya dengan RI kepada bangsa dan rakyat Acheh serta rakyat yang ada di
RI.
Terakhir, diharapkan kepada saudara Rasjid Prawiranegara dan juga kepada
yang lainnya, apabila akan membongkar fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum
yang menyangkut Acheh hubungannya dengan RI, maka perlu digali, diteliti,
dibaca, dianalisa secara mendalam dari sejak sebelum munculnya RI sampai waktu
terjadinya pertumbuhan dan perkembangan RI sampai detik sekarang ini. Jadi,
tidak hanya sekedar mendasarkan kepada mitos yang dilambungkan dan ditampilkan
oleh Soekarno dan para penerusnya. Karena yang namanya mitos RI yang telah
dikembangkan dan dipropagandakan oleh Soekarno dan para penerusnya, akhirnya
akan hancur dan hilang juga. Sebagaimana contoh fakta, bukti, sejarah dan
hukum-nya yang telah diuraikan diatas.
Bagi
yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah
Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------