Stockholm, 1 September 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

APA PULA UU NO.11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACHEH YANG SUDAH DITOLAK RAKYAT ACHEH AKAN DISOSIALISASIKAN.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

ISI UU NO.11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACHEH YANG ISINYA BERTENTANGAN DENGAN MOU HELSINKI DAN TELAH DITOLAK OLEH SEBAGIAN BESAR RAKYAT ACHEH TIDAK PERLU DISOSIALISASIKAN SEBELUM DIREVISI.

 

Apa yang dilakukan dan dijalankan oleh pihak Departemen Dalam Negeri (Depdagri) di Banda Acheh mengenai kegiatan sosialisasi Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Acheh adalah suatu kegiatan politik yang telah menyimpang dan dipaksakan kepada seluruh rakyat Acheh. Mengapa ?

 

Karena sudah jelas bahwa sebagian besar rakyat Acheh telah menolak  Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Acheh karena isinya bertentangan dan tidak menjadikan MoU Helsinki sebagian acuan. Kalau Ahmad Sudirman membaca isi UU No.11/2006 tentang PA ini justru hampir 90% isi nya adalah bertentangan dan keluar dari MoU Helsinki. Silahkan baca kembali dalam tulisan ”90 % isi UU Pemerintahan Acheh made in DPR RI harus dibuang karena bertentangan dengan MoU Helsinki” ( http://www.dataphone.se/~ahmad/060719.htm )

 

Misalnya satu contoh saja dimana isi UU No.11/2006 tentang PA ini  yang seharusnya sudah dibuang bukan disosialisasikan kepada seluruh rakyat Acheh, karena isinya penuh racun mematikan. Mari kita kupas saja sebagaimana yang sudah dibahas dalam tulisan tersebut.

 

Nah, menurut MoU Helsinki dibuatnya Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh adalah karena adanya kesepakatan antara GAM dan Pemerintah RI. Jadi UU tentang Pemerintahan Acheh merupakan salah satu butir dari kesepakatan yang tertuang dalam MoU Helsinki. Adapun menurut hasil pemikiran para anggota Panitia khusus DPR RI yang membuat RUU tentang Pemerintahan Acheh tidak pernah ditulis satu patah-katapun tentang nama MoU Helsinki yang menjadi dasar hukum dibuatnya RUU tentang Pemerintahan Acheh. Nah disini, secara hukum langsung dan disengaja pihak Pansus DPR RI telah membuang MoU Helsinki.

 

Kemudian, akibat dari Pansus DPR RI membuang MoU Helsinki, maka kelihatan dalam isi “Menimbang”-nya apa yang telah disepakati dalam MoU yang menyangkut Self-Government telah dibuangnya digantikan dengan kata-kata ”mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”.

 

Nah, ternyata kata-kata tersebut merupakan referensi hukum daerah otonomi model UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) hasil amandemen. Padahal daerah otonomi Acheh model UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) tidak disepakati oleh pihak GAM dan Pemerintah RI dalam MoU Helsinki. Disini pihak Pansus DPR RI secara hukum dan sengaja telah menghancurkan hasil kesepakatan antara pihak GAM dan Pemerintah RI yang tertuang dalam MoU Helsinki yang menyangkut Self-Government.

 

Jadi, disini kelihatan pihak Pansus DPR RI membuat UU tentang Pemerintahan Acheh hanya sekedar membuat kopian dari “Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” Atau dengan kata lain pihak Pansus DPR RI mempertahankan status quo otonomi Acheh-nya.

 

Selanjutnya, kita terus teliti dan dalami dimana pihak Pansus DPR RI dalam isi “Menimbang”-nya mencantumkan kata-kata ”berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa”.

 

Nah, kalau diteliti secara sejarah dan hukum, maka kata-kata buatan Pansus DPR RI tersebut isinya merupakan suatu penipuan dan pembohongan. Mengapa ?

 

Karena tidak ada fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum yang kuat yang bisa dijadikan landasan dan argumentasi hukum bahwa Acheh merupakan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa” dalam tubuh RI.

 

Sedangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara 29 Nopember 1956 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103) adalah bukan dasar hukum yang menjadikan Acheh sebagai “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa”, melainkan UU tersebut sebagai alat yang dipaksakan oleh Soekarno dalam NKRI hasil leburan RIS (Republik Indonesia Serikat) 15 Agustus 1950.

 

Dimana wilayah Acheh yang bukan Negara Bagian RIS telah dianeksasi oleh Soekarno, pertama melalui Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi oleh Presiden RIS Soekarno yang membagi NKRI menjadi 10 daerah propinsi yaitu, 1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur, 4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera - Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan, 8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda - Kecil apabila RIS telah dilebur menjadi NKRI yang ditetapkan pada tanggal 14 Agustus 1950. Kedua oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang termasuk didalamnya wilayah daerah Acheh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3. Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara.

 

Jadi, berdasarkan dasar hukum diatas membuktikan bahwa apa yang dituliskan oleh pihak Pansus DPR RI dalam “Menimbang“-nya itu tidak lebih dan tidak kurang hanyalah suatu penipuan dan pembohongan yang terang-terangan terhadap bangsa dan rakyat Acheh. Mengapa ?

 

Karena memang sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara ditetapkan pada tanggal 29 Nopember 1956, maka itu wilayah Acheh adalah wilayah hasil caplokan yang ilegal yang berada dalam propinsi Sumatera Utara.

 

Kemudian, berdasarkan dasar hukum ini juga mengapa dalam UU tentang Pemerintahan Acheh buatan Pansus DPR RI ini tidak mencantumkan “Perbatasan Acheh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956“ sebagaimana yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.

 

Karena memang kalau dimasukkan butiran MoU Helsinki tentang perbatasan 1 Juli 1956 ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Mengapa ?

 

Karena UU Nomor 24 Tahun 1956 ini ditetapkan pada tanggal 29 Nopember 1956. Artinya, pada tanggal 1 Juli 1956, Acheh tidak bisa dikenakan hukum menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tersebut. Jadi, Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 masih merupakan wilayah caplokan ilegal yang ada dalam propinsi Sumatera Utara. Atau dengan kata lain Acheh hasil rampasan secara ilegal yang dilakukan oleh Soekarno dengan NKRI-nya hasil leburan RIS pada 15 Agustus 1950.

 

Seterusnya, pihak Pansus DPR RI dalam “Mengingat“-nya menuliskan ” Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“.

 

Nah, kalau diteliti dan dihubungkan dengan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki, maka pasal-pasal tersebut bukan merupakan referensi hukum dibentuknya Self-Government. Mengapa ?

 

Karena Self-Government di Acheh itu tidak ada referensi hukumnya, baik dalam UUD 1945 atau dalam semua UU yang berlaku di RI sekarang ini. Jadi, Self-Government di Acheh berdiri karena adanya MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Artinya, secara hukum Self-Government di Acheh berdiri diatas acuan hukum MoU Helsinki. Karena itu UU tentang Pemerintahan Acheh harus mengacu kepada MoU Helsinki yang merupakan dasar hukum dan referensi hukum berdirinya Self-Government di Acheh.

 

Nah, kalau pihak Pansus DPR RI dalam “Mengingat“-kan UU tentang Pemerintahan Acheh kepada pasal-pasal tersebut diatas, maka sama artinya dengan mempertahankan status quo otonomi daerah Acheh, bukan membangun Self-Government  yang telah disepakati oleh pihak GAM dan Pemerintah RI di Helsinki.

 

Seterusnya, karena dalam MoU Helsinki yang disepakati adalah Self-Government, bukan status quo otonomi khusus Acheh, maka terbaca dengan jelas dalam MoU Helsinki pernyataan bahwa:

 

Penyelenggaraan Pemerintahan di Acheh akan didasarkan pada prinsip bahwa Acheh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Kemudian persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Acheh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Acheh. Seterusnya keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Acheh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Acheh. Kemudian lagi kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Acheh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Acheh.

 

Nah, berdasarkan prinsip-prinsip tersebut diatas, Self-Government di Acheh dibangun dan dijalankan. Tetapi, ternyata pihak Pansus DPR RI telah merobahnya dan menghancurkan isi MoU Helsinki hasil kesepakatan GAM dan Pemerintah RI tersebut.

 

Seterusnya kita mencoba untuk meneliti lebih kedalam dengan mempertanyakan apakah benar yang disebut dengan provinsi oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI sebagaimana yang telah ditulis dalam tulisan “Membongkar UU Pemerintahan Acheh yang mengklaim Acheh sebagai provinsi dalam RI“ ( http://www.dataphone.se/~ahmad/060726.htm )

 

Masalah yang dituangkan oleh pihak Pansus DPR RI yang menetapkan UU tentang Pemerintahan Acheh pada tanggal 11 Juli 2006 yang masih perlu dipertanyakan kebenaran fakta, bukti dan dasar hukumnya diantaranya yaitu yang menyangkut masalah ”Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.”(BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 ayat 2)

 

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah memang benar menurut fakta, bukti dan dasar hukum sebagaimana yang dituangkan oleh pihak Pansus DPR RI bahwa Acheh adalah daerah provinsi?

 

Nah, untuk memberikan jawabannya perlu kita secara bersama-sama menggali kembali sejarah fakta, bukti dan dasar hukum dari sejak Soekarno dengan RI-nya mengklaim Acheh sebagai provinsi.

 

Benarkah pengklaiman Soekarno terhadap Acheh sebagai provinsi dalam RI kalau dilihat dari segi fakta, bukti dan dasar hukum? Dan apakah benar para pengikut Soekarno sekarang seperti Pansus DPR RI yang menuliskan dalam UU tentang Pemerintahan Acheh-nya menyebutkan bahwa Acheh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa?

 

Nah sekarang, mari kita kupas fakta, bukti dan sejarah serta dasar hukum yang dipakai oleh pihak Soekarno dan para penerusnya tersebut ketika mereka melakukan pengklaiman atas Acheh sebagai provinsi dalam RI.

 

Diawali dengan ketika pihak Soekarno cs memanipulasi hukum yang diberi nama Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM tertanggal 17 Desember 1949 dengan tujuan untuk mengklaim Acheh sebagai provinsi dalam RI.

 

Nah, sebagaimana yang telah ditulis dalam UU tentang Pemerintahan Acheh buatan Pansus DPR RI yang menyodorkan alasan bahwa Acheh adalah provinsi karena "sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103)".

 

Ternyata Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara yang dijadikan alasan oleh pihak Pansus DPR RI untuk mengklaim Acheh sebagai propinsi adalah sangat lemah dan rapuh sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

 

Juga alasan lainnya tyang disodorkan pihak pemerintah RI dan DPR RI adalah alasan yang diberi nama Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM tertanggal 17 Desember 1949 sebagaimana yang dituangkan dalam  "Memori penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara Tanggal 29 Nopember 1956"

 

Nah ternyata alasan yang diberi nama Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM setelah digali dan dipelajari, akhirnya diketemukan sesuatu bentuk penipuan besar-besaran tentang pengklaiman Acheh sebagai provinsi yang dilakukan oleh pemerintah RI dengan mengatasnamakan hukum yang isinya keropos, mengapa ?

 

Karena, apa yang digembar-gemborkan oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI dengan propaganda hukum yang berisikan untaian kata-kata:

 

"5.Telah dimaklumi bahwa rakyat Aceh sudah pernah menjalankan pemerintahan daerah otonom dalam tingkatan propinsi, yaitu ketika daerah Aceh dahulu dibentuk sebagai propinsi otonom pada tahun 1949 dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM. Seperti diketahui Propinsi Aceh tersebut telah dibubarkan pada waktu dibentuknya daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 tahun 1950 yang telah diubah dengan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1955 (Lembaran Negara tahun 1955 No.52), propinsi mana tidak saja meliputi daerah Aceh, tetapi juga Sumatera-Timur dan Tapanuli. 6. Propinsi Aceh yang dibentuk dengan Undang-undang ini meliputi Keresidenan Aceh dimaksud dalam Staatsblad 1934 No. 539 yang dalam kenyataannya dewasa ini telah terbagi-bagi dalam Kabupaten-kabupaten otonom, yaitu: 1. Kabupaten Aceh Besar, 2. Kabupaten Pidie, 3. Kabupaten Aceh Utara, 4. Kabupaten Aceh Timur, 5. Kabupaten Aceh Tengah, 6. Kabupaten Aceh Barat dan 7. Kabupaten Aceh Selatan. dimaksud dalam keputusan Gubernur Sumatera Utara dahulu tanggal 27 Januari 1949 No.5/GSO/OE/49, termasuk juga Kota Kutaraja dimaksud dalam Keputusan Gubernur Sumatera dahulu tertanggal 17 Mei 1946 No. 103, yang dengan Undang-undang Darurat telah dibentuk menjadi kota besar. Dengan terbentuknya kembali daerah otonom Propinsi Aceh ini maka wilayah daerah otonom Propinsi Sumatera Utara akan meliputi hanya wilayah keresidenan-keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur saja." (Memori penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara Tanggal 29 Nopember 1956).

 

Ternyata, Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM tertanggal 17 Desember 1949 yang menyatakan Acheh sebagai satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari Provinsi Sumatera Utara adalah suatu kepalsuan dan kebohongan belaka.

 

Nah, sebelum kita membuka dan membongkar Provinsi Sumatera Utara yang dicantumkan dalam Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah tersebut diatas, coba kita perhatikan dan telaah dulu secara mendalam yaitu dimana pada tanggal 17 Desember 1949 Negara RI secara de-facto memiliki wilayah kekuasaan sekitar Yogyakarta menurut hasil Perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang hasilnya ditandatangani oleh Perdana Mentri Mr. Amir Sjarifuddin dari Kabinet Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo pada tanggal 17 Januari 1948. Dimana sebagian isi perjanjian tersebut menyangkut gencatan senjata disepanjang garis Van Mook dan pembentukan daerah-daerah kosong militer. Sehingga terlihat secara de-jure dan de-facto kekuasaan RI hanya sekitar daerah Yogyakarta saja. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.155,163).

 

Jadi disini kelihatan dengan jelas dan gamblang, itu yang dinamakan Provinsi Sumatera Utara oleh pihak RI tidak termasuk wilayah kekuasaan secara de-facto Negara RI menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948.

 

Kemudian pada tanggal 14 Desember 1949 pihak RI masuk menjadi anggota Negara Bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan menandatangani Piagam Konstitusi RIS di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, yang ditandatangani oleh para utusan dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.243-244).

 

Nah sekarang, terlihat bahwa pada tanggal 17 Desember 1949 Wakil Perdana Menteri Negara RI yang telah menjadi Negara Bagian Republik Indonesia Serikat dan yang memiliki daerah wilayah kekuasaan secara de-facto di daerah Yogyakarta dan sekitarnya ternyata telah mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM yang menyatakan Acheh sebagai satu provinsi yang berdiri sendiri lepas dari Propinsi Sumatera Utara. Padahal Provinsi Sumatera Utara tidak termasuk wilayah kekuasaan secara de-facto Negara RI menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948.

 

Jadi disini, kelihatan pihak Pemerintah RI Negara Bagian RIS telah mengklaim dan sekaligus menyatakan bahwa Negeri Acheh keluar dari Provinsi Sumatera Utara. Padahal Negeri Acheh itu sendiri tidak termasuk daerah wilayah kekuasaan de-facto RI, begitu juga Provinsi Sumatera Utara.

 

Seterusnya, kita lihat Provinsi Sumatera Utara dan perhatikan Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 27 Januari 1949 mengeluarkan keputusan No.5/GSO/OE/49 yang menyatakan bahwa Keresidenan Acheh dimaksud dalam Staatsblad 1934 No. 539 yang dalam kenyataannya dewasa ini telah terbagi-bagi dalam Kabupaten-kabupaten otonom, yaitu:

1.Kabupaten Acheh Besar,

2.Kabupaten Pidie,

3.Kabupaten Acheh Utara,

4.Kabupaten Acheh Timur,

5.Kabupaten Acheh Tengah,

6.Kabupaten Acheh Barat dan

7.Kabupaten Acheh Selatan.

Juga Sumatera-Timur dan Tapanuli termasuk Provinsi Sumatera Utara. Ditambah Kota Kutaraja dimaksud dalam Keputusan Gubernur Sumatera tertanggal 17 Mei 1946 No.103, yang dengan Undang-undang Darurat telah dibentuk menjadi kota besar masuk kedalam Provinsi Sumatera Utara.

 

Nah, kalau diteliti secara mendalam pada tanggal 27 Januari 1949 Negara RI sudah lenyap dari sejak tanggal 19 Desember 1948 ketika pasukan Beel menggempur Yogyakarta, dimana Yogyakarta dan daerah sekitarnya jatuh, Soekarno dan Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Bangka. Dan yang muncul Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk oleh Sjafruddin Prawiranegara berdasarkan dasar hukum mandat yang dibuat dalam Sidang Kabinet RI yang masih sempat diajalankan sebelum Negara RI lenyap, dan sempat dikirimkan melalui radiogram kepada Sjafruddin Prawiranegara yang waktu itu berada di Sumatera.

 

Jadi, berdasarkan fakta, bukti dan dasar hukum diatas sudah bisa kelihatan bahwa Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 27 Januari 1949 mengeluarkan keputusan No.5/GSO/OE/49 yang menyatakan bahwa Keresidenan Acheh dimaksud dalam Staatsblad 1934 No.539 adalah benar-benar sangat rapuh dan tidak ada bukti hukumnya yang kuat. Mengapa ?

 

Karena pada tanggal 27 Januari 1949 Negara RI sudah hilang dan lenyap yang ada hanyalah bentuk Negara lain yang bernama Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Pemerintah dalam Pengasingan di Acheh yang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Belanda. Karena wilayah Acheh adalah wilayah yang bebas dan berdiri sendiri.

 

Selanjutnya kita perhatikan apa yang terjadi pada tanggal 24 Maret 1948 di Sumatera Timur, ternyata pada tanggal tersebut telah lahir dan berdiri Negara Sumatera Timur yang ber Ibu Kota Medan dengan Dr. Teungku Mansyur diangkat sebagai Wali Negara. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal. 176). Dan menjadi Negara bagian RIS. Dimana daerah Sumatera Timur telah diklaim oleh Gubernur Sumatera Utara masuk kedalam wilayah kekuasaan Propinsi Sumatera Utara.

 

Jadi disini kelihatan bahwa Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 27 Januari 1949 dengan keputusan No.5/GSO/OE/49 (dimana dalam kenyataannya Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 27 Januari 1949 tidak ada, karena RI telah hilang dan lenyap serta telah berdiri Negara Sumatera Timur sebelumnya) telah mengklaim Negeri Acheh yaitu 1.Kabupaten Acheh Besar, 2.Kabupaten Pidie, 3.Kabupaten Acheh Utara, 4.Kabupaten Acheh Timur, 5.Kabupaten Acheh Tengah, 6.Kabupaten Acheh Barat dan 7.Kabupaten Acheh Selatan masuk kedalam wilayah kekuasaan Sumatera Utara.

 

Nah disini kelihatan Sumatera Utara (yang sebenarnya tidak wujud karena telah berdiri Negara Sumatera Timur) mencaplok Acheh, kemudian Negara RI yang tidak menguasai secara de-facto Acheh justru mengeluarkan Acheh dari Sumetara Utara. Padahal Sumatera Utara tidak termasuk secara de-facto wilayah kekuasaan Negara RI menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948.

 

Seterusnya, apa yang terjadi, ternyata pihak Soekarno Cs, pada tanggal 14 Agustus 1950, satu hari sebelum RIS dilebur dan dibentuk NKRI, menetapkan Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Provinsi oleh Presiden RIS Soekarno yang membagi NKRI menjadi 10 daerah provinsi yaitu, 1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur, 4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera - Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan, 8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda - Kecil apabila RIS telah dilebur menjadi NKRI. Dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Sumatera-Utara, yang termasuk didalamnya wilayah daerah Acheh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3. Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7. Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera-Utara.

 

Nah sekarang, kelihatan jelas, pihak Soekarno cs yang pada waktu itu sebagai Presiden RIS telah secara terang-terangan dengan cara sepihak menganeksasi Acheh kedalam Provinsi Sumatera Utara ketika NKRI dibentuk diatas puing-puing Negara/Daerah bagian RIS.

 

Sekarang, dengan berdasarkan uraian diatas, kita sekarang sudah dapat memberikan jawaban atas pertanyaan diatas yaitu dasar dan alasan yang dipakai oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI dalam membuat UU tentang Pemerintahan Acheh yang menyangkut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara dan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM untuk mengklaim Acheh sebagai propinsi dalam RI adalah sangat rapuh dan keropos.

 

Jadi, berdasarkan fakta, bukti dan hukum diatas menggambarkan bahwa pihak pemerintah RI dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Panitia khusus RUU PA DPR RI telah secara terang-terangan melakukan penipuan, pembodohan, pengelabuan, pembohongan, pemalsuan dan pemaksaan terhadap seluruh rakyat Acheh melalui UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang isinya jelas-jelas 90% bertentangan dengan MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

 

Tidak ada gunanya itu  UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh disosialisasikan kalau isinya ngaco dan penuh penipuan serta racun mematikan terhadap seluruh rakyat Acheh.

 

Jadi harus direvisi dahulu isi itu  UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang bertentangan dengan MoU Helsinki, setelah itu baru disosialisasikan kepada rakyat Acheh. Karena kalau belum direvisi, itu UU No.11 tahun 2006 ini akan menjadi bumerang dan akan menjadi sumber penyebab gagalnya perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Juga tempat berdirinya Pemerintahan Acheh akan goyah, karena fondasinya tidak sesuai dengan apa yang telah tertuang dalam MoU Helsinki.

 

Bagi mereka yang sekarang sudah seperti cacing kepanasan untuk ikut terlibat dalam pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Pemerintah Acheh (bukan pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah seperti yang dipropagandakan oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI) harus menyadari bahwa UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh adalah UU yang keropos yang isinya bertentangan dan tidak sesuai dengan MoU Helsinki. Yang mana akibatnya akan menggoyahkan berdirinya Pemerintahan Acheh (Bukan daerah provinsi sebagaimana yang dipropagandakan oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI).

 

Terakhir, itu yang namanya Penjabat Gubernur NAD, Mustafa Abubakar, bekas ketua Panitia Khusus RUU-PA, Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR-RI asal Acheh, Farhan Hamid, Sekretaris Jenderal Depdagri, Progo Nurjaman, staf dari Depdagri dan Menko Polhukam serta sejumlah anggota DPR-RI lainya yang melakukan kegiatan sosialisasi Undang-undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh untuk Regional 1 yang digelar Satuan Kerja Sementara Badan Rehabilitasi dan Rekonstuksi-Pengembangan Otonomi Daerah Acheh-Nias dengan Depdagri yang berlangsung di Hotel Sultan Banda Acheh pada hari Selasa tanggal 29 Agustus 2006 adalah benar-benar mereka itu hanyalah penipu besar yang sedang memainkan tarian ronggeng jawa-nya dihadapan rakyat Acheh dengan lakon cerita UU No.11 tahun 2006 yang isinya penuh racun mematikan karena bertentangan dengan MoU Helsinki.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

 

 

Berita

Selasa, 29 Agustus 2006, 18:58 WIB

Sosialisasi UUPA Terkesan Asal-asalan

Aceh Jadi Model Otonomi

Reporter : M Isma

 

Banda Aceh, Acehkita.com, Kegiatan sosialisasi Undang-undang Pemerintahan Aceh yang digelar Departemen Dalam Negeri (Depdagri) di Banda Aceh terkesan asal-asalan. Soalnya acara tersebut digelar dalam sebuah ruang sempit.

 

Kegiatan Sosialisasi Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh untuk Regional 1 itu digelar Satuan Kerja Sementara Badan Rehabilitasi dan Rekonstuksi-Pengembangan Otonomi Daerah Aceh-Nias dengan Depdagri. Acara tersebut berlangsung di Hotel Sultan Banda Aceh, Selasa (29/8).

 

Acara itu dihadiri Penjabat Gubernur NAD, Mustafa Abubakar, Muspida dan seluruh kepala dinas dan kepada badan. Sedangkan nara sumbernya antara lain bekas ketua Panitia Khusus RUU-PA, Ferry Mursyidan Baldan, anggota DPR-RI asal Aceh, Farhan Hamid, staf dari Depdagri dan Menko Polhukam serta sejumlah anggota DPR-RI lainya.

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Depdagri, Progo Nurjaman ketika membuka acara tersebut sempat menyindir melihat ruangan tempat sosialisasi itu. Dia bilang, "Ketika masuk ke ruangan ini, saya langsung berpikir apa tidak ada ruangan yang lebih kecil lagi."  Gerai tawa dari para peserta sosialisasi pun membuncah.

 

"Mudah-mudahan dengan kondisi seperti ini, para peserta sosialisasi akan lebih akrab, karena duduknya rapat-rapat. Inikan silaturrahmi kita semakin dekat," timpalnya.

 

Penjabat Gubernur Aceh, Mustafa Abubakar yang ditanya wartawan juga menyayangkan sikap panitia. Apalagi yang hadir pada pertemuan tersebut adalah petinggi-petinggi negara dan pejabat-pejabat daerah.

 

Kepala Biro Hukum dan Humas Prov NAD, Hamid Zein mengatakan Pemda sudah menawarkan untuk memanfaatkan ruangan serbaguna di Kantor Gubernur atau di gedung pertemuan Anjong Mon Mata, namun mereka menolak.

 

Alasan penolakan karena menyangkut dengan pertanggungjawaban keuangan. "Jadi, semuanya sudah dianggarkan semua acaranya berlangsung di hotel," sebut dia.

 

Aceh Jadi Model

 

Saat membuka acara itu, Nurjaman mengatakan pengimplementasian UU-PA di Nanggroe Aceh Darussalam, diharapkan menjadi model untuk membangun otonomi seluas-luasnya di Indonesia. Terbuka peluang bagi daerah lain untuk meniru Aceh.

 

"Aceh sekarang menjadi daerah model yang nantinya bisa ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya," katanya.

 

Menurut dia, Aceh sudah tidak relevan lagi dengan julukan daerah "modal", karena kekayaan hasil bumi dikeruk ke pusat. Akan tetapi Aceh sekarang pantas dijuluki sebagai daerah model yang akan menjadi contoh bagi daerah lain dalam menangani dan menguasai hasil bumi di masing-masing provinsi.

 

Oleh karena itu, dia mengharapkan dengan adanya UUPA, Aceh bisa berubah dan hasil kekayaan yang ada di daerah ini bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Forum tersebut akan dibicarakan secara detail masalah kewenangan, keuangan, tanah, Mahkamah Syr'iyah, dan Pembentukan partai lokal, serta Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

 

Sementara itu, Gubernur Mustafa Abubakar menyebutkan, sosialisasi UU-PA baru taraf pemahaman dan pemantapan di tingkat provinsi yang diselenggarakan oleh Depdagri dan Pansus. "Kita harapkan sosialisasi hari ini merupakan pemantapan terakhir. Sesudah itu dari multi instansi akan bergerak ke kabupten/kota. Jadi, persiapan Pilkada dan sosialisasi UU-PA akan dilaksanakan secara serentak,” ungkap dia. [mis

 

http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1186

----------