Stockholm, 23 September 2006.

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

ORANG YANG IKUT-IKUTAN MEMUKUL GAM DENGAN MEMAKAI SAPU LIDI MERK XENOFOBI.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

SEDIKIT MENGUPAS ORANG YANG IKUT-IKUTAN MEMUKUL GAM DENGAN MEMAKAI SAPU LIDI MERK XENOFOBI YANG DIBUAT DI DENMARK.

 

“Yang berlaku di luar negeri ialah: pemimpin GAM menempatkan Ahmad Sudirman sebagai "anjing Boldok", yang memasok umpan "anjing Boldok" ini ialah bpk. Muzakkir Hamid (keponakan bpk Zaini Abdullah). "Anjing Boldok" milik bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah ini diberi tugas menggonggong dan menyalak, bahkan jika perlu menggit semua orang atau bayang-bayang yang melintas di depannya untuk melindungi Tuan-nya yang tengah nadak dengan sindrom Xenofobi. Ada petugas volunteer (bpk Husaini Daud dan bpk. Razali Abdullah), yang setia mengelus-ngelus bulunya agar tak berkutu dan memandikannya, agar suara gonggongan "anjing Boldok" tetap bergema dan merdu.” (Ria Ananda, bayna9@yahoo.com , Date: 22 september 2006 12:47:34)

 

Nah, sebulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2006 saudara Ria Ananda dengan memakai kedok “pemerhati tentang konflik” yang tinggal disekitar Silkeborg, Arhus, Denmark telah melambungkan hasil pemikirannya tentang GAM yang isinya penuh pikiran yang bersifat subjektif, sehingga tidak melahirkan hasil pemikiran yang objektif yang dibungkus dengan bungkusan yang diberi label “GAM Political Negaholic”. Dimana dapat dibaca dalam tulisan “Mereka yang menganalisa politik GAM dari ranting-nya dengan memakai ilmu negaholic” ( http://www.dataphone.se/~ahmad/060821.htm ).

 

Begitu juga kemaren, Jumat, tanggal 22 September 2006, saudara saudara Ria Ananda yang kali ini memakai kedok ”pemerhati di kawasan konfik” dan tinggal masih disekitar daerah Silkeborg, Arhus, Denmark mencoba ikut-ikutan memanaskan suhu udara Denmark yang sudah masuk musim gugur dengan melalui cara memecutkan sapu lidi yang bermerk “xenofobi” dengan dibalut memakai tali “GAM Xenofobi” hasil olahan pikirannya yang masih belum sampai ketingkat apa yang dinamakan “pemerhati” keatas tubuh GAM yang masih tetap kuat.

 

Mengapa Ahmad Sudirman menyatakan bahwa saudara Ria Ananda dalam pemikirannya masih belum sampai ketingkat ”pemerhati”?

 

Karena isi hasil kumpulan pemikiran saudara Ria Ananda masih penuh dengan kumpulan asap hasil hembusan subjektifitasnya saja, bukan berisikan butiran-butiran pkiran yang objektif. Misalnya satu contoh ringan saja, saudara Ria Ananda menulis bahwa ”pemimpin GAM menempatkan Ahmad Sudirman sebagai "anjing Boldok", yang memasok umpan "anjing Boldok" ini ialah bpk. Muzakkir Hamid (keponakan bpk Zaini Abdullah).”.

 

Kalau diteliti sedikit lebih kedalam dari apa yang ditulis oleh saudara Ria Ananda tersebut diatas, maka akan ditemukan dengan mudah bahwa saudara Ria Ananda memang tidak mengerti dan tidak mengetahui sejauh mana hubungan antara pihak pimpinan GAM baik dilihat secara organisatoris ataupun dilihat dari sudut pribadi dengan pihak Ahmad Sudirman dalam hal perjuangan GAM.

 

Nah, kalau Ahmad Sudirman menyatakan sebagai seorang pendukung dan penyokong perjuangan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro, maka itu artinya dilihat secara politis dan hukum bahwa status Ahmad Sudirman dihubungkan dengan GAM adalah tidak sama dengan status politik dan hukum "anjing Boldok" seperti yang dinyatakan oleh saudara Ria Ananda.

 

Jadi dengan saudara Ria Ananda menyimpulkan bawa Ahmad Sudirman dihubungkan dengan GAM yaitu ”pemimpin GAM menempatkan Ahmad Sudirman sebagai "anjing Boldok", yang memasok umpan "anjing Boldok" ini ialah bpk. Muzakkir Hamid” menunjukkan saudara Ria Ananda tidak mengerti dan tidak memahami sejauh mana hubungan secara politis dan hukum antara GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro dengan pihak Ahmad Sudirman.

 

Karena itu saran Ahmad Sudirman kepada saudara Ria Ananda kalau saudara ingin benar menyatakan diri sendiri sebagai ”pemerhati di kawasan konfik”, maka saudara harus mengerti dan memahami fenomena yang ada di kawasan konflik itu sendiri dan para pelakunya, bukan hanya menyuruk saja disekitar Silkeborg, Arhus, Denmark.

 

Selanjutnya, saudara Ria Ananda menyatakan bahwa ”Xenofobi berarti sindrom kekhawatiran atau ketakutan seseorang atau suatu kelompok (organisasi) terhadap tidak pastian (tidak menentunya) masa depan, hilangnya tanah air dan status kewarganegaraan. Sindrom Xenofobi ini tengah melanda pimpinnan GAM (Malik Mahmud & Zaini Abdullah) beserta pengikutnya yang masih saja ngeluyur di luar negeri (Swedia, North Jyland Denmark, Stavanger Norwegia, USA, Canada, Malaysia, New zaeland, Australia, Belanda dan German).”

 

Nah, dengan saudara Ria Ananda menampilkan pecut yang bermerk “GAM Xenofobi” dengan tali tafsirannya untuk dipakai memecut pimpinan GAM menunjukkan bahwa saudara Ria Ananda memang tidak mengerti dan tidak memahami tentang misi dan visi perjuangan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Dimana visi perjuangan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang dirangkumkan dalam sikap dan langkah perjuangan untuk penentuan nasib sendiri, ternyata ditafsirkan oleh saudara Ria Ananda sebagai bentuk  “xenofobi” yang diambil dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata, xenos dan fobi, yang diartikan rasa takut pada orang asing. Nah, kalau pengertian xenofobi dikenakan kepada orang-orang di Denmark tempat saudara Ria Ananda hidup dan tinggal sekarang, maka akan lahirlah istilah permusuhan kepada orang asing, misalnya anti orang asing yang tinggal di Denmark, seperti saudara Ria Ananda. Dimana tetangga saudara Ria Ananda yang orang Denmark merasa benci dan marah kepada saudara Ria Ananda karena saudara Ria adalah orang asing yang tinggal menyuruk disekitar daerah Silkeborg, Arhus, Denmark.

 

Jadi, dengan berdasarkan apa yang diterangkan diatas tentang  xenofobi, maka sudah bisa diambil garis lurus bahwa apa yang ditafsirkan oleh saudara Ria Ananda tentang xenofobi itu yang dikenakan kepada pimpinan GAM yang memiliki “kekhawatiran atau ketakutan terhadap tidak pastian (tidak menentunya) masa depan, hilangnya tanah air dan status kewarganegaraan” adalah penafsiran yang tidak memiliki fakta dan bukti pengetahuan yang kuat.

 

Tetapi kalau istilah xenofobi GAM ditafsirkan dengan sikap dan tindakan pimpinan GAM yang kuat dan menentang terhadap sikap tindakan pihak pemerintah RI yang telah menganeksasi Acheh kedalam wilayah RI dengan cara ilegal, maka sikap dan tindakan pimpinan GAM yang menentang orang atau pihak asing di Acheh adalah cocok dan benar serta sesuai dengan pengertian xenofobi yang berasal dari dua kata bahasa Yunani itu. Atau dengan kata lain rakyat asli Denmark menentang keras kepada orang asing yang tinggal di Denmark, misalnya seperti saudara Ria Ananda hal itu disebabkan oleh rasa takut terhadap orang asing yang datang dan tinggal di Denmark. Sikap xenofobi inilah yang salah satunya merupakan faktor yang melahirkan rasisme di Denmark.

 

Jadi, dalam hal xenofobi inipun saudara Ria Ananda harus banyak lagi belajar, terutama dalam hal pengertian istilah xenofobi dan penafsirannya, agar supaya tidak sekedar menafsirkan kekiri dan kekanan saja tanpa adanya isi kekuatan penunjang pengetahuan yang kuat.

 

Selanjutnya, saudara Ria Ananda menyinggung ”Kendati MoU Helsinki membolehkan mereka pulang ke Aceh –kembali kepada pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia (NKRI) – mereka tetap takut pulang untuk hidup kembali seperti semua, karena tidak memiliki kualitas intelektual dan pengalaman dalam gelanggang politik dan perniagaan di Indonesia. Dalam bidang politik, bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah tidak berani pulang untuk tampil bertanding dalam Pilkada Aceh desember 2006 tahun ini, kendati obsesi menjadi pemimpin Aceh tetap bergelora dan belum ada anggota GAM luar negeri (warganegara asing) yang nyata-nyata melepaskan status kewarganegaraan asingnya.”

 

Nah, dari apa yang dilambungkan oleh saudara Ria Ananda diatas itu menunjukkan bahwa pertama, saudara Ria Ananda tidak mengerti dan tidak memahami tentang MoU Helsinki dan yang kedua, saudara Ria Ananda tidak mengerti dan tidak memahami apa yang menjadi isi dari UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahah Acheh buatan Pansus DPR RI.

 

Karena saudara Ria Ananda tidak mengerti dan tidak memahami tentang MoU Helsinki yang dihubungkan dengan isi UU No.11 tahun 2006 maka dianggap bahwa pasca penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 adalah pihak GAM sudah melebur dan bubar sehingga harus tampil dalam istilah ”pilkada” model UU No.11 tahun 2006 buatan Pansus DPR RI, sehingga ketika pimpinan tinggi GAM tidak maju dalam ”pilkada” dianggap sebagai sikap dan tindakan ”tidak berani pulang untuk tampil bertanding dalam Pilkada Aceh desember 2006 tahun ini”. Padahal kalau saudara Ria Ananda mengerti dan memahami bahwa sebenarnya payung hukum UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh buatan Pansus DPR RI adalah sebagian besar pasal-pasalnya bertentangan dengan MoU Helsinki. Karena itu sampai detik sekarang, sebelum UU No.11 tahun 2006 direvisi, maka pihak pimpinan Tinggi GAM tetap menolak UU No.11 tahun 2006 tersebut. Jadi, kalau saudara Ria Ananda menyatakan bahwa pimpinan tinggi GAM ”tidak berani pulang untuk tampil bertanding dalam Pilkada Aceh desember 2006 tahun ini” benar-benar menunjukkan bahwa saudara Ria Ananda sudah terobsesi dengan isi UU No.11 tahun 2006 buatan Pansus DPR RI tersebut. Atau dengan kata lain saudara Ria Ananda memang tidak mengerti dan tidak memahami MoU Helsinki dihubungkan dengan UU NO.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh buatan Pansus DPR RI.

 

Kemudian, saudara Ria Ananda menyatakan juga bahwa ”Yusuf+SBY tengah menghambur uang kepada anggota GAM, terutama kepada bekas panglima. Lihat saja, kator KPA seluruh Aceh ternyata disewa oleh Pemda masing-masing. Bpk T. Kamaruzzaman (resmi dalam kabinet Kuntor) dan bpk. Muzakkir Manaf, bpk. Zakarya Saman, bpk. Bazaruddin, bpk. Adi Laweuëng,  dll lagi, kendati tidak resmi masuk dalam kabinet Kuntoro, tapi mereka diperkerjakan sebagai ”ACEH KONTRAK (AKON)” yang tunduk dibawah ketiak Kontoro sampai tahun 2009.”

 

Nah, disini kelihatan bahwa saudara Ria Ananda yang menyebut dirinya sebagai ”Pemerhati di kawasan konfik” ternyata memang tidak memahami isi perjanjian damai yang dituangkan dalam MoU Helsinki. Dimana bukan Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menghamburkan uang kepada anggota GAM, melainkan antara pihak GAM dan pemerintah RI ada kesepakatan hukum yang tertulis dalam MoU Helsinki bahwa akan diberikan hak-hak ekonomi bagi orang-orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya. Juga akan diberikan kemudahan ekonomi bagi anggota TNA (Tentara Negara Acheh) yang sekarang telah berobah status menjadi KPA. Begitu juga akan diberikan dana yang memadai untuk kompensasi bagi semua anggota TNA (sekarang KPA), tahanan politik dan rakyat sipil yang terkena dampak konflik Acheh melalui Pemerintah Acheh.

 

Jadi dengan adanya kesepakatan hukum dan politik serta ekonomi antara pihak GAM dan pemerintah RI tersebut diatas yang dituangkan dalam MoU Helsinki, maka isi kesepakatan tersebut bukan merupakan suatu usaha ”Yusuf+SBY tengah menghambur uang kepada anggota GAM, terutama kepada bekas panglima” seperti yang dikemukakan oleh saudara Ria Ananda.

 

Karena itu saran Ahmad Sudirman kepada saudara Ria Ananda kalau saudara mau memakai label sebagai ”Pemerhati di kawasan konfik” Acheh, maka saudara Ria Ananda harus mengerti dan memahami MoU Helsinki terlebih dahulu, sebelum menggoreskan atau mengetikkan hasil pikiran saudara diatas keyboard.

 

Seterusnya, perjuangan GAM tidak sama dengan apa yang diperjuangkan oleh Dalay Lama di Tibet dengan China-nya. Dari kedua pergerakan masing-masing memiliki jalur sejarah, politik dan hukum yang berbeda. Jadi, tidak tepat kalau saudara Ria Ananda menyuruh kepada pimpinan tinggi GAM untuk meniru dan berguru kepada Dalay Lama dalam hal perjuangan GAM.

 

Oleh sebab itu saran Ahmad Sudirman kepada saudara Ria Ananda dalam hal perjuangan GAM adalah saudara Ria perlu menggali, mengerti dan memahami visi dan misi perjuangan GAM yang dipimpinan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro sebelum saudara Ria Ananda menampilkan pikiran tentang perjuangan GAM.

 

Selanjutnya, karena hasil kesepakatan yang dituangkan MoU Helsinki masih dalam proses pelaksanaan dilapangan dan masih banyak yang belum dijalankan oleh pihak pemerintah RI, maka sudah barang tentu dari pihak GAM tidak begitu saja mempercayai apa yang ada dan sedang dijalankan oleh pihak pemerintah RI di Acheh.

 

Jadi, kalau masih ada dari pihak GAM yang belum masuk Acheh itu bukan berarti bahwa mereka takut pulang ke Acheh, melainkan masih melihat dan memperhatikan sejauh mana kebenaran dan ketulusan dari pihak pemerintah RI dalam menjalankan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki itu. Begitu juga soal mengapa pimpinan GAM tidak berganti kewarganegaraan mereka, hal ini disebabkan karena MoU Helsinki itu bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sebagai alat dalam rangka unsaha mencapai dan melaksanakan visi dan misi perjuangan GAM. Soal MoU Helsinki tidak ada sangkut pautnya dengan masalah pergantian kewarganegaraan bagi pimpinan GAM. Selama isi MoU Helsinki masih banyak yang ditentang dan dihilangkan oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI, maka selama itu makin kelihatan pihak pemerintah RI tidak tulus dan jujur dalam menjalankan isi MoU Helsinki yang telah disepakati oleh pihak GAM da pemerintah RI. Jadi, kalau pihak pimpinan GAM tidak melepaskan kewarganegaraan dan pihak GAM lainnya tidak masuk ke Acheh, itu semuanya adalah bukan disebabkan oleh adanya ”sindrom xinofobi” seperti yang ditulis oleh saudara Ria Ananda. Melainkan karena MoU Helsinki masih belum dijalankan dan dilaksanakan secara konsekuen oleh pihak pemerintah RI dan DPR RI.

 

Kemudian, adanya anggapan dari saudara Ria Ananda bahwa ”Bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah sangat khawatir dan takut kalau masa depan karier politiknya hancur-luluh hanya disebabkan tidak terpilih menjadi Gub+Wa Gub Aceh dalam Pilkada. Keduanya ragu-ragu dan tak yakin akan dipilih oleh orang Aceh. Keduanya, siang-malam dihantui oleh bayangan ketidak pastian karier masa depan politiknya. Diramalkan, masa depan politik bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah akan tamat (undoing) sampai disini.”

 

Nah, dari apa yang dianggapkan oleh saudara Ria Ananda diatas membuktikan bahwa saudara Ria Ananda masih banyak melibatkan subjektifitasnya dalam menampilkan hasil tulisannya itu. Sehingga kelihatan sangat dangkal dan sangat tidak memiliki muatan isi yang objektif dalam kupasannya itu. Mengapa ?

 

Karena, perjuangan GAM dengan dintandatanganinya MoU Helsinki untuk perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak bukan dipakai alat oleh pimpinan tinggi GAM untuk mencari keududukan kursi Kepala dan Wakil Kepala Pemerintah Acheh, melainkan MoU Helsinki itu adalah hanya merupakan alat dalam usaha GAM menjalankan visi dan misi perjuangannya. Disamping MoU Helsinki adalah merupakan barometer untuk melihat sejauh mana keseriusan dan kesungguhan serta kejujuran pihak pemerintah RI dan DPR RI untuk menjalankan dan membangun perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak di Acheh.

 

Seterusnya soal kebijaksanaan politik dan hukum yang dijalankan oleh pihak pimpinan tinggi GAM dalam hal penyokongan politik kepada pihak Hasbi Abdullah dan  Humam Hamid adalah sesuai dengan fungsi, tugas dan status pimpinan GAM yang mendapat kepercayaan politik dan hukum yang penuh dari pimpinan tertinggi GAM Teungku Hasan Muhammad di Tiro dan sesuai dengan MoU Helsinki. Justru yang ditentang berdasarkan sudut pandang politik dan hukum GAM adalah mereka, seperti saudara Irwandi Yusuf, saudara Sofyan Dawood dan saudara Munawarliza Zein yang telah mempergunakan KPA dan tempat kedudukan KPA untuk dipakai sebagai tindakan politik menentang pimpinan tinggi dan pimpinan tertinggi GAM Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Dimana tindakan politik dan hukum mereka itu adalah merupakan tindakan politik pembangkangan dan perebutan kekuasaan dari pimpinan tinggi GAM dan pimpinan tertinggi GAM Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

 

Selanjutnya, saudara Ria Ananda menyatakan bahwa ”di Aceh, bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah sudah kehilangan kepercayaan dari mayoritas anggota GAM, kantor KPA seluruh Aceh sudah diségél (dibekukan) oleh penguasa Indonesia, tinggal kantor KPA di Banda Aceh, itupun sudah di coup’s  oleh kelompok muda yang inginkan reformasi (anti Malik Mahmud & Zaini Abdullah).”

 

Nah, dengan adanya tuduhan bahwa pihak pemerintah RI menyegel atau membekukan kantor KPA seluruh Acheh menunjukkan bahwa bagaimana sebenarnya pihak pemerintah RI telah menjalankan kebijaksanaan politik yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki dengan cara tidak konsekuen dan tidak jujur serta penuh kelicikan.

 

GAM dan KPA tidak bisa dibubarkan oleh pemerintah RI dan tidak ada dasar hukumnya yang bisa dijadikan tempat pegangan hukum untuk membubarkan GAM dan KPA. Karena itu adalah suatu tindakan yang melanggar kesepakatan yang dituangkan MoU Helsinki apabila pihak pemerintah RI menyegel atau membekukan kantor KPA seluruh Acheh. Nah, kalau pihak pemerintah RI memang melakukan penyegelan atau pembekuan kantor KPA seluruh Acheh, maka itu merupakan suatu deklarasi pengrusakan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat di Acheh yang juga sekaligus merobek-robek isi perjanjian MoU Helsinki yang akhirnya konflik baru akan timbul kembali di Acheh.

 

Selanjutnya, GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro masih tetap wujud, tidak terhalang oleh adanya MoU Helsinki. Tidak ada kesepakatan yang dituangkan dalam MoU Helsinki bahwa pusat GAM di luar negeri ditutup setelah MoU Helsinki ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Teungku Hasan Muhammad di Tiro dengan Stafnya masih terus memimpin GAM di luar Negeri. Pimpinan tinggi GAM dan pimpinan tertinggi GAM Teungku Hasan Muhammad di Tiro tetap menjalankan visi dan misi perjuangan GAM dan melihat serta memperhatikan sejauh mana pihak pemerintah RI konsekuen menjalankan dan melaksanakan isi MoU Helsinki di Acheh. Perjuangan GAM masih jauh, MoU Helsinki adalah hanya sebagai salah satu alat untuk menjalankan visi dan misi perjuangan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

 

Jadi, dengan masih adanya GAM dibawah komando pimpinan tertinggi GAM Tengku Hasan Muhammad di Tiro dan Stafnya, maka itu bukan berarti bahwa ”sindrom Xenofobi yang diderita Bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah sukar disembuhkan, kecuali masuk Camp Consentration pemulihan mental dan jiwa untuk membangun kembali rasa percaya diri”, seperti yang ditulis oleh saudara Ria Ananda.

 

GAM tetap berjalan dan GAM tidak bisa dibubarkan oleh siapapun. Pimpinan tinggi GAM masih terus berjalan menjalankan roda kebijaksanaan politik dan hukumnya. Pimpinan tinggi GAM terus melakukan usaha politik dan hukumnya yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. GAM tetap konsekuen dengan apa yang telah disepakati dalam MoU Helsinki. Sekarang tinggal melihat dan memperhatikan sejauh mana kekonsekuenan dan kejujuran dari pihak pemerintah RI dalam menepati kesepakatan yang dituangkan dalam MoU Helsinki.

 

Seterusnya lagi  saudara Ria Ananda menulis bahwa ”selebihnya, anggota GAM luar negeri disérét oleh bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah untuk memenangkan pasangan ini. Hebat kan? Sayangnya, rata-rata  tingkat pendidikian anggota GAM di luar negeri (khususnya di Malaysia, Swedia, Stavanger Norwegia, North Jyland Denmark (Eropah), USA, Canada, New Zealand dan Australia hanya tamat SD dan berasal dari kalangan pharia Aceh (keluarga kelas bawah dan terbelakang). Anggota GAM yang bodoh-bodoh ini menjadi makanan empuk bpk Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah. Di luar negeri mereka sudah terbiasa dengan pola pikir (menerima uang santunan dari negara).”

 

Nah, disini kelihatan saudara Ria Ananda menampilkan kesempitan cara berpikirnya dalam memandang dan menilai rakyat Acheh yang ada di luar negeri. Dimana saudara Ria Ananda tidak mengerti dan tidak memahami bagi setiap orang Acheh yang ada di luar negeri dan telah mendapat perlakuan hukum yang sama di setiap negara tempat orang Acheh itu hidup dan tinggal, maka orang tersebut telah mendapatkan pengalaman baru yang lebih berharga dari pengalamannya yang dulu, baik dilihat dari sudut pengalaman hidup dan dari sudut pengalaman pendidikannya. Karena itu adanya tingkat pendidikan formil yang dimiliki orang Acheh sebelumnya tidak menjadi dasar alasan kuat untuk dijadikan sebagai alasan penyebutan orang Acheh tersebut bodoh dan menjadi makanan empuk, sebagaimana yang ditulis oleh saudara RIA Ananda, melainkan pengalaman baru orang Acheh di negeri luar adalah merupakan  pengetahuan baru dan sekaligus merupakan peningkatan kemampuan baru yang jauh berbeda dengan apa yang dimiliki sebelumnya. Artinya, orang Acheh yang tamatan SD setelah berada di luar negeri dan mendapat pengakuan hukum yang sama serta mendapat pengalaman baru baik melalui pendidikan keakhlian baru atau pendidikan formal lainnya di negera yang ditinggalinya, maka orang Acheh tersebut telah menjadi orang baru dengan tingkat pengetahuan yang baru dan isi pengalaman yang baru yang sangat berharga bagi perjuangan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro.

 

Jadi, kalau saudara Ria Ananda menyatakan bahwa ”Anggota GAM yang bodoh-bodoh ini menjadi makanan empuk bpk Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah” adalah pernyataan tersebut tanpa didasari oleh dasar pengetahuan yang kuat dan luas. Pernyataan saudara Ria Ananda adala hanya sekedar hasil dari pelampiasan dorongan emosinya yang besar tetapi dengan hasil olahan pikirannya yang terbatas saja.

 

Terakhir, saudara Ria Ananda menuliskan bahwa ”untuk menunjang pendapatan, mereka kerja overtime malam-malam mencetak baby, semakin banyak anak semakin terbantu perekonomiannya, mereka berharap uang masuk dari tunjangan anak-anak mereka; daripada kalau pulang ke Aceh harus bertani, mengayun roti cané dan mengocok martabak, berdagang ganja dan kuli bangunan. Inilah yang menghantui, hingga mereka bertahan di luar negeri, meskipun pemimpin GAM (bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah C.s) telah menandatangani MoU Helsinki yang membolehkan pulang ke Aceh, namun mereka tetap saja bertahan di luar negeri.”

 

Nah, inilah pandangan dan hasil pikiran saudara Ria Ananda yang menyebutkan dirinya sebagai ”pemerhati di kawasan konfik” adalah benar-benar tanpa adanya dasar kekuatan pengetahuan yang disertai fakta dan bukti yang kuat. Mengapa ?

 

Karena lahirnya anak dalam keluarga bukan untuk menunjang pendapatan, melainkan lahirnya anak karena hasil hidup bersama dalam keluarga. Adapun tunjangan anak yang diberikan, misalnya oleh pemerintah Denmark, adalah itu merupakan suatu sistem politik tentang keluarga yang telah digariskan oleh Parlemen Denmark yang dijalankan leh pemerintah Denmark, yaitu keluarga yang mempunyai anak sampai usia 18 tahun akan mendapat tunjangan anak. Jadi, tujuan diciptakannya undang-undang tentang tunjangan anak di Denmark adalah bukan untuk memberikan semangat kepada keluarga untuk melahirkan banyak anak, melainkan untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga yang memiliki anak. Adapun kalau ada tuduhan bahwa keluarga orang Acheh melahirkan sebanyak-banyaknya anak karena untuk mendapatkan tunjangan anak, maka pandangan yang bersipat tuduhan itu masih perlu mendapatkan pembuktian fakta dan bukti pengetahuan yang kuat melalui penelitian yang dapat dipercaya secara metode ilmu ilmiah. Sedangkan alasan yang disampaikan oleh saudara Ria Ananda bahwa ”sebab menderita sindrom Xenofobi yang khawatir dan takut kalau-kalau masa depan mereka tidak menentu di Aceh dibawah bendera self-government. Penantian yang tak berujung ini sangat menggelisahkan dan mempengaruhi jiwa mereka. Mengaku atau tidak mengaku, anda adalah pederita sindrom Xenofobi”, maka alasan saudara Ria Ananda ini adalah sangat jauh dan bertentangan dengan kebijaksanaan politik tentang keluarga yang ada di negara-negara Skandinavia dan sekaligus juga pemakaian istilah xenofobi yang dikenakan pada orang Acheh yang ada di luar negeri dengan kekhawatiran dan takut masa depan tidak menentu di Acheh adalah hanya sebagai sebuah uangkapan subjektifitas saudara Ria Ananda yang disangkanya bisa dijadikan sebagai alat pemukul GAM agar supaya GAM menjadi lumpuh.

 

Saran Ahmad Sudirman kepada saudara Ria Ananda adalah coba belajar lebih banyak tentang masalah-masalah yang menyangkut istilah seperti xenofobi dan istilah negaholic serta istilah lainnya yang ada hubungannya dengan visi dan misi perjuangan GAM dibawah pimpinan Teungku Hasan Muhammad di Tiro dan Stafnya serta dikaitkan dengan MoU Helsinki, UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh dan penganeksasian Acheh kedalam RI, agar supaya saudara Ria Ananda tidak melantur kekanan dan kekiri ketika memberikan tanggapan.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------

 

From: Ria Ananda bayna9@yahoo.com

Date: 22 september 2006 12:47:34

To: PPDI@yahoogroups.com, acsa@yahoogroups.com, lantak@yahoogroups.com, redaksi@acehkita.com

Subject: «PPDi» "GAM Xenofobi"

 

"GAM XENOFOBI"

 

Xenofobi berarti sindrom kekhawatiran atau ketakutan seseorang atau suatu kelompok (organisasi) terhadap tidak pastian (tidak menentunya) masa depan, hilangnya tanah air dan status kewarganegaraan. Sindrom Xenofobi ini tengah melanda pimpinnan GAM (Malik Mahmud & Zaini Abdullah) beserta pengikutnya yang masih saja ngeluyur di luar negeri (Swedia, North Jyland Denmark, Stavanger Norwegia, USA, Canada, Malaysia, New zaeland, Australia, Belanda dan German). Mereka diterima sebagai pelarian politik di luar negeri, karena terlibat dalam gerakan kemerdekaan, yang terpaksa minggat dari Aceh. Setelah tinggal bertahun-tahun di luar negeri, sebagian sudah memperoleh status warganegara asing, sebagiannya masih memegang pasport Geneve Convention 1951. Sekarang, mereka tengah dilanda sindrom xenofobi yang khawatir dan takut akan kehilangan masa depan dan tanah air disebabkan tidak menentunya masa depan politik Aceh fasca penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Kendati MoU Helsinki membolehkan mereka pulang ke Aceh –kembali kepada pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia (NKRI) – mereka  tetap takut pulang untuk hidup kembali seperti semua, karena tidak memiliki kualitas intelektual dan pengalaman dalam gelanggang politik dan perniagaan di Indonesia. Dalam bidang politik, bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah tidak berani pulang untuk tampil bertanding dalam Pilkada Aceh desember 2006 tahun ini, kendati obsesi menjadi pemimpin Aceh tetap bergelora dan belum ada anggota GAM luar negeri (warganegara asing) yang nyata-nyata melepaskan status kewarganegaraan asingnya. Dalam bidang perniagaan misalnya, pemimpin dan bekas panglima-panglima GAM terpaksa menyusu kepada téték Yusuf Kalla dan SBY –syukur téték Megawati- selamat tak disedot.  Yusuf+SBY tengah menghambur uang kepada anggota GAM, terutama kepada bekas panglima. Lihat saja, kator KPA seluruh Aceh ternyata disewa oleh Pemda masing-masing. Bpk T. Kamaruzzaman (resmi dalam kabinet Kuntor) dan bpk. Muzakkir Manaf, bpk. Zakarya Saman, bpk. Bazaruddin, bpk. Adi Laweuëng,  dll lagi, kendati tidak resmi masuk dalam kabinet Kuntoro, tapi mereka diperkerjakan sebagai ”ACEH KONTRAK (AKON)” yang tunduk dibawah ketiak Kontoro sampai tahun 2009. Jauh berbeda dengan sikap pemimpin Tibet Merdeka (Dalay Lama), setelah berjuang menuntut merdeka dari penjajahan Cina. Maka, untuk menamatkan konflik vertikal, ditandatangani MoU (kompromi politik) antara pejuang Tibet-Cina dimana paket Otonomi khusus (self-government) untuk Tibet tahun 1951. Dalam realitasnya, self-government di Tibet hanya tipuan belaka. Setelah sadar, Dalay Lama melarikan diri bersama ribuan pengikutnya ke India dan menyebar ke beberapa negara Eropah. Entah bagaimana, dalam rangka memperingati 50 tahun perjuangan Tibet merdeka, Dalay Lama bersama ribuan pengikutnya, bertekuk-lutut kepada Cina, setelah ribuan bangsa Tibet mati dan 60% infrastruktur hancur, 40% diantaranya rumah peribadatan kaum Budhis akibat perang (menerima kembali paket Otonomi khusus (self-government) pada tahun 2001 atas inisiatif EU dan USA.

 

Konsekuensinya, Dalay Lama beserta ribuan pengikutnya pulang bersama-sama memimpin Tibet tahun 2001, walaupun status Tibet tetap sebagai salah satu Provinsi Cina. Dalay Lama konsekwen dengan keputusan politiknya, rela melepaskan status kewarganegaraan asing-nya dan memimpin rakyat Tibet. Mengapa Bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah tidak berguru kepada Dalay Lama, kalau memang sudah menandatangani MoU Helsinki yang mengakui Aceh bagian dari NKRI dan Aceh salah satu provinsi Indonesia? Mengapa Bpk. Malik Mahmud tidak berani melepaskan kewarganegaraan Singapura-nya dan Bpk Zaini Abdullah takut melepaskan kewarganegaraan Swedia untuk memimpin Aceh?  Mengapa pengikut fanatik GAM di Swedia, Stavanger Norwegia, North Jyland Denmark, Canada, USA, Malaysia, New Zaeland, Finland, Australia, Jerman dan Belanda masih saja berkeliaran dan ngeluyur di luar negeri? Mengapa takut pulang ke Aceh? Tak ada jawaban, kecuali karena pemimpin GAM dan pengikut yang fanatik tengah menderita sindrom Xinofobi.

 

Bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah sangat khawatir dan takut kalau masa depan karier politiknya hancur-luluh hanya disebabkan tidak terpilih menjadi Gub+Wa Gub Aceh dalam Pilkada. Keduanya ragu-ragu dan tak yakin akan dipilih oleh orang Aceh. Keduanya, siang-malam dihantui oleh bayangan ketidak pastian karier masa depan politiknya. Diramalkan, masa depan politik bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah akan tamat (undoing) sampai disini. Nampak, keduanya adalah sosok pemimpin yang tidak konsisten dengan hasil rapat Sigom Donja yang memutuskan bahwa anggoata GAM tidak akan bersanding dengan calon dari partai nasional. Di belakang layar, keduanya + Muzakkir Manaf ternyata menyokong Hasbi Abdullah (adik kandung Zaini Abdullah) bersanding dengan Humam Hamid calon resmi partai nasional Indonesia (PPP). PPP adalah juga salah satu partai yang ikut menandatangani kehadiran DOM di Aceh. Bpk Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah adalah biang kerok yang mencetuskan intern conflict GAM, tidak berwibawa dan tidak bisa menyelamatkan masa depan politik GAM. Di Aceh, bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah sudah kehilangan kepercayaan dari mayoritas anggota GAM, kantor KPA seluruh Aceh sudah diségél (dibekukan) oleh penguasa Indonesia, tinggal kantor KPA di Banda Aceh, itupun sudah di coup’s  oleh kelompok muda yang inginkan reformasi (anti Malik Mahmud & Zaini Abdullah).

 

Kantor pusat GAM di luar negeri sudah ditutup. Tidak ada lagi diplomasi GAM di luar negeri fasca penandatanganan MoU Helsinki. Semua perwakilan negara-negara asing dan EU,  sudah tahu persis bahwa GAM sudah menerima paket Otonomi khusus dibawah NKRI yang diberi nama lain, yakni: “pemerintahan Aceh”. Tlp. resmi 0045 8531 91275 di rumah Tengku Hasan M. Di Tiro yang sebelumnya bisa dihubungi oleh siapa saja, wartawan dalam dan luar negeri, kini sudah dibebukan oleh bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah. Tengku Hasan M. Di Tiro berada dalam status ‘dirumahkan’ (dikurung) di kawasan Aalby oleh pimpinan GAM di Swedia. Siapapun tak bisa lagi menghubungi beliau sekarang, kecuali orang-orang tertentu yang diseleksi. Syarif Gåran Usman dan Muzakkir Abdul Hamid siap menyergap tamu tak diundang.

 

Sindrom Xenofobi yang diderita Bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah sukar disembuhkan, kecuali masuk Camp Consentration pemulihan mental dan jiwa untuk membangun kembali rasa percaya diri. Camp Consentration seperti ini mudah ditemukan di Swedia dan biayanya gratis. Mengapa dikatakan demikian? Sebab, kemana saja pergi, keduanya senang kalau dipanggil "PM" dan "Menlu", walaupun dalam realitasnya, keduanya tidak berani lagi menantangani surat-menyurat resmi atas nama GAM dengan membubuh jabatan. Sebab itulah media massa asing dan Indonesia menulis: “Malik Mahmud, bekas perdana Menteri GAM; ... Zaini Abdullah bekas Menteri Luar negeri GAM, ... bekas Menteri Keuangan GAM;... Mohd Usman Lampohawé, bekas Menteri Keuangan;... Muzakkir Mana, bekas Panglima GAM”. Mereka tidak membantah. Secara moral dan politis berarti mereka akui. Inilah diantara ciri-ciri penderita sindrom Xenofobi. Berbeda sekali dengan sikap Saddam Husien, Presiden Irak, walaupun mendekam dalam tahanan rahasia tentara USA di Irak, tetapi ketika dihadirkan di depan Mahkamah revolusi Irak yang disponsori USA, dia berkata: “I standing here, I am President of Irak”.

 

Yang ganjil, pemimpin GAM memerintahkan anggota GAM yang masih berkeluyuran di luar negeri mengumpul dana kilat dengan dalih membiayai operasi perjuangan di Swedia, padahal untuk membiayai kampanye calon Gub-wakil dari partai PPP (Humam Hamid & Hasbi Abdullah) yang kebetulan adik kandung Zaini Abdullah.

 

Yang berlaku di luar negeri ialah: pemimpin GAM menempatkan Ahmad Sudirman sebagai "anjing Boldok", yang memasok umpan "anjing Boldok" ini ialah bpk. Muzakkir Hamid (keponakan bpk Zaini Abdullah). "Anjing Boldok" milik bpk. Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah ini diberi tugas menggonggong dan menyalak, bahkan jika perlu menggit semua orang atau bayang-bayang yang melintas di depannya untuk melindungi Tuan-nya yang tengah nadak dengan sindrom Xenofobi. Ada petugas volunteer (bpk Husaini Daud dan bpk. Razali Abdullah), yang setia mengelus-ngelus bulunya agar tak berkutu dan memandikannya, agar suara gonggongan "anjing Boldok" tetap bergema dan merdu. Karena itu menyuguhi "anjing Boldok" ini dengan minuman air kelapa muda yang khusus didatangkan dari Seupéng, Pidie dan Paya Budjôk, langsa. Lihat saja, jika ada artikel atau ulasan media massa yang mengeritik dan menyerang Tuan-nya, si "andjing Boldok" ini begitu cepat, cerdas tangkas, garang dan ganas menggonggong dan menyalaknya sipenulis dan petugas sukarela  tadi mmarah, jika ada orang yang mengganggu "anjing Boldok" ini. Alhamdulillah bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah bisa menemukan "anjing Boldok" lulusan "FIR'AUN UNIVERSITY" di Mesir, untuk menjaga saat-saat terkhir nafas karier Tuan-nya.

 

Selebihnya, anggota GAM luar negeri disérét oleh bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah untuk memenangkan pasangan ini. Hebat kan? Sayangnya, rata-rata  tingkat pendidikian anggota GAM di luar negeri (khususnya di Malaysia, Swedia, Stavanger Norwegia, North Jyland Denmark (Eropah), USA, Canada, New Zealand dan Australia hanya tamat SD dan berasal dari kalangan pharia Aceh (keluarga kelas bawah dan terbelakang). Anggota GAM yang bodoh-bodoh ini menjadi makanan empuk bpk Malik Mahmud & bpk. Zaini Abdullah. Di luar negeri mereka sudah terbiasa dengan pola pikir (menerima uang santunan dari negara). Untuk menunjang pendapatan, mereka kerja overtime malam-malam mencetak baby, semakin banyak anak semakin terbantu perekonomiannya, mereka berharap uang masuk dari tunjangan anak-anak mereka; daripada kalau pulang ke Aceh harus bertani, mengayun roti cané dan mengocok martabak, berdagang ganja dan kuli bangunan. Inilah yang menghantui, hingga mereka bertahan di luar negeri, meskipun pemimpin GAM (bpk. Malik Mahmud dan bpk. Zaini Abdullah C.s) telah menandatangani MoU Helsinki yang membolehkan pulang ke Aceh, namun mereka tetap saja bertahan di luar negeri. Mengapa? Sebab menderita sindrom Xenofobi yang khawatir dan takut kalau-kalau masa depan mereka tidak menentu di Aceh dibawah bendera self-government. Penantian yang tak berujung ini sangat menggelisahkan dan mempengaruhi jiwa mereka. Mengaku atau tidak mengaku, anda adalah pederita sindrom Xenofobi.

 

Ria Ananda

*Pemerhati di kawasan konfik

 

bayna9@yahoo.com 

Silkeborg, Arhus, Denmark

----------